PENGEMBANGAN ILMU-ILMU KEISLAMAN

BY

MUHAMMAD IBNU SOIM

Perjalanan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa, semula adalah muncul di Yunani pada abad keenam sebelum Masehi. Ilmu pengetahuan yang banyak berkaitan dengan dunia materi pada waktu itu masih bersatu dengan dunia filsafat yang banyak memusatkan perhatiannya pada dunia metafisika (dunia di balik materi). Ilmu dan filsafat masih berada dalam satu tangan. Phytagoras, Aristoteles, Ptolemy, Galen, Hyppocrates misalnya, mereka adalah disamping seorang filosof juga seorang ilmuwan.[1]
Ketika ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di ambil alih oleh para ilmuwan Muslim melalui penerjemahan karya-karya klasik Yunani secara besar-besaran ke dalam Bahasa Arab dan Persia di “Darul Hikmah” (Rumah Ilmu Pengetahuan) Bagdad pada abad ke-VIII hingga abad ke-XIII Masehi, seperti : Abu Yahya al-Batriq berhasil menterjemahkan ilmu kedokteran dan filsafat Yunani karya besar Aristoteles dan Hyppocrates. Hunain Ibn Ishaq berhasil menterjemahkan buku : “Timacus” karya Plato, buku “Prognotik” karya Hyppocrates, dan buku “Aphorisme” karya penting dari Galen. Ghasta Ibn Luka (Luke) al-Ba’labaki berhasil menterjemahkan ilmu kedokteran dan matematika hasil karya dari : Diophantus, Theodosius, Autolycus, Hypsicles, Aristarchus dan karya Heron. Dan juga Tsabit Ibn Qurra al-Harrani (826-900) berhasil menterjemahkan ilmu-ilmu kedokteran dan matematika Yunani karya besar dari : Apoloonius, Archimedes, Euclid, Theodosius, Ptolemy, Galen dan Eutocius.[2] Dan masih banyak karya besar lainnya yang tak dapat disebutkan satu persatu.
Pada masa periode Islam ini, kematerian ilmu pengetahuan yang semula hanya bersatu dengan dunia filsafat, akhirnya masuk pula kesatuan agama di dalamnya. Hal ini dapat dilihat pada para tokoh muslim seperti : Ibn Rusyd, Ibn Sina, al-Ghazali, al-Biruni, al-Kindi, al-Farabi, al-Khawarizmi dan yang lainnya, mereka adalah disamping sebagai seorang filosof, ilmuwan juga seorang agamawan (teolog maupun ahli dalam bidang hukum Islam).[3]
Perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya, adalah terjadinya kilas balik transformasi Ilmu dari Timur (Islam) ke dunia Barat (Eropa). Hal itu terjadi berkat kerja keras orang-orang Eropa yang belajar di Universitas-Universitas Andalusia, Cordova dan Toledo (Spanyol Islam), seperti : Michael Scot, Robert Chester, Adelard Barth, Gerard dan Cremona dan yang lainnya. Terjadinya kerja sama Islam – Kristen di Sicilia yang pernah dikuasai Islam tahun 831 hingga tahun 1091, dimana Ibu Kota Sicilia pernah dijadikan tempat penterjemahan buku-buku karya ulama Muslim ke dalam bahasa Latin, sehingga melahirkan renaisans di Italia.[4] Juga terjadinya kontak Islam – Kristen selama perang salib. Sejak peristiwa ini, ilmu pengetahuan dan filsafat yang telah dikuasai oleh dunia Islam dibawa kembali ke dunia Barat (Eropa) dan sebagai akibatnya, Eropa keluar dari masa kegelapan dan memasuki masa renaisans dan selanjutnya perkembangan ilmu pengetahuan memasuki abad modern dengan kemajuan teknologinya yang cepat dan spektakuler. Sifat ilmu pengetahuan yang semula masih bersatu dalam kesatuan filsafat dan agama, pada masa renaisans Eropa hingga memasuki zaman modern seperti saat ini, ilmu pengetahuan telah lepas dari ikatan agama dan pengaruh filsafat. Ilmu pengetahuan hanya memusatkan perhatiannya kepada dunia materi, kekayaan materilah yang diyakini akan membawa kebahagiaan hidup dan yang bisa memecahkan segala problematika yang dihadapi. Dari pengaruh mengumpulkan materi, kekayaan, harta benda inilah yang mendorong bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Perancis berlomba-lomba merebut wilayah Islam yang membentang dari Atlantik hingga Pasifik, dari India Selatan, memasuki jantung Afrika sampai Siberia, Albania dan Bosnia dan lain-lainnya, harus mengakui akan kekuatan Barat (Eropa) baik dari segi politik, ekonomi, militer maupun kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuannya. Faktor kemajuan ilmu pengetahuan inilah yang menjadi tantangan dan ancaman besar bagi dunia Islam setelah menyadari kekalahannya atas peristiwa invansi Mesir oleh Napoleon pada tahun 1789.[5]
Tantangan ilmu-ilmu Keislaman dewasa ini dalam mengejar ketertinggalannya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh oleh Barat, haruslah melihat kembali sisi kelemahan selama ini, yang mana dalam mengembangkan ilmu pengetahuan kalangan Muslim pada umumnya :
