MAKALAH
IJTIHAD DAN
TAKLID DALAM NU
Makalah disusun untuk
memenuhi tugas Mandiri
Dalam Mata Kuliah Aswaja III
Dosen
Pembimbing : Drs.H.Ikhwanudin
Disusun Oleh:
MUHAMMAD IBNU SOIM
NPM. 10130011
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM MA’ARIF
METRO LAMPUNG
2011-2012
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufiq, hidayah serta Inayahnya kepada kuam muslim dengan
diturunkannya Al – Qur’an yang mulia, dan telah menjamin terpeliharanya hingga
akhir zaman.
Semoga shalawat serta salam senatiasa
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita kepada keindahan
Islam, Nabi yang paling dinanti-nantikan syafa’atnya di hari kiamat kelak.
Dengan segenap upaya dan kemampuan kami,
akhirnya kami mampu menghadirkan makalah ini untuk mata kuliah Aswaja III. Kami
menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kritik
dan saran yang konstruksif sangat diharapkan dari para pembaca sekalian.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua. Amin.
Metro,
Nompember 2009
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I PENDULUAN
A.
Latar
Belakang
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
Pembahasan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ijtihad dan Syarat-syaratnya
B.
Ijtihad
pada Masa Kini
C.
Taklid
dalam NU
D.
Dampak
Ijtihad dan Taklid dalam NU
BAB III PENUTUP
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradaban manusia selalu dinamis, terus
berubah seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini tentu terus memunculkan
masalah-masalah baru, masalah kontemporer
di dalam masyarakat. Oleh karena itu para ulama-ulama NU dituntut untuk mampu
memecahkan semua masalah-masalah yang timbul dengan melalui apa yang disebut
ijtihad.
Lalu apa itu ijtihad? Apa itu taklid? Makalah ini akan mencoba sedikit
menguraikan ijtihad dan taqlid. Dengan hadirnya makalah ini diharapkan akan
semakin membuka wawasan kita. Semoga.
B. Rumusan Masalah
Pembahasan
ijtihad dan taqlid tidak terlalu luas, hanya sebatas :
1.
pengertian ijtihad dan syarat-syaratnya
2.
Ijtihad pada masa kini
3.
Taklid dalam NU
4. Dampak ijtihad dan taqlid dalam NU
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan antara
lain :
1. Agar kita mengetahui dan memahami
pengertian ijtihad dan syarat-syaratnya.
2. Agar kita mengetahui ijtihad yang ada pada
masa sekarang ini.
3. Untuk mengetahui dan mamahami pengertian
taqlid dalam NU.
4.
Untuk mengetahui
dampak ijtihad dan taqlid dalam NU.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad dan Syarat-Syaratnya
Arti
ijtihad menurut bahasa adalah mengeluarkan tenaga atau kemampuan. Ijitihad di
kelalangan ulama NU dipahami sebagai upaya berpikir secara maksimal untuk
istinbath (menggali) hukum syar’I yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia
secara langsung dari dalil tafshili (Al Qur’an dan Sunnah). Ini adalah
pengertian ijtihad mutlaq, pelakunya disebut mujtahid mutlaq. Meskipun
dipertentangkan, apakah sekarang ini boleh melakukan ijtihad mutlaq atau tidak,
namun para ulama nampaknya sepakat, perlu adanya syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan tertentu bagi mujtahid mutlaq.
Syarat-syarat
bagi mujtahid mutlaq; pertama,
menguasai bahasa Arab, tentu termasuk nahwu, sharaf dan balaghohnya karena Al
Qur’an dan Hadits berbahasa Arab. Tidak mungkin orang akan memahami Al Qur’an
dan Hadits tanpa menguasai bahasa Arab.
Kedua,
menguasai dan memahami Al Qur’an seluruhnya, kalau tidak ia akan menarik suatu
hukum dari satu ayat yang bertentangan dengan ayat lain. Contohnya, do’a
terhadap orang mati. Ada
golongan-golongan yang menyatakan bahwa berdoa kepada orang mati, berdekah dan
membaca Al Qur’an tidak berguna dengan dalil :
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa
yang telah ia kerjakan.”
(QS. An-Najum: 39)
Hal itu tentu bertentangan dengan banyak
ayat yang menyuruh kita mendo’akan orang mati. Dalam ayat lain tercantum :
“Orang-orang
yang datang setelah mereka berkata : Ya Allah, ampunilah kami dan saudara kami
yang telah mendahului kami dengan beriman.”
(QS. Al-Hsyr: 10)
Juga termasuk mengetahui ayat yang berlaku
umun ( ) dan yang khusus ( ) yang mutlaq (tanpa kecuali) dan
lyang muqoyyad (tebatas), yang nasikh
(hukum yang mengganti) dan masukh (hukum
yang diganti), dan asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat untuk membantu dalam
memahami ayat tersebut.
