BAB I
PENDAHULUAN


Di dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 431 kali kat Rasul baik dalam bentuk tunggal (singular) maupun jamak (plural) disebutkan. Telah dinyatakan dlaam hadist bahwa jumlah Rasul ada 124.000 orang. Karena itulah kita harus beriman kepada semua Rasul yang dibangkitkan di India, Cina, Iran, Mesir, Afrika, Eropa dan di negeri-negeri lainnya di seluruh dunia.
Akan tetapi, kita tidakdapat memastikan seseorang di luar daftar para Rasul lyang nama-namanya tercantum di dalam Al-Qur’an, apakah dia seorang Rasul ataukah bukan, sebab kita tidak diberi tahu secara pasti tentang dia. Tidak pula kita diizinkan mengatakan penolakan terhadap orang-orang suci dari agama-agama lain. Sangat dimungkinkan bahwa sebagian dari mereka adalah para Rasul Allah. Berdasarkan latar belakang diatas, maka disini penulis akan membahas makalah yang berjudul Misi Kerasulan dalam tafsir surat An-Nisa’ ayat 115 dan 170 serta surat Ali Imran ayat 106-108 secara singkat dan jelas agar mudah untuk dipahami dan dimengerti.



BAB II
PEMBAHASAN
MISI KERASULAN (TAFSIR SURAT AN-NISA’: 115 DAN 170 SERTA SURAT ALI IMRAN: 106-108)


A.    LAFAL SURAT AN-NISA’ AYAT 115 DAN ALI IMRAN AYAT 106-108




Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. An-Nisa: 115).[1]

Dikalangan para ulama’ tafsir jarang sekali dijumpai keterangan yang menjelaskan tentang sebab-sebab turunnya ayat 115 tersebut. Penjelasan tentang turunnya ayat 115 surat An-Nisa’ ini dijumpai pada keterangan yang diberikan oleh Sayyid Quthub. Menurutnya bahwa ayat ini di turunkan berkenaan dengan Basyir bin Ubairiq yang telah murtad dan menyatakan kemusyrikan, setelah sebelumnya mereka mendapatkan keterangan dari Rasul.

Dari 176 ayat yang terkandung dalam surat An-Nisa’ ini diketahui tidaklah turun sekaligus, melainkan secara bertahap sesuai dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Namun tidak seluurh ayat tersebut ada penjelasannya.[2] Didalam kitab Asbab An-Nuzul yang ditulis oleh Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi al-Naisaburi dijumpai keterangan mengenai turunnya ayat ke 2-5 yang berkenaan dengan seorang laki-laki yang berasal dari keturunan Ghathfan yagn diberi kuasa untuk mengurus harta yang banyak milik anak kakaknya yang sudah yatim, namun ketika anak yatim tersebut meminta kembali hartanya tersebut ia enggan memberikannya.[3]
Didalam kandungan surat An-Nisa ayat 115-117 yang antara lain berisi kecaman terhadap orang yang menentang Rasul dengan akan dimasukkannya kedalam neraka Jahannam, dapat diketahui bahwa ayat ini turun dalam situasi dimana masyarakat Arab Jahiliyyah pada saat itu banyak yang menentang Rasulullah.[4]
Penentangan ini dapat dipahami karena sesuai dengan penjelasan pada awal tulisan ini bahwa secara umum keadaan masyarakat pada saat datangnya para Rasul berada dalam keadaan rusak, jauh dari kebenaran dan cenderung menentang kepada siapa saja yang mengingatkan dan meluruskan mereka. Dengan keadaan demikian, maka wajar jika banyak orang yang masih belum mau mengikuti Rasulullah. Keadaan ini pula yang pernah diramalkan oleh Waraqah bin Rnaufal, pada saat ia dijumpai oleh Rasulullah bersama istrinya.
Timbulnya kecaman Allah pada ayat tersebut juga sebagai akibat dari pelanggaran yang mereka lakukan terhadap perintah Allah sebagaimana terdapat pada ayat 59 surat An-Nisa yang berbunyi sebagai berikut:


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa’: 59).[5]

Karena orang-orang tersebut jelas-jelas mengabaikan petintah Allah SWT. Maka wajar jika Allah mengecam mereka dengan neraka Jahannam. Sebagai calon penghuni neraka Jahannam, mereka memiliki ciri-ciri khusus di hari kiamat, sebagaimana dijelaskan surat Ali Imran ayat 106-108 yang berbunyi sebagai berikut:

Artinya: “Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, Maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya. Itulah ayat-ayat Allah. kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Ali-Imran: 106-108).[6]

B.     KANDUNGAN SURAT AN-NISA’ AYAT 115
Maksud dari ayat 115 sebagaimana dijelaskan oleh Al-Maraghi adalah sebagai berikut:


Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu[348] dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. An-Nisa: 115).[7]

