BAB I
PENDAHULUAN

Nabi Muhammad SAW adalah Rosulullah. Beliau yang terbesar dan terakhir, diutus untuk seluruh umat manusia tidak terbatas untuk kelompok tertentu dan sepanjang zaman beliau membawa wahyu bermisi pengkokoh penerus penyempurna wahyu yang dibawa dari Rasul terdahulu.
Penyebaran islam kemudian diteruskan oleh para sahabat, tabiin-tabiin dan para ulama. Pada abad ke 2 H. Allah mentakdirkan lahirnya ulama-ulama besar yang sangat jenius dan seluruh hidupnya diabdikan untuk kepentinganagama semata-mata mencari ridho Allah SWT.
Seperti Imam Abu Hanifah Al Nu’mah Bin Tsabit AL Kuhfi. Penyusun madzhab Imam Hanafi, Imam Malik, Bin Annas Bin Malik Al Madani yang menyusun madzhab Imam Maliki, Imam Muhammad Bin Idris Bin Abbas Bin Usman Bin Syafi’I Bin Syaib Bin Abdi Yazid Bin Hasyim Bin Mutholib Bin Abdi Manaf, yang membangun madzhab Imam Syafi’I, dan Ahmad Bin Muhammad Bin Hanbal Bin Hilal Asy Syaibah Al Marzawi, membangun madzhab imam Hambali.
Empat ulama’ besar itulah yang diyakini . Madzhab 4 dan tidak asing lagi bagi masyarakat islam yang berfaham Ahlussunnah Wal Jama’ah.



BAB II
PEMBAHASAN
POLA ABU HANIFAH AL NU’MAH DALAM BERISINBAT HUKUM




A. MAZHAB HANAFI
Madzhab ini didirikan oleh Abu Hanafiah yang nama lengkapnya Al Nu’mah Bin Tsabit Ibnu Zuthi (80-150 H) dilahirkan di Kufah. Ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah tepatnya pada zaman kekuasaan Abdul Malik Ibnu Makwah.
Pada awalnya, Abu Hanifah adalah seorang pedagang, atas anjuran Al Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fikih kepada ulama’ aliran Irak (Ra’yu) Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yagn belum terdapat dalam Al-Qur’an dan Assunah. Ia banyak mengandalkan Qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.
Dibawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah diantaranya: bahwa perempuan boleh jadi hakim di pengadilan yang tugas khususnya menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Masanya karena perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana. Dengan demikian metode ijtihad yang digunakan adalah Qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai Al Ashl dan menjadikan hukum perempuan sebagai FAR’
Abu Hanifah dan Ulama’ Kufah berpendapat bahwa sholat gerhana dilakukan dua rakaat sebagaimana sholat ID, tidak dilakukan dua kali ruku’ dalam satu rakaat.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalamannya dalam masalah politik. Karena dimasa hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan Kholifah Bani Abbasiyah yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antara kedua masalah tersebut.
Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya yang menyebarkan ke masyarakat luas. Namun, kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan bukunya, maka itulah salah satu ciri khas Fiqih Hanafiah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama’ fiqih yang hidup di masanya.

Ulama’ Hanafiah menyusun kitab-kitab fiqih diantaranya sebagai berikut ini:
1. Jami’ Al-Fusholal
2. Dharak Al-Hukkum
3. Kitab Al-Fiqih Dalam Qowaid Altigh dan lain-lain.

B. DASAR-DASAR MADZHAB HANAFI
1. Al –Qur’anul Karim
2. Sunnah Rasul dan Atsar yang shoheh lagi mansyur
3. Fatwa Sahabat
4. Qiyas
5. Istihsan
6. Adat dan Uruf Masyarakat.

Murid-murid Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran -pemikirannya adalah ”Imam Abu Yusuf Al Anshakg. ” Ia belajar hadist. Imam Muhammad Bin Al Hasan Al Syaibani dan lain-lain sebagainya.

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan berbagai penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa perbedaan pendapat dikalangan umat islam bukanlah suatu fenomena baru, tetapi semenjak masa islam yagn paling dini perbedaan pendapat itu sudah terjadi. Perbedaan pendapat terjadi adanya ciri dan pandangan yang berbeda dari setiap madzhab dalam memahami islam sebagai kebenaran yang satu. Untuk itu kita selaku umat islam harus selalu bersikap terbuka dan arif dalam memandang serta memahami arti perbedaan, hingga satu titik kesimpulan bahwa berbeda itu tidak identik dengan bertentangan, selama perbedaan itu bergerak menuju kebenaran dan islam adalah satu dalam keragaman.
Perbedaan pendapat dikalangan umat ini, sampai kapanpun dan ditempat manapun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukan kedinamisan umat islam. Karena pola pikir manusia terus berkembang, perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan madzhab-madzhab islam yang masih menjadi pegangan orang islam sampai sekarang.
Masing-masing madzhab tersebut memiliki pokok –pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan yang berbeda pula, termasuk diantaranya adalah pandangan-pandangan terhadap kedudukan Al-Qur’an dan Assunah.

DAFTAR PUSTAKA



 Abu Sulaiman, Abdul Wahib Ibrahim Alfikr Al Ushul Jedah 1983
 DRA. Siti Nurjanah M.g. Aswaja dan ke Nuan 2008
 Hasan M.Ali. Perbandingan madzhab fiqih ,jakarta: 1997
 Sulaiman Rasid, Fiqih Al-Islam. 1984
 Yanggo, Huzaen Tahido, pengantar perbandingan madzhab, Jakarta: 2003.


ANAK BERKELAINAN METAL SUBNORMAL (TUNAGRAHITA)



A. PENGANTAR
Sesuai dengan fungsinya, mental (kecerdasan) bagi manusia merupakan pelengkap kehidupan yang paling sempurna sebab kecerdasan adalah satu-satunya pembenar yang menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lain yang ada di bumi ini.
Sepanjang waktu selama manusia beraktivitas, ia akan melibatkan mental sebagai pengendali motorik tubuh dalam beraktivitas. Oleh sebab itu, kelainan atau gangguan alat sensoris ini pada seseorang (mental subnormal), berarti ia telah kehilangan sebagian besar kemampuan untuk mengabstraksi peristiwa yang ada di lingkungannya secara akurat.
Berat dan ringannya dampak pengiring akibat kelainan mental subnormal (tunagrahita) tergantung gradasinya. Dengan kata lain, makin berat gradasi ketunagrahitaan yang diderita seseorang, makin kompleks dampak pengiring yang menyertainya.

B. PENGERTIAN ANAK TUNAGRAHITA
Istilah anak berkelainan mental subnormal dalam beberapa referensi disebut pula dengan terbelakang mental, lemah ingatan, febleminded,mental subnormal, tunagrahita. Seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (dibawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya. (Bratanata, 1979).
Penafsiran yang salah seringkali terjadi di Masyarakat awam bahwa keadaan kelainan mental subnormal atau tunagrahita dianggap seperti suatu penyakit sehingga dengan memasukan ke lembaga pendidikan atau perawatan khusus, anak diharapkan dapat normal kembali.
Dalam kasus tertentu memang ada anak normal menyerupai keadaan anak tunagrahita jika dilihat selintas, tetapi setelah ia mendapatkan perawatan atau terapi tertentu, perlahan-lahan tanda-tanda ketunagrahitaan yang tampak sebelumnya berangsur-angsur hilang dan menjadi normal kembali.
Ada beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan kasus Pseudofeeble minded, yaitu (1) gangguan emosi pada kanak-kanak sehingga menghambat perkembangan kognitifnya, (2) keadaan lingkungan kurang baik dan tidak memberikan perangsang pada kecerdasan anak sehingga perkembangan kognitifnya terhambat.
Rendahnya rehabilitas mental pada anak tunagrahita akan berpengaruh tehadap kemampuannya untuk menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Hendeschee memberikan batasan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang tidak cukup daya pikirnya, tidak dapat hidup dengan kekuatan sendiri di tempat sederhana dalam masyarakat.
Edgar Doll berpendapat seseorang dikatakan tunagrahita jika: (1) secara sosial tidak cakap, (2) secara mental di bawah normal, (3) kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usi muda, dan (4) kematangannya terhambat (Kirk, 1970).

C. KLASIFIKASI ANAK TUNAGRAHITA
Berbagai cara digunakan oleh para ahli dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita. Berikut ini akan diuraikan klasifikasi menurut tinjauan profesi dokter, pekerja sosial, psikolog, dan pedagog. Seseorang dokter dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada tipe kelainan fisiknya, seperti tipe mongoloid, microcepbalon, cretinism, dan lain-lain.
Anak tuna grahita mampu didik (debil) adalah anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal.
Anak tunagrahita mampu latih (imbecil) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukan bagi anak tunagrahita mampu didik. Oleh karena itu, beberapa kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang perlu di berdayakan yaitu:
1. Belajar mengurus diri sendiri, misalnya makan, pakaian, tidur, atau mandi sendiri
2. Belajar menyesuaikan di lingkungan rumah atau sekitarnya
3. Mempelajari kegunaan ekonomi di rumah, di bengkel kerja atau di lembaga khusus.
Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu latih berarti anak tunagrahita hanya dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari, serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut kemampuannya.
Anak tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan yang sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang lain.
D. ETIOLOGI ANAK TUNAGRAHITA
Menelaah sebab terjadinya ketunagrahitaan pada seseorang menurut kurun waktu terjandinya, yaitu dibawa sejak lahir (faktor endogen) dan faktor dari luar seperti penyakit atau keadaan lainnya (faktor eksogen).
Kirk (1970) berpendapat bahwa ketunagrahitaan karena faktor endogen, yaitu faktor ketidaksempurnaan psikolobiologis dalam memindahkan gen. sedangkan faktor eksogen, yaitu faktor yang terjadi akibat perubahan patologis dari perkembangan normal. Dari sisi pertumbuhan dan perkembangan, penyebab ketunagrahitaan menurut Devenport dapat dirinci melalui jenjang berikut: (1) Kelainan atau ketunaan yang timbul pada benih plasma, (2) kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama penyuburan telur, (3) kelainan atau ketunaan yang dikaitkan dengan implantasi, (4) Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam embrio, (5) Kelainan atau ketunaan yang timbul dari luka saat kelahiran, (6) Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam janin dan (7) Kelainan atau ketunaan yang timbul pada masa bayi dan masa kanak-kanak.
Selain sebab-sebab diatas, ketunagrahitaan pun dapat terjadi karena: (1) Radang otak, (2) Gangguan Fisiologis, (3) Faktor Hereditas, dan (4) Pengaruh kebudayaan. Radang otak merupakan kerusakan pada area otak tertentu yang terjadi saat kelahiran. Radang otak ini terjadi karena adanya pendarahan dalam otak. Pada kasus yang ekstrem, peradangan akibat pendarahan menyebabkan gangguan motorik dan mental.
Sebab-sebab yang pasti sekitar pendarahan yang terjadi dalam otak belum dapat diketahui. Hidrocepbalon misalnya, keadaan Hidrocepbalon diduga karena peradangan otak. Gejala yang tampak pada Hidrocepbalon yaitu membesarnya tengkorak kepala disebabkan makin bertambahnya cairan cerebrospinal. Tekanan yang terjadi pada otak menyebabkan kemunduran fungsi otak. Demikian pula dengan cerebral anoxia, yakni kekurangan oksigen dalam otak dan menyebabkan otak tidak berfungsi dengan baik tanpa adanya oksigen yang cukup.
Penyakit-penyakit infeksi lainnya yang menjadi penyebab ketunagrahitaan, seperti, measles, scarlet fever, manigitis, encepbalitis, diphteria, dan cacat dapat menjadi penyebab terjadinya peradangan otak.
Gangguan fisiologis berasal dari virus yang dapat menyebabkan ketunagrahitaan di antaranya rubella (campak jerman). Virus ini sangat berbahaya dan berpengaruh sangat besar pada tri semester pertama saat ibu mengandung, sebab akan memberi peluang timbulnya keadaan ketunagrahitaan terhadap bayi yang dikandungnya. Selain rubella, bentuk gangguan fisiologis lain adalah rbesus factor, mongoloid (penampakan fisik mirip keturunan orang mongol) sebagai akibat gangguan genetik, dan cretinisme atau kerdil sebagai akibat dari gangguan kelenjar tiroid.
Faktor hereditas atau keturunan diduga sebagai penyebab terjadinya ketunagrahitaan masih sulit untuk dipastikan kontribusinya sebab, para ahli sendiri mempunyai formulasi yang berbeda-beda mengenai keturunan sebagai penyebab ketunagrahitaan.
Kirk (1970) misalnya, memberikan estimasi bahwa 80-90% keturunan memberikan sumbangan terhadap terjadinya tunagrahita. Bandingkan dengan estimasi para ahli lain seperti yang termuat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.1
Kontribusi Keturunan terhadap Terjadinya Tunagrahita
NO
TAHUN NAMA AHLI PERSENTASE
1 1914 Goddard 77
2 1920 Hollingswoth 90
3 1929 Tregold 80
4 1931 Larson 76
5 1934 Doll 30
6 1934 Penros 29

Faktor kebudayaan adalah faktor yang berkaitan dengan segenap perikehidupan lingkungan psikososial. Dalam beberapa abad faktor kebudayaan sebagai penyebab ketunagrahitaan sempat menjadi masalah yang kontroversial. Di satu sisi, faktor kebudayaan memang mempunyai sumbangan positif dalam membangun kemampuan psikofisik dan psikososial anak secara baik, namun apabila faktor-faktor tersebut tidak berperan dengan baik, tidak menutup kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan psikofisik dan psikososial anak. Conotoh kasus anak idiot yang ditemukan di Itard dari hutan Aveyron, ataupun anak yang ditemukan hidup di antara serigala di India seperti yang ditulis oleh Arnold Gesel. Walaupun anak tersebut kemudian dirawat dan mendapatkan intervensi pendidikan secara ekstrem, ternyata tidak mampu membuatnya menjadi manusia normal kembali seperti dahulu.
Faktor etiologi biomedik sebagai penyebab ketunagrahitaan menurut Kenner, yakni 6,4% akibat trauma lahir dan anoxia prenatal, 35,61% akibat faktor genetik, 6,2% akibat penyakit infeksi prenatal, 5,0% akibat infeksi otak setelah lahir, dan 2,0% lainnya adalah lahir prematur.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di Inggris dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat, prevalensi anak tunagrahita berdasarkan tingkat sosial ekonomi dan kebudayaan tempat anak berasal dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut ini.

Tabel 4.2
Estimasi Anak Tunagrahita per1.000 Anak Usia Sekolah di Inggris
No Kelas dalam Masyarakat Mampu Rawat Mampu Latih Mampu Didik Lambat Belajar
1
2
3 Rendah
Menengah
Tinggi 1
1
1 4
4
4 50
25
10 300
170
50

Tabel 4.2 memberikan gambaran secara kuantitas frekuensi anak tunagrahita lahir dari keluarga kelas tinggi, menengah, dan rendah dalam jenis dan jenjang berbeda. Makin tinggi kelas, makin sedikit frekuensinya. Kelas dalam masyarakat tinggi diasumsikan layanan kesehatan psikofisik dapat dipenuhi dengan baik, serta dapat menekan tumbuhnya kelainan dalam kecerdasan rendah yang lebih besar (faktor eksternal).

E. DAMPAK KETUNAGRAHITAAN
Kecerdasan yang dimiliki seseorang, di samping menggambarkan kesanggupan secara mental seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap situasi dan kondisi yang baru, atau kesanggupan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional dalam menghadapi lingkungan secara efektif, juga sebagai kesanggupan untuk belajar dan berpikir secara abstrak.
Teori kecerdasan berasumsi bahwa kecerdasan bukanlah suatu unsur yang beraspek tunggal, melainkan terdiri berbagai unsur atau kemampuan, yaitu kemampuan yang bersifat umum dan kemampuan yang bersifat khusus. Kemampuan umum yang dimaksud adalah rangkuman dari berbagai kemampuan pada bidang tertentu, sedangkan kemampuan khusus adalah kemampuan yang dimiliki pada bidang-bidang tertentu, seperti kemampuan berhitung, bahasa, pengamatan ruang, dan lain-lain. Pada umumnya kecerdasan itu sendiri hanya menunjuk pada kemampuan umum. Oleh karena itu, kelemahan kecerdasan di samping berakibat pada kelemahan fungsi kognitif, juga berpengaruh pada sikap dan keterampilan lainnya.
Pada dasarnya anak yang memiliki kemampuan kecerdasan di bawah rata-rata normal atau tunagrahita menunjukan kecenderungan rendah pada fungsi umum kecenderungannya, sehingga banyak hal menurur persepsi orang normal dianggap wajar terjadi akibat dari suatu proses tertentu, namun tidak demikian hanya menurut persepsi anak yang mempunyai kecerdasan sangat rendah. Hal-hal yang dianggap wajar oleh orang normal, barangkali dianggap sesuatu yang sangat mengherankan oleh anak tunagrahita. Semua itu terjadi karena keterbatasan fungsi kognitif anak tunagrahita.
Fungsi kognitif adalah kemampuan seseorang untuk mengenal atau memperoleh pengetahuan. Oleh sebab itu, meskipun usia kalender anak tunagrahita sama dengan anak normal, namun prestasi yang diraih akan berbeda dengan anak yang normal. Dalam berbagai studi diketahui bahwa ketidakmampuan anak tunagrahita meraih prestasi yang lebih baik dan sejajar dengan anak normal, karena kesetiaan ingatan anak tunagrahita sangat lemah dibandingkan dengan anak normal. Maka tidak heren, jika instruksi yang diberikan kepada anak tunagrahita cenderung tidak melalui proses analisis kognitif, seperti yang dikemukakan oleh Mussen, dkk.
Akibatnya, anak tunagrahita jika dihadapkan pada persoalan yang membutuhkan proses pemanggilan kembali pengalaman atau peristiwa yang lalu, seringkali mengalami kesulitan. Seseorang yang mempunyai tingkat kecenderungan normal, perkembangan kognitifnya menurut Piaget akan melewati periode atau tahapan perkembangan sebagai berikut:

1. Periode Sensorimotor (0-2 tahun)
Periode ini ditandai dengan penggunaan sensomotorik dalam pengamatan dan penginderaan yang intensif terhadap dunia sekitarnya.

2. Periode Praoperasional (2-7 tahun)
Periode Praoperasional terbagi dalam dua tahapan yaitu: (1) Periode Prekonseptual (2-4 tahun), (2) Periode Intuitif (4-7 tahun).

3. Periode Operasional Konkret (7-11/12 tahun)
Periode ini ditandai dengan tiga kemampuan dan kecakapan baru yakni mengklasifikasikan, menyusun, dan mengasosiasikan angka-angka atau bilangan. Dalam periode ini pula anak mulai mengkonservasi pengetahuan tertentu.
4. Periode Operasional Formal (11/12-13/14)
Periode ini ditandai dengan kemampuan anak untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terkait lagi dengan objek yang bersifat konkret.
Perangkat yang digunakan untuk mengukur derajat ketunagrahitaan seseorang dapat dilakukan dengan memberikan berbagai macam tes kecerdasan, dalam hal ini yang umum digunakan ialah stanford-binnet dan revise wescbler interlegence scale for children (WISC-R). materinya meliputi (menyusun balok, mengatur warna, menggambar dengan kertas dan pensil, dan tes verbal [tes perbendaharaan kata] ).
Untuk menentukan tingkat ketunagrahitaan secara akurat bukanlah hal yang mudah, sebab diperlukan informasi lengkap dari beberapa ahli dalam hal ini melalui team appreach yang didalamnya melibatkan berbagai profesionalis seperti psikolog, psikiater, neurolog, pekerja sosial, dan orthopedagog.
Kesimpulannya, keterlambatan perkembangan kognitif pada anak tunagrahita menjadi masalah besar bagi anak tunagrahita ketika meniti tugas perkembangannya. Beberap hambatan yang tampak pada anak tunagrahita dari segi kognitif dan sekaligus menjadi karakteristiknya yaitu sebagai berikut:

1. Cenderung memiliki kemampuan berpikir konkret dan sukar berpikir.
2. Mengalami kesulitan dalam konsentrasi
3. Kemampuan sosialisasinya terbatas
4. Tidak mampu menyimpan instruksi yang sulit
5. Kurang mampu menganalisis dan menilai kejadian yang dihadapi.
6. Pada tunagrahita mampu didik, prestasi tertinggi bidang baca, tulis, hitung tidak lebih dari anak normal setingkat kelas III-IV Sekolah Dasar.

F. KEMAMPUAN BAHASA DAN BICARA ANAK TUNAGRAHITA
Eisenson dan Ogilvie (1963) pernah meneliti untuk mencari hubungan antara tingkat kecerdasan dengan kemampuan bahasa dan bicara. Hasilnya dapat dibuktikan bahwa antara tingkat kecerdasan dengan kematangan bahasa dan bicara mempunyai hubungan yang positif (dalam Tarigan 1980).
Dengan menyimak hasil penelitian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan sebagai salah satu potensi yang dimiliki oleh setiap individu ternyata mempunyai nilai strategis dalam memberikan sumbangan untuk meningkatkan perolehan bahasa dan kecakapan bicara, disamping pengaruh faktor eksternal yang lain seperti latihan, pendidikan, dan stimulasi lingkungan. Untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara pada anak normal barangkali tidak banyak menemui hambatan yang berartiu, karena mereka dapat dengan mudah memanfaatkan potensi psikofisik dalam perolehan kosakata sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan bicara.
Pada anak tunagrahita agak berat (mampu latih) kegagalan melakukan apersepsi terhadap suatu peristiwa bahasa, kerapkali diikuti gangguan artikulasi bicara. Untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita secara maksimal , tentunya perlu upaya dan strategi khusus.Satu hal yang perlu dipahami bagi guru langkah yang pertama sebelum mengajarkan hal-hal yang lebih besar, sedapatnya diajarkan untuk menyebutkan namanya.
Apabila penguasaan kosakata sudah baik, dapat dilanjutkan dengan memperkenalkan benda di lingkungan sekitarnya, seperti delman, sungai, mobil, sepeda, dan lain-lain atau dapat pula di bantu dengan cerita bergambar yang sederhana, seraya menyuruh anak untuk melengkapi kata yang kita tanyakan, sperti mobil itu berwarna……………………………….., kaki kuda itu ada ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, dan seterusnya.
Selain melalui upaya-upaya diatas, upaya lain untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita, yaitu model pembelajaran yang membawa anak tunagrahita dalam situasi yang wajar dan alamiah. Untuk pengembangan bahasa dan bicara pada anak tunagrahita ada kemungkinan guru atau pembimbing mengalami kesulitan sebab di antara mereka mengalami beberapa kelainan, antara lain artikulasi, arus ujar, nada suara, atau afasia sensoris dan afasia motoris (Patton, 1991).

G. PENYESUAIAN SOSIAL ANAK TUNAGRAHITA
Ketika seseorang anak lahir , hampir sama sekali tidak berdaya dan sangat tergantung pada orang lain, khususnya orang yang mengasuhnya. Ketergantungan anak dengan pengasuhannya sangat beralasan karena langsung atau tidak telah terjadi hubungan fisik dan psikis antara anak dan pengasuh (ibunya). Pada anak normal dalam melewati setiap tahapan perkembangan sosial dapat berjalan seiring dengan tingkat usianya.
Beberapa studi menunjukan bahwa terlambatnya sosialisasi anak tunagrahita ada hubungannya dengan taraf kecerdasannya yang sangat rendah. Indikasi keterlambatan anak tunagrahita dalam bidang sosial umumnya terjadi karena hal-hal berikut:
1. Kurangnya kesempatan yang diberikan pada anak tunagrahita untuk melakukan sosialisasi.
2. Kekurangan motivasi untuk melakukan sosialisasi
3. Kekurangan bimbingan untuk melakukan sosialisasi.
Kecerdasan dalam berbagai referensi disebutkan sebagai salah satu faktor yang memberikan sumbangan relatif besar dalam penyesuaian seseorang terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Kesimpulannya , semakin efektif kesanggupan seseorang untuk melakukan penyesuaian diri secara mental terhadap situasi dan kondisi yang baru di lingkungannya maka semakin tinggi derajat kecerdasan yang dimilikinya.
Perlakuan orang lain yang kurang wajar terhadap anak tunagrahita, atau lemahnya konsistensi anak tunagrahita terhadap tujuan, menjadi salah satu penyebab anak tunagrahita mudah di pengaruhi (sugestible) untuk berbuat hal-hal yang jelek. Walaupun demikian , ternyata banyak juga anak tunagrahita yang mampu atau dapat mencapai penyesuaian sosial yang baik, tetapi belum maksimal sebagaimana anak seusianya.

H. MODIFIKASI PERILAKU ANAK TUNAGRAHITA
Keterbatasan daya pikir yang dimiliki anak tunagrahita menyebabkan mereka sulit mengontrol, apakah perilaku yang ditampakan dalam aktivitas sehari-hari wajar atau tidak wajar (menurut ukutan normal), baik perilaku yang berlebihan maupun perilaku yang kurang serasi. Dalam memberikan terapi perilaku pada anak tunagrahita seseorang terapis harus memiliki sikap sebagaimana yang di persyaratkan dalam pendidikan humanistik, yaitu penerimaan secara hangat, antusias tinggi, ketulusan dan kesungguhan, serta menaruh empati yang tinggi terhadap kondisi anak tunagrahita.
Pada dasarnya paradigma yang digunakan sebagai dasar terapi perilaku berasal dari penelitian laboratorium. Namun demikian, tetap memerhatikan prinsip-prinsip psikologis untuk menghindari kesan bahwa terapi perilaku pada anak tunagrahita sangat mekanistis.
Modifikasi perilaku bagi anak yang mampu latih dalam penerapannya harus selalu dibawah pengawasan orang lain, misalnya program perawatan diri sendiri. Apabila dalam pelaksanaannya mereka mampu memahami dan melakukan dengan baik, dapat diberikan penguat, baik penguat primer yang berupa makanan atau minuman atau penguat sosial seperti senyuman, perhatian persetujuan, dan lain-lain.
Jenis terapi perilaku yang dapat dilakukan untuk anak tunaggrahita, yaitu melalui kegiatan bermain (kegiatan fisik dan / atau psikis yang dilakukan tidak dengan sungguh-sungguh). Tetapi permainan yang diperuntukan bagi anak tunagrahita bukan sembarang permainan, tetapi permainan yang memiliki muatan antara lain:

1. Setiap permainan hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda
2. Sosok permainan yang diberikan tidak terlalu sukar untuk dicerna anak tunagrahita .

Beberapa nilai yang penting dari bermain bagi perkembangan anak tunagrahita antara lain sebagai berikut:
1. Pengembangan Fungsi Fisik
2. Pengembangan Sensomotorik
3. Pengembangan Daya Khayal
4. Pembinaan Pribadi
5. Pengembangan Sosialisasi
6. Pengembangan Intelektual
Beberapa model permainan yang menekankan pada pengembangan kecerdasan dan motorik halus yang cenderung bersifat individual, antara lain sebagai berikut:
1. Latihan menuangkan air
Menuangkan air memang bukan suatu pekerjaan yang mudah bagi anak tunagrahita apalagi kalau diharuskan tidak boleh tertetes air di sekitarnya.
2. Bermain pasir
Selain bermain air, latihan menuang dapat pula dengan pasir kering. Botol dan panci sebagai tempat menuangkan air, dan pasir ke ember.
3. Bermain tanah liat
Pertama kali anak tunagrahita bermain tanah liat, barangkali kegiatan yang dilakukan hanya mengepal-ngepal saja
4. Latihan Melipat
Untuk anak normal latihan meliputi melipat bukan hal yang sulit, namun bagi anak tunagrahita melipat perlu diajarkan terdiri sebab merupakan latihan yang tidak mudah.
5. Latihan menyobek
Untuk latihan ini anak harus menggunakan kedua tangannya, dimulai menyobek menjadi bagian-bagian besar hingga bagian yang sekecil-kecilnya. Hasil sobekan kertas kecil-kecil tersebut selanjutnya dapat di gunakan untuk membuat rumah, pohon, gunung dan lain-lain. Dengan cara menempelkan di kertas yang masih utuh.
Model-model permainan yang disajikan di atas sebenarnya merupakan contoh kecil yang dapat dilakukan oleh anak tunagrahita sebagai bagaian dari terapi perilaku. Model permainan lain yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan anak tunagrahita yaitu bermain yang mengandung unsur olah raga.
Misalnya, berjalan diatas bangku, berjalan dengan beban dan tanpa beban di kepala melewati titian garis atau tali dengan posisi lurus, melengkung, dan bulat. Latihan lain yangg menggunakan alat misalnya mendribel bola, menendang bola, melempar bola, dan menangkap bola, berlari memindahkan bendera, dan lain-lain sebagainya.


BAB I
PEMBAHASAN


1. LEMBAGA-LEMBAGA YANG BOLEH BEROBAH
Lembaga sosial berfungsi mengujudkan kebudayaan. Realisasi berlangsung dengan pengamalan. Agar perbuatan itu mencapai tujuannya, maka lembaga mentukan norma, yaitu mempolakan laku perbuatan untuk diterima bersama oleh anggota masyarakat. Telah dibahas bahwa fungsi kebudayaan ialah membina kehidupan dunia. Untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia, sekularisma menaklukan kebudayaan seluruhnya di bawah wewenang akal. Berbeda dengan skularisme islam mengajarkan kemutlakan tuhan dan kenisbian manusia, karena itu salam tidak akan mungkin diujudkan di dunia hanya dengan dersetupu pada akal. Ini telah terbukti dalam perjalanan sejarah manusia sampai dewasa ini. Salam hanya dapat dibina kalau manusia. Menundukan diri pada naqal. Berdasarkan naqal itulah akal dapat mengusahakan jalan-jalan untuk mencapai salam. Hal ini bermakna “bagaimana ajaran (prinsip atau asas) kebudayaan ?”, mesti ditanya kepada naqol. Tapi bagaimana melaksanakan naqol, itu di serahkan kepada akal.
Kerena jalan- jalan peleksanaan merupakan wewenang akal, bermakna akal berweang membentuk lembaga-lembaga sosial berdasarkan ajran-ajaran kebudayaan yang ditentukan tuhan. Lembaga-lembaga sosial yang dibentuk akal itu bertugas menghadapi dunia.tiap masyarakat lebih tahu tentang suasana dan keadaan ruanng dan waktunya, karena itu membentuk lembaga-lembaga sosial yang sesuai. Dalam perjalanan waktu ia mengalami perobahan, dalam perbandingan suatu ruang dengan ruang lain, ia mengenal perbedaan. Adapun lembaga sosial tidak termasuk ke dalam dien, karena itu ia boleh berubah. Karena itu dinamikanya dapat membawa masyarakat islam kepada perobahan atau kemajuan dan statikannya dapat membekukan masyarakat itu ke dalam tradisi atau kemunduran. Tetapi berobah itu tidak, maju atau mundur, ajaran kebudayaan yang berasal dari dien bertahan tetap. Sekalipun dunia (pelaksanaan prinsip-prinsip kebudayaan) di serahkan kepada akal, ada pembatas-pembatasan tertentu daripada naqal dalam perkara-perkara dunia itu, karena yang maha tahu apa-apa yang akan merusakan hambaNya. Karena itulah perkara dunia dapat berobah-obah “semuanya boleh, selain dari pada yang terlarang”. Kebali kita kepada “Pola Ajaran Dan Amal Islam” untuk meninjau lembaga-lembaga sosial yang boleh berobah itu :
• Ijtihad, lembaga berfikir. Ijtihad sebagai berfikir islam, merujuk kepada naqal dan dikawal oleh mantik. Penambahan ilmu pengetahuan dan pengalaman dan makin telitinya logika dapat membawa kepada hasil ijtihad yang berbeda.
• Fikih, putusan tentang hukum islam. Putusan itu dilakukan dengan metode ijtihad. Perbedaan ijtihad membawa kepada perbedaan fikih, makaterbentuklah mazab-mazab (Syafi’I, Hambali, Maliki, Syi’ah).
• Ahlak, lembaga nilai-nilai laku perbuatan terhadap tuhan dan manusia, terhadap diri sendiri, dan mahluk lain.
• Lembaga pergaulan masyarakat (sosial), terdiri atas berbagai lembaga dalam bidang pergaulan masyarakat.
• Lembaga ekonomi, terdiri atas berbagai lembaga dalam bidang ekonomi.
• Lembaga politik, terdiri atas berbagai lembaga dalam bidang politik
• Lembaga pengetahuan dan teknik, terdiri atas berbagai lembaga dalam bidang pengetahuan dan kerja dengan alat.
• Lembaga seni, terdiri atas berbagai lembaga dalam bidang seni.
• Lembaga negara, terdiri atas berbagai lembaga dalam kenegaraan.

Di dalam ajaran (prinsip, asas, nilai asas) yang serba tetap, lembaga-lembaga sosial itu dapat berubah,karena perobahan norma-normanya. Lembaga-lembaga sosial buru mungkin pula lahir karena timbulnya keperluan-keperluan baru. Baik perobahan lembaga-lembaga atau pembentukan lembaga-lembaga baru mengenai kehidupsn dunia selalu ia mesti takluk kepada syari’at : semuanya boleh kecuali yang dilarang oleh syari’at.

2. PEROBAHAN SOSIO-BUDAYA YANG SESUAI DAN YANG BERLAWANAN.
Apa yang ditentukan oleh allah adalah “dien”, dien itu serba tetap, tidak boleh berobah . ia sejenis dengan hukum alam. Hukum alam dan dien itu adalah sunatullah. Apa yanng diubah olh muslim adalah “dunia” cara amalan dan pelaksanaan sosio-budaya). Dengan demikian sosio-budaya yang sesuai dengan islam adalah perubahan amal dan cara pelaksanaan. Dan perubahan itu diputuskan dengan metode ijtihad. Perobahan yang berlawanan dengan islam ialah perubahan prinsip atau asas (ajaran) daripada lembaga-lembaga sosial. Dan perobahan itu diputuskan oleh metode bukan ijtihad. Islam sebagai dien adalah universal, serba tetap dan tidak terikat oleh ruang dan waktu, karena ia diuntukan untuk umat Nabi Muhammad. Dengan demikian adalah suatu keharusan bagi umat islam untuk menterjemahkan islam sebagai dien dalam kehidupan sosio-budayanya. Cara pelaksanaan prinsip dan asas kebudayaan itu adalah penterjemahan tiap ruang dan waktu tentang dien yang universal itu.

3. HUBUNGAN PEROBAHAN SOSIAL DENGAN KEBUDAYAAN
Perobahan kebudayaan meliputi pola-pola kebudayaan sejagat, termasuk bentuk dan organisasi sosial. Perobahan itu menyangkut perobahan nilai. Pergantian unsur lama dengan unsur yang baru bermakna pergantian nilai. Misalnya, grobak yang ditarik oleh tenaga hewan diganti dengan kereta yang di tarik tenaga mesin, perobahan unsur-unsur kebudayaan membawa perobahan norma-norma untuk mengujudkan keperluan-keperluan tertentu dalam bidang kebudayaan. Perobahan norma membawa kepada perobahan lembaga-lembaga sosial. Perobahan kebudayaan dapat merubah kebudayaan sosial. Perobahan ekonomi pertanian kepada industri membawa perobahan organisasi sosial. Perobahan unsur seni misalnya, seperri : waynng kulit diganti oleh wayang golek, perobahan makanan (jagung diganti dengan beras), perobahan perumahan (arsitektur tradisional diganti dengan arsitektur moderen), perobahan bahasa (logat daerah diganti oleh bahaasa nasional), perobahan unsur-unsur kebudayaan tidak berpengaruh pada sistem hubungan dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari- hari sukar untuk menarik batas antara perobahan sosial dan budaya, karena batas kebudayaan antara masyarakat dan kebudayaan amat kabur. Kebudayaan mengandung pola-cita dan sosial mengandung pola laku. Kalo diumpamakan kebudayaan itu otak, adalah sosial tangan.
Otak berfikir tangan menjalankan apa yang difikirkan.perobahan fikiran mungkin tidak menyatakan dari pada tangan. Perobahan-perobahan diatas ternyata tidak mempengaruhi lembaga-lembaga dan sistem sosial. Tetapi perobahan sosial didahului oleh perobahan kebudayaan. Perobahan lembaga pendidikan agama kepada lembaga pendidikan sekular terjadi karena perobahan masyarakat islam kepada masyarakat muslim. Pada orang Minangkabau yang beradat garis-ibu yang menetap di kota-kota besar diluar Minangkabau, dalam praktik mengamalkan sistem garis-ayah, karena perobahan cara hidup agraris dikampung kepada cara hidup industri di kota. Penerimaan lembaga pendidikan sekularisme oleh umat islam terjadi karena perobahan cara hidup mereka yanng mengarah pada sekularisma.

