BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan bank syari’ah di Indonesia mulai
membaik secara kuantitas sejak adanya perubahan Undang-undang Perbankan No. 7
Tahun 1992 menjadi Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, pokok-pokok ketentuan tersebut memuat
antara lain: Kegiatan Usaha dan Produk-produk Bank berdasarkan Prinsip
Syari’ah, Pembentukan dan Tugas pokok Dewan Pengawas Syari’ah, Persyaratan bagi
pembeukaan Kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syari’ah.
Memasuki tahun 2002 bank umum di Indonesia yang
melakukan kegiatan operasional dengan prinsip syari’ah, diantaranya adalah bank
muamalah Indonesia, bank IFI, bank BNI Syari’ah, bank Syari’ah Mandiri, Bank
Jabar Syari’ah, Bank Bukopin, Bank BRI Syari’ah, dan dimungkinkan akan
bermunculan konversi bank konvensional ke bank syari’ah (tidak kurang dari 54
Bank Konvensional hingga saat ini sedang antri menunggu ijin untuk pembukaan
konversi atau window syari’ah). Dalam
makalah ini, maka akan kami bahas mengenai bagaimana strategi dan kunci sukses
manajemen bank syari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
STRATEGI DAN KUNCI SUKSES MANAJEMEN BANK SYARI’AH
A.
STRATEGI PENGEMBANGAN BANK SYARI’AH
Dalam
persepsi masyarakat bank syari’ah, mestilah bank yang paling ideal dan paling
sempurna, karena Islam merupakan ajaran yang sempurna. Bank Islam bukanlah bank
Islam itu sendiri, ia sekedar bank yang berusaha menerapkan konsep syari’ah menurut kemampuan
perkembangannya. Bank syari’ah di Indonesia masih jauh dari sempurna, karena
pengalamannya masih minim untuk ukuran sebuah bank di Indonesia.
Ada
beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan bank syari’ah dalam
memberdayakan ekonomi umat, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Strategi
pengembangan: Islamic Full Branch
System
yang diterapkan di Malaysia adalah system Islamic
Window, yaitu bank konvensional dapat membuka counter yang menawarkan produk-produk bank syari’ah, bank
konvensional yang membuka Islamic Window
dikenal dengan istilah SPTF (Skim Perbankan Tanpa Faedah). Bank system ini
cukup pesat perkembangannya, namun system ini tidak mendorong berdirinya bank
syari’ah di Malaysia. Di Malaysia hanya ada dua bank syari’ah, yaitu Bank Islam
Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Malaysia.
Di
Indonesia dengan menggunakan system Islamic
Full Branch, yaitu suatu cabang penuh menerapkan system syari’ah. Dengan
cirri cabang menerapkan system syari’ah secara penuh, pembukaanya secara
terpisah dengan kantor induk, bank Induk masih konvensional menyisihkan
sejumlah modal untuk unit usaha syari’ah (UUS). Sistem ini seperti yang
diterapkan di Arab Saudi. Contoh Bank Penerap Sistem Islamic Full Branch: Bank IFI, Bank Syari’ah Mandiri (konversi dari
bank Susila Bhakti), BNI Syari’ah, BPD Jabar, Bukopin dan lain-lain.[1]
2.
Strategi
Pengelolaan: Pembiayaan
Para
pengusaha kecil lebih mendambakan system pembiayaan dengan system bagi hasil,
karena dirasa lebih sesuai dengan siklus bisnis usaha menengah kecil. Bank
syari’ah secara bertahap harus mengembangkan system pembiayaan mudharabah dan musyarakah, agar portofolio pembiayaannya tidak terlalu didominasi
oleh pembiayaan murabahah apalagi bai bithaman ajil.
Hamper
semua bank syari’ah di dunia didominasi dengan produk pembiayaan murabahah. Mengapa? Karena system murabahah lebih mudah dimengerti oleh
masyarakat dan para pegawai bank itu sendiri yang kebanyakan mereka telah
mengenal akrab dengan (sahabat) bunga Sistem Bagi Hasil sedikit sekali
diterapkan, kecuali di Iran (48%), Sudan (62%). Di Indonesia, Bank Muamalat
Indonesia baru mengembangkan produk pembiayaan bagi hasil dimulai sejak tahun
ke-6. Perkembangannya cukup baik, tahun 1999 telah mencapai 51% dari portofolio
pembiayaanya.[2]
3.
