BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan sumber penggalian dan pengembangan ajaran Islam. Untuk melakukan penggalian dan
pengembangan dipersyaratkan suatu
kualifikasi dan keyakinan kuat untuk menghasilkan pemahaman yang tepat
mengenai perilaku kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi.
Pengembangan ilmu ekonomi Islam yang bersumber dari al-Qur’an mempunyai peluang yang sama dengan pengembangan
keilmuan lainnya. Sayang, ilmu ini dirasakan tertinggal, walaupun kebutuhan
terhadap suatu sistem ekonomi baru yang lebih menjanjikan kesejahteraan dan
kemaslahatan sudah sangat mendesak.
Sebagai sebuah metodologi, tafsir ekonomi al-Qur’an memberi peluang bagi
pengembangan ilmu ekonomi Islam. Model ini mempunyai tahapan kerja sebagai
berikut: pertama, menginventarisasi ayat-ayat yang terkait dengan permasalahan
ekonomi yang akan dibahas, baik berdasar pada kata kunci maupun pada kandungan
ayat secara umum maupun khusus. Kedua, menafsirkan ayat-ayat tersebut baik
berdasar urutan ayat dalam mushaf atau berdasar urutan turunnya surat. Ketiga,
model penafsiran yang digunakan adalah maodlui dengan corak adabi al-ijtima’i wal-iqtishadiyyah.
Keempat, melakukan konstektualisasi dalam realitas perekonomian
BAB II
PEMBAHASAN
SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)
A. AYAT-AYAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)
Pola konsumsi dan
perilaku produksi menentukan roda perekonomian. Al-Qur’an sebagai sumber ajaran bagi umat Islam memiliki ajaran tentang konsumsi, produksi dan distribusi
disamping aktivitas-aktivitas perekonomian lainnya.
Di antara ayat konsumsi misalnya al-Baqarah: 168, Al-Israa: 26-28, dan An Nahl: 114 yang
berbunyi:
Artinya: “Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 168).
Artinya: “Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. Dan
jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu
harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka Ucapan yang pantas.” (Q.S.
Al-Israa: 26-28).
Berdasarkan
Surat Al-Israa’ diatas, apabila kamu
tidak dapat melaksanakan perintah Allah seperti yang tersebut dalam ayat 26,
Maka Katakanlah kepada mereka perkataan yang baik agar mereka tidak kecewa
lantaran mereka belum mendapat bantuan dari kamu. dalam pada itu kamu berusaha
untuk mendapat rezki (rahmat) dari Tuhanmu, sehingga kamu dapat memberikan
kepada mereka hak-hak mereka. Sedangkan ayat Al-Qur’an yang lainnya seperti di
surat An-Nahl ayat 114 yang berbunyi:
Artinya: “Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu;
dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu Hanya kepada-Nya saja menyembah.”
(Q.S. An-Nahl: 114).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut
terkandung prinsip halal dan baik, tidak diperkenankannya perilaku berlebihan,
pelit, boros, harus seimbang, proporsional dan pertanggung jawaban. Dalam surat lain seperti surat Al-Baqarah: 22, An-Nahl: 5, dan Lukman: 20, yang berbunyi:
Artinya: “Dialah
yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 22).
Artinya: “Dan
dia Telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan
dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan.” (Q.S. An-Nahl:
5).
Artinya: “Tidakkah
kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir
dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah
tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
(Q.S. Lukman: 20).
Ayat-ayat diatas merupakan ayat-ayat produksi yang mengandung ajaran bahwa kegiatan produksi harus memenuhi
kebutuhan masyarakat, menimbulkan kemaslahatan, tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan. Dalam
melakukan kegiatan produksi, Allah juga melarang dengan keras penumpukan harta benda atau barang
kebutuhan pokok pada segelintir orang. Pola distribusi harus mendahulukan aspek prioritas
berdasarkan need assessment.
B. SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)
Dalam Sumber Daya Manusia (SDM) dibagi
menjadi dua bagian yaitu produksi dan konsumsi yang akan dijelaskan sebagai
berikut:
1.
Produksi
Dalam ekonomi Islam,
produksi mempunyai motif kemaslahatan, kebutuhan dan kewajiban. Demikian pula, konsumsi.
Perilaku produksi merupakan usaha seseorang atau kelompok untuk melepaskan dirinya dari kefakiran. Menurut Yusuf Qardhawi
(1995), secara eksternal perilaku produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
setiap individu sehingga dapat membangun kemandirian ummat.
Sedangkan motif
perilakunya adalah keutamaan mencari
nafkah, menjaga semua sumber daya (flora-fauna
dan alam sekitar), dilakukan secara profesional (amanah & itqan) dan berusaha pada sesuatu yang halal. Karena
itu dalam sebuah perusahaan asumsi-asumsi produksi, harus dilakukan untuk
barang halal dengan proses produksi dan pasca produksi yang tidak menimbulkan
ke-madharatan. Semua orang diberikan kebebasan untuk melakukan usaha
produksi.