4. PEROBAHAN AGAMA TANPA PEROBAHAN KEBUDAYAAN
Kajian tentang sejarah Islamisasi di kepulauan Nusantara memberikan kesimpulan yang pertama dan utama Islamisasi adalah agama. Agama Hindu (Budha) Nusantara digantikan oleh islam. Islamisasi aspek kebudayaan yang seyogyanya menyusul banyak mendapat halangan, terutama perjuangan terhadap penjajah barat, selanjutnya oleh politik penjajahan, disamping daya tahan tradisionalisma. Agama islam diterima, tetapi cara hidup masyarakat tetap takluk kepada adat, yang diwarisi generasi ke generasi semenjak sebelum islam datang.dengan menerima islam sebagai agama, tetapi tanpa menerima konsepsi Islam tentang kebudayaan atau menyelaraskan kebudayaan yang selama ini di amalkan dengan prinsip atau kebudayaan islam, maka yang terjadi hanyalah perobahan agama. Dan tidak berlangsung perobahan cara berfikir dan merasa atau cara hidup.

Sementara itu penjajah barat menumbuhkan kota-kota untuk jadi pusat adminitrasi dan Sosio-ekonominya. Alkuturasi kota-kota nusantara dengan kebudayaan barat yang sekularisma menumbuhkan kebudayaan barat yang sekularisma di kota-kota itu.maka umat Islam yang hidup di kota-kota itu menerima agama islam tetapi mengamalkan secara hidup sekularisma. Apabila kita pakai peristilahan fardhu’ain dan fardhu kifayah, umat islam di Nusantara mengamalkan fardhu ‘ain menurut konsep islam, tetapi fardhu kifayahnya putus daripada islam. Jadi lembaga-lembaga sosial di desa mengandung norma dan nilai dari adat dan yang di kota mengandung norma dan nilai dari barat.
Dalam kontak umat islam dengan bangsa barat yang menguasai atau menjajah mereka, banyak umatislam menerima unsur-unsur kebudayaan atau cara-cara barat, yang bagi umat islam adalah baru. Karena itu banyak menimbulkan perobahan di kalangan umat islam, terutama di kota-kota.dalam kontak dengan barat itu agama islam bertahan utuh. Perobahan perpangkal dari pada yang baru. Daerah perubahan masyarakat terbagi dua, yaitu : wilayah inti dan wilayah tepi. Yang pertama ialah sumber penyebab perobahan masyarakat. Yang kedua daerah yang mengalami perubahan secara merembes dari wilayah inti. Dalam gerak perobahan sosio-ekonomi didunia sekarang ini adalah wilayah inti-intinya negara barat yang sudah maju dengan kebudayaan industrinya. Dan negri-negri umat islam merupakan daerah tepi perobahan itu. Negri-negri umat islam sebagai negri berkembang merupakan wilayah tepi perobahan teknik,mengalami perobahan mental dan psikologi serta revolusi sosio-ekonomi.

5. EVOLUSI SOSIAL
Perobahan sosial dapat dibagi 6 bentuk, yaitu :
1. Evolusi sosial
2. Revolusi sosial
3. Perobahan berpengaruh kecil
4. perobahan berpengaruh besar
5. perobahan yang dikehendaki
6. perobahan yang tidak dikehendaki

Evolusi sosial mengandung urutan perobahan-perobahan kecil, yang satu disusul oleh yang lain dengan lambat dalam jarak watu yang panjang, perobahan terjadi dengan sendirnya tanpa kehendak tertentu atau rencana tertentu.perobahan itu berlangsung karena tindakan-tindakan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluannya, dengan suasana dan keadaan, yang timbul karena perkembangan masyarakat. Evolusi adalah perkembangan yang bertingkat-tingkat, terjadi kerena adanya kerja sama yang selarasantara manusia dan linkungannya.


Ada tiga bentuk evolusi, yaitu :
• Evolusi kosmik, evolusi dalam bentuk pertumbuhan, perkembangan bahkan kemunduran hidup manusia.
• Evolusi organik, terutama dalam bentuk manusia mempertahankan hidup.
• Evolusi mental, yang pertama dipersoalkan dalam perobahan sosial, sebagai akibat perobahan teknik, dan perobahan kebudayaan.

Pembicaraan kita tumpukan kepada bentuk evolusi yang ketiga. Misal evolusi mental yang disebabkan oleh perobahan teknik ialah apa yang diakibatkan oleh perobahan alat pengangkutan daripada yang yang mempergunakan tenaga hewan kepada tenaga mesin. Akulturasi dengan kebudayaan Barat yang bersifat materialisme (sebagian salah satu ciri sekularisme), menimbulkan banyak keperluan kebendaan pada masyarakat Muslim, sehingga berlangsung gerak sosial kepada sekularisma dalam masa yang panjang, kira-kira 200 tahun yang terakhir ini.








BAB II
KESIMPULAN


 Lembaga sosial berfungsi mengujudkan kebudayaan. Realisasi berlangsung dengan pengamalan.

 Perobahan sosial dapat dibagi 6 bentuk, yaitu :
• Evolusi sosial
• Revolusi sosial
• Perobahan berpengaruh kecil
• perobahan berpengaruh besar
• perobahan yang dikehendaki
• perobahan yang tidak dikehendaki

 Ada tiga bentuk evolusi, yaitu :
• Evolusi kosmik, evolusi dalam bentuk pertumbuhan, perkembangan bahkan kemunduran hidup manusia.
• Evolusi organik, terutama dalam bentuk manusia mempertahankan hidup.
• Evolusi mental, yang pertama dipersoalkan dalam perobahan sosial, sebagai akibat perobahan teknik, dan perobahan kebudayaan.

DAFTAR PUSTAKA



• Buku Pendidikan Sosial Dan Budaya Islam

• Ting Chew peh, Konsep Asas Sosiologi, (kuala lumpur: Dew. Bahasa Dan Pustak, 1979), h.35




BAB I
PENDAHULUAN


Terbentuknya Negara Indonesia di latarbelakangi oleh perjuangan seluruh bangsa. Terbukti setelah perjuangan Bangsa tercapai, dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ancaman dan gangguan dari dalam juga timbul, dari yang bersifat kegiatan fisik sampai yang ideologis. Untuk itu, di perlukan upaya dalam membina dan mengembangkan Ketahanan Nasional.

Beberapa hal penting yang mempengaruhi ketahanan Nasional yaitu HAM, Demokrasi, dan Lingkungan Hidup. Permasalahan tersebut telah merupakan suatu isu global sehingga semua Negara termasuk Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari persoalan tersebut. Namun, permasalahan tersebut merupakan suatu kendala bagi suatu Negara yagn sedang berkembang seperti Negara Indonesia ini.

BAB II
PEMBAHASAN


A. PENGARUH HAM, DEMOKRASI DAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP KETAHANAN NASIONAL.
Ketahanan Nasional di berbagai bidang di pengaruhi oleh masalah-masalah yang terkait dengan isu dan aktivitas hidup yang sering diasosiasikan dengan permasalahan HAM, Demokrasi, dan lingkungan hidup. Terlebih dahulu dalam pengaturan dalam pengantar ini akan di jelaskan secara singkat beberapa pengertian HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup.

1. Hak Asasi Manusia (HAM)
Pengertian hak asasi manusia di bawah ini di ambil dari rumusan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
a. Hak Asasi Manusia
Adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib di hormati, di junjung tinggi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

b. Kewajiban Dasar Manusia
Adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak di mungkinkan terlaksana dan tegaknya Hak Asasi Manusi.
c. Diskriminasi
Adalah setiap pembatasan-pembatasan atau pengucilan yang langsung atau tidak langsung di dasarkan kepada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
d. Penyiksaan
Adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau dari seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk alasan yang di dasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut di timbulkan oleh atas hasutan dari atau dengan persetujuan atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.
e. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik yang di sengaja atau tidak di sengaja maupun kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang di jamin oleh Undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Pada era keterbukaan sekarang ini isu HAM sering dijadikan sebagai alasan untuk menekan suatu negara bahkan mengucilkannya dair hubungan dengan negara-negara lain. Oleh karenanya penindasan HAM disuatu daerah tertentu di wilayah suatu negara akan menjadi bahan pembicaraan internasional bahkan untuk menentukan suatu keputusan politik tertentu. Indonesia sebagai negara hukum juga telah mencantumkan penghargaan terhadap hak-hak asasi tersebut sejak didirikanya negara ini. Lebih awal di bandingkan saat Indonesia mengikuti organisasi dunia, PBB, yang kemudian meratifikasi perundangan tentang HAM secara internasional yaitu Declaration Of Human Right pada tahun 1948. Hal ini terlihat dalam pasal-pasal UUD 1945 sebagaimana di tulis Kaelan (1999:183285) antara lain:

1) Hak Atas Kebebasan Untuk Mengeluarkan Pendapat
Hak ini termuat pada pasal 18 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya di tetapkan dengan UU. Konsep penghargaan kepada warga negara ini sesuai dengan Pasal 19 Declaration Of Human Right yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga tidak memandang batas-batas. Ini sesuai juga dengan Convenant on Civil and Political Right Pasal 19.

2) Hak Atas Kedudukan Yang Sama Di Dalam Hukum
UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) menyatakan : segala warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Di dalam Declaration Of Human Right pasal 7 disebutkan: sekalian orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama degan tak ada perbedaan. Sekalian orang berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan yang memperkosa pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang di tunjukan kepada perbedaan semacam ini. Pernyataan ini juga didukung Convenant on Civil and Political Right Pasal 26.

3) Hak Atas Kebebasan Berkumpul
Pasal 28 UUD 1945 menyatakan: kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Di dalam Declaration Of Human Right pasal 20 ditulis:
(1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berapat.
(2) Tiada seseorang jua pun dapat dipaksakan memasuki salah satu perkumpulan.
4) Hak Atas Kebebasan Beragama
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 memuat: Ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.
Declaration Of Human Right pasal 18 menyebutkan: setiap orang berhak atas kebebasan pikiran keinsyafan batin dan agamany, dalam hal ini termasuk kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkanya, melakukanya, beribadat dan menepatinya. Baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri.

5) Hak Atas Penghidupan Yang Layak
Undan-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2: tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 34 : Fakir miskin dan orang-orang terlantar dipelihara oleh negara.
Diatas beberapa hal terkait dengan penghargaan HAM yang telah tercantum dalam perundangan Republik Indonesia. Secara khusus bangsa Indonesia telah merumuskan perundangan tentang HAM yang dimasukkan dalam amandemen Kedua UUD 1945 Tahun 2000 yang termuat dalam pasal 28 ayat (2) yang diuraikan menjadi 10 ayat (UUD 1945 setelah Amandemen Kedua Tahun 2000).
Hak Asasi Manusia dengan demikian sudah hal yang dihormati baik secara praktis maupun teoritis. Secara formal penghargaan akan hak asasi manusia jelas sudah di undangkan dalam konstitusi Indonesia. Meskipun demikian hal yang harus tetap diperhatikan adalah pada pelaksanaan penghargaan atas hak-hak tersebut. Meskipun demikian, hal yang harus tetap diperhatikan adalah pada pelaksanaan penghargaan atas hak-hak tersebut. Hal tersebut perlu ditekankan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia masih sering dijadikan isu politik yang memojokan.
Terlepas dari adanya permainan politik dalam rangka konspirasi internasional, yang jelas permasalahan ini menyita perhatian pemerintah dan seluruh masyarakat untuk tetap menghargai dan menegakannya. Satu permasalahan lagi adalah adanya beberapa hambatan yang antara lain terkait dengan ciri sosio-Kultural bangsa Indonesia yaitu budaya paternalistik, budayanya loyalitas, kesadaran hukum yang kurang dan masih jauhnya kesenjangan antara teori dan prakteknya (Riswahyono, 2000:15-16).

2. Demokrasi
Secara etimologi demokrasi berasal dari bahasa Yunani, Demos yang berarti rakyat dan Cratos yang berarti kekuasaan atau berkuasa, sehingga demokrasi secara asal katanya berarti rakyat berkuasa. Atau secara umum makna demokrasi di artikan pemerintahan rakyat. Menurut Mac Pherson dalam The Real World Of Democracy, dikatakan bahwa dalam pemerintahan ini rakyat sangat memegang peranan dan lebih berfungsi sebagai subjek pemerintahan dari pada hanya sebagai objek.
Demokrasi di simpulkansecara singkat adalah seperangkat gagasan dan prinsip kebebasan, disamping termasuk di dalamnya praktek dan prosedurnya yang berjalan terus. Demokrasi juga mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dan bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan sebagai manusia yang mandiri yang dapat dengan ketentuan tertentu menyampaikan pendapatnya secara bermatabat pula. Hal ini tentu saja penting karena negara demokrasi seperti Indonesia adalah juga negara hukum yang mempunyai ketentuan perundangan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraanya (Pokja Ipoldagri, 1999:4-6).
Selanjutnya, disebutkan bahwa demokrasi mengandung nilai-nilai antara lain :
1) Adanya pengakuan adanya perbedaan-perbedaan di masyarakat baik dalam hal kenyataan objektif, pendapat, maupun kepentingan.
2) Atas dasar kenyataan tersebut maka perlu adanya cara penyelesaian terhadap kepentingan-kepentingan yang berbeda tersebut dengan cara damai, tertib, adil dan beradab.
Dengan demikian di dalam demokrasi terkandung kepentingan individual, kelompok, dan publik atau masyarakat umum. Tentu saja oleh karenanya latar belakang sosial budaya masyarakat akan sangat menentukan bagaimana proses demokrasi berlangsung. Tentu saja akan berbeda penghargaan terhadap individu atau kelompok atau masyarakat, karena ada masyarakat yang sangat menekankan kebebasan individu dan ada pula yang sebaliknya. Bagi bangsa Indonesia, faktor keseimbangan dalam melihat pentingnya indinvidu sebagai unsur masyarakat dan masyarakat hanya akan ada karena ada individu. Keduanya dianggap sebagai dua entitas yang berhubungan. Oleh karenanya hubungan serasi keduanya diharapkan terus berlangsung secara fungsional.
Secara umum (universal) demokrasi sering di cirikan dengan adanya unsur-unsur di bawah ini yang disebut soko guru demokrasi:
1) Kedaulatan Rakyat
2) Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang di perintah
3) Kekuasaan Mayoritas
4) Diakuinya Hak-hak minoritas
5) Jaminan terhadap hak asasi manusia
6) Pemilihan yang bebas dan jujur
7) Persamaan di depan hukum
8) Pembatasan pemerintahan secara konstitusional
9) Pluralisasi sosial, ekonomi, dan politik
10) Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat.

Didalam prakteknya diharapkan jiwa demokrasi akan dapat dilaksanakan selaras degan jiwa falsafah dan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Oleh karenanya, konsepsi demokrasi di Indonesia sering di sebut dengan Demokrasi Pancasila. Yaitu wajah demokrasi sebagaimana yang secara umum dipahami tetapi dalam pelaksanaannya tetap dalam kerangka nilai-nilai falsafah bangsa.

3. Lingkungan Hidup
Pengertian lingkungan hidup adalah semua kondisi yang ada di sekitar manusia, hewan maupun tumbuhan dan benda lainya. Lingkungan hidup merupakan suatu ekosistem yang saling berhubungan. Bila tejadi ketidak beresan di antara unsur penyusunan ekosistem tersebut maka ketidak seimbangan akan terjadi. Ketidak seimbangan dalam ekosistem akan berakibat terganggunya unsur ekosistem yang lain.
Kegiatan yang dilakukan manusia dapat menyebabkan kerusakan dan penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan hidup. Misalnya pengrusakan lingkungan karena nafsu manusia untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis. Oleh karena itu, maka penataan terhadap kegiatan yang berakibat pada rusaknya lingkungan harus dilakukan. Pembangunan yang berkelanjutan menjadi istilah dan semboyan yang berisi tekad bangsa-bangsa di dunia untuk mengurangi kerusakan lingkungan maupun rencana tindakanya yang tercantum dalam deklarasi Agenda 21 Rio (1992). Semangat ini diteruskan secara nasional dengan peraturan perundangan mengenai pengelolaan lingkungan, yaitu undang-undang No. 23/1997 yang kemudian dilanjutkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 42/1994 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan. Perundangan ini diteruskan ke daerah demi pelaksanaan pengelolaan lingkungan dan terselenggaranya pembangunan yang berkesinambungan dan sehat lingkungan (Pranoto, 2000:10).
Beberapa perundangan sebagaimana ditunjukan di atas menunjukan perhatian pemerintah dan negara Indonesia umumnya terhadap pembangunan yang peduli terhadap kelangsungan lingkungan. Meskipun secara hukum sudah di undangkan, tetapi di dalam pelaksanaannya masih perlu diperhatikan. Hal ini bisa dilihat dari perbuatan merusak lingkungan yang di sinyalir dilakukan oleh para peladang berpindah dan juga pengusaha industri hutan. Kerusakan lingkungan hutan yang juga mengganggu lingkungan pemukiman bahkan sampai negara lain seperti kasus pembakaran hutan juga menjadi isu internasional yang dapat memojokan negara seperti politis. Kekurangan perhatian terhadap tata kota, tata lokasi permukiman serta kesadaran penduduk dalam mengelola sampah lingkungan juga sering menimbulkan masalah daerah dan bahkan bencana.
Demikian, peranan tiga hal penting yaitu HAM, Demokrasi, dan Lingkungan Hidup yang sering menjadi isu strategis dalam hubungan internasional. Sedikit banyak tentu saja hal tersebut mempengaruhi kualitas ketahanan nasional di berbagai bidang.
Pada era reformasi dewasa ini permasalahan HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup sangat mempengaruhi upaya bangsa Indonesia dalam membina dan mengembangkan ketahanan nasional. Permasalahan tersebut telah merupakan suatu isu global sehingga semua negara termasuk negara Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari persoalan tersebut. Namun, demikian yang merupakan suatu kendala bagi suatu negara yang sedang berkembang seperti Indonesia adalah bagaimana ketiga isu tersebut tidak menjadi alat wacana negara-negara adidaya untuk melakukan tekanan terhadap negara-negara yang tidak sesuai dengan visi negara adidaya tersebut. Misalnya isu tentang HAM di Indonesia, banyak negara-negara besar yang oleh karena kepentingan politiknya senantiasa mengakan tekanan terhadap Indonesia, dengan memberikan bantuan politis maupun dana terhadap lembaga-lembaga masyarakat ayng melakukan tekanan politik terhadap pemerintah Indonesia, sehingga konsekuensinya dapat melemahkan ideologi dan ketahanan nasional di Indonesia.





BAB III
KESIMPULAN



Terbentuknya Negara Indonesia di latarbelakangi oleh perjuangan seluruh bangsa. Terbukti setelah perjuangan Bangsa tercapai, dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ancaman dan gangguan dari dalam juga timbul, dari yang bersifat kegiatan fisik sampai yang ideologis. Untuk itu, di perlukan upaya dalam membina dan mengembangkan Ketahanan Nasional.

Beberapa hal penting yang mempengaruhi ketahanan Nasional yaitu HAM, Demokrasi, dan Lingkungan Hidup. Permasalahan tersebut telah merupakan suatu isu global sehingga semua Negara termasuk Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari persoalan tersebut. Namun, permasalahan tersebut merupakan suatu kendala bagi suatu Negara yagn sedang berkembang seperti Negara Indonesia ini.



DAFTAR PUSTAKA




Brady, Laure. (1985). Models and Methods of Teaching. Australia: Prentice-Hall of Australia Pty Ltd.

Depdiknas. (1998/1999). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti.

Duska Ronald, Whelan Marielen. (1997). Moral Development Aguide to Piaget and Kohlberg. New York: Gill and Macmillan.


BAB I
PEMBAHASAN



A. Sejarah Ahlul Halli Wal ‘Aqdi
Pada tahun 1376 H (1956 M), tiga tahun setelah diumumkan adanya Hizbullah berbentuk Jama’ah, diadakan musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi yang pertama, 15-18 Jumadil Awal 1376 (18-21 Desember 1956 M), di jalan Menteng Raya 58 Jakarta. Musyawarah tersebut tidak dilakukan melalui muktamar atau kongres, tetapi semaksimal mungkin mengikuti jejak yang telah dilakukan para pemimpin muslimin dahulu, dengan landasan Al-Qur`anul Karim.Sekelompok orang yang memilih imam atau kepala negara sesekali dinamkan ahlul halli wal ‘aqdi, sesekali ahlul ijtihad dan sesekali ahlul ikhtiyar. Ahlul al-halli wa al-‘aqd ( baca Ahlul Halli wal ‘aqdi ) diartikan dengan “orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat”. Istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqih untuk sebutan bagi orang-orang yang berhak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka. Tafsir Al-Manar menyatakan bahwa Ulil Amri itu adalah Ahlul Halli wal ‘Aqdi yaitu orang-orang yang mendapat kepercayaan umat.

• Sifat-Sifat Ahlul Halli Wal ‘Aqdi.
Sifat-sifat Ahlul Halli wal ‘Aqdi menurut elaborasi fiqih dapat ditetapkan pada tiga golongan :
1. Faqih yang mampu menemukan penyelesaian terhadap masalah-masalah yang muncul dengan memakai metode ijtihad.
2. Orang yang berpengalaman dalam urusan-urusan rakyat.
3. Orang yang melaksanakan kepemimpinan sebagai kepala keluarga, suku, atau golongan.

B. Pendapat Beberapa Para Ahli.
1. An-Nawawi dalam Al-Minhaj Ahl Halli waal ‘Aqd adalah para ulama, para kepala, para pemuka masyarakat sebagai unsur-unsur masyarakat yang berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat.
2. Muhammad Abduh menyamakan ahl al-hall wa al’aqd dengan ulil amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat al-Nisa ayat 59 yang menyatakan : “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah, dan taatilah Rasul ( Nya ) dan ulil amri di antara kamu”. Ia menafsirkan ulil amri atau ahl al-hall wa al-‘aqd sebagai kumpulan orang dari berbagai profesi dan keahlian yang ada dalam masyarakat. Abduh menyatakan yang dimaksud dengan ulil amri adalah “Golongan ahl al-hall wa al-‘aqd dari kalangan orang-orang muslim. Mereka itu adalah para amir, para hakim, para ulama, para militer, dan semua penguasa dan pemimpin yang dijadikan rujukan oleh umat dalam masalah kebutuhan dan kemaslahatan publik” lebih lanjut ia menjelaskan apabila mereka sepakat atas suatau urusan stau hukum maka umat wajib mentaatinya dengan syarat mereka itu adalah orang-orang muslim dan tidak melanggar perintah Allah dan Sunnah Rasul yang mutawatir.
3. Rasyid Ridha juga berpendapat ulil amri adalah al-hall wa al-‘aqd. Ia menyatakan “kumpulan ulil amri dan mereka yang disebut ahl al-hall wa al-‘aqd adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari umat yang terdiri dari para ulama, para pemimpin militer, para pemimpin pekerja untuk kemaslahatan publik seperti pedagang, tukang, petani, para pemimpin perusahaan, para pemimpin partai politik dan para tokoh wartawan”.
4. Al-Razi juga menyamakan pengertian antara ahl al-hall wa al-‘aqd dan ulil amri yaitu para pemimpin dan penguasa.
5. Al-Maraghi rumusannya sama seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.


C. Syarat Kecakapan Ahlul Halli Wal ‘Aqd.
Al-Qadhi Aby Ya’la telah menetapkan beberapa syarat kecakapan bagi ahlul halli wal ‘aqd :
1. Syarat moral ( akhlak ) yaitu keadilan. Ia merupakan derajat keistiqamahan yang menjadikan pemiliknya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam hal amanah dan kejujurannya.
2. Ilmu yang dapat mengantarkannya mengetahui dengan baik orang yang pantas menduduki jabatan imamah. Baik ilmu teoritis, kebudayaan, wawasan dan khususnya wawasan kefiqihan perundang-undangan.
3. Lebih dekat kepada persyaratan pengetahuan politik dan kemasyarakatan.
Ahlul Halli wal ‘aqdi bisa terdiri dari ulama, panglima perang dan para pemimpin kemaslahatan umum. Seperti pemimpin perdagangan, perindustrian, pertanian. Termasuk juga para pemimpin buruh, partai, para pemimpin redaksi surat kabar yang islami dan para pelopor kemerdekaan.

D. Tugas Dari Ahlul Halli Wal ‘Aqdi.
Tugas dari ahlul halli wal ‘aqdi antara lain memilih khalifah, imam, kepala negara secara langsung. Karena itu ahlul halli wal ‘aqdi juga disebut oleh Al-Mawardi sebagai ahl al-ikhtiyar ( golongan yang berhak memilih ). Peranan golongan ini sangat penting untuk memilih salah seorang di antara ahl al-imamah ( golongan yang berhak dipilih ) untuk menjadi khalifah. Ahlul halli wal ‘aqdi ialah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberi kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena ikhlas, konsekwen, takwa, adil, dan kecermelangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Di samping punya hak pilih, menurut Ridha adalah menjatuhkan khalifah jika terdapat hal-hal yang mengharuskan pemecatannya. Al-Mawardi juga berpendapat jika kepala negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan agama, rakyat dan ahl al-hall wa al-‘aqd berhak untuk menyampaikan “mosi tidak percaya” kepadanya.
Sejauh ini belum ditemui penjelasan tentang hak-hak lain ahl al-hall wa al-‘aqd seperti pembatasan kekuasaan khilafah, mekanisme pembentukan lembaga itu, hak kontrol dan sebagainya. Apalagi ahl al-hall wa al-‘aqd, sekalipun mereka mewakili rakyat, menurut Rasyid Ridha, tidak identik dengan parlemen di zaman modern yang memiliki kekuasaan legislatif dan berhak membatasi kekuasaan kepala negara melalui undang-undang. Sementara khalifah adalah kepala negara yang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

E. Peranan Dan Manfaat Ahlul Halli Wal ‘Aqdi.
Peranan ahlul halli wal ‘aqdi di indonesia dari segi fungsionalnya, sama seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) yaitu sebagai lembaga tertinggi negara dan perwakilan yang personal-personalnya merupakan wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat dalam pemilu dan salah satu tugasnya ialah memilih presiden ( sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan ). Namun dalam beberapa segi lain antara ahlul halli wal ‘aqdi dan MPR tidak identik. Manfaat dari ahlul halli wal ‘aqdi sangatlah penting yaitu untuk menjaga keamana dan pertahanan serta urusan lain yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.


BAB II
KESIMPULAN



K esimpulan
• Sekelompok orang yang memilih imam atau kepala negara dinamakan Ahlul Halli wal ‘Aqdi.
• Sifat-sifat Ahlul Halli wal ‘aqdi, yaitu :
• Faqih yang mampu menemukan penyelesaian terhadap masalah-masalah yang muncul dengan memakai metode ijtihad.
• Orang yang berpengalaman dalam urusan-urusan rakyat.
• Orang yang melaksanakan kepemimpinan sebagai kepala keluarga, suku, atau golongan.
• Tugas dari Ahlul Halli wal ‘Aqd, yaitu :
• Memilih khalifah, imam, kepala negara secara langsung.
• Menjatuhkan khalifah jika terdapat hal-hal yang mengharuskan pemecatannya.
• Manfaat dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi yaitu untuk menjaga keamanan dan pertahanan serta urusan lain yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.
• Cara menetapkan ahlu halli wal ‘aqdi adalah suatu perkara yang diserahkan kepada kebijaksanaan setiap masa-masa dan negeri.

DAFTAR PUSTAKA




• Sistem Pemerintahan dalam persepektif Islam, Prof. Muhammad Al-Mubarak.
• Fiqih Siyasah, Sejarah dan Pemikiran, Dr. j. Suyuthi Pulungan M.A, Raja Grafindo Persada, Jakarta : 1994.
• Masalah-masalah Teori Politik Islam, Mumtaz ahmad ( ED ).
• Teori Pemerintahan Islam menurut Ibnu aimiyah, Khalid Ibrahim Jindan.
• Tafsir Al-Mizan, Syamsuri Rifaa’i, Agustus, 1991 mengupas ayat-ayat kepemimpinan.
• Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar.
• Tafsir Fakhr al-Razi, Jilid V, Muhammad Al-Razi Fakhr al-Din bin Dhiya al-Din Umar.
• Tafsir al-Maraghi Jilid V, Ahmad Mushthafa al-Maraghi.


BAB I
PEMBAHASAN


A. TATA KAWALAN SOSIAL
Kawalan sosial, ada pula yang menyebut pengendalian sosial atau kontrol sosial (social control) mempunyai pengertian khusus dan pengertian umum. Pengertian pertama ialah pengawasan masyarakat terhadap jalannya pemerintah, tentunya terhadap pemerintah dan alat-alatnya. Pengertian kedua mencakup segala proses direncanakan atau tidak yang bersifat mendidik, mengajak atau memaksa anggota-anggota masyarakat untuk menaati norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Kawalan sosial dapat dilakukan oleh pribadi terhadap pribadi, pribadi terhadap kelompok, kelompok terhadap pribadi atau kelompok. Tujuannya ialah dengan berlangsungnya norma dan nilai sosial itu ujudlah suasana dan keadaan damai dan tentram dalam masyarakat melalui keserasian antara kepastian dan keadilan. Kawalan sosial mengawal lembaga sosial agar norma-normanya ditaati, sehingga tujuan lembaga itu tercapai.
Ada dua sifat kawalan sosial itu: previntif dan represif. Yang pertama melalui pembudayaan dan pemasyarakatan, yang kedua dengan sanksi dan hukuman. Cara penanaman kawalan itu dapat dengan menggalakan atau dengan paksaan. Bentuk-bentuk yang menggalakan misalnya menanamkan dan menyebarkan anggapan umum, menyuburkan sopan santun, mempertebal rasa malu, pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat, dakwah. Bentuk paksaan misalnya tegoran, kritik keras, sanksi hukum, dakwah dengan penekanan ancaman dosa, pembentukan norma baru untuk menggantikan norma lama yang sudah tidak sesuai atau tidak tepat hasil (efektif). Kawalan yang bersifat preventif sesuai dengan masyarakat yang tentram dan damai, semuanya berlangsung sebagaimana adanya selama ini. Kawalan represif perlu bagi masyarakat yang bergolak dan gelisah karena berlangsungnya perobahan-perobahan.
Kawalan sosial masyarakat islam lebih tepat hasil daripada masyarakat bukan islam. Dalam masyarakat bukan islam kawalan sosial itu berbentuk anggapan umum, moral, adat, peraturan dan undang-undang, sanksi, dilaksanakan oleh masyarakat dan pemerintah. Kawalan pada hakikatnya dilakukan oleh manusia. Karena itu daya kawalannya nisbi, senisbi manusia pula. Pelanggaran norma boleh selama tidak diketahui, atau orang berkuasa boleh melanggarnya. Hukuman baru dapat dijatuhkan kalau sipelanggar dapat dibuktikan bersalah. Keadilan bergantung pada penguasa, yang putusannya di pengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, pemikiran, perasaan, dan nafsu atau kepentingan.

Hakim yang memutuskan perkara adalah manusia yang nisbi.
Dalam masyarakat islam kawalan tidak saja dilakukan oleh manusia nisbi, tetapi terutama oleh Tuhan yang mutlak. Tuhan melakukan kawalan melalui syari’at, sekalipun tidak ada manusia yang mengetahui, serta mendapat hukuman dalam bentuk dosa. Tuhan yang maha tahu sertamerta mengetahui ketaatan atau pelanggaran syari’at. Pelakunya serta merta pula diberi pahala atau dosa (ukuran nilai dan simpanan nilai), yang balasannya terutama diakhir nanti, tapi yang sudah mulai dirasakan didunia.
Jadi ada dua bentuk jenis kawalan sosial Islam yaitu:
1. Oleh Tuhan yang mutlak bersifat gaib, serta merta, efeknya terutama di akhirat, tapi sudah mulai dirasakan di dunia.
2. Oleh Manusia yang nisbi, bersifat nyata, ada yang berlangsung dan ada yang melalui proses, ada yang preventif dan ada yang represif, efeknya dalam kehidupan masyarakat.

Kawalan sosial islam dalam masyarakat muslim Indonesia dan Malaysia masih lemah atau tidak tepat guna (bahkan dalam banyak perkara tidak ada). Karena lembaga-lembaga sosial islam yang semestinya ada masih belum melembaga. Yang umumnya sudah melembaga itu ialah lembaga-lembaga agama. Bentuk kawalan hanya bersifat preventif melalui sekolah agama, pengajian dan dakwah. Sifat represif dengan paksaan hampir tidak ada atau tidak tepat guna. Khalwat dan zina di Malaysia hanya di serahkan kawalannya kepda bahan pencegah maksiat, tidak kepada masyarakat atau alat-alat Negara. Kalau terbukti bersalah, orang yang berkhalawat atau berzina itu hanya dihukum di dalam masyarakat. Kawalan sosial bertujuan agar anggota-anggota masyarakat mematuhi norma-norma dan tidak menyeleweng daripadanya.

B. KEPATUHAN DAN PENYELEWENGAN
Tujuan kawalan sosial ialah supaya ujud kepatuhan dan tidak ada penyelewengan dari pada norma-norma lembaga sosial. Di desa umum berlaku kepatuhan. Penemuan atau sesuatu yang baru boleh dikatakan tidak ada dan difusi kebudayaan dari luar sukar menyusup kedalam masyarakat. Dalam suasana dan keadaan yang statistik ini perobahan tidak timbul. Disamping itu adat mengawal dengan ketat supaya anggota masyarakat mematuhi norma-norma sosial dan tidak timbul laku perbuatan yang menyimpang.
Di kota selalu terjadi perobahan. Penemuan baru dan penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari masyarakat atau negeri lain menggerakan perobahan. Pergantian yang lama dengan yang baru dan penerimaan unsur-unsur difusi membawa pergantian norma lama dengan norma baru dan penumbuhan norma yang baru sama sekali. Anggota-anggota masyarakat selalu berusaha untuk selalu menyesuaikan diri denganperobahan yang timbul. Keragaman dalam pemikiran, penilaian dan tindakan dikota membawa kepada kepatuhan yang kecil, sehingga proses perlembagaan tidak mudah terjadi. Di desa dengan keseragaman pemikiran, penilaian dan tindakan membawa kepatuhan yang tinggi, mudah terjadi proses perlembagaan. Dan satu kali lembaga itu ujud ia tidak mudah berobah dan sukar untuk dilenyapkan. Karena dalam masyarakat tradisional penyelewengan tidak disukai, sebaliknya di kota di mana yang baru bermakna menyelewengkan yang lama.
Penyelewengan terjadi kalau nilai-nilai sosio-budaya tidak seimbang dengan norma. Misalnya, memasukan anak kesekolah agama adalah norma. Sementara itu pengaruh sekularisme terhadap masyarakat Muslim meningkatkan nilai-nilai kebendaan disamping memundurkan nilai-nilai rohaniah. Sekolah umum dapat memberikan nilai kebendaan, tidak sekolah agama. Maka terjadilah penyelewengan daripada norma, orang tua tidak lagi memasukan anaknya kesekolah agama, tapi kesekolah sekuler. Jadi kalau norma-norma yang berlaku tidak mengujudkan keperluan, maka orang melanggarnya, atau keperluan yang ditimbulkan oleh perobahan lebih besar daripada gaji.
Lemahnya pegangan kepada norma atau keadaan tanpa norma disebut anomi. Gejala-gejala anomi itu banyak kita temukan dalam masyarakat Muslim yang sekularisme sudah mencapati tingkat tinggi berlangsung anomi terhadap norma islam. Dalam masyarakat islam kepatuhan mutlak dituntut kepada dien dengan galakan pahala kalau taat dan sanksi dosa kalau nyeleweng. Dalam masyarakat Muslim sekarang kepatuhan mutlak itu hanya dalam teori, tapi dalam praktek penyelewengan.

Fikih dikaji dengan mendalam, tapi dalam kenyataan orang menyelewengkan daripada fikih. Karena yang dipatuhi adalah hukum bukan islam . Murid sekolah agama disuruh menghafal akhlak islam, tapi dalam perbuatan sehari-hari itu dilanggar. Kalau dikatakan bahwa masyarakat Islam terikat oleh kepatuhan dien, akan timbul pertanyaan apakah masyarakat itu tidak boleh berobah ? salah paham banyak timbul baik dari kalangan umat Islam sendiri ataupun dari kalangan luar, karena dien itu tidak boleh berobah, maka menurut anggapan mereka masyarakat yang memiliki dien itu juga tidak boleh berobah. Adapun lembaga-lembaga Islam itu tidak semuanya serba tetap, ada diantaranya yang boleh berobah, sehingga memungkinkan perobahan masyarakat. Mari kita kaji lembaga-lembaga itu yang boleh dan tidak boleh berobah.


LEMBAGA-LEMBAGA YANG TIDAK BOLEH DAN BOLEH BEROBAH
A. Lembaga-Lembaga Yang Tidak Boleh Berobah
Kalau dikaji lembaga-lembaga sosial umat manusia dalam perjalannan sejarahnya, ternyata ia mengalami perobahan demi perobahan. Perobahan lembaga-lembaga itu berpangkal dari pada perobahan kebudayaan. Perobahan kebudayaan adalah perobahan cara hidup. Dan kebudayaan itu berpangkal lagi dari pada perobahan cara berfikir dan cara meraa manusia. Berbeda pengalaman dan pengetahuan serta suasana dan keadaan akan berbeda pula cara berfikir dan cara merasa, dan bertambahnya pengalaman dan pengetahuan serta berobahnya sesama dan pengetahuan serta berobahnya suasana dan keadaan membawa kepada perobahan pemikiran akal manusia.

Ambil misal perobahan masyarakat Eropa dalam 12 abad yang terakhir itu, dalam abad ke- VIII sampai dengan abad ke- XV ujud masyarakat feodal. Abad ke-XVI sampai sekarang masyarakat feodalisme berobah menjadi masyarakat kapitalisma. Dan semenjak awal abad ke- XIX sosialisma berobah masyarakat kapitalisma itu menjadi masyarakat sosialisma. Sekarang ini masih berlangsung pertarungan antara kapitalisma dan sosialisma. Yang pertama berusaha mempertahankan eksistensi masyarakat kapitalisma, sedangkan yang kedua berusaha mengobahnya. Perlawanan ini dapat dipulangkan kepada perlawanan antara filsafat kapitalisma dan filsafat sosialisma. Demikian pula probahan-perobahan yang sudah berlangsung itu adalah perobahan filsafat.
Jadi perobahan dalam masyarakat bukan-islam berpangkal pada perobahan filsafat (sebagai hasil akal). Perobahan filsafat mengobah kebudayaan. Perobahan kebudayaan membawa kepada perobahan lembaga-lembaga sosial yang merealisasi kebudayaan itu di dalam masyarakat.
Sekarang timbul pertanyaan apakah lembaga-lembaga sosial islam juga mengalami perobahan? Bolehkah perobahan itu menurut Islam? Dan selanjutnya apakah lembaga-lembaga agama juga mengalami perobahan? Bolehkah perobahan itu menurut ajaran islam? Dasar jawaban pertanyaan itu berpegang pada dua dalil berikut:
1. Apa yang telah ditentukan (diqadarkan) oleh Allah adalah serba tetap, tidak boleh berobah.
2. Apa yang diputuskan oleh manusia boleh berobah.

Allah itu maha tahu dan maha bijaksana. Dia tidak saja tahu apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi, tapi juga apa yang akan terjadi. Ilmu Allah meliputi segala-galanya. Apa-apa yang ditentukan Allah sebagai hukum dan konsepsi kepada manusia adalah sesuai dengan kemanusiaan. Penyesuaian itu ada yang sudah diketahui oleh manusia, ada yang belum;
Ada yang sudah dikajinya dan ada yang belum
Dien Islam adalah sunnatullah. Karena itu ajaran-ajaran dan lembaga-lembaga dien yang berasal daripada ketentuan Allah bersifat serba tetap. Mana-mana ajaran dan lembaga dien yang ditentukan Allah itu? Kembali kita perhatikan pada “Pola ajaran dan amal Islam” (Perenggan 31).
1. Rukun Iman adalah asas ajaran dan amal Islam. Sebagai asas amal istilah ia juga asas lembaga-lembaga islam. Qur’an memberikan ajaran-ajaran islam. Dan Rasulullah menteladankan norma-norma lembaga-lembaga islam.
2. Ikrar keyakinan atau pengucapan 2 kalimat syahadat ialah lembaga pernyataan, bentuk dan cara pengucapannya serba tetap.
3. Taharah, lembaga penyucian dari hadas kecil dan hadas besar , metodenya serba tetap. Ajarannya digariskan oleh Al-Qur’an (Q.S 5:6) dan norma amalnya ditentukan oleh Rasullullah.
4. Salat, Lembaga utama agama, ajarannya ditentukan oleh Quran (Q.S 8:2-4;971;2:1-4), norma-normanya dalam bentuk rukun-rukun dan sunah-sunah serta jenis-jenisnya ditentukan oleh Rasulullah.
5. Zakat, lembaga pemberian wajib. Banyak ayat Al-Quran yang mengajarkannya (misalnya Q.S 9:103, 91:9; 92-18), norma pelaksanaan terpengaruh oleh suasana dan keadaan. Misalnya zakat fitrah dinegeri Arab dengan korma atau gandum, di Indonesia dan Malaysia : beras, dikota-kota dengan uang
6. Puasa, lembaga menahan diri, ajarannya diturunkan oleh Q.S 2:183-185, norma-norma amalnya dalam bentuk rukun-rukunnya, jenis-jenisnya ,kaifiyahnya ditentukan oleh Rasulullah. Adapun norma-norma rukun dan jenisnya adalah serbatetap.
7. Haji, lembaga kunjungan ke baitullah, ajarannya diasaskan oleh Al-Quran (3:97), norma-norma amal dalam bentuk syarat, rukun dan wajib haji di tentukan oleh Rasulullah dan bersifat serba tetap.
8. Ihsan, lembaga memperbaiki. Norma-norma untuk melengkapkan , meningkatkan, menyempurnakan ,memperbaiki amal-amal daripada lembaga-lembaga tersebut diatas dicontohkan oleh Rasulullah. Misal norma-norma pengihsanan salat: mencapai kekhusukan dalam salat, melengkapkan sunat salat, disamping melengkapkan salat fardhu dengan salat-salat sunat, mengejar awal waktu dalam pengerjaan salat, mencapai tujuan salat dan lain-lain. Pengihsaan lembaga-lembaga agama bersifat serbatetap. Pengihsaan lembaga-lembaga agama merupakan tahap pertama. Tahap ini berlanjut terhadap kedua: pengihsaan lembaga-lembaga soisal agama berpadu dengan keduanya, pengihsaan yang pertama berpadu dengan yang kedua.
9. Ikhlas, lembaga yang menjadikan amal agama menjadikan amal agama sebagai kewajiban, norma-norma amalnya diperlihatkan oleh Rasulullah dan ia bersifat serbatetap.
10. Taqwa, lembaga menjaga hubungan dengan Allah, dengan norma-norma amal mentaati suruhanNya dan meninggalkan amal yang dilarangNya. Karena norma itu berhubungan dengan nilai-nilai yang berbatetap, maka adalah ia juga bersifat serbatetap.

Ajaran- ajaran (konsepsi, prinsip) dari pada lembaga-lembaga tersebut diatas tergolong pada ajaran agama, diturunkan oleh Allah. Kembali kita kepada dalil yang dirumuskan diatas, apa-apa yang telah ditentukan oleh Allah adalah serbatetap, tidak berobah. Dengan demikian ajaran-ajaran itu adalah serbatetap, tidak mengenal perobahan. Kalau diubah maka ia tidak jaran dari Allah lagi.
Pengamalan ajaran itu membentuk norma. Yang menentukan norma-norma itu ialah Rasullullah. Norma-norma itu adalah laku perbuatan dalam hubungan dengan Tuhan yang mengatasi ruang dan waktu, tidak terpengaruh oleh perobahan suasana dan keadaan. Karena itu, norma-norma itupun mengatasi ruang dan waktu, apa yang ditentukan Rasulullah dalam hubungan dengan Allah adalah serbatetap, tidak boleh berobah dan tidak mungkin berobah. Berbeda dengan lembaga mengenai hubungan manusia dengan manusia. Pada lembaga ini ada aspek perobahan.

Ajaran agama yang mengandung prinsip atau asas lembaga-lembaga agama yang berasal dari pada Tuhan Yang Maha Tahu, Tuhan yang Maha Benar (disampaikannya melalui RasulNya). Karena ia diturunkan oleh Yang Maha Benar, dengan sendirinya mengandung kebenaran (sekalipun perkembangan pengetahuan manusia belum sampai menemukan kebenaran ajaran-ajaran tertentu). Kalau ajaran itu benar, untuk apa diubah lagi? Karena itu ajaran agama tidak mengenal perobahan.

Ajaran agama dan lembaga-lembaganya adalah seluruhnya adalah wewenang Tuhan. Apa yang diputuskanNya tidak boleh berobah. Kalau ada perkara yang berobah tentang ajaran Agama Islam dan lembaga-lembaganya, bukanlah ia berasal dari Tuhan. Maka dalam bidang agama, ahli-ahli fiqih merumuskan dalil: “Semua haram, selain daripada yang tersuruh”. Yang disuruh Allah itu telah tertent, yang diturunkanNya melalui PesuruhanNya. Kalau sesudah itu ada perkara-perkara agam timbul, adalah ia haram, karena ia tidak disuruh Allah. Ada ajaran agama lembaga-lembaga dengan norma-normanya, disamping itu ada pula “cara pelaksanaa” norma-norma itu. Adapun cara pelaksanaanya itu dapat dikenal perobahan, yang umumnya dibawa oleh perkembangan keduanya. Misalnya Taharah. Prinsip dan norma-norma toharah serbatetap. Dahulu orang mengangkat hadas besar di sungai, mengangkat hadas kecil di kulah. Sekarang taharah melalui saluran air yang diatur oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Dahulu orang pergi melaksanakan ibadah haji dengan onta, sekarang dengan pesawat udara. Dahulu orang menentukan waktu masuk sembahyang dengan melihat posisi (bayang-bayang) matahari, sekarang dengan melihat jam. Dahulu orang menentukan awal puasa dengan rukyah, sekarang dengan hisab. Bentuk dan struktur masjid dahulu berbeda dari yang sekarang. Ada usaha sekarang, zakat yang biasanya langsung diterima oleh fakir miskin, dikumpulkan untuk membina lapangan usaha yang akan memberikan mata pencaharian kepada fakir miskin itu. Kalau dahulu mereka hanya mendapat bantuan sekali setahun, tapi dengan perobahan cara pelaksanaan pembayaran zakat diharapkan mereka memper oleh manfaatnya sehari-hari.

Perobahan cara pelaksanaan norma-norma lembaga-lembaga agama itu dapat kita persaksikan sepanjang umat Islam, dan apabila cara pelaksanaan itu diperbandingkan antara negeri atau antara masyarakat:
Bukan saja ajaran (prinsip atau asas) agama tidak boleh berobah, juga ajaran kebudayaan tidak boleh berobah. Ajaran dien islam yang meliputi agama dan kebudayaan yang diuntukkan oleh Allah kepada manusia adalah sesuai dengan Kemanusiaan, yaitu dengan tabiat atau naluri asasi manusia. Kemanusiaan itu tetap dari dahulu, kini dan yang akan datang. Ia serba tetap bilapun dan dimanapun. Kalau kemanusiaan itu berobah, manusia tidak menjadi manusia lagi. Karena itu, karena itu selama manusia itu manusia, kemanusiaanya bertahan tetap, sekalipun pernyatatannya berobah dan berbeda. Perobahan dan perbedaan itu terjadi karena perobahan dan perbedaan kebudayaan. Perobahan kebudayaan ialah perobahan cara berfikir dan cara merasa, perobahan cara berlaku dan berbuat. Tetapi, disamping perobahan-perobahan itu adalah manusia itu tetap manusia juga dengan tabiat atau nalurinya yang menggolongkan mereka kepada jenis manusia. Adapun ajaran agama dan kebudayaan yang ditentukan oleh Yang Maha Tahu dan Yang Maha Benar kepada manusia ialah yang sesuai dengan kemanusiaan. Karena kemanusiaan itu bertahan tetap, tidak mengenal perobahan. Karena itulah Qur’an tidak sama dengan buku ilmu dan filsafat yang mengalami perkembangan dalam perjalanan sejarahnya, karena itu, serba terus berobah. Quran itu sesuai dengan kemanusiaan. Kalau sudah sesuai, untuk apa diubah lagi? Maka berkekalanlah dia. Ajaran agama dan dan kebudayaan serta lembaga agama seperti telah dibahas diatas tidak mengenal perobahan. Bagaimanakah pual dengan lembaga-lembaga sosial?

BAB II
KESIMPULAN



• Kawalan sosial masyarakat islam lebih tepat hasil daripada masyarakat bukan islam. Dalam masyarakat bukan islam kawalan sosial itu berbentuk anggapan umum, moral, adat, peraturan dan undang-undang, sanksi, dilaksanakan oleh masyarakat dan pemerintah. Kawalan pada hakikatnya dilakukan oleh manusia.
• Jenis kawalan itu ada dua bagian yaitu: Oleh Tuhan yang mutlak bersifat gaib, serta merta, efeknya terutama di akhirat, tapi sudah mulai dirasakan di dunia.

• Oleh Manusia yang Nisbi, bersifat nyata, ada yang berlangsung dan ada yang melalui proses, ada yang preventif dan ada yang represif, efeknya dalam kehidupan masyarakat


DAFTAR PUSTAKA


• Buku Pendidikan Sosial Dan Budaya Islam

• Ting Chew peh, Konsep Asas Sosiologi, (kuala lumpur: Dew. Bahasa Dan Pustak, 1979), h.35


BAB I
PENDAHULUAN


Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru mengembangkan model-model pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan intensitas keterlibatan siswa secara efektif di dalam proses pembelajaran. Pengembangan model pembelajaran yang tepat pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat belajar secara aktif dan menyenangkan sehingga siswa dapat meraih hasil belajar dan prestasi yang optimal.
Untuk dapat mengembangkan model pembelajaran yang efektif maka setiap guru harus memiliki pengetahuan yang memadai berkenaan dengan konsep dan cara-cara pengimplementasian model-model tersebut dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran yang efektif memiliki keterkaitan dengan tingkat pemahaman guru terhadap perkembangan dan kondisi siswa-siswa di kelas. Demikian juga pentingnya pemahaman guru terhadap sarana dan fasilitas sekolah yang tersedia, kondisi kelas dan beberapa faktor lain yang terkait dengan pembelajaran. Tanpa pemahaman terhadap berbagai kondisi ini, model yang dikembangkan guru cenderung tidak dapat meningkatkan peran serta siswa secara optimal dalam pembelajaran, dan pada akhirnya tidak dapat memberi sumbangan yang besar terhadap pencapaian hasil belajar siswa.
Mempertimbangkan pentingnya hal di atas maka pada bagian ini anda diajak untuk membahas secara mendalam model-model pembelajaran. Sesuai dengan sub-sub topik yang dibahas, maka setelah mengkaji bagian ini, mengerjakan tugas-tugas latihan dan berdiskusi dengan rekan-rekan, diharapkan anda memiliki komposisi:
1. Menjelaskan dasar pemikiran perlunya model pembelajaran
2. Menjelaskan hakikat model pembelajaran
3. Menjelaskan kelompok model-model pembelajaran
4. Menguraikan jenis-jenis model pembelajaran.

BAB II
PEMBAHASAN



A. HAKIKAT MODEL PEMBELAJARAN
Pada pembahasan sebelumnya mungkin anda masih ingat bahwa seluruh aktivitas pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru bermuara pada terjadinya proses belajar siswa. Dalam hal ini model-model pembelajaran yang dipilih dan dikembangkan guru hendaknya dapat mendorong siswa untuk belajar dengan mendaya gunakan potensi yang mereka miliki secara optimal. Model-model pembelajaran dikembangakan utamanya beranjak dari adanya perbedaan berkaitan dengan berbagai karakteristik siswa. Karena siswa memiliki berbagai Karakteristik kepribadian, kebiasaan-kebiasaan, modalitas belajar yang bervariasi antara individu satu dengan yang lain, maka model pembelajaran guru juga harus selayaknya tidak terpaku hanya pada model tertentu, akan tetapi harus bervariasi.
Untuk memperkokoh pemahaman kita tentang model-model pembelajaran, perlu dikaji kembali beberapa asumsi tentang belajar, (1) setiap individu pada setiap tingkat usia memiliki potensi untuk belajar, namun dalam prosesnya, keberhasilan antar individu akan beragam ;ada yang cepat dan ada yang lambat bergantung pada motivasi dan cara yang digunakannya, (2) tiap individu mengalami proses perubahan dimana situasi belajar yang baru sangat mungkin menimbulkan keraguan, kebingungan bahkan ketidak senangan, tetapi di pihak lain banyak juga yang menyenangkan (Mangkuprawira, 2008:1). Sebelum mengkaji lebih dalam tentang model-model pembelajaran ada baiknya kita pahami kerangka pikir Gagne yang menegaskan lima kemampuan manusia yang merupakan hasil belajar, sehingga memerlukan berbagai model dan strategi pembelajaran untuk mencapainya, yaitu:
1. Keterampilan Intelektual
2. Strategi Kognitif
3. Informasi Verbal
4. Keterampilan Motorik
5. Sikap dan Nilai

Penggunaan model pembelajaran yang tepat dapat mendorong tumbuhnya rasa senang siswa terhadap pelajaran, menumbuhkan dan meningkatkan motivasi dalam mengerjakan tugas, memberikan kemudahan bagi siswa untuk memahami pelajaran sehingga memungkinkan siswa mencapai hasil belajar yang lebih baik. Dalam uraian masing-masing orientasi tersebut terdapat beberapa aspek kegiatan yang harus dilakukan guru.
a. Bilamana guru memutuskan untuk mengarahkan proses pembelajaran pada outcome, maka guru harus merumuskan beberapa pertanyaan untuk dirinya sendiri.
b. Bilamana guru memutuskan untuk menitik beratkan pada content pembelajaran, maka guru harus merumuskan beberapa pertanyaan untuk dirinya sendiri.
c. Bila mana guru memutuskan untuk menitik beratkan pada proses pembelajaran, maka guru harus merumuskan beberapa pertanyaan untuk dirinya sendiri.

B. KELOMPOK DAN JENIS-JENIS MODEL PEMBELAJARAN
Beberapa model pembelajaran tersebut antara lain dikemukakan oleh Laap, Bender, Ellonwood, dan John (1975) yang berpendapat bahwa berbagai aktivitas belajar mengajar dapat dijabarkan dari empat model utama, yaitu:

1. The Classical Model, dimana guru lebih menitik beratkan peranannya dalam pemberian informasi melalui mata pelajaran dan materi pelajaran yang disajikannya.
2. The Technological Model, yang lebih menitik beratkan peranan pendidikan sebagai transmisi informasi, lebih dititik beratkan untuk mencapai kompetensi individual siswa.
3. The Personalised Model, dimana proses pembelajaran dikembangkan dengan memperhatikan minat, pengalaman dan perkembangan siswa untuk mengaktualisasikan potensi-potensi individualitasnya.
4. The Interaction Model, dengan menitik beratkan pola interdepensi antara guru dan siswa sehingga tercipta komunikasi dialog di dalam proses pembelajaran.


Strallin (1997), mengemukakan 5 model dalam pembelajaran yaitu diantaranya:
1. The Exploratory Model, model ini pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan kreativitas dan independensi siswa.
2. The Group Process Model, model ini utamanya diarahkan untuk mengembangkan kesadaran diri, rasa tanggung jawab dan kemampuan bekerja sama antara siswa.
3. The Developmental Cognitive Model, yang menitik beratkan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan kognitif.
4. The Programmed Model, yang dititikberatkan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar melalui modifikasi tingkah laku.
5. The Fundemental Model, yang dititik beratkan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar melalui pengetahuan faktual.

1) Kelompok Model Interaksi Sosial (Social Interaction Models)
Model interaksi sosial adalah suatu model pembelajaran yang beranjak dari pandangan bahwa segala sesuatu tidak terlepas dari realitas kehidupan, individu tidak mungkin melepaskan dirinya dari interaksi dengan orang lain. Karena itu proses pembelajaran harus dapat menjadi wahana untuk mempersiapkan siswa agar dapat berinteraksi secara luas dengan masyarakat.
Model-model sosial ini telah banyak diteliti dalam rangka menguji keberlakuannya. David, Johnson dkk (1994:1991), Slavin (1993) telah bekerjasama dengan para guru untuk mengkaji kemanfaatan dari penggunaan cooperative reward atau hadiah yang diberikan atas suatu kerjasama, dan struktur tugas-tugas kerjasama atau cooperative task structure dalam suatu kegiatan kelompok. Hasilnya cukup meyakinkan, ternyata belajar bersama dapat membantu siswa mengembangkan berbagai dimensi kemampuannya yang sangat dibutuhkan dalam proses belajar (winataputra, 2005:6).
Kelompok model interaksi sosial ini meliputi sejumlah model, yaitu; Investigasi Kelompok (Group Investigation), Bermain Peran (Role Playing), Penelitian Yurisprodensial (Yurisprodential Inquiry), Latihan Laboratoris (Laboratory Training), Penelitian Ilmu Sosial (Social Science Inquiry).

a. Investigasi Kelompok (Group Investigation).
Untuk mendukung pemahaman secara mendasar dan menyeluruh tentang Investigasi Kelompok (Group Investigation). Sebagaimana diketahui bahwa keterlibatan siswa di dalam proses pembelajaran merupakan hal yang sangat esensial karena siswa adalah sentral dari keseluruhan kegiatan pembelajaran. Dan oleh sebab itu, pula bermaknaan pembelajaran sesungguhnya akan sangat tergantung pada bagaimana kebutuhan-kebutuhan siswa dalam memperoleh dan mengembangkan pengetahuan, nilai-nilai, serta pengamalan mereka dapat terpenuhi secara optimal melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan. Keaktifan siswa melalui investigasi kelompok ini diwujudkan di dalam aktivitas saling bertukar pikiran melalui komunitas yang terbuka dan bebas serta kebersamaan mulai dari kegiatan merencanakan sampai pada pelaksanaan pemilihan topik-topik investigasi, kondisi ini akan memberikan dorongan yang besar bagi para siswa untuk belajar menghargai pemikiran-pemikiran dan kemampuan orang lain serta saling melengkapi pengetahuan dan pengalaman-pengalaman masing-masing. Karena itu diyakini bahwa melalui model pembelajaran investigasi kelompok yang di dalamnya sangat menekankan pentingnya komunikasi yang bebas dan saling bertukar pengalaman ini akan memberikan lebih banyak manfaat dibandingkan jika mereka melakukan tugas secara sendiri-sendiri.

Seorang guru dapat menggunakan strategi investigasi kelompok di dalam proses pembelajaran dengan beberapa keadaan antara lain sebagai berikut:
1. Bilamana guru bermaksud agar siswa-siswi mencapai studi yang mendalam tentang isi atau materi, yang tidak dapat dipahami secara memadai dari sajian-sajian informasi yang terpusat pada guru.
2. Bilamana guru bermaksud mendorong siswa untuk lebih skeptis tentang ide-ide yang disajikan dari fakta-fakta yang mereka dapatkan.
3. Bilamana guru bermaksud meningkatkan minat siswa terhadap suatu topik dan memotivasi mereka membicarakan berbagai persoalan diluar kelas.
4. Bilamana guru bermaksud membantu siswa memahami tindakan-tindakan pencegahan yang diperlukan atas interpretasi informasi yang berasal dari penelitian-penelitain orang lain yang mungkin dapat mengarah pada pemahaman yang kurang positif.
5. Bilamana guru bermaksud mengembangkan keterampilan-keterampilan penelitian, yang selanjutnya dapat mereka pergunakan didalam situasi belajar yang lain, seperti halnya co-operative learning.
6. Bilamana guru mengingatkan peningkatan dan perluasan kemampuan siswa.

b. Bermain Peran (Role Playing)
Model ini dirancang khususnya untuk membantu siswa mempelajari nilai-nilai sosial dan moral dan pencerminannya dalam perilaku. Disamping itu model ini di gunakan pula untuk membantu para siswa mengumpulkan dan mengorganisasikan isu-isu moral dan sosial, mengembangkan empati terhadap orang lain, dan berupaya memperbaiki keterampilan sosial.
Jika ditelaah dari esensinya, model bermain peran lebih menitik beratkan keterlibatan partisipan dan pengamat dalam situasi atau masalah nyata serta berusaha mengatasinya. Melalui proses ini disajikan contoh perilaku kehidupan manusia yang merupakan contoh bagi siswa untuk menjajagi perasaanya, menambah pengetahuan tentang sikap, nilai-nilai dan persepsinya, mengembangkan keterampilan dan sikapnya di dalam pemecahan masalah, serta berupaya mengkaji pelajaran dengan berbagai cara.

c. Model Penelitian Yurisprudensi (Yurisprodential Inquiry)
Dalam model ini para siswa sengaja dilibatkan dalam masalah –masalah sosial yang menuntut pembuatan kebijakan pemerintah yang diperlukan serta berbagai pilihan untuk mengatasi isu tersebut, misalnya tentang konflik moral, toleransi dan sikap-sikap sosial lainya.

2) Kelompok Model Pengolahan Informasi (Information Processing Model).
Kelompok model pengolahan informasi salah satu kelompok model pembelajaran yang lebih menitik beratkan pada aktivitas-aktivitas yang terkait dengan kegiatan proses atau pengolahan informasi untuk meningkatkan kapabilitas siswa melalui proses pembelajaran. Ada beberapa bentuk model yang dapat dipertimbangkan guru untuk diterapkan di dalam proses pembelajaran yang termasuk kelompok model ini yaitu:
a. Berpikir Induktif (Inductive Thinking).
Model pembelajaran ini beranggapan bahwa kemampuan berpikir seseorang tidak dengan sendirinya dapat berkembang dengan baik jika proses pembelajaran di kembangkan tanpa memperhatikan kesesuaiannya dengan kebutuhan berpikir seseorang. Strategi-strategi memungkinkan pembelajaran yang terarah pada pengembangan kemampuan berpikir siswa harus digunakan berurutan karena keterampilan berpikir yang satu dibangun di atas yang lain secara sequensial pula.

b. Pencapaian Konsep (Concept Attainment)
Model pencapaian konsep adalah model pembelajaran yang dirancang untuk menata atau menyusun data sehingga konsep-konsep penting dapat dipelajari secara tepat dan efisien. Model ini memiliki pandangan bahwa para siswa tidak hanya dituntut untuk mampu membentuk konsep melalui proses pengklasifikasian data akan tetapi mereka juga harus dapat membentuk susunan konsep dengan kemampuanya sendiri.
c. Memorisasi
Model ini diarahkan untuk mengembangkan kemampuan siswa menyerap dan mengintegrasikan informasi sehingga siswa-siswa dapat mengingat informasi yang telah diterima dan dapat me-recall kembali pada saat yang diperlukan.

d. Advance Organizers
Model ini dikembangkan berdasarkan pemikiran Ausubel tentang materi pembelajaran, struktur kognitif.

e. Penelitian Ilmiah (Scientific Inquiry)
Penelitan ilmiah adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa di dalam menyelesaikan masalah melalui suatu penelitian dengan membandingkan masalah tersebut dengan kondisi nyata pada areal penelitian, membantu siswa di dalam mengidentifikasi konsep atau metode pemecahan masalah pada kawasan penelitian dan membantu mereka agar mampu mendesain cara-cara mengatasi masalah.

f. Inquiry Training
Model ini diarahkan untuk mengajarkan siswa suatu proses dalam rangka mengkaji dan menjelaskan suatu fenomena khusus. Tujuannya adalah membantu siswa mengembangkan disiplin dan mengembangkan keterampilan intelektual yang diperlukan untuk mengajukan pertanyaan dan menemukan jawabannya berdasarkan rasa ingin tahunya.
Inquiry training dimulai dengan menyajikan peristiwa yang mengandung teka-teki kepada siswa. Siswa-siswa yang menghadapi situasi tersebut akan termotivasi menemukan jawaban masalah –masalah yang masih menjadi teka-teki tersebut.

g. Synectics
Sinektik merupakan salah satu model pembelajaran yang didisain oleh Gordon yang pada dasarnya diarahkan untuk mengembangkan kreativitas.
3) Kelompok Model Personal (The Personal Family Model)
Model personal pada dasarnya beranjak dari pandangan tentang “kedirian”, individu. Pendidikan dan pembelajaran merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan agar seseorang dapat memahami diri sendiri secara mendalam, memikul tanggung jawab sehingga memungkinkan mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik. Yang termasuk model ini adalah model pembelajaran tanpa arahan (non directive teaching), dan model-model yang terarah pada peningkatan rasa percaya diri.

a. Pembelajaran Tanpa Arahan.
Model pembelajaran tanpa arahan adalah model yang berfokus pada upaya memfasilitasi kegiatan pembelajaran. Lingkungan belajar diorganisasi sedemikian rupa untuk membantu siswa mengembangkan integritas kepribadian, meningkatkan efektivitas serta membantu mercalisasikan harapan atau cita-cita siswa. Model ini pada prinsipnya adalah meletakan peranan guru untuk secara aktif membangun kerjasama yang diperlukan dan memberikan bantuan yang membangun kerjasama yang diperlukan dan memberikan bantuan yang dibutuhkan pada saat para siswa mencoba memecahkan masalah.

b. Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Rasa Percaya diri
Terdapat beberapa model pembelajaran yang dapat dipergunakan guru dalam menumbuhkan rasa percaya diri siswa yang merupakan bagian dari modal-modal personal.
1. Model Latihan Kesadaran
Model latihan kesadaran adalah model pembelajaran yang diarahkan untuk memperluas kesadaran diri dan kemampuan untuk merasa dan berfikir. Modal latihan kesadaran memiliki berbagai bentuk. Hal ini dapat di lakukan dari seorang pemimpin ke orang lain, atau dari satu kelompok lain. Di dalam proses pembelajaran , latihan kesadaran dimulai dengan pengaturan para siswa melalui berbagai bentuk arahan dari guru.

2. Model Pertemuan Kelas
William Glasser mengadaptasi model konseling untuk merancang modal ini dengan maksud membantu para pelajar memikul tanggung jawab atas perilaku dan tanggung jawab untuk lingkungan sosialnya sehingga dapat digunakan dalam lingkungan kelas. Didalam kelas, modal ini diwujudkan seperti layaknya rapat atau pertemuan dimana kelompok bertanggung jawab untuk membangun sistem sosial yang sesuai untuk melaksanakan tugas-tugas akademis dengan mempertimbangkan unsur perbedaan perseorangan denga tetap menghargai tugas-tugas bersama dan hak-hak orang lain.

4) Kelompok Model-Model Sistem Perilaku
Terdapat beberapa bentuk model yang termasuk kelompok model ini, yaitu; Belajar Tuntas (Mastery Learning), Pengajaran Langsung (Direct Instruction), Simulasi (Simulation), belajar sosial (Social Learning), berikut dijelaskan tiga model dari kelompok ini yang lazim di kembangkan guru dalam proses pembelajaran.
a. Belajar Tuntas (Mastery Learning)
Untuk memahami bagaimana bentuk dan karakteristk belajar tuntas dapat diketahui dari beberapa ciri berikut:
1) Setiap tujuan pembelajaran dinyatakan secara jelas dan terukur dan memuat apa yang harus siswa-siswa lakukan.
2) Tujuan-tujuan pembelajaran harus dikelompokan. Misalnya didalam aritmatik tujuan dikelmopokan seperti, penomoran, nilai, tempat, urutan, dll.
3) Tujuan pembelajaran harus merupakan pilihan tindakan yang benar-benar dan mungkin dapat dilakukan, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses pembelajaran benar-benar dapat diukur.
4) Tujuan pembelajaran harus menggambarkan kebermaknaan urutan (sequence) atau unit.

b. Pengajaran Langsung (Direct Instruction)
Pembelajaran langsung merupakan suatu model pembelajaran dimana kegiatannya terfokus pada aktivitas-aktivitas akademik sehingga di dalam implementasi kegiantan pembelajaran guru melakukan kontrol yang ketat terhadap kemajuan belajar siswa. Pendaya gunaan waktu serta iklim kelas yang di kontrol secara ketat pula.

c. Simulasi (Simulation)
Simulasi sebagai salah satu model pembelajaran merupakan penerapan dari prinsip sibernetik (Cybernetic) sebagai salah satu cabang psikologi, para ahli psikologi Sibermetik menganalogikan manusia dengan mesin yang memiliki sistem kendali yang mampu membangkitkan gerakan dan mengendalikan diri sendiri.
Simulasi yang diterapkan di kelas dirancang untuk mencapai kelebihan-kelebihan tertentu dalam pendidikan. Melalui model ini guru mengontrol partisipasi siswa dalam skenario permainan untuk menjamin bahwa kelebihan atau keuntungan dari model ini benar-benar dapat dicapai.














BAB III
KESIMPULAN



Berkembangnya berbagai jenis model pembelajaran pada prinsipnya didasari pemikiran tentang keberagaman siswa, baik dilihat dari perbedaan kemampuan, modalitas belajar, motivasi, minat dan beberapa dimensi psikologis lainnya. Selain dasar pemikiran tersebtu, keragaman model pembelajaran juga dikembangkan untuk menyesuaikan karakteristik mata pelajaran atau materi pelajaran tertentu yang tidak memungkinkan guru hanya terpaku pada model pembelajaran tertentu. Pemilihan dan penentuan salah satu atau beberapa model pembelajaran yang memungkinkan terjadinya peran aktif siswa dalam mengeksplorasi hal-hal baru yang terkait dengan apa yang sedang dipelajari. Ketepatan model pembelajaran juga dapat mendorong tumbuhnya motivasi siswa, terjadinya iklim belajar yang menyenangkan sehingga siswa mampu memusatkan aktivitas serta perhatian terhadap kegiatan belajar yang sedang berlangsung.
Pengembangan model pembelajaran tidak terlepas dari pemahaman guru terhadap karakteristik siswa sebagaimana pula di dalam pengimplementasian prinsip-prinsip belajar yang telah kita bahas sebelumnya. Demikian pula tidak dapat dilepaskan dari karakteristik materi pelajaran, tujuan belajar yang ingin dicapai, kondisi kelas maupun sarana/fasilitas belajar yang tersedia.
Kita dapat menjumpai beberapa pandangan atau pendapat tentang jenis-jenis model pembelajaran. Di antara pandangan yang banyak mendapat perhatian adalah model-model pembelajaran yang dikembangkan oleh Joyce, Weil, dan Calhoun yang mengkatagorikan sejumlah model dalam empat kelompok yang besar yaitu; kelompok model-model sosial, kelompok model-model pengolahan informasi, kelompok model-model personal dan kelompok model-model yang lain, termasuk yang tidak diuraikan balam bagian ini.
Meskipun terdapat sejumlah model pembelajaran yang berbeda, namun pemisahan antara satu model dengan model yang lain tidak bersifat deskrit. Masing-masing model tersebut memiliki ciri spesifik yang memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri dari model yang lain. Karena itu, diperlukan ketajaman analisis guru dalam melihat kelebihan dan kelemahan model-model yang lain, karena kita pahami bahwa tidak satupun model tunggal yang dapat merealisasikan berbagai jenis dan tingkatan tujuan pembelajaran yang berbeda.
Keunggulan model pembelajaran dapat dihasilkan justru bilamana guru mampu mengadaptasikan atau memadukan beberapa model sehingga menjadi lebih serasi serasi dalam mencapai hasil belajar siswa yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA




Brady, Laure. (1985). Models and Methods of Teaching. Australia: Prentice-Hall of Australia Pty Ltd.

Depdiknas. (1998/1999). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti.

Duska Ronald, Whelan Marielen. (1997). Moral Development Aguide to Piaget and Kohlberg. New York: Gill and Macmillan.