Strategi
Pengelolaan: Persepsi Masyarakat
Persepsi
masyarakat tentang bank syari’ah masih keliru. Bank syari’ah dipandang sebagai:
1)
Bank syari’ah
sebagai bank social (baitul mal)
untuk membantu pembangunan (ekonomi umat)
2)
Bank syari’ah
sebagai bank bagi hasil.
Implikasi kekeliruan
persepsi pertama berdampak pada pemahaman masyarakat bahwa:
a)
Bank syari’ah
tidak boleh meminta jaminan dalam memberikan pembiayaan
b)
Bank syari’ah
tidak mengenakan denda bila nasabah tidak membayar tepat pada waktunya
c)
Bank syari’ah
tidak boleh menyita jaminan.
Kemungkinan implikasi
dari kekeliruan persepsi kedua, memberikan efek atas pandangan masyarakat
tentang bank syari’ah sebagai berikut:
1)
Untuk semua
kebutuhan nasabah harus menggunakan produk mudharabah
atau musyarakah
2)
Bagi hasil yang
diberikan bank kepada nasabah harus lebih besar jika dibandingkan dengan bunga
dari bank konvensional, sehingga bagi hasil nasabah pembiayaan harus lebih
kecil daripada bunga bank
3)
Bagi hasil
dibayar setahun sekali, seperti waktu pembayaran dividen
4)
Bank akan turut
campur dalam manajemen perusahaan nasabah
5)
Bank akan turut
memiliki perusahaan nasabah.
Kesalahan persepsi
masyarakat ini bertambah pada lagi dengan sikap sebagian karyawan bank syari’ah
yang cenderung terlalu menyederhanakan konsep bank syari’ah dilapangan,
sehingga bank syari’ah terkesan sekedar: Bank konvensional – bunga + istilah
Arab + zakat + jilbab + assalamu’alaikum. Artinya, bank syari’ah dalam
menjalankan aktivitas tidak sampai hakikat bank syari’ah itu sendiri. Namun,
hanya sekedar menggunakan istilah Arab dalam produknya, pada masa haul-nya bank syari’ah membayar zakat,
para karyawannya dalam bekerja menggunakan atribut-atribut (pakaian) muslim
atau setiap bertemuan saling menyapa dengan ucapan salam. [3]
Akan tetapi, bank
syari’ah harus lebih daripada itu, terutama dalam masalah mekanisme produk yang
ditawarkan kepada calon nasabah, perlu memperhatikan kaidah-kaidah syari’ah.
Oleh karena keterbatasan para pegawai bank syari’ah dalam memahami konsep
syari’ah dalam ekonomi dan perbankan, maka masih dijumpai kesalahan dalam menerapkan
akad dalam melakukan transaksi di bank syari’ah. Demikian pula, kesalahan
semakin parah, pada saat bank syari’ah menjadikan pembiayaan murabahah atau bahkan al-bai’u bithaman ajil menjadi akad sapu
jagad yang serba bisa untuk memenuhi kebutuhan apapun. Jika demikian adanya,
maka:
a)
Jangan salahkan
kyai dan ustadz menganggap bank Islam sama dengan sekedar jualan Islam
b)
Umat Islam
sebagian diantara mereka masih lebih sering berhubungan dengan bank
konvensional, karena ketidak mampuan bank syari’ah memenuhi kebutuhan umat.[4]
B.
KUNCI SUKSES PENGELOLAAN BANK ISLAM
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan para pengelolaan Bank Islam dalam mencapai sukses
pengelolaan adalah memperhatikan hal-hal berikut ini:
1.