Dari sudut pandang fungsional, produksi atau
proses pabrikasi (manufacturing) merupakan suatu aktivitas fungsional
yang dilakukan oleh setiap perusahaan untuk menciptakan suatu barang atau jasa
sehingga dapat mencapai nilai tambah (value added). Dari fungsinya itu,
produksi meliputi aktivitas produksi sebagai berikut; apa yang diproduksi,
berapa kuantitas produksi, kapan produksi dilakukan, mengapa suatu produk diproduksi, bagaimana
proses produksi dilakukan dan siapa yang
memproduksi. Berikut akan dijelaskan sekilas mengenai ketujuh aktivitas
produksi.
a)
Apa yang diproduksi
Terdapat dua pertimbangan yang mendasari pilihan jenis dan
macam suatu produk yang akan diproduksi; ada kebutuhan yang harus dipenuhi
masyarakat (primer, sekunder, tertsier) dan ada manfaat
positif bagi perusahan dan masyarakat (harus memenuhi kategori etis dan ekonomi)
b)
Berapa kuantitas yang diproduksi; bergantung kepada motif
dan resiko
Jumlah pruduksi dipengaruhi dua faktor; intern dan ekstern; faktor intern meliputi;
sarana dan prasarana yang dimiliki perusahan, faktor modal, faktor sdm, faktor
sumber daya lainnya. Adapun faktor ekstern meliputi adanya jumlah kebutuhan
masyarakat, kebutuhan ekonomi, market
share yang dimasuki dan dikuasai, pembatasan hukum dan regulasi.
c)
Kapan produksi dilakukan
Penetapan waktu produksi, apakah akan mengatasi kebutuhan eksternal
atau menunggu tingkat kesiapan
perusahaan.
d) Mengapa suatu produk
diproduksi
1)
Alasan ekonomi
2)
Alasan sosial dan kemanusiaan
3)
Alasan politik
e)
Dimana produksi itu dilakukan
1)
Kemudahan memperoleh suplier bahan dan alat-alat produksi
2)
Murahnya sumber-sumber ekonomi
3)
Akses pasar yang efektif dan efisien
4)
Biaya-biaya lainnya yang efisien.
Dengan demikian, masalah barang apa yang harus diproduksi (what),
berapa jumlahnya (how much), bagaimana memproduksi (how), untuk
siapa produksi tersebut (for whom), yang merupakan pertanyaan umum dalam
teori produksi tentu saja merujuk pada motifasi-motifasi Islam dalam produksi.
Seperti
yang sudah dijelaskan pada ayat diats, Lukman: 20, An-Nahl: 5) tampak jelas
Allah menciptakan Sumber Daya Manusia di muka bumi ini hanya untuk manusia
untuk kebutuhannya sehari-hari. Dalam kedua surat di atas, dapat diambil pelajaran
bahwa setelah kita sebagai pelaku ekonomi mengoptimalkan seluruh sumber daya
yang ada di sekitar kita (dalam ayat-ayat diatas; binatang ternak, pegunungan;
tanah perkebunan, lautan dengan kekayaannya, ingat lagi pandangan al-Qur’an
tentang harta benda) sebagai
media untuk kehidupan di dunia ini, lalu kita diarahkan untuk melakukan kebaikan-kebaikan kepada saudara kita, kaum
miskin, kaum kerabat dengan cara yang baik tanpa kikir dan boros.
2.
Konsumsi
Terdapat empat prinsip
utama dalam sistem ekonomi Islam yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an mengenai konsumsi diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Hidup hemat dan tidak
bermewah-mewah artinya, tindakan ekonomi
diperuntukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan hidup (needs) bukan pemuasan keinginan (wants).
b) Implementasi zakat dan mekanismenya pada
tataran Negara. Selain zakat terdapat pula instrumen sejenis yang bersifat
sukarela (voluntary) yaitu infak, shadaqah, wakaf, dan hadiah.
c) Penghapusan Riba. Menjadikan system bagi
hasil dengan instrumen mudharabah dan
musyarakah sebagai pengganti sistem
kredit termasuk bunga.
d) Menjalankan usaha-usaha yang halal, jauh dari
maisir dan gharar; meliputi bahan baku, proses produksi, manajemen, output produksi hingga proses distribusi
dan konsumsi harus dalam kerangka halal.
Dari empat prinsip demikian, terlihat model perilaku
muslim dalam menyikapi harta. Harta bukanlah tujuan, ia hanya sekedar alat
untuk menumpuk pahala demi tercapainya falah (kebahagiaan dunia dan
akhirat). Dengan nilai
amanah itulah manusia dituntut untuk menyikapi harta benda untuk mendapatkannya
dengan cara yang benar, proses yang benar dan pengelolaan dan pengembangan yang
benar pula.
Namun perlu diingat bahwa konsep keperluan dasar dalam
Islam sifatnya tidak statis, artinya keperluan dasar pelaku ekonomi bersifat
dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Pada tingkat
ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu dikonsumsi akibat motifasi keinginan,
pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan.
Dengan demikian parameter yang membedakan definisi kebutuhan dan keinginan tidak bersifat statis, ia bergantung pada
kondisi perekonomian serta ukuran kemashlahatan. Dengan standar kamashlahatan,
konsumsi barang tertentu dapat saja dinilai kurang berkenan ketika sebagian
besar ummat atau masyarakat dalam keadaan susah.
Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa perilaku
ekonomi Islam tidak didominasi oleh nilai alamiah yang dimiliki oleh setiap
individu. Terdapat nilai diluar diri manusia yang kemudian membentuk perilaku
ekonomi. Nilai ini diyakini sebagai tuntunan utama dalam hidup dan kehidupan
manusia.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa Pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu dikonsumsi akibat motifasi
keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi
kebutuhan. Dengan demikian parameter yang membedakan definisi kebutuhan dan
keinginan tidak bersifat statis, ia
bergantung pada kondisi perekonomian serta ukuran kemashlahatan. Dengan standar
kamashlahatan, konsumsi barang tertentu dapat saja dinilai kurang berkenan
ketika sebagian besar ummat atau masyarakat dalam keadaan susah.
Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa
perilaku ekonomi Islam tidak didominasi oleh nilai alamiah yang dimiliki oleh
setiap individu. Terdapat nilai diluar diri manusia yang kemudian membentuk
perilaku ekonomi. Nilai ini diyakini sebagai tuntunan utama dalam hidup dan
kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA