BAB I
PENDAHULUAN


Secara etimologi, kata jihad berasal dari akar kata yang berhuruf j-h-d mengandung arti kekuatan, kemampuan, kesulitan, dan kelelahan. Artinya, dalam berjihad itu membutuhkan kekuatan, baik tenaga, pikiran, maupun harta. Atau bisa juga dipahami bahwa dalam berjihad itu mengandung resiko kesulitan dan kelelahan dalam pelaksanaanya.
Jihad banyak sekali macamnya, ada yang jihad melalui harta, jiwa, ilmu dan jihad melawan hawa nafsu. Jihad pada zaman Nabi tidak sama dengan zaman sekarang ini. Maka daripada itu, umat Islam harus bisa menyesuaikan jihad dengan perkembangan zaman agar tidak dilecehkan dari agama lain atau non muslim.
Dari latar belakang tersebut, disini penulis akan menjelaskan sebuah makalah yang berjudul tentang Jihad Sebagai Jalan Hidup yang mana makalah ini sudah kami ringkas sedemikian rupa agar mudah untuk dipahami dan mudah untuk dimengerti guna mendapatkan ilmu yang bermanfaat bersama.


BAB II
PEMBAHASAN
JIHAD SEBAGAI JALAN HIDUP


A.    HADIST NABI TENTANG JIHAD



Artinya: “Diriwayatkan dari Ka’ab ibn Malik RA. Ia berkata, Nabi SAW. bersabda: “Sesungguhnya orang beriman itu berjihad dengan pedang dan lidahnya.”(HR. Ahmad).











Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Saidai-Khudri, ia berkata, bahwa sanya Rasulullah SAW. bersabda:”Maukah anda kuberitahukan sebaik-baik dan sejahat-jahad manusia? Sesungguhnya sebaik-baiknya manusia adalah yang beramal (berjihad) di jalan Allah diatas punggung kudanya atau diatas punggung untanya yang berjalan kaki sampai menemuhi kematianya. Dan sesungguhnya sejahat-jahat manusia adalah seseorang pendosa yang membaca Al-Qur’an, tetapi bacaanya ia tidak mampu membuatnya ia sadar.” (HR. Ahmad).



B.     SUMBER RIWAYAT
Adapun sumber riwayat hadist pertama tersebut di atas yang menerima dan terlibat dengan Rasulullah SAW. adalah Ka’bah ibn Malik. Nama lengkapnya adalah Abu Abd ar-Rahman Ka’ab ibn Malik ibn Abi Ka’ab ‘amr. Ia tinggal dan menetap di Madinah. Wafat di Syam pada tahun 51 H.[1]
Sumber riwayat hadist kedua diatas adalah Abu Said al-Khudri. Nama lengkapnya adalah Sa’ad ibn Malik ibn Sinan al-Khzraji al-Anshari. Ia lebih populer dengan nama Abu Said al-Khudri. Ia termasuk diantara sahabat Nabi SAW. yang terkenal banyak meriwatkan hadist, dia di urutan ketujuh diantara tujuh sahabat yang terbanyak meriwatkan hadist.[2]
Ia meriwayatkan 1.170 hadis, 46 hadis disepakati Bukhari dan Muslim. 16 hadis diriwayatkan oleh Bukhari sendiri saja dan 52 hadis diriwayatkan oleh Muslim sendiri saja. Setelah Rasulullah SAW. wafat,  Abu Said hidup selama sekitar 64 tahun sehingga mempunyai banyak kesempatan untuk mencari dan menerima hadist-hadist dari para sesama sahabat dan menyampaikannya kepada orang lain. Abu Said turut serta berperan bersama-sama dengan Nabi SAW. sebanyak  12 kali.
Peperangan yang pertama kali ia ikuti adalah peperangan Khandak yang terjadi pada bulan Syawal tahun IV H. Ia terkenal sebagai seorang pemberani dalam perang dan juga dalam mengemukakan kebenaran. Ia sangat dihargai dan  dihormati oleh para sesama sahabat dan tabi’in. Abu Said al-Khudri wafat di Madinah pada tahun 74 H (693 M) dalam usia 86 tahun.[3]

C.    TAKHRIJUL HADIST
Hadist tersebut diatas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya  pada hadist no. 15358 dan 26633. Selain itu, Ahmad juga meriwayatkan dengan susunan redaksi yang agak sedikit berbeda, yaitu pada hadist no. 15369. Hadist yang dimaksud adalah:


Artinya: “Sesungguhnya orang yang beriman itu berjihad dengan diri dan hartanya”.