Misi Bank
Syari’ah
Kehadiran
lembaga keuangan syari’ah dipersada ini memiliki misi khusus. Misi yang paling
utama adalah misi social dan bisnis. Berkaitan dengan ini, lembaga keuangan
syari’ah, khususnya bank Islam, disamping membawa misi juga sekaligus membawa
beban yang membuatnya harus dikelola ekstra ketat. Hal ini harus dipahami betul
para pengelola Bank Islam. Memang benar, oleh karena bank Islam membawa misi
itulah, ia tidak lebih rawan daripada bank konvensional.[5]
Dalam
seluruh operasinya Bank Islam diawasi secara ketat. Para pengelola bank Islam
harus menaruhkan jiwa dan raganya untuk dunia akhirat. Bank syari’ah membawa
misi keadilan, maka untuk dapat menjalankan usaha yang halal harus diawasi oleh
Dewan Pengawas Syari’ah. Jadi, kalau ada
sekelompok orang yang mau mendirikan Bank Islam, akan dibela mati-matian jangan
sampai Bank Islam yang didirikan itu rusak atau bahkan bubar.
Dengan
demikian dalam pengelolaan bank syari’ah
adalah lebih rawan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Lalu bagaimana
caranya? Ada dua hal dalam hal tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, harus ditumbuhkan tekad yang kuat dari para
pengelolaanya dalam mengemban dan menjalankan berhasilnya pelaksanaan misi.
Kedua, dalam
pengelolaan bank syari’ah perlu dicarikan orang-orang atau sumber daya yang
memang betul-betul professional. Artinya, adalah sumber daya yang memahami
secara konsep keagamaan (syari’ah) dan keterampilan operasional perbankan
syari’ah. Jika kedua hal tersebut diatas, dimiliki oleh para pengelola bank
Islam maka insya Allah pencapaian misi dan target operasional dapat terwujud.
2.
Sifat Istiqomah
Bisnis
perbankan syari’ah merupakan suatu bisnis yang mencoba memadukan konsep
kebersamaan dalam berusaha dan menjalankan perlombaan antara nasabah dengan
para pengelola dalam mendapatkan keberuntungan dunia akhirat. Ada beberapa hal
penting dalam rangka menunjang keberhasilan operasional perbankan syari’ah.
Masalah utama keberhasilan bank Islam terletak pada kesiapan nasabah menerima
bagi hasil yang rendah atau tanpa imbalan sama sekali pada tahap awal
operasional Bank Islam.
Disinilah
diperlukan nasabah-nasabah yang istiqomah terhadap praktik penting, terutama
dalam rangka mewujudkan konsistensi bisnis berdasarkan syari’ah Islam. Pada
tahap berikutnya, setelah bank Islam memperoleh laba riil, maka nasabah mulai
memperoleh bagi hasil. Pada saat tingkat bagi hasil setara atau melampaui
tingkat bunga tabungan/deposito (bank konvensional), maka disinilah saat take off-nya bank syari’ah, dimana
keunggulannya mulai menunjukan hasil.
Harus
dipahami, bahwa pada tahap awal, khususnya pada masa tiga bulan pertama kondisi
masih zero. Sebab pada tahap ini bank
Islam mulai dengan modal saja, tanpa tabungan. Dan mungkin baru kira-kira enam
bulan. Bank Islam baru mendapatkan tabungan. Dalam kondisi ini, para pengelola
juga harus istiqomah. Artinya, mereka
harus mau menerima gaji yang mungkin
lebih rendah dairpada gajinya yang dulu.
3.
Memperhatikan
Likuiditas
Persoalan
likuiditas merupakan persoalan umum bagi setiap bank, bukan saja persoalan bank
Islam. BPR dan bentuk umumpun akan mengalaminya. Persoalan yang muncul adalah
bagaimana caranya agar likuiditas bank tetap terjaga. Bagi bank Islam dalam
menjaga likuiditas ini sebenarnya ada kiat-kiat jitu untuk mengamankan
likuiditas paling sedikit ada dua kiat untuk hal likuiditas, yaitu:
Pertama, penggalangan umat. Apabila suatu bank syari’ah
berada dalam suatu wilayah yang mayoritas umat Islam. Disini kuncinya adalah kekompakan
tiga komponen pengurus, yaitu Direksi, Komisaris dan Dewan Syari’ah. Jika
ketiganya kompak, maka masalah pasokan sumber dana dapat tertolong. Kalau tidak
kompak, maka tidak lagi terlihat kalau ini bank syari’ah.