BAB I
PEMBAHASAN


1. INSEMINASI BUATAN BAYI TABUNG
Setelah Dr. Patrick Steptoe dan Dr. Robert Edwards pada tahun 1978 berhasil melakukan teknik spektakuler “fertilisasi in vitro”, dunia kedokteran mengalami perkembangan yang sangat pesat dan mengagumkan dalam penanganan masalah infertilitas dan di bidang rekayasa genetika manusia. Teknik yang selanjutnya dikenal dengan istilah “Bayi Tabung” ini berkembang ke seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Istilah Bayi Tabung ( tube baby) dalam bahasa kedokteran dikenal dengan sebutan “In Vitro Fertilization and Embryo Transfer” (IVF-ET) atau dalam khazanah hukum Islam dikenal dengan “Thifl al-Anâbîb” atau “Athfâl al-Anbûbah”. Sedangkan Inseminiasi Buatan (Artificial Insemination) dalam hukum Islam dikenal dengan sebutan “At-Talqîh al-Shinâi”. Inseminasi buatan adalah peletakan sperma ke follicle ovarian (intrafollicular), uterus (intrauterine), cervix (intracervical), atau tube fallopian (intratubal) wanita dengan menggunakan cara buatan dan bukan dengan kopulasi alami.
Teknik modern untuk inseminasi buatan pertama kali dikembangkan untuk industri ternak untuk membuat banyak sapi dihamili oleh seekor sapi jantan untuk meningkatkan produksi susu
Secara teknis, kedua istilah ini memiliki perbedan yang cukup signifikan, meskipun memiliki tujuan yang hampir sama yakni untuk menangani masalah infertilitas atau kemandulan. Bayi Tabung merupakan teknik pembuahan (fertilisasi) antara sperma suami dan sel telur isteri yang masing-masing diambil kemudian disatukan di luar kandungan (in vitro) – sebagai lawan “di dalam kandungan” (in vivo) - . Biasanya medium yang digunakan adalah tabung khusus. Setelah beberapa hari, hasil pembuahan yang berupa embrio atau zygote itu dipindahkan ke dalam rahim. Sedangkan teknik Inseminasi Buatan relatif lebih sederhana. Yaitu sperma yang telah diambil dengan alat tertentu dari seorang suami kemudian disuntikkan ke dalam rahim isteri sehingga terjadi pembuahan dan kehamilan.
Teknik Bayi Tabung diperuntukkan bagi pasangan suami isteri yang mengalami masalah infertilitas. Pasien Bayi Tabung umumnya wanita yang menderita kelainan sebagai berikut :
1. Kerusakan pada saluran telurnya.
2. Lendir rahim isteri yang tidak normal.
3. Adanya gangguan kekebalan dimana terdapat zat anti terhadap sperma di tubuh isteri.
4. Tidak hamil juga setelah dilakukan bedah saluran telur atau seteleh dilakukan pengobatan endometriosis.
5. Sindroma LUV (Luteinized Unruptured Follicle) atau tidak pecahnya gelembung cairan yang berisi sel telur.
6. Sebab-sebab lainnya yang belum diketahui. Sedangkan pada suami, teknik ini diperuntukkan bagi mereka yang pada umumnya memiliki kelainan mutu sperma yang kurang baik, seperti oligospermia atau jumlah sperma yang sangat sedikit sehingga secara alamiah sulit diharapkan terjadinya pembuahan.
Setelah sperma dan sel telur dicampur didalam tabung di luar rahim (in vitro), kemudian hasil campuran yang berupa zygote atau embrio yang dinyatakan baik dan sehat itu ditransplantasikan ke rahim isteri atau rahim orang lain. Secara medis, zigot itu dapat dipindahkan ke rahim orang lain. Hal ini disebabkan karena rahim isteri mengalami gangguan antara lain :
1. Kelainan bawaan rahim (syndrome rokytansky)
2. Infeksi alat kandungan
3. Tumor rahim
4. Sebab operasi atau pengangkatan rahim yang pernah dijalani.
Adapun teknik Inseminasi Buatan lebih disebabkan karena faktor sulitnya terjadi pembuahan alamiah karena sperma suami yang lemah atau tidak terjadinya pertemuan secara alamiah antara sperma dan sel telur. Secara ringkas, hukum teknik Bayi Tabung dan Inseminasi Buatan terhadap manusia dapat dilihat pada table berikut ini :
No Nama Teknik / Jenis Teknik Sperma Ovum Media Pembuahan Hukum Alasan/Analogi hukum
1 Bayi Tabung (IVF-ET) Jenis I Suami Isteri Rahim Isteri Halal Tidak melibatkan
orang lain
2 Bayi Tabung (IVF-ET) Jenis II Suami Isteri Rahim orang lain/ titipan/ sewaan Haram Melibatkan orang lain dan dianalogikan dengan zina
3 Bayi Tabung (IVF-ET) Jenis III Suami Orang lain/ donor/ bank ovum Rahim Isteri Haram Melibatkan orang lain dan dianalogikan dengan zina
4 Bayi Tabung (IVF-ET) Jenis IV Suami Orang lain/ donor/ bank ovum Rahim orang lain/ titipan /sewaan Haram Melibatkan orang lain dan dianalogikan dengan zina
5 Bayi Tabung (IVF-ET) Jenis V Orang lain/ donor/ bank sperma Isteri Rahim Isteri Haram Melibatkan orang lain dan dianalogikan dengan zina
6 Bayi Tabung (IVF-ET) Jenis VI Orang lain/ donor/ bank sperma Isteri Rahim orang lain/ titipan/ sewaan Haram Melibatkan orang lain dan dianalogikan dengan zina
7 Bayi Tabung (IVF-ET) Jenis VII Orang lain/ donor/ bank sperma Orang lain/ donor/ bank ovum Rahim isteri sebagai titipan / sewaan Haram Melibatkan orang lain dan dianalogikan dengan zina
8 Bayi Tabung (IVF-ET) Jenis VIII Suami Isteri Isteri yang lain (isteri ke dua, ketiga atau keempat) Haram Melibatkan orang lain dan dianggap membuat kesulitan dan mengada-ada
9 Inseminasi Buatan dengan sperma suami (Arificial Insemination by a Husband = AIH) Suami Isteri Rahim Isteri Halal Tidak melibatkan orang lain
10 Inseminasi Buatan dengan sperma donor (Arificial Insemination by a Donor = AID) Donor Isteri Rahim Isteri Haram Melibatkan orang lain dan dianalogikan dengan zina
Dari table tampak jelas bahwa teknik bayi tabung dan inseminasi buatan yang dibenarkan menurut moral dan hukum Islam adalah teknik yang tidak melibatkan pihak ketiga serta perbuatan itu dilakukan karena adanya hajat dan tidak untuk main-main atau percobaan. Sedangkan teknik bayi tabung atau inseminasi buatan yang melibatkan pihak ketiga hukumnya haram.
Alasan syar’i tentang haramnya keterlibatan (benih atau rahim) pihak ketiga tersebut merujuk kepada maksud larangan berbuat zina (lihat al-Qur’an, antara lain Surat Al-Isrâ [17] : 32). Secara filosofis larangan zina itu didasarkan atas dua hal. Pertama, “tindakan melacur” (al-fujûr, al-fâ?isyah) dan kedua, akibat tindakan itu dapat menyebabkan kaburnya keturunan (ikhtilâth al-ansâb).
Rasulullah menyatakan yang artinya :
Tidak ada dosa lebih berat dari perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan) melainkan dosa seseorang yang mentransplantasikan “benih” kepada rahim wanita yang tidak halal baginya.
Dalam hal pihak ketiga merupakan isteri sah, maka para ulama dalam hal ini menolaknya karena bertentangan dengan maksud ayat Al-Qur’an :
Dan janganlah kalian menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan. [QS. Al-Baqarah (2) : 195 ].
Teknologi rekayasa genetika lain yang masih menjadi perdebatan moral yang cukup sengit di kalangan agamawan dan kaum moralis di seluruh dunia adalah “Teknologi Kloning” pada manusia. Pada umumnya, ulama di negara-negara muslim masih melarang pengkloningan pada manusia. Hal ini lebih dikarenakan kehati-hatian mereka dalam menentukan proses keberadaan manusia yang direkayasa oleh manusia lainnya.
Masalah lain yang dilarang menurut moral dan hukum Islam adalah teknologi “Post Mortem - Fertilization” , yakni pelelehan zygote atau embrio yang telah lama disimpan dan dibekukan di dalam “tabung pengawet” dari hubungan sah suami isteri, namun trnsplantasi zygote dilakukan terhadap isteri yang memiliki zygote itu setelah suaminya meninggal dunia atau setelah terjadinya perceraian.
2. HUKUM BAYI TABUNG
Ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah SWT. Demikian halnya di ntara pancamaslahat yang diayomi oleh maqashid asy-syari’ah (tujuan filosofis syariah Islam) adalah hifdz an-nasl (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi umat manusia. Allah telah menjanjikan setiap kesulitan ada solusi (QS.Al-Insyirah:5-6) termasuk kesulitan reproduksi manusia dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran dan ilmu biologi modern yang Allah karuniakan kepada umat manusia agar mereka bersyukur dengan menggunakannya sesuai kaedah ajaran-Nya.
Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya seara spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika. Dengan demikian, mengenai hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas.
Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al dharurat’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat).
Hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat mengharamkan seseorang melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari istri orang lain. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak mengawini wanita hamil. Menurut Abu Hanifah boleh, asalkan tidak melakukan senggama sebelum kandungannya lahir. Sedangkan Zufar tidak membolehkan. Pada saat para imam mazhab masih hidup, masalah inseminasi buatan belum timbul. Karena itu, kita tidak bisa memperoleh fatwa hukumnya dari mereka. Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air hujan atau air secara umum, seperti dalam Thaha:53. Juga bisa berarti benda cair atau sperma seperti dalam An-Nur:45 dan Al-Thariq:6.


BAB II
KESIMPULAN



Istilah Bayi Tabung ( tube baby) dalam bahasa kedokteran dikenal dengan sebutan “In Vitro Fertilization and Embryo Transfer” (IVF-ET) atau dalam khazanah hukum Islam dikenal dengan “Thifl al-Anâbîb” atau “Athfâl al-Anbûbah”. Sedangkan Inseminiasi Buatan (Artificial Insemination) dalam hukum Islam dikenal dengan sebutan “At-Talqîh al-Shinâi”. Inseminasi buatan adalah peletakan sperma ke follicle ovarian (intrafollicular), uterus (intrauterine), cervix (intracervical), atau tube fallopian (intratubal) wanita dengan menggunakan cara buatan dan bukan dengan kopulasi alami. Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama.

DAFTAR ISI





• Abu Fadl Muhsin, 1997, Aborsi Kontrasepsi Dan Mengatasi Kemandulan, Bandung: Mizan.
• M. Ali Hasan 1997, Masil Fiqhiyah al-Haditsah, Jakarta: Raja Grafindo.
• www.wordpress.com/search?bayitabung/


BAB I
PEMBAHASAN




A. HAKIKAT BELAJAR MENGAJAR

Dalam kegiatan belajar mengajar, anak adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari kegiatan belajar mengajar. Karena itu, inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan belajar anak didik dalam tercapai suatu tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran tentu saja akan dapat tercapai jika anak didik berusaha secara aktif untuk mencapainya. Keaktifan anak didik disini hanya dituntut dari segi fisik, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya anak didik tidak belajar, karena anak didik tidak merasakan perubahan di dalam dirinya. Padahal belajar pada hakikatnya adalah “perubahan” yang terjadi di dalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktifitas belajar. Walaupun pada kenyataannya tidak semua perubahan termasuk kategori belajar. Misalnya, perubahan fisik, mabuk, gila dan sebagainya. Kegiatan mengajar bagi seorang guru menghendaki bagi sejumlah anak didik. Berbeda dengan belajar. Belajar tidak selamanya memerlukan kehadiran seorang guru. Mengajar pasti menrupakanb kegiatan yang mutlak memerlukan keterlibatan individi anak didik. Bila tidak ada anak didik atau objek didik, siapa yang diajar.
Karena itu, belajar dan mengajar memerlukan istilah yang sudah baku dan menyatu di dalam konsep pengajaran. Biasanya permasalah yang guru hadapi ketika berhadapan dengan sejumlah anak didik adalah masalah pengelolaan kelas. Apa, siapa, bagaimana, kapan, dan di mana adalah serentetan pertanyaan yang perlu di jawab dalam hubungannya dengan masalah pengelolaan kelas. Peranan guru itu paling tidak berusaha mengatur suasana kelas yang kondusif bagi kegairahan dan kesenangan belajar anak didik. Setiap kali guru masuk kelas selalu di tuntut untuk mengelola kelas hingga berakhirnya kegiatan belajar mengajar. Sama halnya dengan belajar, mengajarpun pada hakikatnya adalah suatu proses, yaitu proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar anak didik, sehingga apat menumbuhkan dan mendorong anak didik melakukan proses belajar. Akhirnya, bila hakikat belajar adalah “perubahan”, maka hakikat belajar mengajar adalah proses “pengaturan” yang dilakukan oleh guru.

B. CIRI-CIRI BELAJAR MENGAJAR
Sebagai proses pengaturan, kegiatan belajar mengajar tidak terlepas dari ciri-ciri tertentu, yang menurut Edi Suardi sebagai berikut :
1. Belajar mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membentuk anak didik dalam suatu perkembangan tertentu. Inilah yang dimaksut dengan kegiatan belajar mengajar itu sadar akan tujuan, dengan menempatkan anak didik sebagai pusat perhatian.
2. Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3. Kegiatan belajar mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus. Dalam hal ini materi harus didesain dengan sedemikian rupa, sehingga cocok untuk mencapai tujuan.
4. Ditandai dengan aktivitas anak didik. Sebagai konsekuensi, bahwa anak didik merupakan bahwa anak didik merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Aktivitas anak dalam hal ini, baik secara fisik maupun secara mental, aktif.
5. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru berperan sebagai pembimbing dalam peranannya sebagai pembimbing, guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motifasi, agar terjadi proses interaksi yang kondusif.
6. Dalam kegiatan belajar membutuhkan disiplin. Disiplin dalam kegiatan belajar mengajar ini diartikan suatu pola tingkah laku yang diatur sedemikian rupa menurut ketentuan yang sudah ditaati oleh pihak guru maupun anak didik dengan sadar.
7. Ada batas waktu. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam sistem berkelas (kelompok anak didik), batas waktu menjadi salah satu ciri yang tidak bisa ditinggalkan.
8. Evakuasi. Dari seliruh kegiatan diatas, masalah evaluasi bagian penting yang tidak bisa diabaikan, setelah guru melaksanakan kegiatan mengajar.

Demikian pembicaraan mengenai kegiatan belajar mengajar. Untuk seterusnya pembahasan ini diarahkan pada masalah belajar mengajar.
C. KOMPONEN-KOMPONEN BELAJAR MENGAJAR
Sebagai suatu sistem tentu saja kegiatan belajar mengajar mengandung suatu komponen yang meliputi tujuan, bahan pelajaran. Kegiatan belajar mengajar, metode, alat dan sumber, serta avaluasi. Penjelasan dari setiap komponen tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tujuan
Tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dari suatu pelaksanaan suatu kegiatan. Tidak ada suatu kegiatan yang diprogramkan tanpa tujuan, karena hal itu adalah suatu yang tidak memiliki kepastian dalam menentukan ke arah mana kegiatan itu akan dibawa. Sebagai unsur penting untuk suatu kegiatan, maka dalam kegiatan apapun tujuan tidak bisa diabaikan.
Dalam kegiatan belajar mengajar, tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dalam kegiatannya. Kegiatan belajar mengajar tidak bisa dibawa sesuka hati, kecuali untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan dalam pendidikan dan pengajaran adalah suatu cita-cita yang bernilai normatif. Dengan perkataan lain, didalam tujuan terdapat sejumlah nilai yang harus ditanamkan kepada anak didik. Nilai-nilai itu nantinya akan mewarnai cara anak didik bersikap dan berbuat dalam lingkungan sosialnya, baik disekolah maupun di luar sekolah.
Tujuan mempunyai jenjang dari yang luas dan umum sampai kepada yang sempit/khusus. Semua tujuan itu berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, dan tujuan dibawahnya menunjang tujuan diatasnya. Bila tujuan terendah tidak tercapai, maka tujuan diatasnya juga tidak tercapa, sebab rumusan tujuan terndah biasanya menjadikan tujuan diatasnya sebagai pedoman. Ini berarti bahwa dalam dalam merumuskan tujuan harus benar-benar memperhatikan keseimbangan setiap jenjang tujuan dalam pendidikan dan pengajaran.
Tujuan adalah komponen yang dapat mempengaruhi kpmponen pengajaran lainnya seperti bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, pemilihan metode, alat, sumber, dan alat evakuasi. Semua komponen itu harus bersesuai dan didayagunakan untuk mencapai tujuan seefektif dan seefisien mungkin. Bila salah satu komponen itu harus sesuai dengan tujuan. Maka pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tidak akan dapat mencapai tujuan yang ditentukan.


2. Bahan Pelajaran
Bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaika dalam proses belajar. Tanpa bahan pelajaran proses belajar mengajar tidak akan berjalan. Karena itu, guru yang akan mengajar memiliki dan menguasai bahan pelajaran yang akan disampaikannya pada anak didik. Ada dua persoalan dalam penguasaan bahan pelajaran ini, yakni penguasaan bahan pelajaran pokok dan pelajaran pelengkap. Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran yang menyangkut bidang stadi yang dipegang oleh guru sesuai dengan profesinya. Sedangkan bahan pelengkap atau penunjang adalah bahan wawasan yang dapat menunjang penyampaian bahan pelajaran pokok.
Bahan adalah salah satu sumber belajar bagi anak didik. Bahan yang disebut sebagai sumber belajar (pengajaran) ini adalah sesuatu yang membawa pesan untuk tujuan pengajaran. (Sudirman. N.K., 1991;2003). Bahan pelajaran menurut Dr. Suharsimi Arikunto (1990) merupakan unsur inti yang ada didalam kegiatan belajar mengajar, karena memang bahan pelajaran itulah yang diupayakan untuk dikuasai oleh anak didik. Karena itu, guru khususnya atau pengembang kurikulum umumnya tidak boleh lupa harus memikirkan sejauh mana bahan-bahan yang topiknya tertera dalam silabi berkaitan dengan kebutuhan anak didik pada usia tertentu dan dalam lingkungan tertentu pula. Biasanya aktivitas anak didik akan berkurang apabila bahan pelajaran yang guru berikan kurang menarik perhatiannya, disebabkan cara mengajar yang mengabaikan prinsip-prinsip mengajar, seperti apersepsi dan kolerasi.
Dengan demikian, bahan pelajaran merupakan komponen yang tidak bisa diabaikan dalam pengajaran, sebab bahan adalah inti dalam proses belajar mengajar yang akan disampaikan kepada anak didik.

3. Kegiatan Belajar Mengajar
Kegiatan belajar mengajar adalah inti kegiatan dalam pendidikan. Segala sesuatu yang telah diprogramkan akan dilaksanakan dalam proses belajar mengajar. Dalam kegiatan belajar mengajar akan melibatkan semua komponen pengajaran. Kegiatan belajar akan menentukan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai.dalam kegiatan belajar mengajar, guru dan anak didik terlibat dalam sebuah interaksi dengan bahan pelajaran sebagai mediumnya. Dalam interaksi itu anak didiklah yang lebih aktif, bukan guru. Gguru hanya berperan sebagai motivato dan fasilitator. Inilah sistem pengajaran dengan pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dalam pendidikan modern. Kegiatan belajar mengajar pendekatan CBSA menghendaki aktivitas anak didik seoptimal mungkin. Keaktifan anak didik menyangkut kegiatan fisik dan mental. Aktifitas anak didik bukan hanya secara individual, tetapi juga dalam kelompok sosial. Aktivitas anak didik dalam kelompok sosial akan membuahkan hasil interaksi dalam kelompok. Interaksi dikatakan maksimal bila interaksi itu terjadi antara guru dengan anak didik, antara anak didik dengan guru, dan antara anak didik dengan anak didik dalam rangka bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.

Dalam kegiatan belajar mengajar, guru sebaiknya memperhatikan perbedaan individual anak didik, yaitu pada aspek biologis, intelektual, dan psikologis. Kerangka berfikir demikian dimaksudkan agar guru mudah dalam melakukan pendekatan kepada setiap anak didik secara individual. Anak didik sebagai individu memiliki perbedaan dalam hal sebagai mana disebutkan diatas. Pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut akan merapatkan hubungan guru dengan anak didik, sehingga memudahkan melakukan pendekatan Mastery learning dalam mengajar. Mastery Learning adalah salah satu strategi belajar mengajar pendekatan individual (Drs. Muhammad Ali, 1992;94). Mastery learning adalah kegiatan yang meliputi dua kegiatan, yaitu program pengayaan dan program perbaikan (Dr. Suharsimi Arikunto, 1988;31). Dalam kegiatan belajar mengajar, guru akan menemui bahwa anak didiknya sebagian ada yang dapat menguasai bahan pelajaran secara tuntas dan ada pula anak didik yang kurang menguasai bahan pelajaran secara tuntas (mastery).
4. Metode
Metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar, metode diperlukan oleh guru dan penggunanya bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai setelah pelajaran berakhir. Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila dia tidak menguasai satupun metode mengajar yang dikemukakan para ahli psikologis dan pendidikan (Syaiful Bahri Djamarah, 1991: 72). Dalam kegiatan belajar mengajar, guru tidak harus terpaku dengan menggunakan satu metode, tetapi guru sebaiknya menggunakan metode yang bervariasi agar jalannya pengajaran tidak membosankan, tetapi menarik perhatian anak didik.

Tetapi juga penggunakan metode yang bervariasi tidak akan menguntungkan kegiatan belajar mengajar bila penggunaannya tidak tepat dan sesuai dengan situasi yang mendukungnya dan dengan kondisi psikologis anak didik. Oleh karena itu, disinilah kompetensi guru diperlukan dalam pemilihan metode yang tepat (tentang hal ini akan dibicarakan dalam bab lima tentang beberapa metode mengajar).

Prof. dr. Winarno Surakhman, M. Sc. Ed., mengemukakan lima macam faktor yang mempengaruhi penggunaan metode mengajar sebagai berikut :
a. Tujuan berbagai jenis dan fungsinya;
b. Anak didik yang berbagai tingkat kematangannya;
c. Situasi yang berbagai-bagai keadaannya;
d. Fasilitas yang berbagai-bagai kualitas dan kuantitasnya;
e. Pribadi guru serta kemampuan profesionalnya yang berbeda-beda.

5. Alat
Alat adalah segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Alat mempunyai fungsi yaitu, alat sebagai pelengkapan, alat sebagai pembantu mempermudah usaha mencapai tujuan, dan alat sebagai tujuan (Drs. Ahmad D. Marimba, 1989;51).
Alat dibagi menjadi dua macam, yaitu : alat dan alat bantu pengajaran. Yang dimaksud dengan alat adalah berupa suruhan, perintah, larangan, dan sebagainya. Sedangkan alat bantu pengajaran adalah berupa papan tulis, batu tulis, batu kapur, gambar, diagram, vidio dan sebagainya. Ahli lain membagi alat pendidikan dan pengajaran menjadi alat matrial dan nonmatrial.

Sebagai alat bantu dalam pendidikan dan pengajaran, alat matrial (audiovisual) mempunyai sifat sebagai berikut :
a. Kemampuan untuk meningkatkan persepsi;
b. Kemampuan untuk meningkatkan pengertian;
c. Kemampuan untuk meningkatkan transper (pengalihan) belajar;
d. Kemampuan untuk memberikan penguatan (reinforcement) atau pengtahuan hasil yang dicapai;
e. Kemampuan untuk meningkatkan retensi (ingatan).

6. Sumber Pelajaran
Yang dimaksud dengan sumber-sumber bahan dan belajar adalah sebagai suatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang (Drs. Udin Saripuddin Winataputra, M.A dan Drs. Rustana Ardiniwata, 1991 : 165). Dengan demikian, sumber belajar itu merupakan bahan/materi untuk menambah ilmu pengetahuan yang mengandung hal-hal baru bagi si pelajar. Sebab pada hakikatnya belajar adalah untuk mendapatkan hal-hal baru (perubahan).

Ny. Dr. Roestiyah, N.K. (1989:53), mengatakan bahwa sumber-sumber belajar itu adalah :
a. Manusia (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat).
b. Buku/ perpustakaan.
c. Mass media (majalah surat kabar, radio, tv, dan lain-lain)
d. Dalam lingkungan.
e. Alat pengajaran (buku pelajaran, peta, gambar, kaset, papan tulis, kapur, spidol, dan lain-lain.
f. Musium (tempat penyimpanan benda-benda kuno)

Drs. Sudirman N, dkk. (1991: 203), mengemukakan macam-macam sumber belajar sebagai berikut :
a. Manusia (people).
b. Bahan (materials).
c. Lingkungan (setting).
d. Alat dan perlengkapan (tool and equipment).
e. Aktivitas (activities).
1) Pengajaran Berprogram
2) Simulasi
3) Karyawisata
4) Sistem pengajaran modul

Aktivitas sebagai sumber belajar biasanya meliputi :
• Tujuan khusus yang harus dicapai oleh siswa.
• Materi (bahan pelajaran) yang harus dipelajari.
• Aktivitas yang harus dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan pengajaran.

Drs. Udin Sarippudin Winataputra, M.A. dan Drs. Rustana Ardiniwata (1991: 165), berpendapat bahwa terdapat sekurang-kurangnya lima macam sumber belajar, yaitu :
a. Manusia.
b. buku/ perpustakaan.
c. media massa
d. alam lingkungan
1) Alam lingkungan terbuka
2) Alam lingkungan sejarah atau peninggalan sejarah
3) Alam lingkungan manusia
e. Media pendidikan.
7. Evaluasi
Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu evaluation. Dalam buku Essentials of Educational karangan Edwin dan Gerald W. Brown dikatakan bahwa Evaluation refer to the act or prosess to determining the value of something. Jadi, menurut Wand and Brown, evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Sesuai dengan pendapat diatas. Evaluasi pendidikan dapat diartikan sebagai tindakan atau proses untuk menentukan nilai sebagai sesuatu dalam dunia pendidikan atau segala sesuatu yang ada hubungannya dengan dunia pendidikan.

Berbeda dengan pendapat tersebut, Ny. Dr. Roestiyah. N.K (1989;85) mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mengumpulkan data seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, yang bersangkutan dengan kapabilitas siswa guna mengetahui sebab akibat dan hasil belajar siswa yang dapat mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar. Dari kedua pengertian evaluasi tersebut, dapat diketahui tujuan penggunaan evaluasi. Tujuan evaluasi dapat dilihat dari dua segi, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. L. Pasaribu dan Simanjuntak menegaskan bahwa:
a. Tujuan Umum Dari Evaluasi adalah :
1) Mengumpulkan data-data yang membuktikan taraf kemajuan murid dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
2) Memungkinkan pendidik/ guru menilai aktivitas yang didapat.
3) Menilai metode mengajar yang dipergunakan.

b. Tujuan Khusus Dari Evaluasi adalah :
1) Merangsang kegiatan siswa.
2) Menemukan sebab-sebab kemajuan atas kegagalan.
3) Memberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan, perkembangan dan bakat siswa yang bersangkutan.
4) Memperoleh bahan laporan tentang perkembangan siswa yang diperlukan orang tua dan lembaga pendidikan
5) Untuk memperbaiki mutu pelajaran/cara belajar dan metode mengajar. (Abu Ahmad dan Eidodo Supriyono, 1991;189)

Dari tujuan-tujuan yang dikemukakan tersebut, maka pelaksanaan evaluasi mempunyai manfaat yang sangat besar. Manfaat itu dapat ditinjau dari pelaksanaanya dan ketika akan memprogramkan serta melaksanakan proses belajar mengajar di masa mendatang (H. Muhammad Ali, 1992;113).

Dari tujuan itu juga dapat dipahami bahwa pelaksanaan evaluasi diarahkan kepada evaluasi proses dan evaluasi produk (W.S. Winkel,1989;318). Evaluasi Proses dimaksud, adalah suatu evaluasi yang diarahkan untuk menilai bagaimana pelaksanaan proses belajar mengajar yang telah dilakukan mencapai tujuan, apakah dalam proses itu ditemui kendala, dan bagaimana kerja sama setiap komponen pengajaran yang telah diprogramkan dalam suatu pelajaran. Evaluasi produk dimaksud, adalah suatu evaluasi yang diarahkan kepada bagaimana hasil belajar yang telah dilakukan oleh siswa, dan bagaimana penguasaan siswa terhadap bahan/materi pelajaran yang telah guru berikan ketika proses belajar mengajar berlangsung.
Ketika evaluasi dapat memberikan manfaat bagi guru dan siswa, maka evaluasi mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Untuk memberikan umpan balik (feed back) kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar, serta mengadakan perbaikan program bagi murid.
b. Untuk memberikan angka yang tepat tentang kemajuan atau hasil belajar dari setiap murid. Antara lain digunakan dalam rangka pemberian laporan kemajuan belajar murid kepada orang tua, penentuan kenaikan kelas, serta penentuan lulus tidaknya seorang murid itu.
c. Untuk menentukan murid di dalam situasi belajar mengajar yang tepat, sesuai dengan tingkat kemampuan (dan karakteristik lainnya) yang dimiliki oleh setiap murid.
d. Untuk mengenal latar belakang (psikologis, fisik dan lingkungan) murid yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar, nantinya dapat dipergunakan sebagai dasar dalam pemecahan kesulitan-kesulitan belajar yang timbul (Abu Ahmad dan Widodo Supriyono, 1991;189).


Demikianlah uraian secara umum tentang evaluasi dan untuk memperdalam wawasan dalam hal ini silahkan pembaca membaca berbagai literatur yang membahas masalah evaluasi.

BAB II
KESIMPULAN



1. Istilah belajar dan pengajaran yang dijumpai dalam bahasa asing adalah learning dan instruction. Istilah learning mengandung pengertian proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman (Fontana 1981;147).
2. Belajar merujuk pada perubahan individu sebagai akibat dan proses pengamalan baik yang alami ataupun yang sengaja dirancang.
3. Belajar dianggap bermanfaat bila seseorang dapat menyimpan dan menerapkan hasil belajar dalam situasi baru.
4. Kegiatan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang sengaja diciptakan. Gurulah yang menciptakan guna membelajarkan anak didik, guru yang mengajar dan anak didik yang belajar.
5. Hakikat belajar “perubahan” maka hakikat belajar mengajar adalah proses “pengaturan” yang dilakukan oleh guru.





DAFTAR PUSTAKA




• Drs. Syaiful Bahri Djamarah, “Strategi belajar mengajar”, Renika Cipta, Jakarta: 2006.
• Drs. H. Paimun, Dkk 1997, “Psikologi Perkembangan”, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Jakarta: 1991




BAB I
PEMBAHASAN




A. HAKIKAT BELAJAR MENGAJAR

Dalam kegiatan belajar mengajar, anak adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari kegiatan belajar mengajar. Karena itu, inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan belajar anak didik dalam tercapai suatu tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran tentu saja akan dapat tercapai jika anak didik berusaha secara aktif untuk mencapainya. Keaktifan anak didik disini hanya dituntut dari segi fisik, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya anak didik tidak belajar, karena anak didik tidak merasakan perubahan di dalam dirinya. Padahal belajar pada hakikatnya adalah “perubahan” yang terjadi di dalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktifitas belajar. Walaupun pada kenyataannya tidak semua perubahan termasuk kategori belajar. Misalnya, perubahan fisik, mabuk, gila dan sebagainya. Kegiatan mengajar bagi seorang guru menghendaki bagi sejumlah anak didik. Berbeda dengan belajar. Belajar tidak selamanya memerlukan kehadiran seorang guru. Mengajar pasti menrupakanb kegiatan yang mutlak memerlukan keterlibatan individi anak didik. Bila tidak ada anak didik atau objek didik, siapa yang diajar.
Karena itu, belajar dan mengajar memerlukan istilah yang sudah baku dan menyatu di dalam konsep pengajaran. Biasanya permasalah yang guru hadapi ketika berhadapan dengan sejumlah anak didik adalah masalah pengelolaan kelas. Apa, siapa, bagaimana, kapan, dan di mana adalah serentetan pertanyaan yang perlu di jawab dalam hubungannya dengan masalah pengelolaan kelas. Peranan guru itu paling tidak berusaha mengatur suasana kelas yang kondusif bagi kegairahan dan kesenangan belajar anak didik. Setiap kali guru masuk kelas selalu di tuntut untuk mengelola kelas hingga berakhirnya kegiatan belajar mengajar. Sama halnya dengan belajar, mengajarpun pada hakikatnya adalah suatu proses, yaitu proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar anak didik, sehingga apat menumbuhkan dan mendorong anak didik melakukan proses belajar. Akhirnya, bila hakikat belajar adalah “perubahan”, maka hakikat belajar mengajar adalah proses “pengaturan” yang dilakukan oleh guru.

B. CIRI-CIRI BELAJAR MENGAJAR
Sebagai proses pengaturan, kegiatan belajar mengajar tidak terlepas dari ciri-ciri tertentu, yang menurut Edi Suardi sebagai berikut :
1. Belajar mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membentuk anak didik dalam suatu perkembangan tertentu. Inilah yang dimaksut dengan kegiatan belajar mengajar itu sadar akan tujuan, dengan menempatkan anak didik sebagai pusat perhatian.
2. Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3. Kegiatan belajar mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus. Dalam hal ini materi harus didesain dengan sedemikian rupa, sehingga cocok untuk mencapai tujuan.
4. Ditandai dengan aktivitas anak didik. Sebagai konsekuensi, bahwa anak didik merupakan bahwa anak didik merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Aktivitas anak dalam hal ini, baik secara fisik maupun secara mental, aktif.
5. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru berperan sebagai pembimbing dalam peranannya sebagai pembimbing, guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motifasi, agar terjadi proses interaksi yang kondusif.
6. Dalam kegiatan belajar membutuhkan disiplin. Disiplin dalam kegiatan belajar mengajar ini diartikan suatu pola tingkah laku yang diatur sedemikian rupa menurut ketentuan yang sudah ditaati oleh pihak guru maupun anak didik dengan sadar.
7. Ada batas waktu. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam sistem berkelas (kelompok anak didik), batas waktu menjadi salah satu ciri yang tidak bisa ditinggalkan.
8. Evakuasi. Dari seliruh kegiatan diatas, masalah evaluasi bagian penting yang tidak bisa diabaikan, setelah guru melaksanakan kegiatan mengajar.

Demikian pembicaraan mengenai kegiatan belajar mengajar. Untuk seterusnya pembahasan ini diarahkan pada masalah belajar mengajar.
C. KOMPONEN-KOMPONEN BELAJAR MENGAJAR
Sebagai suatu sistem tentu saja kegiatan belajar mengajar mengandung suatu komponen yang meliputi tujuan, bahan pelajaran. Kegiatan belajar mengajar, metode, alat dan sumber, serta avaluasi. Penjelasan dari setiap komponen tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tujuan
Tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dari suatu pelaksanaan suatu kegiatan. Tidak ada suatu kegiatan yang diprogramkan tanpa tujuan, karena hal itu adalah suatu yang tidak memiliki kepastian dalam menentukan ke arah mana kegiatan itu akan dibawa. Sebagai unsur penting untuk suatu kegiatan, maka dalam kegiatan apapun tujuan tidak bisa diabaikan.
Dalam kegiatan belajar mengajar, tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dalam kegiatannya. Kegiatan belajar mengajar tidak bisa dibawa sesuka hati, kecuali untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan dalam pendidikan dan pengajaran adalah suatu cita-cita yang bernilai normatif. Dengan perkataan lain, didalam tujuan terdapat sejumlah nilai yang harus ditanamkan kepada anak didik. Nilai-nilai itu nantinya akan mewarnai cara anak didik bersikap dan berbuat dalam lingkungan sosialnya, baik disekolah maupun di luar sekolah.
Tujuan mempunyai jenjang dari yang luas dan umum sampai kepada yang sempit/khusus. Semua tujuan itu berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, dan tujuan dibawahnya menunjang tujuan diatasnya. Bila tujuan terendah tidak tercapai, maka tujuan diatasnya juga tidak tercapa, sebab rumusan tujuan terndah biasanya menjadikan tujuan diatasnya sebagai pedoman. Ini berarti bahwa dalam dalam merumuskan tujuan harus benar-benar memperhatikan keseimbangan setiap jenjang tujuan dalam pendidikan dan pengajaran.
Tujuan adalah komponen yang dapat mempengaruhi kpmponen pengajaran lainnya seperti bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, pemilihan metode, alat, sumber, dan alat evakuasi. Semua komponen itu harus bersesuai dan didayagunakan untuk mencapai tujuan seefektif dan seefisien mungkin. Bila salah satu komponen itu harus sesuai dengan tujuan. Maka pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tidak akan dapat mencapai tujuan yang ditentukan.


2. Bahan Pelajaran
Bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaika dalam proses belajar. Tanpa bahan pelajaran proses belajar mengajar tidak akan berjalan. Karena itu, guru yang akan mengajar memiliki dan menguasai bahan pelajaran yang akan disampaikannya pada anak didik. Ada dua persoalan dalam penguasaan bahan pelajaran ini, yakni penguasaan bahan pelajaran pokok dan pelajaran pelengkap. Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran yang menyangkut bidang stadi yang dipegang oleh guru sesuai dengan profesinya. Sedangkan bahan pelengkap atau penunjang adalah bahan wawasan yang dapat menunjang penyampaian bahan pelajaran pokok.
Bahan adalah salah satu sumber belajar bagi anak didik. Bahan yang disebut sebagai sumber belajar (pengajaran) ini adalah sesuatu yang membawa pesan untuk tujuan pengajaran. (Sudirman. N.K., 1991;2003). Bahan pelajaran menurut Dr. Suharsimi Arikunto (1990) merupakan unsur inti yang ada didalam kegiatan belajar mengajar, karena memang bahan pelajaran itulah yang diupayakan untuk dikuasai oleh anak didik. Karena itu, guru khususnya atau pengembang kurikulum umumnya tidak boleh lupa harus memikirkan sejauh mana bahan-bahan yang topiknya tertera dalam silabi berkaitan dengan kebutuhan anak didik pada usia tertentu dan dalam lingkungan tertentu pula. Biasanya aktivitas anak didik akan berkurang apabila bahan pelajaran yang guru berikan kurang menarik perhatiannya, disebabkan cara mengajar yang mengabaikan prinsip-prinsip mengajar, seperti apersepsi dan kolerasi.
Dengan demikian, bahan pelajaran merupakan komponen yang tidak bisa diabaikan dalam pengajaran, sebab bahan adalah inti dalam proses belajar mengajar yang akan disampaikan kepada anak didik.

3. Kegiatan Belajar Mengajar
Kegiatan belajar mengajar adalah inti kegiatan dalam pendidikan. Segala sesuatu yang telah diprogramkan akan dilaksanakan dalam proses belajar mengajar. Dalam kegiatan belajar mengajar akan melibatkan semua komponen pengajaran. Kegiatan belajar akan menentukan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai.dalam kegiatan belajar mengajar, guru dan anak didik terlibat dalam sebuah interaksi dengan bahan pelajaran sebagai mediumnya. Dalam interaksi itu anak didiklah yang lebih aktif, bukan guru. Gguru hanya berperan sebagai motivato dan fasilitator. Inilah sistem pengajaran dengan pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dalam pendidikan modern. Kegiatan belajar mengajar pendekatan CBSA menghendaki aktivitas anak didik seoptimal mungkin. Keaktifan anak didik menyangkut kegiatan fisik dan mental. Aktifitas anak didik bukan hanya secara individual, tetapi juga dalam kelompok sosial. Aktivitas anak didik dalam kelompok sosial akan membuahkan hasil interaksi dalam kelompok. Interaksi dikatakan maksimal bila interaksi itu terjadi antara guru dengan anak didik, antara anak didik dengan guru, dan antara anak didik dengan anak didik dalam rangka bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.

Dalam kegiatan belajar mengajar, guru sebaiknya memperhatikan perbedaan individual anak didik, yaitu pada aspek biologis, intelektual, dan psikologis. Kerangka berfikir demikian dimaksudkan agar guru mudah dalam melakukan pendekatan kepada setiap anak didik secara individual. Anak didik sebagai individu memiliki perbedaan dalam hal sebagai mana disebutkan diatas. Pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut akan merapatkan hubungan guru dengan anak didik, sehingga memudahkan melakukan pendekatan Mastery learning dalam mengajar. Mastery Learning adalah salah satu strategi belajar mengajar pendekatan individual (Drs. Muhammad Ali, 1992;94). Mastery learning adalah kegiatan yang meliputi dua kegiatan, yaitu program pengayaan dan program perbaikan (Dr. Suharsimi Arikunto, 1988;31). Dalam kegiatan belajar mengajar, guru akan menemui bahwa anak didiknya sebagian ada yang dapat menguasai bahan pelajaran secara tuntas dan ada pula anak didik yang kurang menguasai bahan pelajaran secara tuntas (mastery).
4. Metode
Metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar, metode diperlukan oleh guru dan penggunanya bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai setelah pelajaran berakhir. Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila dia tidak menguasai satupun metode mengajar yang dikemukakan para ahli psikologis dan pendidikan (Syaiful Bahri Djamarah, 1991: 72). Dalam kegiatan belajar mengajar, guru tidak harus terpaku dengan menggunakan satu metode, tetapi guru sebaiknya menggunakan metode yang bervariasi agar jalannya pengajaran tidak membosankan, tetapi menarik perhatian anak didik.

Tetapi juga penggunakan metode yang bervariasi tidak akan menguntungkan kegiatan belajar mengajar bila penggunaannya tidak tepat dan sesuai dengan situasi yang mendukungnya dan dengan kondisi psikologis anak didik. Oleh karena itu, disinilah kompetensi guru diperlukan dalam pemilihan metode yang tepat (tentang hal ini akan dibicarakan dalam bab lima tentang beberapa metode mengajar).

Prof. dr. Winarno Surakhman, M. Sc. Ed., mengemukakan lima macam faktor yang mempengaruhi penggunaan metode mengajar sebagai berikut :
a. Tujuan berbagai jenis dan fungsinya;
b. Anak didik yang berbagai tingkat kematangannya;
c. Situasi yang berbagai-bagai keadaannya;
d. Fasilitas yang berbagai-bagai kualitas dan kuantitasnya;
e. Pribadi guru serta kemampuan profesionalnya yang berbeda-beda.

5. Alat
Alat adalah segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Alat mempunyai fungsi yaitu, alat sebagai pelengkapan, alat sebagai pembantu mempermudah usaha mencapai tujuan, dan alat sebagai tujuan (Drs. Ahmad D. Marimba, 1989;51).
Alat dibagi menjadi dua macam, yaitu : alat dan alat bantu pengajaran. Yang dimaksud dengan alat adalah berupa suruhan, perintah, larangan, dan sebagainya. Sedangkan alat bantu pengajaran adalah berupa papan tulis, batu tulis, batu kapur, gambar, diagram, vidio dan sebagainya. Ahli lain membagi alat pendidikan dan pengajaran menjadi alat matrial dan nonmatrial.

Sebagai alat bantu dalam pendidikan dan pengajaran, alat matrial (audiovisual) mempunyai sifat sebagai berikut :
a. Kemampuan untuk meningkatkan persepsi;
b. Kemampuan untuk meningkatkan pengertian;
c. Kemampuan untuk meningkatkan transper (pengalihan) belajar;
d. Kemampuan untuk memberikan penguatan (reinforcement) atau pengtahuan hasil yang dicapai;
e. Kemampuan untuk meningkatkan retensi (ingatan).

6. Sumber Pelajaran
Yang dimaksud dengan sumber-sumber bahan dan belajar adalah sebagai suatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang (Drs. Udin Saripuddin Winataputra, M.A dan Drs. Rustana Ardiniwata, 1991 : 165). Dengan demikian, sumber belajar itu merupakan bahan/materi untuk menambah ilmu pengetahuan yang mengandung hal-hal baru bagi si pelajar. Sebab pada hakikatnya belajar adalah untuk mendapatkan hal-hal baru (perubahan).

Ny. Dr. Roestiyah, N.K. (1989:53), mengatakan bahwa sumber-sumber belajar itu adalah :
a. Manusia (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat).
b. Buku/ perpustakaan.
c. Mass media (majalah surat kabar, radio, tv, dan lain-lain)
d. Dalam lingkungan.
e. Alat pengajaran (buku pelajaran, peta, gambar, kaset, papan tulis, kapur, spidol, dan lain-lain.
f. Musium (tempat penyimpanan benda-benda kuno)

Drs. Sudirman N, dkk. (1991: 203), mengemukakan macam-macam sumber belajar sebagai berikut :
a. Manusia (people).
b. Bahan (materials).
c. Lingkungan (setting).
d. Alat dan perlengkapan (tool and equipment).
e. Aktivitas (activities).
1) Pengajaran Berprogram
2) Simulasi
3) Karyawisata
4) Sistem pengajaran modul

Aktivitas sebagai sumber belajar biasanya meliputi :
• Tujuan khusus yang harus dicapai oleh siswa.
• Materi (bahan pelajaran) yang harus dipelajari.
• Aktivitas yang harus dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan pengajaran.

Drs. Udin Sarippudin Winataputra, M.A. dan Drs. Rustana Ardiniwata (1991: 165), berpendapat bahwa terdapat sekurang-kurangnya lima macam sumber belajar, yaitu :
a. Manusia.
b. buku/ perpustakaan.
c. media massa
d. alam lingkungan
1) Alam lingkungan terbuka
2) Alam lingkungan sejarah atau peninggalan sejarah
3) Alam lingkungan manusia
e. Media pendidikan.
7. Evaluasi
Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu evaluation. Dalam buku Essentials of Educational karangan Edwin dan Gerald W. Brown dikatakan bahwa Evaluation refer to the act or prosess to determining the value of something. Jadi, menurut Wand and Brown, evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Sesuai dengan pendapat diatas. Evaluasi pendidikan dapat diartikan sebagai tindakan atau proses untuk menentukan nilai sebagai sesuatu dalam dunia pendidikan atau segala sesuatu yang ada hubungannya dengan dunia pendidikan.

Berbeda dengan pendapat tersebut, Ny. Dr. Roestiyah. N.K (1989;85) mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mengumpulkan data seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, yang bersangkutan dengan kapabilitas siswa guna mengetahui sebab akibat dan hasil belajar siswa yang dapat mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar. Dari kedua pengertian evaluasi tersebut, dapat diketahui tujuan penggunaan evaluasi. Tujuan evaluasi dapat dilihat dari dua segi, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. L. Pasaribu dan Simanjuntak menegaskan bahwa:
a. Tujuan Umum Dari Evaluasi adalah :
1) Mengumpulkan data-data yang membuktikan taraf kemajuan murid dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
2) Memungkinkan pendidik/ guru menilai aktivitas yang didapat.
3) Menilai metode mengajar yang dipergunakan.

b. Tujuan Khusus Dari Evaluasi adalah :
1) Merangsang kegiatan siswa.
2) Menemukan sebab-sebab kemajuan atas kegagalan.
3) Memberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan, perkembangan dan bakat siswa yang bersangkutan.
4) Memperoleh bahan laporan tentang perkembangan siswa yang diperlukan orang tua dan lembaga pendidikan
5) Untuk memperbaiki mutu pelajaran/cara belajar dan metode mengajar. (Abu Ahmad dan Eidodo Supriyono, 1991;189)

Dari tujuan-tujuan yang dikemukakan tersebut, maka pelaksanaan evaluasi mempunyai manfaat yang sangat besar. Manfaat itu dapat ditinjau dari pelaksanaanya dan ketika akan memprogramkan serta melaksanakan proses belajar mengajar di masa mendatang (H. Muhammad Ali, 1992;113).

Dari tujuan itu juga dapat dipahami bahwa pelaksanaan evaluasi diarahkan kepada evaluasi proses dan evaluasi produk (W.S. Winkel,1989;318). Evaluasi Proses dimaksud, adalah suatu evaluasi yang diarahkan untuk menilai bagaimana pelaksanaan proses belajar mengajar yang telah dilakukan mencapai tujuan, apakah dalam proses itu ditemui kendala, dan bagaimana kerja sama setiap komponen pengajaran yang telah diprogramkan dalam suatu pelajaran. Evaluasi produk dimaksud, adalah suatu evaluasi yang diarahkan kepada bagaimana hasil belajar yang telah dilakukan oleh siswa, dan bagaimana penguasaan siswa terhadap bahan/materi pelajaran yang telah guru berikan ketika proses belajar mengajar berlangsung.
Ketika evaluasi dapat memberikan manfaat bagi guru dan siswa, maka evaluasi mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Untuk memberikan umpan balik (feed back) kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar, serta mengadakan perbaikan program bagi murid.
b. Untuk memberikan angka yang tepat tentang kemajuan atau hasil belajar dari setiap murid. Antara lain digunakan dalam rangka pemberian laporan kemajuan belajar murid kepada orang tua, penentuan kenaikan kelas, serta penentuan lulus tidaknya seorang murid itu.
c. Untuk menentukan murid di dalam situasi belajar mengajar yang tepat, sesuai dengan tingkat kemampuan (dan karakteristik lainnya) yang dimiliki oleh setiap murid.
d. Untuk mengenal latar belakang (psikologis, fisik dan lingkungan) murid yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar, nantinya dapat dipergunakan sebagai dasar dalam pemecahan kesulitan-kesulitan belajar yang timbul (Abu Ahmad dan Widodo Supriyono, 1991;189).


Demikianlah uraian secara umum tentang evaluasi dan untuk memperdalam wawasan dalam hal ini silahkan pembaca membaca berbagai literatur yang membahas masalah evaluasi.

BAB II
KESIMPULAN



1. Istilah belajar dan pengajaran yang dijumpai dalam bahasa asing adalah learning dan instruction. Istilah learning mengandung pengertian proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman (Fontana 1981;147).
2. Belajar merujuk pada perubahan individu sebagai akibat dan proses pengamalan baik yang alami ataupun yang sengaja dirancang.
3. Belajar dianggap bermanfaat bila seseorang dapat menyimpan dan menerapkan hasil belajar dalam situasi baru.
4. Kegiatan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang sengaja diciptakan. Gurulah yang menciptakan guna membelajarkan anak didik, guru yang mengajar dan anak didik yang belajar.
5. Hakikat belajar “perubahan” maka hakikat belajar mengajar adalah proses “pengaturan” yang dilakukan oleh guru.





DAFTAR PUSTAKA




• Drs. Syaiful Bahri Djamarah, “Strategi belajar mengajar”, Renika Cipta, Jakarta: 2006.
• Drs. H. Paimun, Dkk 1997, “Psikologi Perkembangan”, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Jakarta: 1991



BAB I
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT


A. Pengertian Filsafat
Merupakan bidang ilmu yang rumit, kompleks dan sulit dipahami secara definitif. Namun demikian sebenarnya pendapat yang demikian ini tidak selamanya benar. Jikalau seseorang berpandangan bahwa kebenaran pengetahuan itu sumbernya rasio maka orang tersebut berfilsafat rasionalisme, demikian juga jikalau seseorang berpandangan bahwa dalam hidup ini yang terpenting adalah kenikmatan, kesenangan dan kepuasan lahiriah maka paham ini disebut hedonisme.
Secara etimologis istilah “filsafat” berasal dari bahasa Yunani “Philein” yang artinya “cinta” dan “Sophos” yang artinya “hikmah” atau “kebijaksanaan” atau “Wisdom” (Nasution, 1973). Jadi secara harfiah istilah “filsafat” mengandung makna cinta kebijaksanaan. Keseluruhan arti filsafat yang meliputi berbagai masalah tersebut dapat dikelompokan menjadi dua macam sebagai berikut:
1. Filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep, pemikiran-pemikiran dari para filsuf pada zaman dahulu yang lazimnya merupakan suatu aliran atau sistem filsafat tertentu, misalnya rasionalisme, materjalisme, pragmatisme dan lain sebagainya.
2. Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari aktivitas berfilsafat. Jadi, manusia mencapai suatu kebenaran yang timbul dari persoalan yang bersumber pada akal manusia.
Adapun cabang-cabang filsafat yang pokok adalah sebagai berikut:
• Metafisika
• Epistemologi
• Metodologi
• Logika
• Etika
• Estetika

B. Rumusan Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem
Secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Suatu kesatuan bagian-bagian
2. Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
3. Saling berhubungan dan saling ketergantungan
4. Keseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan sistem).
1. Susunan Kesatuan Sila-sila Pancasila yang Bersifat Organis
Kesatuan sila-sila Pancasila yang bersifat organis tersebut pada hakikatnya secara fisiologis bersumber pada hakikat dasar ontologis manusia sebagai pendukung dari inti, isi dari sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia “Monopluralis” yang memiliki unsur-unsur susunan kodrat jasmani rohani, sifat kodrat individu makhluk sosial, dan kedudukan kodrat sebagai pribadi berdiri sendiri makhluk Tuhan yang Maha Esa.
2. Susunan Pancasila yang Bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal
Susunan Pancasila adalah hierarkhis dan berbentuk piramidal. Pengertian matematis piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhi sila-sila Pancasila dalam urut-urutan luas (kwantitas) dan juga dalam hal isi sifatnya (kwalitas). Secara ontologis hakikat sila-sila Pancasila mendasarkan pada sila-sila Pancasila yaitu: Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil (anggoro, 1997:49).
Berdasarkan hakikat yang terkandung dalam sila-sila Pancasila sebagai dasar negara, maka segala hal yang berkaitan dengan sifat hakikat negara harus sesuai dengan landasan sila-sila Pancasila. Sila-sila Pancasila adalah sebagai berikut: pertama Ketuhanan adalah sifat-sifat dan keadaan agama harus sesuai dengan hakikat Tuhan, sila kedua Kemanusiaan adalah sifat-sifat dan keadaan negara yang harus sesuai dengan hakikat manusia, sila ketiga persatuan adalah sifat-sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan hakikat satu, sila keempat, kerakyatan sifat-sifat dan keadaan negara yang harus sesuai dengan hakikat rakyat, sila kelima keadilan adalah sifat-sifat an keadaan negara yang harus sesuai dengan hakikat adil. (Notonagoro, 1975:50).




Rumusan Pancasila yang Bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal
1. Sila Pertama
2. Sila Kedua
3. Sila Ketiga
4. Sila Keempat
5. Sila Kelima

3. Rumusan Hubungan Kesatuan Sila-sila Pancasila yang Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi
Adapun rumusan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkulifikasi tersebut adalah sebagai berikut: Sila ketuhanan yang maha Esa, Sila Kemanusiaan yang adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

C. Kesatuan Sila-sila Pancasila sebagai Suatu Sistem Filsafat
Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki, dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya misalnya materalisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme dan lain paham filsafat di Dunia.


1. Dasar Anropologis Sila-Sila Pancasila
Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bahwa yang berkebutuhan yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia. (Notonagoro, 1975:23). Pancasila adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok negara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri.
Hubungan kesatuan antara negara dengan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu rakyat dan adil adalah sebagai sebab adapun negara adalah sebagai akibat.
Berdasarkan uraian tersebut maka hakikat kesatuan sila-sila Pancasila yang bertingkat dan berbentuk piramidal dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sila pertama ketuhanan yang maha esa mendasari dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan yang maha esa serta mendasari dan menjiwai sila persatuan Indonesia, sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila ketiga persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan yang maha esa dan sila kemanusiaan yang adil dan beradap serta mendasari dan menjiwai sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hakikat persatuan didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan dan kemanusiaan, bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha esa.
Sila keempat adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan , maka pokok sila keempat adalah kerakyatan yaitu kesesuaiannya dengan hakikat rakyat. Sila keempat ini didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan yang maha esa dan kemanusiaan dan persatuan. Maka hakikat rakyat adalah sebagai akibat bersatunya manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha esa dalam suatu wilayah negara tertentu.
Sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memiliki makna pokok keadilan yang hakikatnya kesesuaian dengan hakikat. Berbeda dengan sila-sila lainnya maka sila kelima ini didasari dan dijiwai oleh keempat sila lainnya yaitu : ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan. Hal ini mengandung hakikat makna bahwa keadilan adalah sebagai akibat adanya negara kebangsaan. Dari manusia-manusia yang berketuhanan yang maha esa. Secara antologis hakikat keadilan sosial ditentukan oleh adanya hakikat keadilan sebagaimana terkandung dalam sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.

2. Dasar Epistemologis Sila-sila Pancasila
Dasar Epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila (Soeryanto, 1991:50).
Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi yaitu: Pertama tentang sumber pengetahuan manusia, Kedua tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, Ketiga tentang watak pengetahuan manusia. (Titus, 1984:20). Persoalan epistemologi dalam hubungannya dengan Pancasila dapat dirinci sebagai berikutt.
Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang Sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana dipahami bersama bahwa sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukannya hanya merupakan perenungan serta pemikiran seseorang atau beberapa orang saja namun dirumuskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki nilai-nilai adat –istiadat seperti kebudayaan dan nilai religius maka diantara bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila dengan Pancasila sendiri sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesatuan yang bersifat korespondensi. Berikutnya tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.
Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhi dan berbentuk piramidal, dimana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila keempat sila lainnya serta sila kedua didasari sila pertama serta menjiwai dan mendasari sila-sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua serta mendasari dan menjiwai sila-sila keempat dan kelima, sila keempat didasari sila kelima, adapun sila kelima didasari dan dijiwai sila-sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Kedua isi arti Pancasila yang umum kolektif yaitu terutama dalam tertib hukum Indonesia. Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat yang khusus kongkrit serta dinamis (Lihat Notonagoro, 1975:36,40).
Menurut Pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rohani). Tingkatan hakikat raga manusia adalah unsur-unsur :Fisis anorganis, vegetatif, animal. Adapun unsur jiwa (rohani) manusia terdiri atas unsur-unsur potensi jiwa manusia yaitu : Akal, yaitu suatu potensi unsur unsur kejiwaan manusia dalam mendapatkan kebenaran pengetahuan manusia. Rasa yaitu unsur potensi jiwa manusia dalam tingkatan kemampuan estetis (keindahan). Adapun kehendak adalah unsur potensi jiwa manusia dalam kaitannya dengan bidang moral atau etika.


3. Dasar Aksiologis Sila-sila Pancasila
Sila-sila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasa aksiologisnya sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam terori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titk tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian nilai dasar hierarkirnya. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa hakikat nilai yang tertinggi adalah nilai material, kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan.

Nilai-nilai Pancasila sebagai Suatu Sistem
Isi arti sila-sila Pancasila pada hakikatnya dapat dibedakan atas hakikat Pancasila yang umum universal yang merupakan substansi sila-sila Pancasila, sebagai pedoman pelaksanaan dan penyelenggaraan negara yaitu sebagai dasar negara yang bersifat umum kolektif serta realisasi pengalaman Pancasila yang bersifat khusus dan kongkrit.

D. Pancasila Sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia
1. Dasar Filosofis
Dasar pemikiran filosof yang terkandung dalam setiap sila, dijelaskan nilai berikut. Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia . nilai-nilai Pancasila bersifat objektif dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya hakikatnya maknanya yang terdalam menunjukan adanya sifat –sifat yang umum universal dan abstrak.
b. Inti nilai-nilai Pancasila akan tetapi ada sepanjang masa dalam kehidupan bangas Indonesia dan mungkin juga pada bangsa lain baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan maupun dalam kehidupan keagamaan.
c. Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 , menurut ilmu hukum memenuhi syarat sebagai pokok kaidah yang fundamental negara sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia. Hal ini sebagaimana tertkandung dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, diperkuat Tap. No. V/MPR/1973.Jo.Tap.No.IX/MPR/1978.

2. Nilai-nilai Pancasila segbagai Nilai Fundemental Negara
Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan 1945 secara Yuridis memiliki kedudukan sebagai pokok kaidah negara yang fundemental. Adapun pembukaan UUD 1945 yang di dalam nya memuat nilai-nilai pancasila mengandung empat pokok pikiran yang bilamana di analisis makna yang terkandung di dalamnya tidak lain adalah merupakan derivasi atau penjabatan dari nilai-nilai Pancasila.
Dalam pengertian seperti inilah maka sebenarnya dapat disimpulkan bahwa pancasila merupakan dasar yang fundamental bagi negara Indonesia terutama dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Selain itu, bahwa nilai-nilai pancasila juga merupakan suatu landasan moral etik dalam kehidupan kenegaraan.
E. Inti Isi Sila-sila Pancasila
Adapun nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam setiap sila adalah sebagai berikut:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab terkandung nilai-nilai bahwa negara harus menjunjung tingkat harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab.
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab ini mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil. Hal ini mengandung suatu pengertian bahwa hakikat manusia harus adil dalam hubungan dengan diri sendiri, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
3. Persatuan Indonesia
Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama di antara elemen-elemen yang membentuk negara yang berupa suku, ras, kelompok, golongan maupun kelompok agama. Nilai persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini terkandung nilai bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme religius.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Nilai filosof yang terkandung di dalamnya adalah bahwa hakikat negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa yang bersatu yang bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia dalam suatu wilayah negara. Sehingga dalam sila kerakyatan terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam hidup negara.
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Dalam sila kelima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan dalam hidup bersama. Maka di dalam sila kelima tersebut terkandung nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama.
Konsekuensinya nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam hidup bersama adalah (1) keadilan distributif, yaitu suatu hubungan keadilan antara negara terhadap warganya, (2) keadilan legal (keadilan bertaat) yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara dan dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara. (3) keadilan komutatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan lainnya secara timbal balik. Nilai-nilai keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang terus diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan negara yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya serta melindungi seluruh warganya dan seluruh wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya.

Demikian pula nilai-nilai keadilan tersebut sebagai dasar dalam pergaulan antara negara sesama bangsa di dunia dan prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antara bangsa di dunia dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan bagi setiap Bangsa, perdamaian abadi serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).

RESUME

PANCASILA


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok
Dalam Mata Kuliah Pancasila


DOSEN: Drs. HAIKAL, M.M

DISUSUN OLEH:

1. BASOR N P M : 08210693
2. HERLINDA N P M : 08210680
3. TOYIB N P M : 08210717
4. DAWAM N P M : 08210719.K


JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI SI. PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER IV




















SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) MA’ARIF
METRO-LAMPUNG
2010/2011

KATA PENGANTAR




Segala puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat melaksanakan makalah ini sebagai tugas kelompok dalam Mata Kuliah Pancasila.

Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga kami dapat berusaha lebih baik lagi sesuai kemampuan yang kami miliki dalam penyusunan tugas di masa yang akan datang. Atas kritik dan saran dari para pembaca kami ucapkan terimakasih.





Metro, Maret, 2011


PENULIS
DAFTAR ISI







HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii


BAB I PEMBAHASAN 1
A. Pengertian Filsafat 1
B. Rumusan Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem 2
C. Kesatuan Sila-sila Pancasila sebagai Suatu Sistem Filsafat 4
D. Pancasila Sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan Negara
Republik Indonesia 9
E, Inti Isi Sila-sila Pancasila 11


BAB I
PEMBAHASAN


A. PENGERTIAN MAKKIYAH DAN MADANIYAH
Para sejarawan muslim mengemukakan empat perspektif dalam mendefinisikan terminologi Makkiyah dan Madaniyah. Keempat perspektif itu adalah ; masa turun (zaman an-nuzul), tempat turun (makan an-nuzul), objek pembicaraan (mukhathab) dan tema pembicaraan (maudu) .
Dari prespektif masa turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut:




Artinya:
“Makkiyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah hijrah ke madinah, kendatipun bukan turun di mekah, sedangkan madaniyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut. Madaniyah walaupun turun di mekkah atau arafah.
Dengan demikian, surat an-nisa’ [4]:58 termasuk kategori Madaniyah kendatipun di turunkan di Makah, yaitu pada peristiwa terbukanya kota Mekah (fath makkah). Begitu pula, surat Ala-Ma’idah [5]:3 termasuk kategori Madaniyah kendatipun tidak di turunkan di Madinah karena ayat itu diturunkan pada peristiwa haji wada .’
Dari perspektif tempat turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut:



Artinya:
Makkiyah ialah ayat-ayat yang turun di Mekah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah, sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya seperti Uhud, Quba’ dan Sul’a.
Tempat celah kelemahan dari pendefinisian di atas sebab terdapat ayat-ayat tertentu, yang tidak diturunkan di Mekah dan di Madinah dan sekitarnya. Misalnya surat At-Taubah [9]:42 diturunkan di Tabuk, surat Az-Zukhruf [43]:45 diturunkan di tengah perjalanan antara Mekah dan Madinah. Kedua ayat tersebut, jika melihat definisi kedua, tidak dapat dikategorikan ke dalam Makiyah dan Madaniyah.
Dari perspektif objek pembicaraan, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut: “Makkiyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Mekah. Sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang menjadikan khitab bagi orang-orang Madiinah”. Pendefinisian diatas di rumuskan para sarjana muslim berdasarkan asumsi bahwa kebanyakan ayat Al-Qur’an di mulai dengan ungkapan “Ya ayyuha ala-naas” yang menjadi kriteria Makkiyah, namun tidak selamanya asumsi ini benar. Surat al-Baqarah [2], misalnya, termasuk kategori Madaniyah , pendahal di dalamnya terdapat salah satu ayat, yaitu ayat 21 dan ayat 168, yang dimulai dengan ungkapan ‘Yaa Ayyuha An-Nas”. Lagi pula, banyak ayat Al-Qur’an yang tidak dimulai dengan dua ungkapan di atas.
Adapun pendefinisian Makkiyah dan Madaniyah dari perspektif tema pembicaraan akan di singgung leih terinci dalam uraian karakteristik kedua klasifikasi tersebut.
Kendatipun mengunggulkan pendefinisian Makkiyah dan Madaniyah dari perspektif masa turun, Subhi Shalih melihat komponen-komponen serupa dalam tiga pendefinisian. Pada ketiga versi itu terkandung komponen masa tempat dan orang. Bukti lebih lanjut dari tesis Shalih diatas bisa dilihat dalam kasus surat Al-Mumtahanah [60]. Bila dilihat dari perspektif tempat turun, surat itu termasuk Madaniyah karena diturunkan sesudah peristiwa hijrah. Akan tetapi dalam perspektif objek pembicaraan surat itu termasuk Makkiyah karena menjadi khitab bagi orang-orang Makkah. Oleh karena itu, para sarjana muslim memasukan surat itu kedalam ”Ma Nuzila bi Al-Madinah wa hukmuhu makki” (ayat-ayat yang diturunkan di Madinah, sedangkan hukumnya termasuk ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah)”.

B. FAEDAH MENGETAHUI MAKKI DAN MADANI
Pengetahuan tentang makkiah dan madani banyak faedahnya diantaranya yaitu sebagai berikut ini:

1. Pertama
Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar. Sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seseorang dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh yang terdahulu.

2. Kedua
Meresapi gaya bahasa Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju jalan Allah. Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti paling khusus dalam retorika. Karakteristik gaya bahasa makki dan madani dalam Qur’an pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kewajiban lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaanya serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijak sanaan. Setiap tahapan dakwah mempunyai topik dan pola penyampaian tersendiri. Pola penyampaian itu berbeda-beda. Sesuai dengan perbedaan tata cara, keyakinan dan kondisi lingkungan. Hal yang demikian nampak jelas dalam berbagai cara Qur’an menyeru berbagai golongan; orang yang beriman, yang musyrik, yang munafik dan ahli kitab.

3. Ketiga
Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur’an. Sebab turunya wahyu kepada Rasulullah SAW sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik dalam periode mekkah maupun madinah. Sejak permulaan turun turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Qur’an adalah sumber pokok bagi peri hidup Rosulullah SAW peri hidup beliau yang diriwayatkan ahli sejarah harus sesuai dengan Qur’an dan Qur’an pun memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.

4. Mengetahui Hikmah disyariatkannya sesuai hukum (hikmah tasrie’).
Sebab dengan ilmu Makki dan Madani dapat diketahui Tarikh Tasyrie’ yang dalam mensyariatkan hukum-hukum islam itu secara bertahap, sehingga dapat pula diketahui mengapa sesuatu hukum itu disyariatkan hukum-hukum islam itu secara demikian. Seperti diharamkannya minuman keras, yang penetapan hukumnya itu secara bertahap. Mula-mula hanya diterangkan ada bahayanya yang lebih besar dari pada manfaatnya, dilarang menjelang shalat, kemudian secara tegas diharamkan dan dilarangnya.

5. Mengetahui Perbedaan Dan Tahap-Tahap Dakwah Islamiyah
Tahap-tahap dakwah islamiyah yang diterangkan dalam ayat-ayat Makkiyah adalah berbeda dengan isi dan ajaran dari ayat-ayat Madaniyah, seperti yang telah di terangkan dalam tanda-tanda surah Makkiyah dan Madaniyah di atas.

6. Mengetahui Perbedaan Uslub-Uslub (Bentuk Bahasa)
Al-Qur’an yang dalam surah-surah Makkiyah berbeda dengan yangdalam surah-surah madaniyah. Sebab dalam surah-surah Makiyah yang ditujukan kepada orang-orang kafir Qurays, yang banyak pakar ahli bahasa Arabnya memakai uslub singkat padat sedang dalam surah-surah Madaniyah yang ditunjukan kepada penduduk Madaniyah yang heterogen, yang banyak orang-orang asing belum mengenal bahasa arab, menggunakan ungkapan panjang lebar agar mudah di resapi mereka.







BAB II
KESIMPULAN


A. Kesimpulan
Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata Makki dan madani tidak hanya dibedakan oleh tempat turunnya, tetapi juga dibedakan oleh isi, uslub dan lafadz yang digunakan. Selain itu, tidak seluruh surat masuk kedalam makkiyah atau madaniyah. Tetapi ada beberapa perincian lebih lanjut sesuai kondisi ayat-ayat dan kejadian yang mengiri turunnya ayat tersebut.
Oleh karena itu mengetahui makki dan madani merupakan suatu hal yang penting, baik dalam penafsiran dalam al-Qur’an pelaksanaan dakwah islam maupun perjalanan sejarah pesyaratan hukum-hukum islam.

B. Saran
Dari beberapa penjelasan di atas tentang penulisan makkiyah dan madaniyah pasti tidak terlepas dari esahan penulisan dan rangkaian kalimat dan penyusunan makalah ini menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapakan oleh para pembaca dalam khusunya pembimbing mata kuliah ilmu ulumul quran , oleh karena itu penulis makalah ini mengharap kepada para pembaca mahasiswa dan dosen pembimbing mata kuliah ini terdapat kritik dan saran yang sifatnya konstruktif dalam terselesainya makalah ini yang selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA




Almanhaj, Surat-Surat Makkiyah dan Mdaniyah, (Online) 2010. (http://www.almanhaj.or.id/content/2197/slash/0, diakses tanggal 19 Desember 2010.
Ar-Rumi, Fhad bin Abdurrahman, Ulumul Qur’an (Studi Kompleksitas al-Qur’an), Terj. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Cet. I: Yogyakarta: Titian Illahi,1996.
Hadi, Syamsuol, Ayat-Ayat Makkiyah Wal Madaniyah, (Online) 2010. (http://www.hadirukiyah.blogspot.com/2010/06/ayat-ayat Makkiyah-walmadaniyah.html, diakses tanggal 29 Maret 2010.


BAB I
PEMBAHASAN


A. TANDA-TANDA MAKKIYAH DAN MADANIYAH
Dalam kitab Shahih Bukhori diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan: “Kami tahu hari itu dan tempat wahyu tersebut turun kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Wahyu tersebut turun sementara Rasulullah sedang berdiri berkutbah hari jum’at di padang Arafah.
Makkiyah ialah ayat-ayat yang turun di Makkah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah, dan Hudabiyah, sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah dan Sekitarnya seperti Uhud, Quba dan Sul’a. Dari perpektif objek pembicaraan, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut:
“Makkiyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Makkah, sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang menjadi Khitab bagi orang-orang Madinah”

B. CIRI-CIRI KHAS AYAT-AYAT MAKKIYAH DAN MADANIYAH
a. Tanda-Tanda Surat Makkiyah
Sesuatu surah/ayat adalah Makkiyah, kalau ayat itu mempunyai tanda-tanda sebagai berikut:



1. Dimulai dengan nida “Ya Ayyuhan Naasu” dan sejenisnya contoh: dalam surat Al-Baqarah ayat 21 yang berbunyi



Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah ayat 21).
2. Di dalamnya terdapat lafadz “Kalla”
”..................Sekali-kali tidak, sesungguhnya itu adalah yang diucapkannya saja.............”
3. Didalamnya terdapat ayat-ayat sajdah, ada 15 ayat sajdah, (sunnah bersujud tilawah) antara lain dalam surat al –A’raf:206



Artinya:
Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya lah mereka bersujud. (Q.S. Al-A’raf 206).
4. Didalamnya berisi cerita-cerita terhadap kemusyrikan dan penyembahan-penyembahan kepada selain Allah SWT.