  1. Masih banyak menggunakan logika deduktif, maksudnya adalah dalam hal mengembangkan ilmu pengetahuan masih bertolah pada pengetahuan fakta-fakta yang bersifat umum kemudian ditarik ke dalam kesimpulan-kesimpulan yang bersifat khusus.[6] Sehingga ilmu pengetahuan yang dihasilkan kebanyakan masih bersifat teoritism abstrak dan masih bersifat idealis. Hal itu sangat berbeda dengan pengembangan ilmu pengetahuan di masa keemasan Islam abad ke-IX sampai dengan abad ke-XI, yang mana Jabir Ibn Hayyan (721-815) misalnya, menurut pengakuan Barat adalah orang pertama yang menggunakan metode ilmiah secara induktif dalam penelitiannya di bidang al-kemi yang oleh ilmuwan Barat disebut ilmu kimia. Jabir dengan nama latinnya menjadi Geber, adalah orang pertama yang mendirikan bengkel dengan menggunakan tungku pemanas untuk mengolah mineral dan mengektradisi mineral-mineral itu menjadi zat kimiawi kemudian mengklasifikasikannya.[7] Demikian juga Muhammad Ibn Zakaria ar-Razi (865-925) yang namanya dilatinkan menjadi Razes, adalah orang pertama yang menggunakan alat khusus untuk melakukan proses penelitian kimia sebagaimana lazimnya dilakukan oleh para ahli kimia seperti adanya destilasi, kristalisasi, kalsinasi dan lain sebagainya. Yang pada akhirnya buku-buku al-Razi tentang ilmu kimia dianggap sebagai manual atau buku pegangan laboratorium kimia yang pertama di dunia yang banyak dipergunakan oleh sarjana-sarjana Barat setelah menyelesaikan studinya di Universitas-Universitas Islam Toledo maupun Cordova.[8] Sesungguhnya berkembangnya penemuan ilmu pengetahuan kealaman oleh ilmuwan muslim adalah lebih disebabkan adanya penggunaan metode logika induktif, yakni adanya pengembangan ilmu pengetahuan dari dunia abstrak ke dunia kongkrit, dari dunia teori ke dunia praktik dan dari dunia idealis ke dunia empiris dan sebagainya.
  2. Dikalangan Islam masih banyak yang menekankan studi pustaka dari pada studi atas realitas sosio-kultural. Akibatnya terjadi kurang berkembangnya literatur-literatur tentang ilmu-ilmu empiris Islam, seperti : sosiologi Islam, antropologi Islam, psikologi Islam, ekonomi Islam dan sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan empiris Islam yang pernah dikembangkan oleh ilmuwan Muslim di abad renaisans Islam, dimana hasil karya ilmuwan Muslim banyak yang dijadikan sumber rujukan dalam studi pustaka (bukan sebaliknya), hal ini dapat dilihat seperti pada buku Al-Fihrist (Index of the Science) karya besar Ibn Ya’qub an-Nadim, berisi tentang ensiklopedis monumental yang masih singnifikan hingga abad ini. Termasuk bidang Astronomika oleh Mahani (855-866), Naziri, Qurra’ dan al-Battami. Bidang zoologi oleh ad-Dinawari, Book of Animals oleh al-Jahiz, Book of Roads and Provinces oleh Ibn Khurdadbih dan dalam Book of the Countries oleh al-Ya’qubi dan masih banyak yang lainnya.[9]
  3. Belum adanya paradigma yang jelas tentang posisi nilai normatif, eksistensi dan struktur keilmuan Islam. Sebagai misal dalam mensikapi problematika tantangan modernisasi yang ditandai oleh pesatnya perkembangan industrialisasi, transformasi, canggihnya alat-alat informasi, dan kuatnya paham rasionalisme yang apabila dihadapkan kepada agama, di kalangan muslim belum mampu menyelesaikan dengan cara dialektis tetapi masih bersifat normatif.[10] Dan para peneliti Muslim masih kurang siap menghadapi atau menolak gagasan-gagasan asing, karena tidak adanya persiapan secara memadai untuk melawan mereka melalui telaah mendalam dan penolakan terhadap promis-promis palsu.[11] Akibat yang ditimbulkan tentang posisi nilai normatif, eksistensi dan struktur keilmuan Islam menjadi tidak jelas. Ada yang datang dari Barat, seperti westernisasi, rasionalisme, sekularisme, gagasan filsafat Barat dan semua yang berbau ke Barat-Baratan semua ditolak bahkan dikafirkannya.[12]

[1] Mehdi Nakoesteen, Op.Cit., h. 22
[2] Lihat George Sarton, Introduction to The History of Science (Vol. 3 ; Washington D. C. : The Carbegie Institute, 1948), h. 556-613.
[3] Lihat Harun Nasutioan, Islam Rasional, Op.Cit., h. 410.
[4] Ibid., h. 301-302.
[5] Lihat Sayyed Hossein Nasr, Op.Cit., h. 124-125.
[6] Lihat Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Jilid 2 ; Yogyakarta : Fak. Psikologi UGM, 1983),. h. 42.
[7] Lihat A. Baiquni, Op.Cit., h. 6.
[8] Ibid., h. 8.
[9] Lihat Mehdi Nakoesteen, Op.Cit., h. 213-217.
[10] Lihat Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Cet. VI ; Bandung : Mizan, 1996), h. 38.
[11] Lihat Jamaluddin Rakhmat, Islam Alternatif (Cet. IV ; Bandung : Mizan, 1991), h. 176.
[12] Sayyad Hossein Nasr, Op.Cit., h

0 komentar:

 
Top