BAB I
PENDAHULUAN
Di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam
dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori
ilmu pengetahuan dan filsafat. Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai
oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan
kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia
kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.
Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap
dunia keilmuwanl, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu
sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan.
Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam,
karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial,
yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
ALIRAN FILSAFAT FENOMENOLOGI, HERMEUTIK DAN PRAGMATISME
A.
ALIRAN FILSAFAT
FENOMENOLOGI
1.
Hakekat
Fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa
Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan
phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio,
pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai
kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua
pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu
tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang
gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh
Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat
dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian
dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah
fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara
filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran
(alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah
menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman
inderawi (fenomen).
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode,
fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita
sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan
ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri
menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia)
serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk
mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman
serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut
Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada.
Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda
itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri
merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi.
Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia
sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama
konsepnya tentang fenomena–noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk
menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah
realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut
Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam
kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar yang kita kenal.
Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda
dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik
secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism,
yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang
realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat
dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya,
filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural,
sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.
2. Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati
fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala
sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik
berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang
berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode
yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti
penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin
keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang
berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan
diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog:
“Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi
berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua
fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha
inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”. Untuk itu,
Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi
fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision.
Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda
keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga
berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh
dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya
terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural
tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu
hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau
referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.
3.Kontribusi
Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan
Konsep ini
penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka
jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek
pengetahuan. Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology,
menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt
) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan
yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik,
yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis
seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi
alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka).
B.
ALIRAN FILSAFAT HERMEUTIKA
1.
Asal-usul dan
Defenisi Hermeneutika
Sebelum kita mendefinisikan filsafat hermeneutika, kita akan
mengetahui terlebih dahulu asal-mula kata hermeneutika. Sudah umum diketahui
bahwa dalam masyarakat Yunani tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka
percaya pada Tuhan dalam bentuk mitologi. Sebenarnya dalam mitologi Yunani
terdapat dewa-dewi yang dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak
bernama Hermes. Hermes dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan
pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian
digunakan. Kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu
dan seni menginterpretasikan sebuah teks.
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna
teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian
makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi
titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan
menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika
filosofis, dan hermeneutika kritis. Pertama,
hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan
kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar.
Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna
yang dikehendaki penggagas teks. Kedua,
hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana
memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis.
Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Ketiga,
hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di
balik teks. hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks
sebagai problem hermeneutiknya.
2. Latar
Belakang Munculnya Filsafat Hermeneutika
Werner G. Jeanrond menyebutkan tiga milieu penting yang
berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai suatu ilmu atau teori
interpretasi:
Pertama milieu
masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua milieu
masyarakat Yahudi dan Kristen yang menghadapi masalah teks kitab “suci” agama
mereka dan berupaya mencari model yang cocok untuk intepretasi untuk itu. Ketiga
milieu masyarakat Eropa di zaman Pencerahan (Enlightenment) berusaha
lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar
konteks keagamaan.
3. Perkembangan
Filsafat Hermeneutika beserta para Tokohnya
Terdapat sejumlah tokoh yang memberi sumbangan dalam
perkembangan filsafat hermeneutika, di antaranya adalah:
1. Friedrich
Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834).
Schleiermacher,
seorang Protestan dan pernah menjadi Rektor di Universitas Berlin pada tahun
1815-1816, digelar sebagai “the founder of General Hermeneutics.” Gelar
tersebut diberikan karena pemikirannya dianggap telah memberi nuansa baru
dalam teori penafsiran. Materi kuliahnya “universal hermeneutic” menjadi
rujukan Gadamer dan berpangaruh terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Ia
dianggap sebagai filosof Jerman pertama yang terus menerus memikirkan
persoalan-persoalan hermeneutika. Karena itu ia dianggap sebagai Bapak
Hermeneutika modern dan juga pendiri Protestan Liberal.
Schleiermacher
menjadikan persoalan hermeneutis sebagai persoalan universal dan mengajukan
teori pemahaman yang filosofis untuk mengatasinya. Ia merubah makan
hermeneutika dari sekedar kajian teks Bibel menjadi metode memahami dalam
pengertian filsafat. Dalam pandangan Schleiermacher, tradisi hermeneutika
filologis dan hermeneutika teologis bisa berinteraksi, yang membuka kemungkinan
untuk mengembangkan teori umum mengenai pemahaman dan penafsiran.
2. Wilhelm
Dilthey (1833-1911)
Wilhelm
adalah penulis biografi Scleiermacher dan salah satu pemikir filsafat besar
pada akhir abad ke-19. Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang
dapat digunakan sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua
disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia).
Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal
Jerman.
Bagi
filosof yang pakar metodologi ilmu-ilmu sosial ini, hermeneutika adalah “tehnik
memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh
karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan
ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut
intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk
kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher.
3. Martin
Heidegger (1889-1976)
Latar
belakang intelektualitas Heidegger berada dibawah pengaruh fisika, metafisika
dan etika Aristotle yang di interpretasikan oleh Husserl dengan metode
fenomenologinya. Pendiri fenomenologi, Edmund Husserl, adalah guru dan
sekaligus kawan yang paling dihormati dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran
Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya
Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yang dibangun
Husserl.
C.
ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME
1. Konsep Pragmatisme
Pragmatisme berasal
dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragam berasal dari bahasa Yunani yang
berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian
isme – isme yang lainnya yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran
berpikir. Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu
mengikuti tindakan.
Menurut aliran ini, hakikat dari realiatas adalah segala sesuatu
yang dialami oleh manusia. Ia berpendapat bahwa inti dari realiatas adalah
pengalam yang dialami manusia. Ini yang kemudian menjadi penyebab bahwa
pragmatisme lebih memperhatikan hal yang bersifat keaktualan sehingga
berimplikasi pada penentuan nilai dan kebenaran. Dengan demikian nilai dan
kebenaran dapat ditentukan dengan melihat realitas yang terjadi di lapangan dan
tidak lagi melihat faktor – faktor lain semisal dosa atau tidak. Hal ini senada
dengan apa yang dikataka James, “Dunia nyata adalah dunia pengalaman manusia.”
2. Tokoh-tokoh
Filsafat Pragmatisme
1.William James (1842-1910 M)
William
James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah
orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya,
keluarganya memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi.
Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya.
Ayah James rajin mempelajari manusia dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh
dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untyuk menjawab
berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.
2.John Dewey
(1859-1952 M)
Sekalipun Dewey bekerja
terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang menampakkan
persamaan dengan gagasan James. Dewey adalah seorang yang pragmatis.
Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta
lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk
memenuhi kebutuhan manusiawi.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa fenomenologi
merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha
memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Terlepas dari
kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang
berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis metodologi ilmu
pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek yang selama ini dikesampingkan
oleh paradigma positivistik – saintistik.
Pragmatisme berasal
dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragam berasal dari bahasa Yunani yang
berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian
isme – isme yang lainnya yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran
berpikir. Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu
mengikuti tindakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Adian, Donny Gahral, 2001, Matinya
Metafisika Barat, Jakarta: komunitas Bambu.
Delgaauw, Bernard, 2001, Filsafat
Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Muslih, Moh., 2005, Filsafat
Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar,
Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
0 komentar:
Post a Comment