Artinya:
Musa menjawab: "Lemparkanlah (lebih dahulu)!" Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Q.S.Al-A’raf:116).
5. Didalamnya berisi penjelasan dengan bukti-bukti argumentasi dari alam ciptaan Allah swt yang dapat menyadarkan orang-orang kafir yang menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah.
6. Banyak terdapat lafal sumpah. Ialah ayat-ayat yang turun di Makkah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah dan Hubidiyah.

b. Madaniyah
a) Menjelaskan permasalahan ibadah, muamalah, hudud, bangunan rumah tangga, warisan, keutamaan jihad, kehidupan sosial, aturan-aturan pemerintah menangani perdamaian dan peperangan, serta persoalan-persoalan pembentukan hukum syara’.
b) Didalamnya berisi hukum-hukum faraidh, seperti dalam surat Al-Baqarah, An-Nisa’ ayat 12 dan Al-Maidah.
c) Di dalamnya berisi izin jihad fisabilillah (berjuang di jalan Allah) dan hukum-hukumnya, seperti talak, seperti dalam surat Al-Baqarah, Al-Anfal, At-Taubah:70 Dan Al-Hajj.
d) Berisi Da’wah (seruan) kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani serta penjelasan-penjelasan akidah mereka yang menyimpang, seperti dalam surah: Al- Baqarah:159-160, Ali Imran, Al-Fath, Al-Hajj dan sebagainya.
e) Berisi hukum-hukum Munakahat (pernikahan). Baik mengenai nikah, talak seperti dalam surah: Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’:35, Al-Maidah, An-Nur, Al-Mumtahanah, At-Thalak dan sebagainya.
f) Berisi ayat-ayat nida’ yang ditujukan kepada penduduk Madaniyah yang islam dan Khithab (perintah): ” Ya Ayyuhal Ladzina Amanu” yang dalam al-Qur’an ada 219 ayat.

Inilah macam-macam ilmu Qur’an yang pokok, berkisar disekitar makki dan madani, oleh karenanya dinamakan makki dan madani. Adapun Contoh dari Ayat Makkiyah dan Maaniyah yaitu sebagai berikut:
1. Yang diturunkan di Mekkah atau Madinah
Pendapat yang paling mendekati kebenaran tentang bilangan surah-surah makkiyah dan madinah ialah bahwa madaniah ada dua puluh surah; 1)Al-Baqarah,2) Ali Imran, 3) An-Nisa’, 4) Al- Maidah, 5)Al-Anfal, 6) At –Taubah, 7) An-Nur, 8) Al-Ahzab, 9) Muhammad, 10) Al-Fath, 11) Al- Hujurat, 12) Al-Hadid, 13) Al-Mujadalah, 14) Al-Hasyr, 15) Al-Mumtahanah, 16) Al-Jumu’ah, 17) Al-Munafiquun, 18) Al-Talaq, 19) At-Tahrim dan 20) An-Nasr.
2. Yang Diperselisihkan
Sedankan yang diperselisihkan ada dua belas surah 1) Al-Fatihah, 2) Ar-Ra’ad, 3) Ar-Rahman, 4) As-Shaf, 5) At-Taghabun, 6) At-Tatfif, 7) Al-Qadar, 8) Al-Bayinah, 9) Az-Zalzalah, 10) Al-Ikhlas, 11) Al-Falaq, 12) An-Nisa’. Selain yang diperselisihkan yang sudah disebutkan diatas, adalah surat makki, yaitu delapan puluh surah, maka jumlah surah-surah Qur’an itu semuanya seratus empat belas surah.

C. CARA-CARA MENGETAHUI MAKKIYAH DAN MADANIYAH
Dalam menetapkan ayat-ayat Al-Qur’an yang termasuk kategori Makkiyah dan Madaniyah, para sarjana muslim berpegangan teguh pada dua perangkat pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Transmisi (Periwayatan)
Dengan perangkat pendekatan transmisi, para sarjana muslim merujuk kepada riwayat-riwayat valid (sah) yang berasal dari para sahabat, yaitu orang-orang yang besar kemungkinan menyaksikan turunya wahyu, atau para generasi tabiin yang saling berjumpa dan mendengarkan langsung dari para sahabat tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan proses kewahyuan Al-Qur’an termasuk didalamnya adalah informasi kronologis Al-Qur’an.
Otoritas para sahabat dan para tabiin dalam mengetahui informasi kronologi Al-Qur’an dapat dilihat dari pernyataan-pernyataannya. Dalam salah satu riwayat Al Bukhari, Ibn Ma’ud berkata: ”Demi Dzat yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada salah satupun dari kitab Allah yang turun, kecuali aku tahu untuk siapa dan dimana diturunkan, seandainya aku tahu tempat orang yang lebih paham dariku tentang kitab Allah pasti aku akan menjumpainya.”

2. Pendekatan Analogi (Qiyas)
Ketika melakukan kategorisasi Makkiyah dan Madaniyah, para sarjana muslim penganut pendekatan analogi bertolak dari ciri-ciri spesifik dari kedua klasifikasi itu. Misalnya mereka menetapkan tema kisah Nabi dan umat-umat terdahulu sebagai ciri khusus Makkiyah, tema Faraidh dan ketentuan Had sebagai ciri khusus Madaniyyah.

D. KEGUNAAN MEMPELAJARINYA
Kegunaan antara lain:
1. Mudah diketahui mana ayat-ayat yang turun lebih dahulu dan mana ayat-ayat yang turun belakangan dari kitab suci Al-Qur’an.
2. mengetahui dan mengerti sejarah pensyariatan hukum-hukum islam (Tarikhut Tasysyre’) yang amat bijaksana dalam menetapkan peraturan-peraturan.
3. Mengetahui perbedaan dan tahap-tahap da’wah islamiyah. Tahap-tahap da’wah islamiyah yang diterangkan dalam ayat-ayat Makkiyah adalah berbeda dengan isi dan ajaran dari ayat-ayat Madaniyah, seperti yang teleh diterangkan dalam tanda-tanda surah Makkiyah dan Madaniyah diatas tadi.
4. Mengetahui perbedaan Uslub-Uslub (bentuk bahasa) Al-Qura’n yang dalam surah-surah Makkiyah berbeda dengan yang ada dalam surah-surah Madaniyah.
5. Dengan mengetahui ilmu Makki dan Madani, situasi dan kondisi masyarakat kota Makkah dan Madinah dapat diketahui, khususnya pada waktu turunya ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan, dalam pembahasan lain juga dikutip tentang faedah-faedah mempelajari surah Makkiyah dan Madaniyah di antaranya yang berpendapat itu adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin beliau mengemukakan bahwa ada 4 faedah dalam mempelajari surah Makkiyah dan Madaniyah yaitu:
a) Nampak jelas sastra Al-Qur’an pada puncak keindahanya, yaitu ketika setiap kaum diajak berdialog yang sesuai dengan keadaan objek yang didakwahi; dari ketegasan, kelugasan, kelunakan dan kemudahan.
b) Membedakan antara ansikh dan mansukh ketika terdapat dua ayat Makkiyah dan Madaniyah, maka lengkaplah syarat-syarat nasakh karena ayat Madaniyah adalah sebagai nasikh (penghapus) ayat Makkiyah disebabkan Madaniyah turun setelah ayat Makkiyah.

BAB II
KESIMPULAN


Dari pembahasan diatas, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Makkiyah ialah ayat-ayat yang turun di makkah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah, dan Hudabiyah, sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya seperti Uhud, Quba, dan Sul’a.
2. Ciri-ciri ayat Makkiyah dan ayat Madaniyah yaitu: dimulai dengan nida’, didalamnya terdapat lafadz ”Kalla”, terdapat ayat-ayat sajdah, Berisi cerita-cerita terhadap kemusyrikan dan penyembuhan-penyembuhan kepada selain Allah swt. Berisi penjelasan dengan bukti-bukti argumentasi dari alam ciptaan Allah swt, banyak terdapat lafadz sumpah.
3. Cara mengetahui Makkiyah dan Madaniyah terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan transmisi (periwayatan) dan pendekatan analogi (Qiyas).
4. Klasifikasi ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an yaitu: 1) Surah-surah Makkiyah murni, 2) Surah-surah Madaniyah Murni, 3) Surah-surah Madaniyah yang berisi ayat Makkiyah, 4) Surah-surah Madaniyah yang berisi ayat Makkiyah.

DAFTAR PUSTAKA



Almanhaj, Surat-Surat Makkiyah dan Mdaniyah, (Online) 2010. (http://www.almanhaj.or.id/content/2197/slash/0, diakses tanggal 19 Desember 2010.
Ar-Rumi, Fhad bin Abdurrahman, Ulumul Qur’an (Studi Kompleksitas al-Qur’an), Terj. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Cet. I: Yogyakarta: Titian Illahi,1996.
Hadi, Syamsuol, Ayat-Ayat Makkiyah Wal Madaniyah, (Online) 2010. (http://www.hadirukiyah.blogspot.com/2010/06/ayat-ayat Makkiyah-walmadaniyah.html, diakses tanggal 29 Maret 2010.


BAB I
PEMBAHASAN


A. SUMBER AJARAN ISLAM
Dikalangan ulama’ terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran islam utama adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah, sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Al-Qur’an dan Al-Sunnha. Ketentuan ini sesuai dengan agama islamitu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah swt. Yang penjabarannya dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Penjelasan mengenai sumber ajaran islam tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Al-Qur’an
Dikalangan para ulama’ di jumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian Al-Qur’an baik dari segi bahasa maupun istilah. As-syafi’I misalnya mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan berasal dari akar kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan memakai hamzah. Lafal tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara itu Al-Farra berpendapat bahwa lafal Al-Qur’an berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah yang berarti kaitan. Selanjutnya, Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafal Al-Qur’an diambil dari akar kata qurn yang mempunyai arti menggabungkan sesuatu atas yang lain; karena surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an satu dan lainya saling bergabung dan berkaitan.
Adapun pengertian alquran dari segi istilah dapat di kemukakan dalam berbagai pendapat sebagai berikut ini:
Manna’al-Qaththan, secara ringkas mengutip pendapat pendapat para ulama’ pada umumnya yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian demikian senada dengan yang diberikan oleh Al-Zarqani. Menurutnya Al-Qur’an adalah lafal yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Mulai dari awal surat Al-Fatihah, sampai dengan akhir surat An-Nash. Pengertian alquran secara lengkap di kemukakan oleh Abd. Al-Wahhab Al-Kallaf. Menurutnya, Alquran adalah firman Allah yang di turunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah, melalui jibril dengan menggunakan lafal bahasa Arab dan maknanya yang benar , agar ini menjadi hujjab bagi rasul. Bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, di sampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan pergantian.
Fungsinya antara lain menjadi hujjah atau bukti yang kuat atas kerasulan Nabi Muhammad SAW. keberadaanya hingga kini masih tetap terpelihara dengan baik, dan pemasyarakatanya dilakukan secara berantai dari satu generasi ke generasi lain dengan tulisan maupun dengan lisan.
Sebagai sumber ajaran islam yang utama adalah Al-Qur’an yang diyakini berasal dari Allah dan Mutlak benar. Keberadaan Al-Qur’an sangat dibutuhkan oleh manusia. Di kalangan mu’tazilah di jumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan Al-Qur’an bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Bagi mu’tazilah Al-Qur’an berfungsi sebagai konfirmasi. Yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat di ketahui oleh akal. Dalam Al-qur’an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perinci oleh ayat lain atau oleh hadist. Dalam kaitan ini kita membawa ayat yang artinya :Tidak ada yang kami bengkalaikan di dalam al-kitab ini dari sesuatu. (Q.S. AL-An’am, 6:38).
Selanjutnya Al-Qur’an juga berfungsi sebagai hakim atau wasiat yang mengatur jalanya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya, ketika umat islam berselisih dalam segala urusannya hendaknya ia berhakim kepada Al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut menerangkan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi terhadap perjalanan hidup manusia di masa lalu.

2. Al-Sunnah
Kedua Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain di dasarkan kepada keterangan ayat-ayat Alquran dan hadist juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau sudah wafat.
Menurut bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Al-Sunnah seperti ini sejalan dengan makna hadis Nabi yang artinya: “Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakannya , dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya.
Menurut sebagian para ulama’ yang disebut belakangan ini Al-Sunnah diartikan sebagai sesuatu yang dibiasakan oleh Nabi Muhammad saw. Sehingga sesuatu itu lebih banyak dikerjakan oleh Nabi Muhammad saw. Dari pada yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad. Hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Namun, jarang dikerjakan oleh Nabi. Selanjutnya Khabar adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan yang berasal dari sahabat; dan Atsar adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan yang berasal dari para tabi’in-tabi’in.
Sementara itu Jumburul Ulama’ atas kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Sunnah, Al-Hadis, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu, ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum. Pengertian ini di dasarkan pada pandangan mereka yang menempatkan Nabi Muhammad SAW. sebagai pembuat hukum. Sementara itu, ulama fiqih mengartikan Al-Sunnah sebagai salah satu dari bentuk hukum syara’ yang apabila di kerjakan mendapat pahala dan apabila di tinggalkan tidak mendapat apa-apa atau tidak di siksa.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Al-Qur’an, Al-Sunnah memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan Al-Qur’an. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat di lepaskan dari adanya sebagian ayat Al-Qur’an
1) Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian.
2) Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian.
3) Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan.
4) Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang menghendaki penetapan makna yang akan di pakai dari dua makna tersebut.

Dalam kaitan ini, hadist berfungsi memerinci petunjuk dan isyarat Alquran yang bersifat global, sebagai pengecuali terhadap isyarat Alquran yang bersifat umum, sebagai pembatas terhadap ayat Alquran yang bersifat mutlak, dan sebagai pemberi informasi terhadap sesuatu kasus yang tidak dijumpai di dalam Alquran. Dengan posisinya yang demikian itu, maka pemahaman Alquran dan juga pemahaman ajaran Islam yang seutuhnya tidak dapat di lakukan tanpa mengikut sertakan hadis.

BAB II
SUMBER AJARAN ISLAM


A. PENGERTIAN IJTIHAD
Secara bahasa Ijtihad berasal dari kata sahada. Kata ini beserta seluruh variasinya menunjukan pekerjaan yang di lakukan lebih dari biasa, sulit dilakukan atau tidak disenangi. Ahamad bin Ali-Mugri Al-Fayumi (tth: 122)menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah:



Artinya:
Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian suatu sampai kepada ujung yang dituju. Menurut Al-Syaukani (t.th:250) arti etimologi ijtihad adalah pembicaraan mengenai pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa saja.
Menurut Abu Zahra (t.th:379) secara istilah ijtihad adalah upaya seseorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
Menurut Harun Nasution, Ibrahim Abbas Al-Azawarwi (1983:9) mendefinisikan ijtihad sebagai pengerahan daya dan upaya untuk mempermudah maksud.
Menurut Al-Amidi yang dikutip auh Wahab Al-Zahaili (1978:480) ijtihad ialah pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang zhani dari hukum-hukum syara’.
Dari devinisi ijtihad seperti di gambarkan di atas terlihat ada beberapa permasalahan dan perbedaa, adapun perbedaannya adalah:
 Terletak pada penggunaan bahasa
 Terletak pada sublik ijtihad
 Terletak pada metode ijtihad

Adapun permasalahannya adalah:
 Hukum yang dihasilkan bersifat Zhanni
 Objek ijtihad berkisar seputar hukum taklifi yaitu hukum yang berkenaan dengan amaliah ibadah.
Sedangkan menurut Atjep Djazuli dan I Nuralaen (1996:69). Ijtihad di bagi menjadi dua bagian. Pertama ijtihad dalam istimbat hukum dan penjelasannya (istimbat Al-Ahkam Wa Bayamuh) dan kedua ijtihad dalam penerapan hukum (Tathbig Al-Hakam).

B. DASAR-DASAR IJTIHAD
Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah Al-Quran dan Al-Sunnah. Diantara ayat Al-Quran yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut. Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat (Q.S. An-Nisa’ 4:105). Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya hadist Amr bin Al-Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:




Artinya:
Apabila seseorang hakim menerapkan hukum dengan berijtihad, kemudian dia benar maka dia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala. (Muslim 11. t.th:62).

C. HUKUM IJTIHAD
Ulama’ berpendapat. Jika seseorang muslim di hadapkan kepada sesuatu peristiwa, atau di tanya tentang sesuatu masalah yang berkaitan dengan hukum Syara’ maka hukum ijtihad bagi orang itu ada empat tergantung pada kapasitas orang tersebut. Ke empat hukum tersebut adalah:
a. Wajib ’Ain
b. Wajib Kifayah
c. Sunnah
d. Haram

D. IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW
Pembicaraan mengenai ijtihad Rasulullah di kalangan para ulama’ ternyata sangat pelik dan berbelit-belit secara umum mereka menyepakati ijtihad yang bersifat keduniawian, pengaturan taktik dan strategi peperangan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan persengketaan. Dalam menanggapi boleh tidaknya rosul berijtihad dalam urusan hukum-hukum agama ulama’ berbeda-beda pendapat.
Pertama : Kebanyakan para ahli usul fiqih membolehkan, menurut mereka ini pernah di lakukan oleh Rasulullah SAW.
Kedua : Para pengikut Abu Hurairah berpendapat bahwa Rasulullah di perintahkan untuk berijtihad setelah beliau menunggu wahyu untuk menyelesaikan suatu peristiwa yang terjadi dan beliau mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap begitu saja.
Ketiga : Kebanyakan pengikut Asy’Ariah ahli malam dan kebanyakan pengikut Mu’tazilah tidak menyetujui ijtihad Rasulullah dalam urusan hukum-hukum agama.

Dalam surat Ali-Imron (3):159 Allah SWT berfirman: ”Maka di sebabkan rahmat dari Allah lah kamu lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dair sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa kepada-Nya”
Dalam ayat di atas mengisyaratkan adanya ijtihad. Karena itu, musyawarah hanya berlaku untuk menyelesaikan urusan-urusan yang hukumnya tidak di tunjuk secara jelas oleh nas. Ulama yang menolak adanya ijtihad Rasulullah SAW. Juga menjadikan Al-Qur’an sebagai dalil, yang berbunyi:
”Dan tidaklah yang di ucapkan itu untuk menurut kemauan bahwa nafsunya. Ucapanya itu tiada lain hanya wahyu yang di wahyukan (kepadanya). (Q.S. Al-Najm (53):3-4). Katakanlah,”Tiada patut bagiku menggantikannya dari pihak darimu sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang di wahyukan kepadanya.” (Q.S. Yunus (10):15).


BAB III
KESIMPULAN



Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pendidikan yang berhubungan dengan ajaran islam itu sangat penting.

Setiap manusia harus dapat mengerti, memahami serta mengembangkan sumber-sumber ajaran Islam yang ada di Agama Islam.






DAFTAR PUSTAKA






Abrasyi, Al, Athiyah, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa falsafatuha, (Mesir :Isa Al-Baby, 1975).
Abduh, Syaikh Muhammad, Tafsir Juz ‘Amma, (Mesir:Dar al-Hilal, 1967)
, Risalah Tauhid, (Jakarta:Bulan Bintang,.1975), cet. I
Abduh, Amin, Studi Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), cet. I.
Abduh, Haji, Abduh Rahman, Pemikiran Islam Di Malaysia Sejarah dan Aliran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1977), cet. I


BAB I
PENDAHULUAN



Makalah ini membahas tentang bab sosialisme,sisi yang bersesuaian dan yang bertentangan dengan islam, bagaimana proses sosialisasi terjadi, pengertian sosialisasi dan agen-agen sosialisasi . Makalah ini memberi pemahaman kepada pembaca tentang makna sosialisasi, bahwa manusia adalah mahluk sosial yang senantiasa mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dalam bentuk pergaulan hidup yang disebut masyarakat. Dalam kebersamaan dengan masyarakat tersebutlah mereka perlu melakukan sosialisasi agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.









BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Sosialisasi
Proses sosialisasi dapat diartikan sebagai proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati norma-norma serta nilai-nilai masyarakat tempat ia menjadi anggota sehingga terjadi pembentukan sikap untuk berprilaku sesuai dengan tuntutan atau prilaku masyarakatnya.
Proses pembelajaran berlangsung secara bertahap, perlahan tapi pasti dan berkesinambungan. Pada awalnya proses itu berlangsung dalam lingkungan keluarga, kemudian berlanjut pada lingkungan sekitarnya, lingkungan tetangga, kampung, kota hingga lingkungan negara dan dunia . Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, sosialisasi berarti suatu proses belajar seseorang anggota masyarakat untuk mengenal dan mengahayati kebudayaan masyarakat di lingkungannya. Sosialisasi juga didefinisikan sebagai suatu proses yang terjadi bila seorang individu menghayati dan melaksanakan norma-norma kelompok tempat dia hidup sehingga akan merasa sebagai bagian dari kelompok tadi .
Peter Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a participant member of society”, proses melalui seorang anak belajar menjadi anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat . Soerjono Sukanto juga menambahkan bahwa sosialisasi adalah suatu proses social tempat seorang individu mendapatkan pembentukan sikap untuk berprilaku yang sesuai dengan prilaku orang-orang yang ada didalam kelompoknya. Menurut pendapat Soerjono Dirdjosisworo (1985) bahwa sosialisasi mengandung pengertian yaitu proses sosialisasi adalah proses belajar, dalam proses sosialisasi itu individu mempelajarin kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola, nilai, tingkah laku dan ukuran kepatuhan tingkah laku didalam masyarakat. Semua sikap dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya. Hasan Shadily mendefinisikan sosialisasi sebagai suatu proses dimana seseorang mulai menerima dan menyesuaikan diri kepada adapt istiadat suatu golongan, dimana lambat laun dia akan merasa sebagai suatu golongan itu.
Edwar A.Ros (1969) berpendapat bahwa sosialisasi adalah pertumbuhan perasaan kita dan perasaan ini akan menimbulkan tindakan segolongan.
Berdasarkan pengertian sosialisasi yang dijabarkan diatas maka dapat dijabarkan sebagai berikut
• Sosialisasi ditempuh seseorang individu secara bertahap dan berkesinambungan sejak dia dilahirkan hingga akhir hayat.
• Sosialisasi ditempuh seorang individu melalui proses belajar untuk memahami, menghayati, menyesuaikan, dan melaksanakan suatu tindakan sosial yang sesuai dengan pola prilaku masyarakat
• Sosialisasi erat sekali kaitannya dengan enkulturasi atau proses pembudayaan, yaitu proses belajar dari seorang individu untuk belajar mengenal, mengahayati dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya terhadap sistem adat, norma, bahasa, seni, agam serta semua peraturan dan pendirian yang hidup dalam lingkungan kebudayaan masyarakatnya.

B. Teori Sosialisasi
1. Pemikiran Mead
Salah satu teori peran yang dikaitkan dengan sosialisasi adalah teori George Herbet Mead. Dalam teorinya yang diungkapkan dalam buku Mind, Self and Society (1972), Mead menguraikan tahap pengembangan diri manusia. Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut mead pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui beberapa tahap-tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized lain . Menurut Mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peran-peran yang ada dalam masyarakat suatu prosews yang dinamakan pengambilan peran (role taking), dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peran yang harus dijalankan serta peran yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peran yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.
Menurut Mead pada tahap pertama, play stage, seorang anak kecil mulai belajar mengambil peran orang yang berada disekitarnya. Ia mulai menirukan peran yang dijalankan oleh orangtuanya, misalnya, atau peran orang dewasa lain dengan siapa dia berinteraksi. Dengan demikian kita sering melihat anak kecil yang di kala bermain menirukan peran yang dijalankan ayah, ibu, kakak, nenek, polisi, dokter, tukang pos, supir dan sebagainya. Namun pada tahap ini anak belum memahami sepenuhnya isi peran-peran yang ditirunya itu. Seorang anak dapat meniru kelakuan ayah atau ibu—berangkat ke tempat kerja, misalnya—tetapi mereka tidak memahami alas an ayah atau ibu untuk bekerja dan makna kegiatan ayah atau ibu di tempat kerja. Seorang anak dapat berpura-pura menjadi seorang petani, dokter atau polisi tetapi tidak mengetahui mengapa petani menyangkul, dokter menhyuntik pasien, dan polisi menginterogasi tersangka pelaku kajahatan.
Pada tahap game stage seorang anak tidak hanya sudah mengetahui peran yang dilakukannya tetapi telah pula memahami peran yang harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa dia berinteraksi. Contoh yang diajukan Mead adalah keadaan dalam suatu pertandingan: seorang anak yang menjalani suatu pertandingan tidak hanya mengetahui apa yang diharapkan oleh orang lain yang ikut dalam pertandingan itu. Dikala bermain sebagai penjaga gawang dalam pertandingan sepak bola, misalnya, dia mengetahui peran-peran yang dijalankan oleh para pemain lain (baik kesebelasan kawan maupun lawan), wasit, penjaga garis, dan sebagainya. Oleh Mead dikatakan bahwa pada tahap ini seseorang telah dapat mengambil peran orang lain. Pada tahap awal sosialisasi interaksi seorang anak biasanya terbatas pada sejumlah kecil orang lain biasanya anggota keluarga terutama ayah atau ibu. Oleh Mead orang yang penting dalam proses sosialisasi ini dinamakan significant others. Pada tahap ketiga sosialisasi, seorang dianggap telah mampu mengambil peran-peran yang dijalankan orang lain dalam masyarakat mampu mengambil peran generalized others . Ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peran orang lain dengan siapa dia berinteraksi. Selaku anak dia sudah memahami peran yang dijalankan orangtua, selaku siswa ia memahami peran guru, selaku anggota gerkan pramuka dia memahami peran para pembinanya. Jika seorang telah mencapai tahap ini maka menurut Mead, orang tersebut telah mepunyai suatu diri. Dari pandangan-pandangan Mead ini nampak jelas pendiriannya bahwa diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain .

2. Pemikiran Cooley
Pemikiran lain juga menekankan pada peran interaksi dalam proses sosialisasi tertuang dalam buah pikiran Charles H. Cooley, Menurut Cooley, konsep diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain . Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini menurut Cooley dinamakan looking-glass self. Nama demikian ini diberikannya karena dia melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan prilaku orang yang sedang bercermin, kalau cermin memantulkan apa yang ada didepannya maka menurut Cooley diri seseorangpun memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakatv terhadapnya . Cooley berpendapat bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap. Pada tahap pertama seseorang mempunyai persepsi terhadap pandangan orang lain terhadap dirinya. Pada tahap berikut seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya. Pada tahap ketiga seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu (lihat Horton dan Hunt, 1984: 94-97). Untuk memahami pendapat Cooley disini akan disajikan suatu contoh. Seseorang mahasiswa yang cenderung memperoleh nilai rendah (misalnya nilai D atau E) dalam ujian semesternya, misalnya merasa bahwa para dosen dalam jurusannya menganggapnya bodoh. Ia merasa pula bahwa karena ia dianggapnya bodoh maka ia merasa kurang dihargai para dosennya. Karena merasa kurang dihargai, mahasiswa tadi menjadi murung. Jadi di sini perasaan seseorang mengenai penilaian orang lain terhadap dirinya menentukan penilaiannya mengenai diri-sendiri seseorang merupakan pencerminan penilaian orang lain (looking-glass sel). Dalam kasus itu, pelecehan oleh dosen ini dalam benak si mahasiswa dan mempengaruhi pandangannya mengenai dirinya sendiri. Terlepas dari soal apakah dalam kenyataan para dosen memang berperasaan memang demikian terhadapnya atau tidak.
Apa yang etrjadi jika seseorang anak tidak melakukan sosialisasi? Karena kemampuan seseorang untuk mempunyai diri--untuk berperan sebagai anggota masyarakat tergantung pada sosialisasi, maka seseorang yang tidak mengalami sosialisasi tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain. Hal ini terungkap dari kasus anak-anak yang ditemukan dalam keadaan terlantar (feral children). Giddens (1990) mengisahkan kasus anak-anak yang tidak disosialisasi (olehnya dikatakan unsosialized children), yaitu seorang anak laki-laki berusia sekitar 11-12 tahun yang pada tahun 1900 ditemukan di desa saint-serin, Perancis (The wild boy of avyron) dan kasus gadis berusia tiga belas tahun di California, Amerika Serikat yang disekap ayahnya dalam gudang gelap sejak berusia satu setengah tahun, Light, Keller, dan Calhoun (1989) mengisahkan kasus Ana yang semenjak bayi dikurung ibunya dalam gudang selama lima tahun. Dari kasus tersebut terungkap bahwa anak-anak yang ditemukan tersebut tidak berprilaku sebagai manusia. Mereka tidak dapat berpakaian, buang air besar dan kecil dengan tertib, atau berbicara. Anna tidak dapat makan sendiri atau mengunyah dan juga tidak dapat tertawa atau menangis. Genie tidak dapat berdiri tegak. Setelah berkomunikasi dengan masyarakat lambat laun anak-anak ini dapat mempelajari beberapa diantara kemampuan yang dimilki manusia sebaya mereka. Namun, mereka tidak pernah tersosialisasi secara wajar dan cenderung meninggal pada usia muda.
Kasus tersebutpun memberikan petunjuk bahwa kemampuan tertentu seperti kemampuan berbahasa hanya dapat diajarkan pada periode tertentu dalam kehidupan anak, bila proses sosialisasinya terlambat dilaksanakan maka proses tersebut tidak akan berhasil atau hanya berhasil untuk sebagian saja.

C. Agen Sosialisasi
Agen sosialisasi sangat berperan penting dalam pembentukan kepribadian seorang individu. Media sosiaisasi itu meliputi keluarga, kelompok bermain, sekolah, lingkungan kerja, dan media massa.
a. Keluarga
Kelurga merupakan media awal dari suatu proses sosialisasi. Begitu seorang bayi dilahirkan, ia sudah berhubungan dengan kedua orangtuanya, kakak-kakaknya dan mungkin dengan saudara-saudaranya. Dalam keluarga, orangtua mencurahkan perhatian perhatian untuk mendidik anak agar anak tersebut memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar dan baik melalui penanaman disiplin. Sehingga membentuk kepribadian yang baik si Anak. Oleh karena itu, orangtua sangat berperan untuk :
1. Selalu mendekat dengan anaknya
2. Memberikan pengawasan dan pengendalian yang wajar
3. Mendorong agar anak dapat membedakan antara yang benar dan salah, baik dan buruk, pantas atau tidak
4. Orang tua dapat menjadi teladan yang baik
5. Menasehati jika melakukan kesalahan


Keseluruhan system belajar mengajar sebagai bentuk sistem pendidikan keluarga. Sistem pendidikan keluarga dilaksanakan melalui pola asuh mengasuh anak untuk menjaga, merawat, dan membesarkan anak.

b. Kelompok Bermain
Teman bermain dan peranannya belum nampak pengaruhnya. Pada masa kanak-kanak, walaupun pada masa itu seorang anak sudah mempunyai sahabat. Pada masa remaja kelompok bermain itu berkembang menjadi kelompok persahabatan yang lebih luas. Teman dan persahabatan merupakan pengelompokan sosial yang melibatkan orang-orang yang berhubungan relatif akrab satu sama lain. Karena sering bertemu, seta adanya kesamaan minat atau perhatian dan ekpentinga bukan atas dasar hubungan darah atau ketetanggaan dan bukan pula atas dasar percintaan. Peranan positif kelompok persahabatan bagi perkembangan kepribadian anak antara lain :
Rasa aman dan dianggap penting dalam kelompok akan sangat berguna bagi perkembangan jiwa.
1. Perkembangan kemandirian remaja tumbuh dengan baik
2. Ada tempat penyaluran rasa kecewa, takut, gembira, dan lain-lain
3. Dapat mengembangkan ketrampilan
4. Mendorong agar remaja lebih bersifat dewasa.

c. Sekolah
Dalam masyarakat primitive, keluarga bertanggungjawab terhadap sosialisasi para anggota keluarga yang masih muda, sedangkan didalam masyarakat yang sudah maju, peranan ini sudah diserahkan kepada organisasi sekolah. Sekolah adalah lembaga penting yang bertanggungjawab menyampaikan ilmu pengetahuan dan tertib kehidupan terhadap anak-anak mereka yang berumur 5 atau 6 tahun. Sebagai lembaga sosialisasi, sekolah terorganisir rapi lengkap dengan seperangkat aturan yang harus dipatuhi oleh setiap orang
Menurut Robert Dreeben, bahwa yang dipelajari anak di sekolah disamping membaca, menulis, dan berhitung adalah aturan tentang kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme(universalism), dan specificity (spesifitas). Dari pandangan Dreeben, kita dapat melihat bahwa sekolah merupakan suatu jenjang peralihan antara keluarga dan masyarakat. Sekolah memperkenalkan aturan baru tersebut berbeda dan bahkan dapat bertentangan dengan aturan yang dipelajari selama sosialisasi berlangsung anak di rumah

d. Lingkungan Kerja
Pengaruh lingkungan kerja pada umumnya mengendap dalam diri seorang dan sukar untuk diubah, apalagi jika orang yang bersangkutan lama bekerja di lingkungan tersebut. Apabila seeorang lama bekerja dilingkungan kerja tertentu kemudian pindah kelingkungan kerja lain, maka dia akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Lingkungan kerja tertentu seringkali menimbulkan konflik batin yakni mana yang harus diutamakan antara nilai kedinasan dengan nilai karier yang tidak selalu identik. Karier yang mencuat tidak akan ada manfaatnya kalau keadaan keluarga tidak baik. Oleh karena itu sebenarnya bila seseorang ingin memasuki dunia kerja atau meneliti karier, ia harus lebih banyak berpikir mengenai akibatnya terutama pengaruh bagi keluarga khususnya pendidikan anak-anak kelak.

e. Media Massa
Media massa yang terdiri atas media cetak maupun elektronik merupakan alat komunikasi yang dapat menjangkau masyarakat secara luas. Media massa diidentifikasikan sebagai media sosialisasi yang berpengaruh pula terhadap prilaku khalayaknya. Pesan yang ditayangkan melalui media elektronik dapat mengarahkan khalayak kearah prilaku prososial dan anti sosial, juga dapat berpengaruh negatif terhadap gaya hidup konsumtif, hura-hura, dan cara berpakaian. Namun media ini juga mempunyai pengaruh positif seperti merangsang interaksi, merangsang eksperimen, dan pertumbuhan mental serta sosial anak disamping memperluas cakrawala pengetahuan mereka.

D. Pola Sosialisasi
Dalam lingkungan social kita mengenal dua macam pola sosialisasi, yaitu dengan cara represif (repressive socialization) yang mengutamakan adanya ketaatan anak kepada orang tua dan cara partisipasi (participatory socialization) yang mengutamakan adanya partisipasi dari anak .
a. Sosoalisasi represif (repressive socialization)
• Menghukum prilaku yang keliru
• Hukuman dan imbalan material
• Kepatuhan anak
• Komunikasi sebagai perintah
• Komunikasi non verbal
• Sosialisasi berpusat pada orangtua
• Anak memperhatikan keinginan orang tua
• Keluarga merupakan significant order (dominasi orang tua).
b. Sosoalisasi Partisipasi (participatory socialization)
• Memberikan imbalan bagi prilaku baik
• Hukuman dan imbalan simbiolis
• Otonomi anak
• Komunikasi secara interaksi
• Komunikasi verbal
• Sosialisasi berpusat pada anak
• Orang tua memberi perhatian pada anak
• Keluarga merupakan generalized order ( kerjasama kearah tujuan).