Lebih lanjut al-Maraghi menjelaskan bahwa ayat tersebut menerangkan sunnatullah yang berlaku terhadap amal perbuatan manusia, serta penjelasan terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya berupa kehendak, kebebasan dan berbuat berdasarkan pilihannya sendiri. Amal perbuatannya itulah yang menjadi pemandu dan petunjuk terhadap jalan yang ditempuhnya. Dalam kaitan ini tidak akan dijumpai kekuasaan Allah yang dipaksakan kepada manusia agar ia mengerjakan atau meninggalkan perintah-Nya, hingga ia dimasukan kedalam neraka Jahannam.[8]
Dari keterangan ayat tersebut, dapat diketahui bahwa ayat-ayat tersebut pada intinya berisi ancaman terhadap orang-orang yang menentang Rasulullah yang sebelumnya mereka telah memeluk agama Islam dan mendapatkan penjelasan tentang ajaran Islam tersebut. Mereka akan dimasukan kedalam neraka Jahannam, yang disebabkan karena perbuatan mereka sendiri.[9]
Kerasnya ancaman Allah terhadap orang-orang yang menentang Rasulullah SAW. tersebut tentu saja memiliki maksud yang amat dalam. Allah mengingatkan agar umat manusia mengikuti ajaran Rasulullah dengan tujuan agar mereka tidak tersesat dan tidak pula celaka.[10] 
Selain itu, makna kerasnya kecaman Allah SWT kepada orang yang menentang Rasul itu dapat dipahami secara terbalik, yaitu bahwa Allah akan memberikan pujian bagi orang-orang yang mengikuti ajaran yang dibawa para Rasulullah tersebut, sebagaimana Allah sendiri memuji Rasulullah karena keagungan akhlaknya. Akhlak Rasul yang agung itu diceritakan dalam Al-Qur’an dan juga dalam riwayat hidupnya dengan tujuan agar manusia meneladaninya.[11]

C.    HUBUNGAN MAKNA KERASULAN DENGAN PENDIDIKAN
Paling kurang terdapat empat aspek pendidikan yang dapat dikaji dari hasil analisis terhadap makna kerasulan sebagaimana diuraikan diatas. Keempat aspek pendidikan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Makna kerasulan tersebut mengingatkan tentang pentingnya pendidikan akhlak
2.      Makna kerasulan tersebut juga mengingatkan tentang pentingnya mentaati guru. Para Rasul diutus oleh Allah adalah guru bagi kaumnya
3.      Makna kerasulan tersebut juga mengingatkan tentang pentingnya profesionalisme bagi seorang guru
4.      Makna kerasulan tersebut juga mengingatkan tentang banyaknya tugas yang harusdilaksanakan oleh seorang guru.[12]

D.    PERAN YANG HARUS DILAKUKAN OLEH GURU
Peran-peran yang harus dilakukan oleh seorang guru itu dapat dianalisis melalui peran kerasulan sebagai berikut:
1.      Tugas Rasulullah sebagai pengajar dan pendidik
2.      Tugas dan fungsi Rasul sebagai saksi atau penilai terhadap perbuatan manusia
3.      Tugas dan fungsi Rasul sebagai mubaligh yaitu menyampaikan ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada umat manusia
4.      Tugas dan fungsi Rasul sebagai mubayyin atau orang yang diberi mandat untuk menjelaskan wahyu dari Allah SWT. kepada umat manusia
5.      Tugas dan fungsi Rasul sebagai reformer (pembaharu) terhadap ajaran agama-agama yang datang sebelumnya
6.      Tugas dan fungsi Rasul sebagai uswah hasanah sebagai contoh dan panutan yang baik atau sebagai model ideal bagi kehidupan dalam segala bidang, terutama dari segi akhlak yang mulia
7.      Tugas dan fungsi Rasul sebagai hakim yang mengadili perkara yang terjadi di antara para pengikutnya, dengan berpedoman kepada Allah SWT.[13]




BAB III
KESIMPULAN


Berdasarkan pembahasan makalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Di dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 431 kali kat Rasul baik dalam bentuk tunggal (singular) maupun jamak (plural) disebutkan. Telah dinyatakan dlaam hadist bahwa jumlah Rasul ada 124.000 orang. Karena itulah kita harus beriman kepada semua Rasul yang dibangkitkan di India, Cina, Iran, Mesir, Afrika, Eropa dan di negeri-negeri lainnya di seluruh dunia.
Dari keterangan ayat tersebut, dapat diketahui bahwa ayat-ayat tersebut pada intinya berisi ancaman terhadap orang-orang yang menentang Rasulullah yang sebelumnya mereka telah memeluk agama Islam dan mendapatkan penjelasan tentang ajaran Islam tersebut. Mereka akan dimasukan kedalam neraka Jahannam, yang disebabkan karena perbuatan mereka sendiri




DAFTAR PUSTAKA




Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).

Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Jilid II, (Beirut: Darul Fikri, tt).

Ali Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi Al-Naisabury, Asbab an-Nuzul, (Beirut: Dar al-Fikr, 1441 H/1991 M).

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Kathoda, 2005).



[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Kathoda, 2005), hal. 127.
[2] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 82.
[3] Ali Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi Al-Naisabury, Asbab an-Nuzul, (Beirut: Dar al-Fikr, 1441 H/1991 M), hal. 94-96.
[4] Abuddin Nata, Opcit, hal. 84.
[5] Departemen Agama RI, Opcit, hal. 114.
[6] Ibid, hal. 80.
[7] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Jilid II, (Beirut: Darul Fikri, tt), hal. 155.
[8] Ibid, hal. 115.
[9] Abuddin Nata, Opcit, hal. 87.
[10] Ibid, hal. 87.
[11] Ibid, hal. 88.
[12] Ibid, hal. 89-91.
[13] Ibid, hal. 91-98.

1 komentar:

 
Top