Hadist yang senada juga diriwayatkan pada hadist no. 11141 dan 11428. Demikian juga terdapat dalam Shahih al-Bukhari pada hadist no. 2786, Shahih Muslim pada hadist no. 1888 dan Sunan Abu Daud pada hadist no. 2485.[4]

D.    ASBAB AL-WURUD
Adapun latar belakang yang menyebabkan lahirnya hadist pertama yang  bersumber dari Ka’ab ibn Malik di atas adalah sebagaimana diriwayatkan dari Ka’ab ibn Malik, katanya: “Ketika turun ayat Asy-Syu’ara yang berbunyi seperti dibawah ini:

âä!#tyè±9$#ur ãNßgãèÎ7®Ktƒ tb¼ãr$tóø9$# ÇËËÍÈ

Artinya: “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.” (Q.S. Asy-Syu’ara: 224).[5]
Dan aku mendatangi Rasulullah SAW. dan aku tanyakan, bagaimana pendapat Anda tentang Syair? Beliau menjawab: “Sesungguhnya orang beriman itu berjihad dengan pedang dan lidahnya.” Dalam riwayat lain disebutkan setelah menyabdakan hadist tersebut diatas, beliau menyambungnya dengan mengatakan: “Demi Zat yang jiwaku terletak dalam genggaman-Nya, dan mereka (para penyair) memercikan jihad bagaikan anak panah yang terleps dari busurnya.[6]
Dan hadist  kedua diatas yang  bersumber dari Abu Said al-Khudri disabdakan oleh Nabi SAW. ketika  dalam perang Tabuk. Beliau menyampaikan khutbahnya dalam perang Tabuk sambil beliau bersandar ke sebuah pohon kurma. Disaat itulah beliau bersabda: “Maukah kalian kuberitahu sebaik-baik dan sejahat-jahatnya manusia? Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah seseorang yang beramal atau berjihad di jalan Allah diatas punggung kudanya, atau diatas punggung untanya atau ia berjalan kaki sampai menemui kematiannya. Dan sejahat-jahat manusia adalah seseorang pendusta yang melakukan kejahatan yang membaca Al-Qur’an, namun bacaanya tidak mampu membuatnya ia sadar.[7]
E.     FIQHUL HADIST
Jihad yang  dikemukakan dalam hadist diatas adalah sebagian dari cara-cara dan alat-alat atau sarana yang digunakan dalam berjihad, yaitu dengan menggunakan pedang, lidah, kendaraan kuda, unta atau berjalan kaki. Peralatan dan sarana perang dalam berjihad seperti ini yang disabdakan oleh Nabi SAW. berdasarkan  konteks situasi dan kondisi pada waktu itu. Nabi SAW. menyebut  jihad dengan pedang dan lidah sebagai respon dan sikap terhadap upaya yang dilakukan orang-orang kafir Quraisy  dalam mempengaruhi dan memperbanyak masa dan pengikutnya dengan mengendalkan pda kekuatan syair-syair yang memukau tapi menyesatkan.
Sementara dalam waktu dan situasi yang berbeda, misalnya situasi perang, seperti ketika perang Tabuk, Nabi SAW. menyebut  lagi bahwa dalam berjihad itu adalah dengan menggunakan sarana kuda, unta atau dengan berjalan kaki. Dalam hadist lain, diriwayatkan imam Ahmad juga bersumber dari Ka’ab ibn Malik, Nabi SAW. tidak menyebut pedang, tapi berjihad dengan diri dan harta yang Artinya: “Sesungguhnya orang yang beriman itu berjihad dengan diri dan hartanya”.
Dengan demikian, jelas bahwa latar belakang historis lahirnya kedua hadist diatas, pada intinya mengemukakan bahwa jihad merupakan suatu sikap dan tindakan dari seorang yang beriman bahwa Nabi SAW. menyebutkan sebagai manusia berpredikat terbaik. Dan jihad ini akan berlaku sepanjang zaman karena jihad merupakan penopang dan pengawal bendera Islam.[8]
Akan tetapi, suatu hal yang patut dicatat adalah bahwa sarana dan peralatan yang digunakan dlaam berjihad diatas adalah sesuatu yang sifatnya kondisional sehingga bisa berubah-ubah sesuai dengan perubahan tuntunan zaman dan perkembangan kemajuan. Yang tidak bisa berubah adalah tujuan pokok dan utama dalam berjihad itu, yaitu memberantas kezaliman, kesewenang-wenangan, dan menegakan kebenaran dan keadilan.
Sungguh amat keliru penilaian dan pemahaman, jika jihad dalam Islam itu selalu diidentikan dengan kontak senjata atau perang fisik, seperti menghembus pedang sebagai lambang dan simbol kekerasan. Nabi SAW. selama mengembangkan misi ke Nabiannya dan kerasulannya di Mekkah lebih dari 10 tahun tidak pernah melakukan kontak senjata dengan orang-orang kafir dan non muslim lainnya.
Bahkan ketika orang-orang musyrik  mengadakan tekanan dan penyiksaan terhadap umat Islam. Umat Islam berupaya menghadapi kekejaman tersebut tidak dengan perang. Nabi SAW. bersabda  kepada para sahabatnya Artinya: “Bersabarlah kalian, sebab aku belum diperintahkan berperang”.
Perintah berjihad terhadap orang-orang kafir itu adalah dengan menggunakan Al-Qur’an, yaitu menyampaikan ajaran Al-Qur’an dengan interpretasi dan informasi rasional atau pendekatan-pendekatan lainnya yang dapat menarik perhatian dan simpatik kepada Islam. Nanti setelah Madinah baru ada perintah perang kontak senjata yaitu pada tahun 2 H. Hal ini  dilakukan mengingat dalam doktrin Islam dikenal prinsip merusak agama jauh lebih berat dari pada membunuh.
Penilaian dan pandangan bahwa jihad dalam Islam itu identik dengan kontak senjata dan perang fisik semata adalah sangat keliru, dan pandangan seperti ini umumnya dilakukan berdasarkan atau paling tidak karena sudah dilakukan berdasarkan terkontaminasi oleh pemikiran sebagian orientalis, yang menurut mereka Nabi Muhammad SAW. menyebabkan  Islam dengan kitab Al-Qur’an ditangan kirinya dan pedang terhunus di tangan kanannya. Ini adalah pandangan yang sangat memojokan dan menghina Islam.