BAB III
KESIMPULAN



Proses sosialisasi dapat diartikan sebagai proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati norma-norma serta nilai-nilai masyarakat tempat ia menjadi anggota sehingga terjadi pembentukan sikap untuk berprilaku sesuai dengan tuntutan atau prilaku masyarakatnya.
Proses pembelajaran berlangsung secara bertahap, perlahan tapi pasti dan berkesinambungan. Pada awalnya proses itu berlangsung dalam lingkungan keluarga, kemudian berlanjut pada lingkungan sekitarnya, lingkungan tetangga, kampung, kota hingga lingkungan negara dan dunia.
Dalam masyarakat primitive, keluarga bertanggungjawab terhadap sosialisasi para anggota keluarga yang masih muda, sedangkan didalam masyarakat yang sudah maju, peranan ini sudah diserahkan kepada organisasi sekolah.

DAFTAR PUSTAKA




1. Kumanto, Sunarto.2004, Pengantar sosiologi, Jakarta: Fak.Ekonomi UI
Taufik Rohman Dhohiri, dkk.2005, Sosiologi, Bogor: Yudistira
Cotton,Bruce J.1992, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rineka Cipta

2. www. Wikipedia.org/search?sosialisme/




BAB I
PEMBAHASAN


A. KONSEP ASWAJA TENTANG EKONOMI
Belakangan NU disorot karena terlalu dalam masuk ke wilayah politik praktis dan dinilai melanggar garis Khittah NU 1926. Fenomena maraknya liberalisme pemikiran di kalangan anak muda NU juga menjadi masalah tersendiri yang belum ditemukan solusinya. Tak hanya itu, sebagai organisasi kemasyarakatan-keagamaan terbesar di Indonesia, NU belum memiliki konsep ekonomi yang jelas dan terarah. Perhatian NU pada bidang ekonomi juga kurang. Bagaimana NU harus mengatasi tiga masalah tersebut? Berikut perbincangan singkat wartawan Duta Masyarakat, M. Arief Hidayat, dengan cucu pendiri NU Hadlratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari, KH Salahuddin Wahid atau lebih akrab disapa Gus Solah beberapa waktu lalu. Khittah NU 1926 dinilai sebagai kalangan perlu penerjemahan khusus atau lebih rinci agar tidak terjadi multitafsir. Bagaimana pendapat Anda?
Rumusan khusus tentang NU di bidang politik harus dibuat kembali dan menjadi rumusan yang pasti dan tegas serta tidak multitafsir. Intinya, NU tidak ikut partai politik mana pun. NU tidak berorientasi politik . NU tidak mendukung siapa pun dalam momentum politik apa pun, misalnya, pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan umum (legislatif) atau pemilu presiden (pilpres). NU berpolitik kebangsaan, tidak politik praktis. Kalau ada pengurus NU yang menjadi calon, dalam pilkada atau pilpres, dia harus meletakkan jabatannya dari struktur NU. Apakah benar bahwa Khittah NU 1926 itu multitafsir? Iya. Sangat multitafsir. Contoh, Ali Maschan Moesa (mantan ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur) diberhentikan (atas alasan bahwa saat itu, Ali Maschan mencalonkan diri sebagai calon gubernur Jawa Timur). Tapi, Saifullah Yusuf (Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, sekarang menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur), Khofifah Indar Parawansa (Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU, mantan calon gubernur Jawa Timur), dan Muhammad Adnan (Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Tengah, mantan calon wakil gubernur Jawa Tengah), tidak diberhentikan. Itu kan berarti multitafsir.
Seharusnya bagaimana rumusan Khittah NU 1926 itu dibuat agar tidak multitafsir? Kalimatnya (redaksionalnya) saya tidak tahu, tapi substansinya adalah (1) NU tidak ikut partai mana pun; (2) NU tidak boleh mendukung siapa pun dalam momentum politik apa pun; (3) Kalau ada pengurus NU yang menjadi calon dalam pilkada atau pilpres, maka ia harus meletakkan jabatannya. Apakah harus ada semacam tafsir tunggal terhadap Khittah NU 1926? Iya. Kalau tidak, ya, akan seperti sekarang, sangat multitafsir. Apakah hal itu tidak akan mengekang kebebasan kader atau pengurus NU?
Tidak jadi masalah. Kalau mereka mau menjadi calon, (meletakkan jabatan) itulah konsekuensi. Bagaimana pandangan Anda berkaitan dengan fenomena liberalisme pemikiran di kalangan muda NU? Kita harus menyikapinya secara arif dan bijaksana. Dan, itu adalah wilayah (kewenangan dewan) Syuriyah. Terserah Syuriyah mengatakan apa: kalau dinilai tidak tepat, ya, harus ditaati. Serahkan saja pada Syuriyah. Kalau saya yang menjawab, sementara saya bukan bagian dari Syuriyah, pasti akan ada salah tafsir. Dan, tidak mungkin dijawab dalam satu atau dua kalimat.
Kita juga harus menyikapi liberalisme ekonomi. Sebab, selama ini, NU tidak pernah menyikapi hal itu. Anda sendiri menilai peran Syuriyah dalam menyikapi liberalisme pemikiran di kalangan muda NU, bagaimana? Menurut saya, sudah cukup walau pun kurang vokal (baca: kurang tegas). Mestinya lebih dari itu, misal, memberikan penjelasan, memberikan pencerahan kepada mereka (kalangan muda NU yang memiliki pemikiran liberal). Apakah perlu dilarang?
Tentu ada batas-batas yang tidak bisa dilanggar. Kita memang bebas berpikir, tapi kan tidak bisa sebebas-bebasnya. Tapi, kalau misalnya, Al Quran itu dikatakan bukan kitab suci, menurut saya, itu sudah menyimpang. Bagaimana seharusnya NU menyikapi masalah liberalisme ekonomi?
Saya berpikir lebih jauh lagi. Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang diperjuangkan NU, meliputi bidang teologi yang mengikuti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi; di bidang fikih menganut empat mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali ; dan di bidang tasawuf, mengembangkan metode Al Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi. Dalam bidang politik, NU mempunyai sikap bahwa Pancasila adalah final sebagai dasar negara Republik Indonesia. Dulu, NU memperjuangkan Piagam Jakarta. Tapi, NU tidak pernah membincang, apa pemikiran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) di bidang ekonomi. Itu juga penting, harus dirumuskan dan harus dikembangkan. Dan, selama ini, tidak pernah saya dengar dan tidak pernah saya ketahui. Orang NU yang bicara ekonomi ala Ahlussunnah wal Jamaah itu jarang. Membicarakan konsep tentang bank Islam pun NU belum pernah, apalagi konsep ekonomi yang tentu lebih luas daripada sekedar konsep bank .
Apakah harus mengikuti konsep ekonomi syariah atau ekonomi Islam?
Kalau saya cenderung mengikuti konsep ekonomi seperti yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 . Justru itu NU harus membicarakan dan merumuskan konsep ekonomi, termasuk membincang apakah ekonomi syariah atau bank syariah itu sesuai dengan NU atau tidak. Masalah ekonomi ini kan sangat penting. Masa organisasi sebesar NU tidak punya pendapat.

BAB II
KESIMPULAN



Belakangan NU disorot karena terlalu dalam masuk ke wilayah politik praktis dan dinilai melanggar garis Khittah NU 1926. Fenomena maraknya liberalisme pemikiran di kalangan anak muda NU juga menjadi masalah tersendiri yang belum ditemukan solusinya. Tak hanya itu, sebagai organisasi kemasyarakatan-keagamaan terbesar di Indonesia, NU belum memiliki konsep ekonomi yang jelas dan terarah.
Saya berpikir lebih jauh lagi. Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang diperjuangkan NU, meliputi bidang teologi yang mengikuti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi; di bidang fikih menganut empat mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali ; dan di bidang tasawuf, mengembangkan metode Al Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi.

DAFTAR PUSTAKA





• Kumanto, Sunarto.2004, Pengantar sosiologi, Jakarta: Fak.Ekonomi UI
Taufik Rohman Dhohiri, dkk.2005, Sosiologi, Bogor: Yudistira
Cotton,Bruce J.1992, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rineka Cipta

• www. Wikipedia.org/search?sosialisme


BAB I
PEMBAHASAN




A. BEDAH MAYAT

Ditinjau dari aspek tujuannya, bedah mayat (autops) kita bagi dalam tiga kelompok. Autopsy Anatomis, Aitopsi Klinis, dan Autopsi Forensik. Autopsi Anatimis adalah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yang diperoleh mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan lainnya sebagai bahan praktikum tentang teori ilmu urai tubuh manusia (anatomi).
Autopsi Klinis adalah pembedahan terhadap mayat yang meninggal di rumah sakit setelah mendapat perawatan yang cukup dari para dokter. Pembedahan inidilakukan dengan tujuan mengetahui secara mendalam sifat perubahan suatu penyakit setelah dilakukan pengobatan secara intensif terlebih dahuluserta untuk mengetahui secara pasti jenis penyakit yang belum diketahui secara sempurna selama ia sakit.
Autopsy Forensik adalah pembedahan terhadap mayat yang bertujuan mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi, misalnya dugaan pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, dan lain-lain. Pembedahan seperti ini biasanya dilakukan atas permintaan pihak kepolisian atau kehakiman untuk memastikan sebab kematian seseorang. Hasil visum dokter (visum et repertum) ini akan mempengaruhi keputusan hakim dalam menentukan suatu perkara.
Secara garis besar, dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan, semua jenis autopsy hukumnya haram. Alasannya hadits berikut, Dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya mematahkan tulang mayat itu sama (dosanya) dangan mematahkannya pada waktu hidupnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah, lihat Nailur Authar, jilid III, No. 1781)
Pendapat kedua menyatakan autopsi itu hukumnya mubah (boleh).
Alasannya, tujuan autopsi anatomis dan klinis sejalan dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan Rasulullah saw. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang Arab Badui mendatangi Rasulullah saw. seraya bertanya, “Apakah kita harus berobat?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya hamba Allah. Berobatlah kamu, sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga (menentukan) obatnya, kecuali untuk satu penyakit, yaitu penyakit tua.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad) Rasulullah saw memerintahkan berobat dari segala penyakit, berarti secara implisit (tersirat) kita diperintahkan melakukan penelitian untuk menentukan jenis-jenis penyakit dan cara pengobantannya.
Autopsy anatomis dan klinis merupakan salah satu media atau perangkat penelitian uantuk mengembangkan keahlian dalam bidang pengobatan. Tujuan autopsy forensic sejalan dengan prisip Islam untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam penetapan hukum, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (QS. An-Nisa 4:58) Seorang hakim wajib memutuskan suatu perkara hukum secara benar dan adil. Untuk dapat menentukan hukum secara benar dan adil diperlukan bukti-bukti yang sah dan akurat. Autopsy forensic merupakan salah satu cara atau media untuk menemukan bukti. Mencermati alasan-alasan yang dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa autopsy anatomis, klinis dan forensic hukumnya mubah (boleh) karena tujuannya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Adapun bedah mayat yang dilakukan tanpa tujuan yang benar, hukumnya haram sebagaimana dijelaskan keterangannya oleh pendapat pertama. Wallahu a’lam.
Otopsi (bedah mayat) adalah pemeriksaan mayat dengan pembedahan. Ada tiga macam otopsi; (1) otopsi anatomis, yaitu otopsi yang dilakukan mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. (2) otopsi klinis, yaitu otopsi untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit (misal jenis penyakit) sebelum mayat meninggal. (3) otopsi forensik, yaitu otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau kematian yang mencurigakan, untuk mengetahui sebab kematian, menentukan identitasnya, dan sebagainya. Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum otopsi di atas dalam dua pendapat.
Pertama, membolehkan ketiga otopsi itu, dengan alasan dapat mewujudkan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Ini pendapat Hasanain Makhluf, Said Ramadhan Al-Buthi, dan beberapa lembaga fatwa seperti Majma’ Fiqih Islami OKI, Hai`ah Kibar Ulama (Saudi), dan Fatwa Lajnah Da`imah (Saudi). (As-Sa’idani, Al-Ifadah Al-Syar’iyah fi Ba’dh Al-Masa`il Al-Thibiyah, h. 172; As-Salus, Mausu`ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashirah, h. 587; Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, h. 170; Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Al-Thabib, h. 90).
Kedua, mengharamkan ketiga otopsi itu, dengan alasan otopsi melanggar kehormatan mayat, yang telah dilarang berdasarkan sabda Nabi SAW,”Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (kasru ‘azhmi al-mayyit ka-kasrihi hayyan). (HR Abu Dawud, sahih).
Ini pendapat Taqiyuddin An-Nabhani, Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan As-Saqaf. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, h. 170; Nasyrah Soal Jawab, 2/6/1970).
Menurut kami, pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat kedua, yang mengharamkan ketiga jenis otopsi, termasuk otopsi dalam rangka praktikum mahasiswa kedokteran, karena : (1) pendapat yang membolehkan berdalil kemaslahatan (Mashalih Mursalah), padahal Mashalah Mursalah bukan dalil syar’i yang kuat. Menurut Imam An-Nabhani, Mashalih Mursalah tidak layak menjadi dalil syar’i. (An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/444). (2) terdapat hadis-hadis sahih yang melarang melanggar kehormatan mayat, seperti mencincang, menyayat, atau memecahkan tulangnya sebagaimana di atas.
Namun, keharaman otopsi ini hanya untuk mayat muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, h. 179; Nashiruddin Al-Albani, Ahkam Al-Jana`iz, h. 299). Sebab di samping hadis dengan lafal mutlaq (tak disebut sifatnya, yaitu semua mayat), ternyata ada hadis sahih dengan lafal muqayyad (disebut sifatnya, yaitu mayat mu`min/muslim), yakni sabda Nabi SAW, “Memecahkan tulang mu`min yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup.” (kasru ‘azhmi al-mu`min maytan mitslu kasrihi hayyan.) (HR Ahmad, no 23172 & no 25073; Malik, Al-Muwathha`, 2/227; Ad-Daruquthni, 8/208; Ibn Hajar, Fathul Bari, 14/297; at-Thahawi, Musykil Al-Atsar, 3/281; Al-Albani, Shahih wa Dhaif Al-Jami’ Ash-Shaghir, 9/353).
Kaidah ushuliyah menyebutkan, “Lafal mutlak tetap dalam kemutlakannya hingga datang lafal yang muqayyad.” (Al-muthlaqu yabqa ‘ala ithlaaqihi maa lam yarid dalil at-taqyid).
Kesimpulannya, otopsi hukumnya haram jika mayatnya muslim. Sedangkan jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. Wallahu a’lam.

BAB II
KESIMPULAN




1. Ditinjau dari aspek tujuannya, bedah mayat (autops) kita bagi dalam tiga kelompok. Autopsy Anatomis, Aitopsi Klinis, dan Autopsi Forensik.

2. Secara garis besar, dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan, semua jenis autopsy hukumnya haram. Alasannya hadits berikut, Dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya mematahkan tulang mayat itu sama (dosanya) dangan mematahkannya pada waktu hidupnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah, lihat Nailur Authar, jilid III, No. 1781).


3. Kesimpulannya, otopsi hukumnya haram jika mayatnya muslim. Sedangkan jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. Wallahu a’lam.


DAFTAR PUSTAKA




• Hanafi, Ahmad. Pengantar dan sejarah Islam, Jakarta: Bulan Bintang 1997.
• www.konsultasiislam.com


BAB I
PENDAHULUAN


Memahami Aswaja (Ahlussunah Waljamaah) sebagai sebuah metode pemikiran dan pergerakan Islam masih sangat penting, khususnya dewasa ini di mana Islam tengah berada di persimpangan jalan antara kutub kanan dan kiri. Tarik menarik yang terjadi antara dua kutub ini tidak terlepas dari pergulatan Islam itu sendiri dengan realitas yang selalu hidup. Wacana penyegaran pemahamanan keagamaan kemudian menjadi sebuah kebutuhan jaman yang tidak dapat terelakkan. Boleh dibilang bahwa unsur dinamik yang terdapat dalam agama Islam sejatinya terletak pada multi-interprestasi yang selalu berkembang dalam merespon perubahan realitas yang terjadi melalui satu titik mainstream Islam berupa pedoman kitab dan sunnah yang diyakini oleh umatnya.

Hal ini yang membedakan dengan agama-agama lainnya, penyeregamanan (konvergensi) satu model interprestasi sumber otentik agama yang dimilikinya menjadikan nilai sebuah agama itu justru kehilangan kesegarannya. Betapapun secara historis upaya memunculkan bentuk tafsir yang berbeda tersebut telah ada, namun muaranya lebih kepada pengelupasan agama yang mereka anut dari panggung kehidupan materialistik. Sebagai bukti dari dinamika progresif yang terdapat dalam Islam ini, adalah dari larisnya wacana-wacana keislaman yang diangkat baik dalam skup nasional ataupun internasional, yang dijelmakan ke dalam ruang aktualisasi gagasan dan karya, baik buku, jurnal, institusi, seminar, pelatihan dan lain-lain. Wacana yang diangkat pun sangat beragam dari mulai yang paling kanan sampai yang paling kiri, dari yang paling fundamentalis sampai yang liberal. Seluruhnya membentuk siklus pencerahan yang berangkat dari misi mengembalikan Islam sebagai sebuah agama yang mampu menjadi solusi masa kini dan juga masa depan, dan nampaknnya tidak ada yang meyempalkan wacananya dari sumber otentik al-kitab dan sunnah. Dari sini sesungguhnya yang diperlukan dari kita adalah kearifan untuk menyikapi problematika multi-tafsir pemahaman keagamaan ini secara apresiatif dan tidak dianggap sebagai sebuah pencemaran agama. Yang harus dipersiapkan adalah sejauhmana kesanggupan kita melakukan dialektika yang komprehensif dalam menyaring gagasan mana yang lebih berdaya manfaat dan memberikan kemaslahatan bagi umat Islam masa kini. Di samping kebesaran hati kita untuk membuka pikiran dalam menerima berbagai varian gagasan yang dimunculkan tersebut. Tak terkecuali bagi Aswaja yang telah lama diyakini sebagai teologi yang banyak diyakini atau dianut oleh umat Islam di dunia, ia juga tak ubahnya mangalami dialektika multi-tafsir yang sama. Maka menggiring Aswaja pada satu bentuk konsep yang tunggal hanya akan menjadikan ajaran Aswaja kehilangan kesegarannya. Lebih-lebih aswaja hanya berfungsi sebagai salah satu bentuk metode berpikir dalam memahami lautan Islam dan keislaman yang maha luas.



BAB II
PEMBAHASAN



A. ASWAJA DAN KLAIM KESELAMATAN
Munculnya Aswaja sebagai sebuah sistem atau paham tidak lepas dari kondisi sosio-politik pada masa awal Islam yang berkisar pada paruh awal abad ketiga hijriyah, di mana kekuasaan politik Islam baru mengalami masa transisi dari kekuasaan Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu sangat marak tradisi intelektual baik dalam bentuk perwujudan karya lokal ataupun pemindahan karya luar untuk proses transformasi internal. Di mana perhatian dinasti Abbasiah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sungguh begitu tampak, dan seakan menjadi prioritas proyek pembangunan rezim kekuasaannya. Di samping pula mulai lahirnya beragam pemikiran umat Islam dalam merespon berbagai persoalan yang baru muncul ketika itu. Tepatnya dibawah kepiawaian intelektual Abu Hasan al-Asy’ari (wafat. 324 H.) dan Abu Mansur al-Maturidi (wafat. 333 H.) Aswaja sebagai sebuah paham dan teologi independen mulai diperkenalkan. Sebelumnya di era kenabian, umat Islam masih bersatu, dalam artian tidak ada golongan A dan tidak ada golongan B, tidak ada pengikut akidah A dan tidak ada pengikut B, semua berada dibawah pimpinan dan komando Rasulullah Saw. Bila terjadi masalah atau perbedaan pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah Saw. itulah yang menjadikan para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.
Kemudian setelah Rasulullah Saw. wafat benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Imam Ali RA. menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh Ibnu Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus faham Syi’ah (Rawafid). Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah paham-paham yang bermacam-macam yang dapat dibilang ‘menyempal’ dari ajaran Rasulullah Saw. Saat itu umat Islam terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai golongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam, seperti Mu’tazilah, Syi’ah (Rawafid), Khawarij dan lain-lain . Sedang bagian yang satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah Saw. bersama sahabat-sahabatnya.
Golongan yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongan dan akidahnya Ahlus Sunnah Waljamaah . Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : “bahwa golongan yang selamat dan akan masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah Saw) kerjakan bersama sahabat-sahabatku”.
Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah adalah akidah Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah umat Islam . Sedang golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah, Syi’ah (Rawafid) dan lain-lain, adalah golongan yang menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw yang berarti menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian hakekatnya embrio akidah Ahlus Sunnah Waljamaah itu sudah ada sebelum lahirnya Abu Hasan al-Asyari dan al-Maturidi. Begitu pula sebelum timbulnya ahli bid’ah atau sebelum timbulnya kelompok-kelompok sempalan.

Sekalipun pemahaman tentang klaim keselamatan yang hanya dimiliki oleh kelompok Aswaja telah banyak dikritik oleh banyak pemikir dan ulama Islam, khususnya dari aspek penjabaran klasifikasi perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam ke dalam angka pas 73 kelompok, diragukan oleh sebagian ulama. Contohnya beberapa ulama seperti Abdul Qahir al-Baghdadi (wafat. 429 H), atau as-Sahrasthani (wafat. 548 H), dan Ibnu al-Jauzi (wafat. 597 H) lebih memahami redaksional hadits perpecahan umat Islam (Hadits Furqah) secara harafiah. Sehingga berkonsekuensi pada upaya mereka untuk mencocok-cocokkan kelompok Islam yang dianggap “sempalan” sampai pas mencapai 72 kelompok dan hanya satu kelompok saja yang selamat. Padahal secara kebahasaan, dan tafsir al-Qur’an dalam hal yang berkaitan dengan redaksi penyebutan angka, tidak mesti menunjukkan angka yang pas seperti yang termaktub, melainkan indikasi tentang banyaknya atau menjamurnya suatu hal yang menjadi obyek pembahasan.
Contohnya, dalam ayat al-Qur’an surat at-Taubah: ayat 80, tentang istighfarnya nabi Muhammad sebanyak 70 kali atau lebih atas orang-orang yang munafiq, tidak berarti harus pas dengan 70 kali sebagaimana redaksi yang ada. Atau seperti dalam surat Luqman: ayat 27, yang menerangkan tentang 7 laut yang digunakan sebagai tinta untuk menghitung nikmat Allah Swt, tidak bermakna 7 pas, sebab sekalipun ia lebih, semisal 70 atau 700 pun akan sama hasilnya; tidak akan dapat mampu menghitung nikmat Allah dimaksud. Intinya angka yang tertera dalam redaksi hadits perpecahan umat Islam tidak bermakna harafiah (terbatas angka tertera).

Terlepas dari shahih dan tidaknya hadits di atas, kenyataannya sampai saat ini masih berlaku klaim-klaim keselamatan sebagai impak dari testimoni hadist tersebut. Jika yang dimaksud Ahlussunah Waljamaah ialah satu-satunya kelompok yang selamat dan masuk syurga, seluruh sekte dalam Islam akhirnya mengklaim sebagai Ahlussunah. Muhammad Abduh mengutip perkataan Jalauddin al-dawâni bahwa: Nashiruddin at-Thushy menganggap kelompok yang selamat tersebut adalah sekte Syi’ah Imamiyyah. Sementara sebagian ulama lainnya menganggap kelompok As-Sya’irah lah kelompok yang selamat tersebut. Sedang Ibnu Taimiyyah berpandangan, kelompok ahlu hadits yang seluruh prilaku dan perkataannya senantiasa disesuaikan dengan pola hidup Rasulullah Saw lah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang selamat. Dewasa ini malah baik kelompok salafi dan ahlu hadits masing-masing mengklaim sebagai pengikut ahlussunah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang selamat. Bahkan sebagian pemikir kontemporer beranggapan bahwa Mu’tazilah lah yang lebih dahulu lahir dan paling berhak untuk menyandang label Ahlussunah Waljamaah ketimbang yang lainnya. Bagi saya, terminologi keselamatan tidak harus selalu berada pada salah satu kelompok yang disebut di atas, dapat saja kebenaran diperoleh atau didapat pada seluruh kelompok Islam yang ada, baik kelompok as-Sya’irah, Syi’ah, Ahlu Hadits , ataupun Mu’tazilah . Sebagaimana sisi kekeliruan atau kesalahan dalam ijtihad yang mereka lakukan juga relatif mungkin terjadi. Mengingat perbedaan pendapat yang kerap terjadi bukan selalu pada ranah akidah atau ushuluddin, melainkan pada ranah furu’iyyah yang tidak ada kaitannya dengan persoalan justifikasi iman atau kafir.
Dengannya kita patut meragukan kebenaran testimoni Imam as-Shahrastani: ”Jika kebenaranan dalam persoalan aqliyat (rasional) berwajah satu, maka sangat logis jika kebenaran itu pun seharusnya berada pada satu wajah kelompok Islam”, mengingat pendapat atau pandangan suatu kelompok tidak harus secara mutlak kita terima atau pun kita tolak. Pada ranah ini selalu berlaku relatifitas ijtihad yang merupakan karateristik kelenturan syariat yang dimiliki oleh Islam.

B. ASWAJA-NU SEBUAH PENGENALAN SINGKAT
Adapun Aswaja-NU adalah hasil rumusan Ahlussunnah waljamaah oleh kalangan tradisionalis Islam di Indonesia. Eksistensi Komunitas ini dikenal sejak penyebaran Islam era pertama di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya pusat-pusat pengajaran Islam berupa pesantren di seluruh nusantara. Tradisi keagamaan yang sudah lama berkembang itulah yang kemudian diformalkan dengan pembentukan sebuah organisasi bernama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 M. Berdirinya organisasi ini, selain karena tuntutan dinamika lokal juga karena momentum internasional yang terjadi pada waktu itu. Pada tingkat lokal, ulama-ulama dari sayap pesantren merasa perlu mengkonsolidasikan diri untuk memagari tradisi-tradisi keagamaan yang sudah ada dari ”serangan” dakwah kalangan modernis. Mereka ini merupakan kelanjutan dari misi penyebaran ajaran Wahhabi dengan isu utamanya yang dikenal dengan ”anti TBC” (Tachayul, Bid’ah dan Churafat). Dalam konteks internasional, para ulama berkepentingan untuk bersatu guna menyampaikan aspirasi umat Islam Indonesia tentang kebebasan bermadzhab dan menentang gagasan pemusnahan situs-situs bersejarah di Haramain. Hal itu terjadi karena Penguasa Hijaz yang baru, Ibn Sa’ud, hendak menerapkan paham Wahhabi di wilayah kekuasaannya itu.
Dalam ”Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” (Preambule AD-ART NU) yang ditulis Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari secara tegas terdapat ajakan kepada para ulama Ahl al-Sunnah wal Jama’ah untuk bersatu memagari umat dari propaganda pada ”ahli bid’ah”. Yang dimaksud tentu saja adalah orang-orang pendukung ajaran Wahhabi yang dalam da’wahnya selalu mencela tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, qunut, tawassul dan lain-lain sebagai perbuatan Bid’ah. Selain itu, mereka menganggap kebiasaan-kebiasaan para santri yang lain sebagai sesuatu yang mengandung unsur Tahayyul dan Khurafat. Mereka juga menyatakan bahwa kepengikutan terhadap ajaran madzhab merupakan sumber bid’ah, dan oleh karenanya umat Islam harus berijtihad (ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah) Dengan demikian, yang dimaksud dengan ”Aswaja” oleh NU adalah pola keberagamaan bermadzhab. Pola ini diyakini menjamin diperolehnya pemahaman agama yang benar dan otentik, karena secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan transmisinya dari Rasulullah sebagai penerima wahyu sampai kepada umat di masa kini. Metode ini mempersyaratkan adanya Tasalsul (mata rantai periwayatan).
Selain itu, pola ini mengandung penghargaan terhadap tradisi lama yang sudah baik dan sikap responsif terhadap inovasi baru yang lebih bagus (al-muhafadhoh ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah). Dengan demikian, dalam konteks budaya, Aswaja mengajarkan kita untuk lebih selektif terhadap pranata budaya kontemporer, tidak serta merta mengadopsinya sebelum dipastikan benar-benar mengandung maslahat. Demikian juga terhadap tradisi lama yang sudah berjalan, tidak boleh meremahkan dan mengabaikannya sebelum benar-benar dipastikan tidak lagi relevan dan mengandung maslahat. Sebaiknya tradisi-tradisi tersebut perlu direaktualisasi sesuai dengan perkembangan aktual apabila masih mengandung relevansi dan kemaslahatan. Pada perkembangannya, definisi Aswaja berkembang menjadi sebagai berikut : ”Paham keagamaan yang dalam bidang Fiqh mengikuti salah satu dari madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) ; dalam bidang Aqidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, dan ; dalam bidang Tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junayd al-Baghdady”. Definisi tersebut sebenarnya merupakan penyederhanaan dari konsep keberagamaan bermadzhab.
Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah Waljamaah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazhab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah Waljamaah.
Di luar pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah Waljamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah Waljamaah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.
NU juga telah merumuskan pedoman sikap bermasyarakat yang dilandasi paham Aswaja, yakni Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (serasi dan seimbang), I’tidal (adil dan tegas), dan Amar Ma’ruf Nahy Munkar (menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran). Aswaja juga mengandung ajaran tentang sikap menghargai mayoritas dan perbedaan. Oleh karenanya, NU sebagai penganut Aswaja lebih apresiatif terhadap paradigma demokrasi. Bagi NU, perbedaan di tengah umat merupakan keniscayaan. Karena itu harus disikapi secara arif dengan mengedepankan musyawarah. Tidak boleh disikapi secara radikal dan ekstrem hanya karena keyakinan atas kebenaran sepihak. Dalam Aswaja dikenal dengan prinsip al-Sawad al-A’dham, berdasarkan hadits Nabi: fa idza raiytum ikhtilafan fa’alaykum bi sawad al-a’dzam..(jika kalian menjumpai perbedaan, ikutilah golongan yang terbanyak). Prinsip al-Sawad al-A’dhom ini didasarkan atas asumsi populer sebagaimana dalam hadits: ”La tajtami’u ummati ’ala al-dlalalah” (umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan). Sikap kemasyarakatan seperti diataslah yang membuat NU dapat diterima dan bekerjasama dengan semua kalangan, baik dalam internal umat Islam, lintas agama dan bahkan dalam hubungan-hubungan internasional. Hal ini dikarena NU mampu menyajikan Islam yang rahmatan lil-’Alamin, ramah, toleran, dan tidak ekstrem .



BAB III
KESIMPULAN




• Memahami Aswaja (Ahlussunah Waljamaah) sebagai sebuah metode pemikiran dan pergerakan Islam masih sangat penting, khususnya dewasa ini di mana Islam tengah berada di persimpangan jalan antara kutub kanan dan kiri. Tarik menarik yang terjadi antara dua kutub ini tidak terlepas dari pergulatan Islam itu sendiri dengan realitas yang selalu hidup.
• Sekalipun pemahaman tentang klaim keselamatan yang hanya dimiliki oleh kelompok Aswaja telah banyak dikritik oleh banyak pemikir dan ulama Islam, khususnya dari aspek penjabaran klasifikasi perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam ke dalam angka pas 73 kelompok, diragukan oleh sebagian ulama. Contohnya beberapa ulama seperti Abdul Qahir al-Baghdadi (wafat. 429 H), atau as-Sahrasthani (wafat. 548 H), dan Ibnu al-Jauzi (wafat. 597 H) lebih memahami redaksional hadits perpecahan umat Islam (Hadits Furqah) secara harafiah.

DAFTAR PUSTAKA




• Teologi Islam: “aliran-aliran sejarah analisis perbandingan”, Harun Nasution, UI Press, Jakarta.1986 (hal 21-58).

• Kontroversi Aswaja-Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, Imam Baihaqi, LKIS. Yogyakarta. 1999.

• www.google.com/search?pemahamansyariatislam


BAB I
PEMBAHASAN



A. ABORTUS DAN MENSTRUAL REGULATION MENURUT HUKUM DI INDONESIA
Abortus menurut Sardikin Ginaputra (Fakultas Kedokteran UI), ialah pengakhiran kehamilan atau hasi konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Dan menurut Moryono Reksodipura (Faultas Hukum UI) ialah pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).

Metode yang di pakai untuk abortus biasanya ialah:
1. Curatage & Dilatage (C&D).
• Dengan alat khusus, mulut rahim di lebarkan, kemudian janin di kiret (di-curet) dengan alat seperti sendok kecil.
• Aspirasi, penyedotan isi rahim dengan pompa kecil. Hysterotami (melalui operasi).

2. Abortus (Pengguguran) ada 2 (dua) macam, ialah:
1. Abortus Spontan (Spontaneus Abortus), ialah abortus yang tidak di
sengaja. Abotus spontan bisa terjadi karena penyakit syphilis, kecelakaan dan
sebagainya.
2. Abortus yang disengaja (abortus provocatus/induced proabortion).
Dan abortus macam kedua ini ada 2 (dua) macam, ialah
• Abortus artificialis therapicus, yakni abortus yang dilakukan oleh
dokteer atas dasar indikasi medis. Misalnya jika kehamilan diterusan bisa
membahayakan jiwa si calon ibu, karena misalnya penyakit-penyakit yang berat, antara lain TBC yang berat dan penyakit ginjal yang berat.
• Abortus provocatus criminalis, ialah abortus yang dilakukan tanpa dasar
indikasi medi. Misalnya abortus yang dilakukan unatuk meniadakan hasil hubungan seks di luar perkawinan atau untuk mengakhiri kehmilan yang tidak dikehaendaki.
Menstrual regulation secara harfiah artinya pengaturan menstruasi/datang bulan/had, tetapi dalam praktek mentual regulation ini dilaksanakan terhadap wanita yang merasa terhambat waktu menstruasi, dan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratoris ternyata positif dan mulai mengandung, kemudian ia minta “dibereskan janinnya” itu. Maka jelaslah bahwa menstrual regulation itu pada hakikatnya adalah abortus provocatus criminalis, sekalipun dilakukan oleh dokter. Karena itu, abortus dan mentrual regulation itu pada hakikkatnya adalah pembunuhan janin secara terselubung. Karena itu, berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 299, 346, 348 dan 349 negara melarang abortus, termasuk menstrual regulation dan sangsi hukumannya cukupberat, bahkan hukumannya tidak hanya di tujukan kepada wanita yang bersangkutan, tetapi semua orang yang terlibat dalam kejahatan ini dapat di tuntut, seperti dokter, dukun bayi, tukang obat dan sebagainya yang mengobati atau menyuruh atau yang mambantu atau yang melakukannaya sendiri.
Marilah kita perhatikan pasal-pasal KUHP yang berkaitan dengan abortus (pengguguran) sebagai berikut. Pasal 299
1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulakan harapan, bahwa dengan pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, di ancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.

2. Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika ia
seorang tabib, bidan atau juru obat; pidananya dapat ditambah sepertiga.

3. Jika yang bersalah, melakuakan kejahatan tersebut; dalam mejalankan
pencarian, maka dapat di cabut haknya untuk melakukan pencarian itu.

Pasal 346: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (emapat) tahun.
Pasal 347 (1): Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya
wanita tersebut, dikenakan pidina penjara paling lama lima
belas tahun.

Pasal 348 (1): Barang siapa menggugurkan kandungan atau mematikan seoramg
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun enam bulan. (2) Jika perbutan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara palang lama tujuh tahun.

Pasal 349: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan yang tersebut pasal 346, atau pun melakukan membantu melakukan salah
satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang di
tentukan dalam pasal itu dapat di tambah dengan sepertiga atau di cabut hak
untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan di lakukan).

Pasal-pasal tersebut merumuskan dengan tegas tanpa pengecualian bahwa barang siapa memenuhi unsur-unsur kejahatan tersebut diacam dengan hukuman sampai lima
belas tahun; bahkan bagi dokter, bidan atau tukang obat yang melakukan atau
membantu melakukan abortus, pidananya bisa di tambah sepertiga dan bisa dicabut
haknya untuk melakukan praktek profesinya.
Teuku Amir Hamzah dalam disertasinya berjudul: “Segi-segi Hukum Pidana” pengaturan Kehamilan dan Pengguguran Kandungan menganggap perumusan KUHP tersebut sangat ketat dan kaku, dan hal ini sangat tidak menguntungkan bagi profesi dokter serta dapat menimbulkan rasa cemas dalam melakukan profesinya.