Ketiga,
manguasai hadits Rasulullah baik dari segi riwayat hadits untuk dapat
membedakan antara hadits yang shahih dan yang dhaif. Mengapa harus menguasai
hadits? Karena ylang berhak pertama kali untuk menjelaskan, Al Qur’an adalah
Rasulullah SAW, maka apabila tidak menguasai hadits, dikhawatirkan manarik
kesimpulan suatu hukum brtentangan dengan hadits yang shahih tentu ijtihad
tersebut tidak dapat dibenarkan.
“Kami turunkan kepada engkau peringatan (Al
Qur’an) supaya engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada
mereka mudah-mudahan mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).
“Dan apa yang Rasul brikan kepadamu
hendaklah kamu ambil , dan apa yang Rasul larang kepadamu hendaklah kamu
hentikan, dan takutlah kepada Allah, Sesungguhnya Allah keras siksanya.”
(QS.
Al Hasyr: 7)
Keempat,
mengetahui ijma’ (kesepakatan hukum) para sahabat. Supaya kita dalam menentukan
hukum tidak bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sahabat,m karena
lebih mengetahui Syari’at Islam. Mereka hidup bersama nabi dan mengetahui sebab
turunnya Al Qur’an dan datangnya hadits.
Kelima, mengetahui adat kebiasaan manusia.
Adat kebiasaan bisa dijadikan hukum ( ) selama tidak
bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits.
Dalam ijtihad, ada beberapa tingkatan,
yakni ijtihad F1 Al-Mazhab, pelakunya disebut mujtahid F1 Al-Mazhab. Lalu
dibawahnya ada ijtihad Fatwa, pelakunya disebut mujtahid Fatwa. Mujtahid
tingkat kedua ini ialah mereka yang mampu meng-istibath hukum dari
kaidah-kaidah imam mazhab (mujtahid mutlaq) yang diikuti. Misalnya imam
Al-Muzani, pengikut mazhab Syarfi’i sedangkan mujtahid Fatwa adalah mujtahid
yang mempunytai kemampuan metarjih antara dua Qaul yang di-mutlaqkan oleh imam
mujtahid yang dianutnya.
Didalamnya kitab Al-Fawaid, Al-Makkiyah
diuraikan tingkatan ulama Figh itu ada enam. Pertama mujtahid muntaqil,
setingkat Al-Syafi’i. Kedua mujtahid muntasib, setingkat imam Al-Muzani. Ketiga
ashhabu Al-Wujuh, setingkat imam Al-Qaffal. Keempat mujtahid Fatwa, setingkat
Al-Nawawi dan imam Al-Rofi’i. Kelima pemikir yang mampu metarjih antara dua
pendapat dari dua imam yang berbeda, misalnya imam Al-Asnawi. Keenam hamalatu
Al-Fiqih, yaitu ulama-ulama yang menguasai aqwal (pendapat-pendapat) para imam.
Akan tetapi, Nahdlatul ulama mempergunakan
istilah yang umum di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa yang dimaksud
mujtahid hanyalah mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil. Dibawah tingkatan itu tergolong Muqalid (orang
yang mengikuti).
B.
Itihad pada Masa Kini
Ijtihad diperlukan setelah Nabi SAW wafat
karena permasalahan selalu berkembang. Ijtihad pada zaman Nabi tidak
diperlukan, sebab apabila sahabat mempunyai persoalan langsung bertanya kepada
Nabi. Sejak abad ke-II dan ke-III hijriyah permasalahan hukum islam telah mulai
perumusan hukum, diantaranya hasil dari Al-Madhahibul Arba’ah baik dalam ibadah
maupun mu’amalah. Dan telah diletakkan pula kaidah-kaidah ushul fiqih yang
mampu memecahkan segala permasalahan yang timbul. Barangkali, periode saat ini bukan periode
ijtihad, tetapi periode pengamalan.
Hal ini bukan berarti ijtihad ditutup
mutlaq, tentu tidak. Dalam memecahkan masalah-masalah kontemporer, seperti
cangkok mata, donor organ tubuh, bayi tabung dan lain-lain tentu diperlukan
ijtihad. Namun ijtihad yang dimaksud adalah ijtihad dalm konteks intera mazhab
belaka.
Seperti halnya kaum muslimin di Indonesia
yang secara umum adalah pengikut mazhab Syafi’i. Untuk memecahkan
masalah-masalah kontemporer, para ulama NU seringkali mengadakan apa yang
mereka sebut bahtsul masa’il. Kegiatan tersebut merupakan pert4emuan kyai NU
dari berbagai daerah untuk membahas masalah-masalah baru, dan yang menjadi
referensi mereka adalah kita-kitab fiqih klasik (kitab kuning). Pertemuan
diadakan dalam skala regional ataupun nasional, tergantung bersaran isu yang
dijadikan subyek pembahasan.