Sebetulnya, dari kalangan internal umat Islam sendiri dalam memahami hadist-hadist tentang jihad itu sering kali tidak mampu membedakna antara alat atau sarana jihad dan tujuan jihad. Apa yang digunakan oleh Rasulullah SAW.  dalam  berjihad, misalnya dengan pedang itu. Sebab apa yang disebutkan dalam teks hadist diatas hanyalah alat dan sarana saja, sehingga bisa berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan kemajuan, tidak mesti situasi dan kondisi yang mengharuskan menggunakan pedang.
Tentu saja, dalam situasi dan kondisi sekarang, dimana musuh semakin hebat dan peralatan perangnya semakin canggih, maka alat dan sarana yang digunakan dalam berjihad harus dengan alat dan sarana yang lebih maju dan canggih. Misalnya, ikut dan bergabung dengan perang ke medan pertempuran di Afganistan atau Baghdad dengan menggunakan sebilah pedang, golok, clurit, dan peralatan seadanya melawan tentara Amerika dan sekutunya atau ke Palestina melawan Agresor Israel yang menggunakan peralatan perang yang canggih dan modern, adalah tindakan ceroboh dan konyol serta tidak mencerminkan jihad Islam yang sebenarnya, karena Islam sangat memperhatikan kelayakan dan strategi.
Peralatan perang pada zaman Nabi SAW. seperti kuda, unta, pedang, syair, dan lain-lain dalam situasi dan kondisi sekarang ini bisa diganti dengan peralatan perang yang super modern dan canggih, seperti peluru kendali, bom nuklir,  tank, pesawat pembom, dan lain-lain. Oleh karena itu, kita berada pada era informsi dan telekomunikasi, maka penguasaan terhadap jaringan informasi dan telekomunikasi ini adalah suatu tuntutan dan kemestian yang akan dijadiakn sarana dan prasarana  dalam berjihad.
Secara etimologi, kata jihad berasal dari akar kata yang berhuruf j-h-d mengandung arti kekuatan, kemampuan, kesulitan, dan kelelahan. Artinya, dalam berjihad itu membutuhkan kekuatan, baik tenaga, pikiran, maupun harta. Atau bisa juga dipahami bahwa dalam berjihad itu mengandung resiko kesulitan dan kelelahan dalam pelaksanaanya.[9]
Tegasnya, jihad adalah perjuangan secara sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala potensi dlaam berbagai bentuk usaha yang maksimal dalam rangka penerapan ajaran Islam, mempertahankan kebenaran dan keadilan, dan pemberantasan kejahatan dan kezaliman, baik terhadap diri pribadi, maupun dalam ruang lingkup masyarakat lus.[10]
Terminologi jihad ini tidak hanya dalam pengertian peperangan fisik, akan tetapi mencakup segala bentuk aktivitas  dan usaha yang maksimal dalam rangka dakwah Islam, amar ma’ruf ahli mungkar. Dengan kata lain, bahwa lapangan  jihad ini sangat banyak dan luas, seluas dengan aktivitas  kehidupan kita sepanjang dalam upaya memberantas kezaliman, mempertahankan dan menegakan kebenaran dan keadilan.
Termasuk dalam hal ini memberantas korupsi  yang merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi bangsa  dan negara ini adalah termasuk jihad. Dan musuh pun dalam berjihad  tidak hanya berbentuk fisik yang bisa diidentifikasikan secara nyata, akan tetapi justru yang banyak juga adalah yang non fisik. Oleh karena itu, jihad intelektual dengan bermodalkan wawasan dan argumentasi rasional sangat diharapkan, misalnya melalui media cetak, seperti makalah, majalah, bukudan lain-lain, media elektronik, radio, TV, jaringan internet, dan lain-lain.
Oleh karena itu, maka jihad harus berlangsung terus secara berkesinambungan baik dalam situasi aman maupun dalam situsi perang. Oleh karena itulah, ada istilah bahwa tegaknya Islam ini sangat ditentukan oleh kekuatan jihad.
Mengenai keluasan makna dan cakupan jihad ini dikemukakan oleh Ibnu Qayyim, menurutnya bahwa jihad kalau dilihat dari sisi operasionalnya, dapat diklasifikasikan  atas tiga macam, jihad mutlak, jihad hujjah, dan jihat ‘amm (umum). Adapun penjelasan dari ketiga jihad tersebut sebagai berikut:
1.      Jihad mutlak
Jihad mutlak adalah berupa perang melawan musuh di medan pertempuran. Jihad ini mempunyai kriteria tertentu, diantaranya pertempuran itu harus bersifat defensif, memberantas fitkah, mewujudkan perdamaian, kebenaran, dan keadilan.
2.      Jihad hujjah
Jihad hujjah adalah jihad yang dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama non muslim dengan mengemukakan argumentasi yang kuat. Ibnu Taimiyah (728 H/1328 M) menyebut  jihad ini sebagai jihad bi al-ilmi wa al-bayan atau jihad bi al-lisan, yaitu jihad yang memerlukan kemampuan ilmiah yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan sunnah serta ijtihad.
3.      Jihad ‘amm (umum)
Jihad ‘amm (umum) adalah jihad yang mencakup segala aspek kehidupan, baik yang bersifat moral maupun yang bersifat material, terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain di tengah-tengah masyarakat. Jihad seperti ini dapat dilakukan dengan pengorbanan harta, jiwa, tenaga, waktu dan ilmu pengetahuan.