Di satu pihak dokter harus senantiasa mengingat kewajibannya melindungi hidup insani sesuai dengan sumpahnya; namu, dilain pihak dokter dibayangi ancaman hukuman. Menurut Hamzah, ada beberapa alasan yang membenarkan pengguguran kandungan dengan pertimbangan kesehatan, antara lain sebagi berikut:
1. Ajaran sifat melawan hukum meteriil sesuai dengan Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI nomor 24K/Kr 2965 tanggal 8 Januari 1966 dan Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI nomor 81K/Kr 1973 tanggak 30 Maret 1977. Ajaran sifat melawan.
Hukum Materiil dimaksud adalah, “Sesuatu tindakan pada umumnya dapat hilang
sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarakan sesuatu ketentuan dalam
perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas
hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum yang mengandung unsur-unsur: negara
ini dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung.

2. Penjelasan pasal 10 Kode Etik Kedokteran Indinesia 1983, yang menyatakan,
larangan pengguguran `kandungan tidak mutlak sifatnyaa, dan dapat dibenarkan
sebagai tindakan pengobatan, yaitu sebagai satu- satunya jalan untuk menolong
si ibu.
Akhirnya, Hamzah menyarankan agar di buat pengecualian dalam KUHP sehingga pengguguran kandungan yang dilakukan dokter atas pertimbangan kesehatan dapat dibenarkan dan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum). Tetapi sementara ini di kalangan ahli hukum di Indonesia yang mempunyai ide atau saran agar abortus itu dapat dilegalisasi seperti di negara maju/sekuler, berdasarkan pertimbangan antara lain; bahwa kenyataan abortus tetap dilakukan secara ilegal dimana-mana dan kebanyakan dilakukan oleh tenaga-tenaga nonmedis, seperti dukun, sehingga bisa membawa resiko besar berupa kematian atau cacat berat bagi wanita yang bersangkutan. Maka sekiranya abortus dapat dilegalisasi dan dapat dilakukan oleh dokter yang ahli, maka resiko tersebut dapat dihindari atau dikurangi.

Pendukung ide legalisasi abortus itu menghendaki pasal-pasal KUHP yang melarang abortus dengan sangsi-sangsinya itu hendak di revisi, kerena juga dapat dipandang bisa menghambat pelaksanaan program Keluarga Berencana dan kependudukan.

Menurat penulis, Masfjuk Zuhdi, pasal-pasal KUHP yang melarang abortus hendaknya tetap di pertahankan dan penulus dapata menyetujui saran Hamzah agar di buat pengecualian dalam KUHP, sehingga pengguguran kamdungan yang benar-benar dilakukan atas indikasi medis dapat di benarkan. Dan apabila tanpa indikasi medis, maka abortus dan juga menstrual regulation merupakan perbutan yang tidak manusiawi, bertentangan dengan moral pancasila dan moral agama, dan menpunyai dampak yamg sangat negatif berupa dekadendi moral terutama di kalangan remaja dan pemuda, sebab legalisasi abortus dapat medorang keberanian orang untuk melakukan hubungan seksual sebelum nikah (Free sex, Kumpul kebo).

B. ABORTUS DAN MENSTRUAL REGULATION MENURUT
PANDANGAN ISLAM
Apabila abortus dilakukan sebelum diberi ruh/nyawa pada janin (embrio), yaitu sebelum berumur 4 bulan, ada beberapa pendapat. Ada ulama yang membolehkan abortus, antara lain Muhammad Ramli dalam kitab Al-Nihayah (meninggl tgl 1596) dengan alasan, karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada ulama yang
memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.
Dan ada pula yang mengharamkannya antara lain Inbu Hajar (wapat pada Th 1567)
dalam kitabnya Al-Tuhfah dan Al-Gozali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin. Dan
apabila abortus dilakukan sesudah janin bernyawa atau berumur 4 bulan, maka
dikalangan ulama telah ada ijma (konsensus) tentang haramnya abortus.
Menurut Masjfuk Zuhdi, pendapat yang benar adalah seperti yang diuraikan oleh Muhammad Syaltut eks Rektor Universitas Al-Azhar Mesir, bahwa sejak bertemunya sel sperma (manilelaki) dengan ovum (sel telur wanita), maka pengguguran adalah suatu kejahatan dan haram hukumnya, sekalipun si janin belum diberi nyawa, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa bernama manusia, yang harus di hormati dan dilindungi eksistensinya. Dan makin jahat dan makin besar dosanya, apabila penggugurang dilakukan setelah janin bernyawa, apa lagi sangat besar dosanya kalau sampai di bunuh atau dibuang bayi yang baru lahir dari kandungan.

Tetapi apabila pengguguran itu dilakukan benar-benar terpaksa demi melindungi/menyelamatkan si ibu, maka Islam membolehkan, bahkan mengharuskan, kerena Islam mempunyai prinsip:
إرتكاب أخف ضررين واجب

“Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang berbahaya itu adalah wajib”. Jadi, dalam hal ini, Islam tidak membenarkan tindakan menyelamatkan janin dengan mengorbankan si calon ibu, kerena eksistensi si ibu lebih diutamakan mengingit dia merupakan tiang/sendi keluarga (rumah tangga) dan dia telah mempunyai beberapa hak dan kewajiban, baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama makhluk. Berbeda dengan si janin, selama ini belum lahir di dunia dalam keadaan hidup, ia tidak/belum mempunyai hak, seperti hak waris, dan juga belum mempunyai kewajiban apapun).
Mengenai menstrual regulation, Islam juga melarangnya, karena pada hakikatnya sama dengan abortus, merusak/menghancurkan janin calon manusia yang dimuliakan oleh Allah, karena ia tetap berhak survive lahir dalam keadaan hidup, sekalipun dalam eksistensinya hasil dari hubungan tidak sah (di luar perkawinan yang sah). Sebab menurut Islam, bahwa setiap anak lahir dalam keadaan suci (tidak bernoda). ) Sesuai
dengan hadis Nabi: “Semua anak dilahirkan atas fitrah, sehingga ia jelas
omongannya. Kemudian orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. (Hidis riwayat Abu Ya’la, Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari Al-Aswad bin Sari)”.
Yang dimaksud dengan fitrah dalam hadis ini ada dua pengertian, yaitu:
• Dasar pembawaan manusia (human nature) yang religius dan monoteis, artinya bahwa manusia itu dari dasar pembawaannya adalah makhluk yang beragama dan percaya pada keesaan Allah secara murni (pure monotheism atau tauhid khalis).
• Kesucian/kebersihan (purity), artinya behwa semua anak manusia di lahirkan
dalam keadaan suci/bersih dalah segala macam dosa.

BAB II
KESIMPULAN

• Menstrual regulation secara harfiah artinya pengaturan menstruasi/datang bulan/had, tetapi dalam praktek mentual regulation ini dilaksanakan terhadap wanita yang merasa terhambat waktu menstruasi, dan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratoris ternyata positif dan mulai mengandung.
• Negara melarang abortus, termasuk menstrual regulation dan sangsi hukumannya
cukupberat, bahkan hukumannya tidak hanya di tujukan kepada wanita yang
bersangkutan, tetapi semua orang yang terlibat dalam kejahatan ini dapat di
tuntut, seperti dokter, dukun bayi, tukang obat dan sebagainya yang mengobati
atau menyuruh atau yang membantu atau yang melakukannya sendiri.
• Menurut Masjfuk Zuhdi, pendapat yang benar adalah seperti yang diuraikan oleh Muhammad Syaltut eks Rektor Unipersitas Al-Azhar Mesir, bahwa sejak bertemunya sel sperma (mani lelaki) dengan ovum (sel telur wanita), maka pengguguran adalah suatu kejahatan dan haram hukumnya, sekalipun si janin belum diberi nyawa
• Penggunaan Pil Anti Haid untuk kesempatan ibadah haji
hukumnya mubah.
• Penggunaan Pil Anti Haid dengan maksud agar dapat mencukupi puasa Ramadhan seblum penuh, hukumnya makruh. Akan tetapi, bagi wanit yang sukar menqada puasanya pada hari lain, hukumnya mubah.


DAFTAR PUSTAKA

• Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam: Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan.
• Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta:
Elsas, 2008
• Abu Fadl Muhsin, 1997, Aborsi Kontrasepsi Dan Mengatasi Kemandulan, Bandung: Mizan.
• M. Ali Hasan 1997, Masil Fiqhiyah al-Haditsah, Jakarta: Raja Grafindo.
• www.wordpress.com


BAB I
PEMBAHASAN


A. ALIRAN BAHA’I
Berikut adalah sedikit informasi mengenai Baha’i, aliran sesat sempalan Syi’ah. Tulisan ini kami ambil dari buku “Aliran dan Paham Sesat di Indonesia” yang disusun oleh Ustadz Hartono Ahmad Jaiz dan diterbitkan oleh Pustaka al-Kautsar (ISBN: 979-592-187-8).
Baha’iyah atau baha’isme ini menyatukan agama-agama: Yahudi, Nasrani, Islam dan lainnya menjadi satu. Hingga aliran ini jelas-jelas dinyatakan sebagai non-Islam .
Prof. Dr. M. Abu Zuhrah, ulama Mesir dalam bukunya Tarikh al-Madzaahibil Islamiyyah fis-Siyaasah wal-’Aqaid menjelaskan secara rinci penyimpangan dan kesesatan Baha’iyah, dan ia nyatakan sebagai aliran bukan Islam, berasal dari Syi’ah Itsna ‘Asyariyah (Syi’ah Imamiyah yang kini berkembang di Iran). Pendiri aliran Baha’i ini adalah Mirza Ali Muhammad asy-Syairazi, lahir di Iran 1252 H/1820 M. Ia mengumumkan tidak percaya pada Hari Kiamat, surga dan neraka setelah hisab/perhitungan. Dia menyerukan bahwa dirinya adalah potret dari Nabi-nabi terdahulu. Tuhan pun menyatu dalam dirinya (hulul). Risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan risalah terakhir. Huruf-huruf dan angka-angka mempunyai tuah terutama angka 19. Perempuan mendapat hak yang sama dalam menerima harta waris. Ini berarti dia mengingkari hukum al-Qur’an, padahal mengingkari hukum al-Qur’an berarti kufur, tandas Abu Zuhrah.
Mirza Ali dibunuh pemerintah Iran tahun 1850, umur 30 tahun. Sebelum mati, Mirza memilih dua muridnya, Subuh Azal dan Baha’ullah. Keduanya diusir dari Iran. Subuh Asal ke Cyprus, sedang Baha’ullah ke Turki. Pengikut Baha’ullah lebih banyak, hingga disebut Baha’iyah atau Baha’isme , dan kadang masih disebut Babiyah, nama yang dipilih pendirinya, Mirza Ali.
Kemudian dua tokoh ini bertikai, maka diusir dari Turki. Baha’ullah diusir ke Akka Palestina. Disana ia memasukkan unsur syirik dan menentang al-Qur’an dengan mengarang al-Kitab al-Aqdas diakui sebagai wahyu, mengajak ke agama baru, bukan Islam. Baha’ullah menganggap agamanya universal, semua agama dan ras bersatu didalamnya.
B. Ajaran Baha’ullah
1. Menghilangkan setiap ikatan agama Islam, menganggap syari’at telah kadaluarsa. Maka aliran ini tak ada kaitan dengan Islam. –Persamaan antara manusia meskipun berlainan jenis, warna kulit dan agama. Ini inti ajarannya.
2. Mengubah peraturan rumah tangga dengan menolak ketentuan-ketentuan Islam. Melarang poligami kecuali bila ada kekecualian. Poligami ini pun tidak diperbolehkan lebih dari dua istri. Melarang talak kecuali terpaksa yang tidak memungkinkan antara kedua pasangan untuk bergaul lagi. Seorang istri yang ditalak tidak perlu ‘iddah (waktu penantian). Janda itu bisa langsung kawin lagi.
3. Tidak ada shalat jama’ah, yang ada hanya shalat jenazah bersama-sama. Shalat hanya dikerjakan sendiri-sendiri.
4. Kabah bukanlah kiblat yang diakui mereka. Kiblat menurut mereka adalah tempat Baha’ullah tinggal. Karena selama Tuhan menyatu dalam dirinya, maka disitulah kiblat berada. Ini sama dengan pandangan sufi (orang tasawuf) sesat bahwa qalbul-mukmin baitullah, hati mukmin itu baitullah.
Informasi Lainnya
1. Baha’ullah, pemimpin Baha’i (internasional) mati tahun 1892, kuburannya di Israel, tepatnya di Akka. (Inilah mungkin mengapa shalat mereka berkiblat ke Israel, wallahu a’lam) .
2. Kaum Baha’i percaya bahwa al-Bab (sama dengan Baha’ullah) adalah pencipta segala sesuatu dengan kata-katanya.
3. Secara organisasi, Baha’i berpusat di Haifa, Israel. Baha’i tersebar di 235 negara melalui Baha’i International Community (BIC).
4. Ajaran Baha’i masuk ke Indonesia sekitar tahun 1878 (sebelum matinya dedengkot Baha’i, Baha’ullah di Israel, 1892 — penulis buku) melalui Sulawesi yang dibawa dua orang pedagang; Jamal Effendi dan Mustafa Rumi. Melihat namanya tentu berasal dari Persia dan Turki. Ia berkunjung ke Batavia (Jakarta), Surabaya dan Bali.
5. Baha’i dilarang di Indonesia sejak 15 Agustus 1962. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 264/Tahun 1962 yang berisikan pelarangan tujuh organisasi, termasuk Baha’i.
6. Pusat kegiatan Baha’i ada di Chicago, Amerika Serikat.
7. Aliran Baha’i diresmikan oleh Gus Dur (Abdurrahman Wahid, kiai(?) yang terkenal dengan pemikiran nyelenehnya itu) waktu ia menjabat sebagai Presiden, dan setelah itu pada hari berikutnya muncul pernyataan resmi dari NU (Nahdlatul Ulama) daerah Bandung yang menolaknya.
C. PAHAM AHMADIYAH
Apabila paham Mahdi atau Mahdiisme Syi'ah itu lebih ditandai oleh motif-motif politik, maka paham Mahdi Ahmadiyah yang lahir di ujung abad ke-19, tampaknya lebih bermotif pembaharuan pemikiran dalam Islam, terutama dalam menghadapi bahaya Kristenisasi sebagai akibat penjajahan Inggris di India. Dengan demikian, ide kemahdian Ahmadiyah berbeda dengan ide kemahdian Syi'ah yang mencita-citakan terwujudnya kekuasaan politik di dunia Islam di bawah pimpinan al-Mahdi. Mahdiisme Ahmadiyah rupanya tidak bisa terlepas dari kaitannya dengan masalah kehadiran kembali 'Isa- al-Masih di akhir zaman, dimana ia ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh Dajjal, mematahkan tiang salib, yaitu mematahkan argumen-argumen agama Nasrani dengan dalil-dalil atau bukti-bukti yang meyakinkan, serta menunjukkan kepada para pemeluknya kebenaran Islam. Disamping itu ia pun ditugaskan untuk menegakkan kembali syari'at Nabi Muhammad, sesudah ummatnya mengalami kemerosotan dalam kehidupan beragama.
Menurut paham aliran ini, 'Isa dan al-Mahdi adalah satu pribadi, bukan sebagaimana yang dipahami orang pada umumnya. Oleh karena itu, mereka hanya mengambil salah satu dari beberapa hadis-hadis Mahdiyyah yang sesuai dengan keyakinan aliran ini, dan mereka - para pengikut paham Ahmadiyah - memandang hadis Mahdiyyah yang mereka pegangi sebagai otentik seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

"Tiada seorang pun (sebagai) al-Mahdi selain 'Isa."

Hadis tersebut mereka pahami dan mereka hubungkan dengan pribadi Mirza Ghulam Ahmad sebagai pengejawantahan 'Isa al-Masih dan al-Mahdi, yang berasal dari India. Tentunya para pengikut paham Ahmadiyah ini secara tegas menolak hadis-hadis Mahdiyyah lairmya yang mengandung maksud berbeda dengan paham mereka. Apabila kemahdian Ahmadiyah meniru
sifat-sifat atau watak Nabi 'Isa, maka dalam mene;apai tujuannya, aliran ini tidak suka menempuh jalan kekerasan, akan tetapi dengan jalan damai, sebagaimana yang ditempuh oleh kaum misionaris Kristen. Menegakkan Islam dengan jalan kekerasan atau perang, menurut paham pengikut aliran ini, adalah tidak penting bahkan tidak perlu. Sebab menegakkan agama (Islam) dengan perang, hanyalah merupakan jihad atau perang kecil yang dikenal dengan [kata-kata Arab]. Akan tetapi, yang terpenting adalah jihad akbar [kata-kata Arab] yaitu perang melawan hawa nafsu. Sifat kemahdian Ahmadiyah tersebut, berlainan dengan sifat kemahdian Syi'ah yang jauh lebih agresif. Pada umumnya, pengikut paham Mahdi Syi'ah mendasarkan paham kemahdiannya pada aqidah raj'ah dengan menunggu-nunggu kehadiran kembali pemimpin mereka yang telah wafat, khususnya dari keturunan mereka yang telah wafat, khususnya dari keturunan Ahlul-Bait. Sedangkan paham Mahdi Ahmadiyah tidak didasarkan pada aqidah raj'ah, karenanya pengikut aliran ini tidak memandang penting silsilah al-Mahdi itu berasal dari keturunan Ahlul-Bait. Menurut paham yang terakhir ini, al-Mahdi itu tidak harus keturunan Ahlul Bait atau dari bangsa Arab, akan tetapi siapa saja yang dikehendaki dan
diangkat oleh Tuhan baik dengan jalan wahyu atau ilham. Jika kemahdian Syi'ah selalu dikaitkan dengan masalah keimaman, maka kemahdian Ahmadiyah selalu dihubungkan dengan masalah kenabian, dan kemungkinan masih diturunkannya wahyu sesudah Nabi Muhammad. Persepsi yang demikian ini, apa pun alasan yang mereka ajukan, tetap akan ditolak oleh golongan Islam lainnya, khususnya golongan Sunni.
Dari perbedaan-perbedaan yang prinsip ini, kehadiran aliran Ahmadiyah di tengah-tengah pengikut Sunni, tidak bisa mereka terima pada awal kemunculannya. Bahkan sampai hari ini pun aliran tersebut tidak diakui sebagai kelompok Muslim, oleh Rabitah al-'Alam al-Islami.

D. SEJARAH LAHIRNYA AHMADIYAH
Lahirnya aliran Ahmadiyah merupakan serentetan peristiwa sejarah dalam Islam, yang kemunculannya tidak terlepas dari situasi dan kondisi ummat Muslim sendiri pada saat itu. Sejak kekalahan Turki 'Usmani dalam serangannya ke benteng Wina tahun 1683, pihak Barat mulai bangkit menyerang kerajaan tersebut, dan serangan itu lebih efektif lagi di abad ke-18. Selanjutnya di abad berikutnya bangsa Eropa didorong oleh semangat revolusi industri dan ditunjang oleh berbagai penemuan baru, mereka mampu mencipta senjata-senjata modern . Secara agresif mereka dapat menjarah daerah-daerah Islam di satu pihak, sedangkan di pihak lain ummat Muslim sendiri masih tenggelam dalam kebodohan dan sikap yang apatis dan fatalistis. Akhirnya Inggris dapat merampas India dan Mesir, Perancis dapat menguasai Afrika Utara, sedangkan bangsa Eropa lainnya dapat menjarah daerah-daerah Islam lainnya. Sesudah India menjadi koloni Inggris, tampaknya sikap ummat Muslim yang masih sangat tradisional dan fatalistis, dengan disertai semangat antipati dan fanatisme keagamaan yang berlebihan dalam menghadapi tradisi Barat, menyebabkan mereka semakin terisolasi. Keadaan kaum Muslimin India ini, semakin buruk terutama sesudah terjadinya pemberontaka Mutiny di tahun 1857.

E. TUJUAN AHMADIYAH
Tujuan utama Ahmadiyah bukanlah memasukkan orang Yahudi dan Nasrani kedalam agama Islam, tetapi ingin memasukkan orang Islam kedalam golongannya . Mereka mengaku masih bersyahadat dan puasa. Awalnya Mirza Ghulam Ahmad (pendiri Ahmadiyah) mengatakan bahwa dirinya adalah pelayan Islam, tetapi akhirnya dia mengatakan :“Aku bukan saja sekedar pelayan Islam, tapi juga seorang nabi”. Mirza Ghulam Ahmad berusaha mengelabuhi umat Islam dengan syair-syair yang memuji nabi. Tetapi pada saat yang sama dia mengatakan :“Wajib bagi kita kaum Muslimin untuk mengabdi pada pemerintah Inggris. Aku telah membaktikan separuh hidupku untuk mendukung eksistensi pemerintah Inggris”. Mungkin itu mengapa Inggris bisa bertahan lama dalam menjajah India dan melemahkan kesultanan Islam disana saat itu, dan mungkin itu pula mengapa Ahmadiyah bisa berkembang dengan pesat di Inggris. Lalu mengapa pengikut Ahmadiyah yang lain tidak bisa mengikuti jejak Hasan?. Hal itu karena pengikutnya telah dikuasai oleh Khalifah mereka yang melarang membaca buku ini atau buku itu, mendengarkan perkataan si ini atau perkataan si itu karena semuanya Bathil. Sehingga otak dan pemikiran mereka bagaikan boneka yang mudah diarahkan. Bagi pengikut Ahmadiyah, Kekhalifaan mereka sangat dibangga-banggakan. Mereka selalu mengolok-olok kaum Muslimin umumnya yang hingga saat ini tidak mempunyai Kekhalifahan. Segala persoalan mengenai Fatwa, dakwah, harta hingga kehidupan sosial hanya khalifah yang menetapkan. Bahkan dalam hal berapa jumlah kekayaan pengikut Ahmadiyah dan dimana disimpan hanya khalifah saja yang tahu. Ahmadiyah meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yang tidak membawa syariat. Tetapi benarkah?. Dalam Kitab Ruhani Khazain jilid 17 Hal. 435, Mirza Ghulam Ahmad mengatakan :“Sesungguhnya saya telah menerima wahyu syariat juga”(terjemahan dari bahasa Urdu, Hasan bin Muhammad Audah, Ahmadiyah Aqaidi wal Ahdats, 81). Selain itu ia membatalkan hukum Jihad dengan pedang. Mirza Ghulam menulis buku dan selebaran sebanyak 50 lemari untuk mendukung penjajah Inggris di India. Ia berkata :“Sesungguhnya telah dibatalkan pada hari ini hukum jihad dengan pedang. Maka tidak ada Jihad setelah hari ini”(Ruhani Khazain jilid 16 Hlm, 28).
Mirza Ghulam juga mewajibkan taat kepada pemerintah Inggris yang saat itu menjajah kaum Muslimin di berbagai Negara. Mirza Ghulam mengatakan :“Sesungguhnya mashab dan akidahku yang aku ulang-ulang bahwa Islam itu mempunyai dua bagian. Bagian pertama taat kepada Allah SWT, dan bagian kedua taat kepada pemerintah Britania (Inggris Raya) yang telah memberikan keamanan dan melindungi kami dari orang zalim”(Ruhani Khazain jilid 6 Hlm 380). Mirza Ghulam juga berkata :“ Telah diwajibkan kepada kami dan kepada turunan kami untuk berterima kasih kepada pemerintahan Britania (Inggris Raya) yang diberkahi ini”(Ruhani Khazain jilid 3 Hlm 166).
F. BANTAHAN TERHADAP AHMADIYAH
Allah menciptakan manusia dari Adam sampai manusia akhir jaman. Dan keturunan Adam jumlahnya ribuan bahkan jutaan pada saat-saat pertama sejarah manusia yang mana terbagi dalam banyak garis keturunan. Nabi Ibrahim hanyalah salah seorang dari sekian banyak garis keturunan Adam yang jumlahnya ribuan yang menyebar ke segala penjuru dunia. Meski Adam dikategorikan sebagai Nabi, tetapi dari sekian banyak Nabi, sebenarnya permulaan adanya Syariat dan ajaran Tauhid (Monoteisme) dimulai dari Nabi Ibrahim as. Dan tentu kita sudah mengetahui bahwa lewat keturunan Nabi Ibrahim-ah Allah memberi gelar kenabian. Nabi Ibrahim memiliki dua jalur keturunan yaitu Ishak yang mengalir ke Bangsa Israel dan Ismail yang mengalir ke Bangsa Arab. Dan Muhammad adalah penutup pada dua garis keturunan Ibrahim . Hal itu dibuktikan oleh Yesus (Isa) yang tidak memiliki keturunan dan Muhammad yang mana keturunannya telah wafat dalam perang Karbala. Kesemuanya tidak memiliki penerus sama



BAB II
KESIMPULAN


Dari ketiga golongan ini (ahmadiah, najariah, dan bahaiah) ini persamaannya yaitu sama-sama disebut aliran sesat, dan perbedaannya yaitu kalau golongan bahaiyah itu kabah bukan tempat acuan untuk sembahyang tetapi tempat sembahyang bagi aliran bahaiyah yaitu dimana-mana karena Tuhan mereka mengetahui tentang ibadah kita, sedangkan muhammadiyah yaitu lebih mengutamakan sunnah nabi.
Tujuan utama Ahmadiyah bukanlah memasukkan orang Yahudi dan Nasrani kedalam agama Islam, tetapi ingin memasukkan orang Islam kedalam golongannya. Mereka mengaku masih bersyahadat dan puasa. Awalnya Mirza Ghulam Ahmad (pendiri Ahmadiyah) mengatakan bahwa dirinya adalah pelayan Islam, tetapi akhirnya dia mengatakan :“Aku bukan saja sekedar pelayan Islam, tapi juga seorang nabi”. Mirza Ghulam Ahmad berusaha mengelabuhi umat Islam dengan syair-syair yang memuji nabi. Tetapi pada saat yang sama dia mengatakan :“Wajib bagi kita kaum Muslimin untuk mengabdi pada pemerintah Inggris. Aku telah membaktikan separuh hidupku untuk mendukung eksistensi pemerintah Inggris”.

DAFTAR PUSTAKA


• Teologi Islam: “aliran-aliran sejarah analisis perbandingan”, Harun Nasution, UI Press, Jakarta.1986 (hal 21-58).

• Kontroversi Aswaja-Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, Imam Baihaqi, LKIS. Yogyakarta. 1999.

• www.google.com/search?pemahamansyariatislam


BAB I
PEMBAHASAN


A. SUMBER-SUMBER HUKUM DALAM ASWAJA
Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Secara singkat, paparannya sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an . Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2; Al-Maidah Ayat 44-45, 47 :
ذلِكَ اْلكِتَبَ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلكفِرُوْ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”.
Tentu dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah, lalu;
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الظّلِمُوْنَ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dhalim” .
Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama manusia
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلفسِقُوْن َ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”.
Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.

2. Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut;

وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِكْرَ لِتُبَيِنَ لِلنَّاسِ مَانُزِلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44)
وَمَاءَاتَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَانَهكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْاوَاتَّقُوْااللهَ, اِنَّ اللهَ شَدِيْدُاْلعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”. (Al-Hasyr: 7)
Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.

3. Al-Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW . Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
Kemudian ijma’ ada 2 macam :
• Ijma’ Bayani ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.
• Ijma’ Sukuti ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.
Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati. Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59.
ياأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْاأَطِيْعُوْااللهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”.
Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam. Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hokum, seperti disebut dalam Sunan Termidzi Juz IV hal 466..

اِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ اُمَّتىِ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ, وَيَدُاللهِ مَعَ اْلَجَماعَةِ
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan Allah beserta orang banyak. Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431
اِنَّ اُمَّتىِ لاَتَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ فَاءِذَارَأَيْتُمُ اخْتِلاَ فًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِاْ لأَعْظَمِ.
“Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang terbanyak”.

4. Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa (قا س ). Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.
Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman :
فَاعْتَبِرُوْا يأُوْلِى اْلأَيْصَارِ
“Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Al-Hasyr : 2)
Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an :
ياأَيُّهَااَّلذِيْنَ ءَ امَنُوْا لاَتَقْتُلُوْاا لصَّيْدَوَاَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَاعَدْلٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”. (Al-Maidah: 95). Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semua mengaku Ahlussunnah. Fenomena ini adalah hal yang biasa, karena sejak abad ke 1 Hijriyyah, dalam sejarahnya pernah ramai saling klaim mana yang ahlussunnah mana yang bukan.Tetapi, fenomena sekarang adalah banyak bermunculan kelompok Islam yang hanya mengaku Ahlussunnah tetapi tidak di lengakpi dengan istilah wal jamaah. Kelompok Ahlussunnah, mengaku dengan berlandaskan alqur’an dan hadits. bahkan, kelompok ini pada saat-saat tertentu tidak percaya dengan pendapat sahabat nabi yang empat (khalifah Rasyidin), karena pendapat khalifah adalah bukan hadits, jadi tidak wajib diikuti. Tentu, kelompok ini selalu mengedepankan hadits-hadits yang jelas shahih setidaknya (bukhari Muslim) hadits yang perawinya di luar dua imam ini, patut di curigai sebagai hadits dha’if, kurang kuat dan lain-lain, paling mentok ya hadits hasan, yang juga tidak selengkap sanad dan rawi yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim.
Kelompok ini juga berjargon, gerakan kembali ke Alquran. Jika terdapat keterangan hadits, yang masih butuh penjelasan, dan penjelasan itu biasanya adalah pendapat para sahabat selanjutnya tabi’in, yang pendapatnya juga mengundang banyak perbedaan, maka kelompok ini selalu mengajak pada ‘kembalilah pada Alq’uran. Gerakan ini, bukannya tidak bagus dan jelek. tetapi, kelompok ini lebih banyak menafikan pendapat para sahabat Rasul SAW dalam menentukan hukum2 yang tidak dijelaskan secara rinci dalam alqur’an dan hadits.
Padahal, mengikuti sahabat Nabi SAW, di jelaskan dalam hadits Bukhari Muslim, adalah wajib. kelompok ini, memakai pendapat Sahabat, hanya pada kontek, permasalahn hukum Islam yang sesuai dengan paham mereka sendiri, bahkan sesuai kepentingannya sendiri. Apalagi, pendapat para tabi’in, dan imam2 besar abad ke 1 dan 2 Hijriyah, nyaris di sepelakan, bahwa pendapat imam2 mujtahid juga bukan hadits, jadi tidak wajib diikuti. kita harus berterima kasih pada para imam terdahulu, karena merekalah warisan Nabi, yang terus menerus mengajarkan Alquran dan menjaga hadits-hadits Nabi SAW Jarak antara masa Rasul dengan Imam Bukhari Muslim juga tidak kurang dari 1 abad. Tetapi, karena riwayat haditsnya banyak diriwayatkan oleh imam yang lain, rawinya banyak, sanadnya kuat, dan di anggap muttasil, sehingga Bukhari Muslim menjadi sangat dominan dalam periwayatan hadits. Tetapi bukan berarti periwayatan hadits imam lain, tidak shahih. Tentu, terdapat metodolgi tersendiri dalam memahami hadits, melalui ilmu hadits dan ilmu lainnya.
Paham ahlussunnah wal jamaah, adalah lebih sempurna. dimana al jamaah, dapat diartikan sebagai juga paham pengikut sahabat Nabi, tidak hanya sahabat yang empat, tetapi, pendapat sahabat yang lain. Pengertian sahabt disini, adalah yang hidup di masa Rasul SAW. genarasi setelah Rasul SAW wafat di namakan tabi’in, tabi’inattabi’in, atau ulama, selanjutnya sampai sekarang adalah istilahnya pemuka agama Islam di sebut ulama. Orang mencuri, dalam alquran, hukumannya adalah di potong tanganya. Tetapi, setelah Nabi SAW wafat, salah satu sahabat empat (umar RA) membuat pemahaman, keputusan baru yaitu dengan menghukumi orang mencuri bukan dengan di potong tangannnya lagi dengan alasan untuk maslahat ummat.
Ini bukan berarti bertentangan dengan alqura’an. Alquran tetaplah benar adanya dan dijamin benar kebenarannya. Tetapi, yang berubah adalah pemahamannya. karena turunnya alquran dan hadits juga tidak lepas dari faktor sebab-sebabnya, sehingga turunlah ayat dan hadits. Dan masih banyak pendapat sahabat Nabi sebagai bentuk penafsiran, pemahaman terhadap Alqur’an dan hadits. Adalah contoh dari pengertian al jama’ah di atas. al jama’ah juga berarti paham mengikuti pendapat sahabat. Alqur’an, tentu menjadi sumber hukum yang pertama, selanjutnya hadits. pada generasi selanjutnya setelah kahlifah empat wafat, bahkan semasa khalifah masih hidup, mulai banyak penafsiran alqur’an, terutama sesuatu yang tidak tercantum secara rinci dalam alqur’an dan hadits.
Misalnya, merokok tidak ada dalam alqur’an dan hadits, yang ada hanya keterangan untuk menjauhi yang merugikan diri sendiri berkait dengan kesehatan. Hukum merokok, mulai dari haram, makruh, dan sebagainya menjadi perbedaan para imam dalam berpendapat. Tentu, imam-imam dahulu adalah imam yang terkenal dengan kesalehannya dan memiliki metode ijtihad tersendiri dalam berpendapat. inilah kemudian, pendapat para imam-imam mujtahid, kemudian juga diikuti oleh paham alussunnah waljama’ah. Al Jamaah , juga bisa diartikan pendapat para imam empat, madzahibil arba’ah, Imam Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali. Kemudian pada generasi selanjutnya, karena kejayaan Islam banyak faktor yang mempengaruhinya waktu itu, maka banyak bermunculan para pengikut banyak imam hingga muncullah aliran2 fanatisme imam.
Semakin jauhnya jarak masa Rasul SAW dengan para Imam dan ulama salaf dan khalaf, semakin rawan juga dalam menganggap sebuah hadits. hadits dh’aif adalah hadits yang perawinya diragukan dan sanadnya tidak kuat. Sanadnya kuat tetapi perawinya tidak kuat, ini juga di ragukan. apalagi sanad dan rawinya tidak kuat, mendekati dianggap sebagai hadits palsu.
Demikian juga, pada era abad 1 dan 2, muncullah istilah fiqh, banyak kalangan menyebutnya dengan ilmu fiqh, ilmu pemahaman terhadap alquran dan hadits. malah, beberapa kalngan meragukan ilmu fiqh karena adalah pemahaman yang keluar dari para pendapat imam-imam, sehingga bisa jadi subyektif. Paham ahlussunnah wal jamaah, tentu mengikuti pendapat para imam-imam yang dijamin tidak bertentangan dengan alqur’an dan hadits. Persoalaannya, banyak sekte, aliran yang tersebar di seluruh dunia, adalah mengaku kelompok yang paling benar, kelompok yang mengkalim dirinyalah yang berpegangan dengan Alqur’an dan hadits, yang lainnya adalah ahli bid’ah. Istilah “aljamaah” sering di pahami sebagai sesuatu yang miring seolah-olah al jamaah keluar dari konteks al qur’an dan hadits. padahal tidak. Al jamaah adalah hanya sebuah jalan (kesepakatan) atau cara untuk juga memahami alqur’an dan hadits. ang dapat kita pelajari dari banyaknya fanatisme imam, adalah tidak terjebak pada istilah derajat sebuah hadits. karena apapun derajat sebuah hadits, kita tidak pernah tahu kebenarnnya. Yang bisa kita lakukan adalah, meyakininya dan menjalankannya.
BAB II
KESIMPULAN


Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2; Al-Maidah Ayat 44-45, 47 :
ذلِكَ اْلكِتَبَ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2).
Paham ahlussunnah wal jamaah, adalah lebih sempurna. dimana al jamaah, dapat diartikan sebagai juga paham pengikut sahabat Nabi, tidak hanya sahabat yang empat, tetapi, pendapat sahabat yang lain. Pengertian sahabt disini, adalah yang hidup di masa Rasul SAW. genarasi setelah Rasul SAW wafat di namakan tabi’in, tabi’inattabi’in, atau ulama, selanjutnya sampai sekarang adalah istilahnya pemuka agama Islam di sebut ulama.


DAFTAR PUSTAKA



• Aqib, Kharisudin. AL HIKMAH Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Surabaya: Dunia Ilmu, 1998.
• Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat : Kajian historis tentang Mistik. Cet. XI, Solo: Ramadani, 1995
• Abu Bakar al-Makky, Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Asfiya’, Surabaya:Sahabat Ilm,t, th, hal 49-51.
• "http://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat_Qodiriyah"

0 komentar:

 
Top