Inilah model ijtihad yang ada di kalangan
NU. NU ingin mempertahankan kepengikutan kaum nahdliyin terhadap mazhab yang
mereka anut, terutama mazhab Syafi’i. Dan dalam anggaran dasar NU disebutkan
bahwa mereka mengikuti mazhab Syafi’i atau salah satu dari tiga mazhab lainnya
(Hanafi, Maliki dan Hanbali). Oleh karena itu, perkembangan fiqih di kalangan
nahdliyyin tidak akan keluar koridor mazhab yang mereka anut.
C.
Taklid Dalam NU
Taklid bagi NU, sesuai dengan
pengertiannya yang telah ditulis dalam kitab-kitab Syafi’iyah, ialah mengambil
atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa tahu dalil-dalilnya atau hujjahnya.
Tentang status hukumnya, taklid di bidang figh (bukan aqidah) ada beberapa
pendapat yang cukup panjang pembasannya. Dalam hal ini Dr. Said Ramadlan
mengutip kata imam Ibnu Al Qoyyim yang disetujui oleh beberapa ulama sebagai
berikut. Bahwa telah lengkapnya kitab-kitab Al-Sunan saja belum cukup untuk
dijadikan landasan Fatwa, tetapi juga diperlukan tingkat kemampuan istinbath
dan kahlian berfikir serta menganalisa. Bagi yang tidak memiliki kemampuan
tersebut, maka ia berkewajiban mengikuti firman Allah :
“Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.” ( QS. An-Nahl: 43)
Yang salah satu pengertiannya adalah taqlid.
Ibnu Khaldun juga menceritakan, para
sahabat tidak semuanya ahli Fatwa. Begitu pula tabi’in. Ini berarti sebagian
para sahabat dan tabi’in yang paling banyak jumalahnya, adalah bertaqlid kepada
mereka yang ahli Fatwa. Tidak satupun dari sahabat dan tabi’in mengingkari
taqlid. Imam Ghazali dalam kitabnya Al-Mustasfa mengatakan, para sahabat telah
sepakat (Ijma) menganai keharusan bertaqlid bagi orang awan.
D.
Dampak Ijtihad dan Taklid dalam NU
NU memang terkesan sangat kental dengan
budaya taqlid. Artinya hampir seluruh gerak hidup komunitas NU khususnya yang
terkait dengan bidang keagamaan (Fiqh) mengikuti oleh apa yang dikatakan oleh
para kyai. Peran kyai dalam NU memang sangat sentral dan dapat menentukan
seluruh aspek kebijakan, termasuk didalamnya kebijakan organisasi. Hal ini
disebabkan, barangkali, NU terikat pad paham keagamaan yang telah disepkatinya,
yaitu sebagai penganut paham Ahlussunnah waljama’ah. Dengan paham ini para kyai
dapat saja menterjemahkannya dalam bahasa konkret, bahwa para santri atau
komunitas NU dilarang keluar dari koridor paham ahlussunnah waljamaah tersebut.
Dan bisa saja, ada semacam pembenaran, bahwa kebenaran untuk menterjemahkan
paham ahlussunnah waljama’ah (agar tidak melenceng) datangnya hanya berasal
dari para kyai yang dianggap telah mempunyai derajat validasi tinggi.
Akibat dari pemahaman demikian, NU
terkesan mandeg, stagnan, kurang daya kritis dan daya kreatif. Seperti halnya
kenyataan yang ada, dalam contoh masalah administrasi dan manajemen, NU masih
sangat kurang. NU kultural lebih membumi daripada, NU struktural, padahal jika
keduanya bisa seimbang, menurut hemat kami NU akan semakin maju dan berkembang
daripada sekarang.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat diambil
pengertian bahwa ijtihad di kalangan ulama NU dipahami sebagai upaya berfikir
secara maksimal untuk menggali hukum syar’i yang berkaitan dengan amal
perbuatan manusia secara langsung dari Al Qur’an dan Hadits.
Pelaku ijtihad disebut mujtahid dan dalam
hal ini ada beberapa tingkatan; mujtahid mutlaq, mujtahid Fatwa, dan lain-lain.
Seorang mujtahid harus menguasai bahasa
Arab berikut nahwu, sharaf dan juga balaghohnya, menguasai dan mamahami Al
Qur’an secara keseluruhan, menguasai hadits-hadits Rasulullah, mengetahui yina
para sahabat, dan juga mengetahui adat kebiasaan manusia.
Adapun taqlid menurut KH. Ahmad Siddiq
adalah mengikuti pendapat orang lain yang diyakini kebenarannya sesuai dengan
Al Qur’an dan hadits pelakunya disebut muqallid.
Bagi orang awam, yang tidak memenuhi
kriteria sebagai mujtahid alias tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad maka
taqlid adalah wajib hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA
hasanuddin, Moh. As’ad Toha, Pendidikan ASWAJA SMA, Al-Ihsan, Surabaya, 1992.
0 komentar:
Post a Comment