BAB III
KESIMPULAN



Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Secara etimologi, kata jihad berasal dari akar kata yang berhuruf j-h-d mengandung arti kekuatan, kemampuan, kesulitan, dan kelelahan. Artinya, dalam berjihad itu membutuhkan kekuatan, baik tenaga, pikiran, maupun harta. Atau bisa juga dipahami bahwa dalam berjihad itu mengandung resiko kesulitan dan kelelahan dalam pelaksanaanya.
Oleh karena itu, maka jihad harus berlangsung terus secara berkesinambungan baik dalam situasi aman maupun dalam situsi perang. Oleh karena itulah, ada istilah bahwa tegaknya Islam ini sangat ditentukan oleh kekuatan jihad.




DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Al-Wa’ah, 1989).

Wajidi Sayadi, Hadist Tarbawi: Pesan-Pesan Nabi SAW. Tentang Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009).




[1] Wajidi Sayadi, Hadist Tarbawi: Pesan-Pesan Nabi SAW. Tentang Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hal. 105.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid, hal. 106.
[5] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Al-Wa’ah, 1989), hal. 590.
[6] Ibid.
[7] Wajidi Sayadi, Op Cit, hal. 107.
[8] Wajidi Sayadi, Op Cit, hal. 107-108.
[9] Wajidi Sayadi, Op Cit, hal. 110.
[10] Wajidi Sayadi, Log Cit, hal. 111.

0 komentar:

 
Top