Kedua, kalau misalnya terpaksanya harus memberikan imbalan
bagi hasil yang memadai, maka lebih bagus bank syari’ah jangan dulu menerima
simpanan. Pergunakan dulu dana saham. Setelah ada hasilnya, baru buka simpanan.
Itupun harus diinformasikan (pengertian) kepada nasabah mungkin yang ia terima
masih lebih kecil daripada tingkat bunga yang berlaku.
Cirri-ciri
bank Islam yang melakukan praktik semacam itu dapat kelihatan. Pertama, jika pembiayaan baitu bitsaman ajil, atau murabahah mahal, mark-up-nya tinggi. Kalau pembiayaan dengan system bagi hasil, mestinya
banknya yang menentukan, bukan hasil musyawarah dengan debitur.
4.
Interest Oriented
Persaingan
dunia perbankan ditanah air kita sekarang ini semakin ketat. Apalagi dengan
adanya depresiasi rupiah, maka masing-masing bank berusaha memberikan suku
bunga yang tinggi. Dalam kondisi ini, bagaimana sikap bank syari’ah dalam
kaitannya dengan upaya operasionalnya. Jawabannya kembali pada ke istiqomahan.
Harus disadari, oleh para pengelola bank syari’ah, bahwa interest oriented akan menjadi masalah bagi bank syari’ah pemula,
dimana tingkat bagi hasilnya belum mampu bersaing dengan bank konvensional.
Ditambah lagi nasabah belum siap (istiqomah) terhadap praktik bagi hasil.
Sebenarnya
bank syari’ah tidak perlu khawatir nasabah lari, bila bagi hasilnya kecil.
Kesalahan dari pengelola bank syari’ah adalah pada asumsinya yang menganggap
bahwa masyarakat kita adalah masih materialistis, sehingga kebijakan imbalan
bagi hasil tetap mengacu pada bunga bank konvensional. Padahal belum tentu
masyarakat kita adalah materialistic.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah kami yang berjudul “Strategi dan kunci sukses manajemen bank syari’ah maka dapat kami simpulkan bahwa
bila kita mau belajar dari pengalaman, kemungkinan bank syari’ah gagal adalah
sangat tipis. Bagaimana mungkin gagal, sebab bank syari’ah sebenarnya tidak
banyak dipengaruhi beban bunga yang telah dipastikan kepada penyimpan dana.
Bank syari’ah hanya memberikan bagi hasil sesuai dengan kemampuanya, tidak ada
paksaan.
Penabung
menginginkan bunga yang tinggi, peminjam menginginkan bunga rendah, jika
demikian tidak akan ketemu. Jika kedua-duanya diikuti, maka yang menjadi turun
adalah optimalisasi spread. Akibatnya
spread yang tidak optimal menjadikan
kinerja bank menjadi menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2000.

Nasirwan Ilyas, “Perbankan Syari’ah
Nasional: Posisi Perkembangan dan Arab Kebijakan Pengembangannya”, Kertas Kerja, Seminar Nasional Evaluasi
Kinerja dan Kontribusi Lembaga Keuangan Syari’ah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia, Yogyakarta: STIS 07 September 2002.
[1] Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta:UPP AMP YKPN, 2002, Hal. 437
[2] Ibid, hal. 437-438.
[3] Muhammad, Lembaga
Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2000.
[4] Ibid.
[5] Nasirwan Ilyas,
“Perbankan Syari’ah Nasional: Posisi Perkembangan dan Arab Kebijakan Pengembangannya”,
Kertas Kerja, Seminar Nasional Evaluasi
Kinerja dan Kontribusi Lembaga Keuangan
Syari’ah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: STIS 07
September 2002.
0 komentar:
Post a Comment