BAB I
PENDAHULUAN


Mata sebagai indera penglihatan dalam tubuh manusia menduduki peringkat utama,  sebab sepanjang waktu  selama manusia terjaga mata akan membantu manusia untuk beraktivitas, di samping indera sensoris lainnya seperti pendengaran, perabaan, penciuman, dan perasa. Begitu besar peran mata sebagai salah satu dari panca indera yang sangat penting, maka dengan tergantungnya indera penglihatan seseorang berarti ia akan kehilangan fungsi kemampuan visualnya untuk meredam objek dan peristiwa fisik yang ada di lingkungan.
Kehadiran anak tunaetra tidak mengenal sekat suku bangsa, agama, golongan, ras atau status. Mereka hadir tanpa harus memberikan tanda-tanda khusus sebagaimana layaknya fenomena alam lainnya. Menyikapi keadaan tersebut, sebaiknya tidak perlu mempersoalkan perihal ia hadir dengan keterbatasan fungsi penglihatannya, tetapi perlu dipikirkan bantuan apa yang dapat kita berikan agar mereka dapat menerima keadaan ketunanetraannya.


BAB II
PEMBAHASAN
ANAK BERKELAINAN PENGLIHATAN (TUNANETRA)


A.    PENGERTIAN ANAK TUNANETRA
Organ mata dalam system panca indera manusia merupakan salah satu dari indera yang  sangat penting, sebab di samping menjalankan sebagai fungsi fisiologis dalam kehidupan manusia, mata dapat juga memberikan keindahan muka yang sangat mengagumkan.
Organ mata yang normal dalam menjalankan fungsinya sebagai indera penglihatan melalui proses berikut. Pantulan cahaya dari objek di lingkungannya ditangkap oleh mata melewati kornea, lensa mata, dan membentuk bayangan nyata dan retina dengan melalui saraf penglihatan bayangan benda dikirim ke otak dan terbentuklah kesadaran orang tentang objek yang dilihatnya.
Bayangan benda yang ditangkap oleh mata tidak dapat diteruskan oleh kornea, lensa mata, retina, dan kesaraf karena suatu sebab, misalnya kornea mata  mengalami kerusakan, kering, keriput, lensa mata menjadi keruh, atau saraf yang menghubungkan mata dengan otak mengalami gangguan. Seseorang yang mengalami kondisi tersebut dikatakan sebagai penderita kelainan penglihatan atau tunanetra.

B.     KLASIFIKASI ANAK TUNANETRA
Derajat tunanetra  berdasarkan distribusinya berada dalam rentangan  yang berjenjang, dari yang ringan sampai yang berat. Berat ringannya jenjang ketunanetraan di dasarkan kemampuannya untuk melihat bayangan benda. Lebih jelasnya jenjang kelainan ditinjau dari ketajaman untuk melihat bayangan benda dapats dikelompokan menjadi sebagia berikut:
1.      Anak yang mengalami kelainan penglihatan yang  mempunyai kemungkinan  dikoreksi dengan penyembuhan pengobatan  atau alat optic tertentu.
2.      Anak yang  mengalami  kelainan  penglihatan, meskipun dikoreksi dengan pengobatan  atau alat optic tertentu masih mengalami kesulitan mengikuti kelas regular sehingga diperlukan kompensasi pengajaran untuk mengganti kekurangan.
3.      Anak yang mengalami kelainan penglihatan yang tidak dapat di koreksi dengan pengobatan  atau alat optic apapun, karena anak tidak mampu lagi memanfaatkan  indra penglihatnnya. Ia hanya dapat dididik melalui saluran lain  selain mata.

Cruckshark (1980) menelaah jenjang ketunanetraan berdasarkan pengaruh gradasi kelainan penglihatan terhadap aktivitas ingatannya, dapat dikelompokan menjadi sebagai berikut:
1.      Anak tunanetra total bawaan atau yang di derita sebelum usia 5 tahun
2.      Anak tunanetra total yang diderita setelah usia 5 tahun
3.      Anak tunanetra sebagian karena factor bawaan
4.      Anak tunanetra sebagian akibat sesuatu yang di dapat kemudian
5.      Anak dapat melihat sebagian karena factor bawaan
6.      Anak dapat melihat sebagian akibat tertentu yang  di dapat kemudian.


C.    SEBAB  TIMBULNYA  ANAK  TUNANETRA
Secara etioolgi, timbulnya ketunanetraan disebabkan oleh factor endogen dan factor  eksogen.  Demikian pula, dari kurun waktu terjadinya, ketunanetraan dapat terjadi pada saat anak masih berada dalam kandungan, saat dilahirkan, maupun sesudah kelahiran. Penelitian terhadap penyebab terjadinya ketunanetraan, menurut statistk di Amerika Serikat, disebabkan oleh retrolenta fibroplasias (RLF) dan material rubella. Penderita tunanetra disebabkan oleh retrolenta fibroplasias karena banyaknya bayi lahir sebelum waktunya (premature).
Suatu riset medis secara intensef pada akhir tahun 1954, di Amerika Serikat ditemukan, bahwa asal retrolenta fibroplasiasi itu disebabkan pada bayi premature. Penyakit maternal rubella sebagai salah satu penyebab tunanetra, berdasarkan data statistic di Amerika Serikat tahun 1968-1969 diketahui, setiap 30.000 bayi dilahirkan premature 1.000 bayi di antaranya mengalami  tunanetra. Sedangkan sisanya yang lain menderita tunarungu, tunagrahita, tunawicara, lumpuh, asma, dan lain-lain.
Pada tahun 1976, ditemukan vaksin rubella sejak saat itu, setiap bayi yang dilahirkan, khususnya bayi lahir premature diberi bantuan vaksin tersebut untuk pencegahan infeksi rubella. Vaksin rubella memberikan kekebalan anak terhadap penyakit tersebut.
Mengetahui sebab-sebab terjadinya ketunanetraan dalam dunia pendidikan luar biasa merupakan bagian yang amat penting, bahkan seorang pendidik anak tunanetra dengan mengetahui latar belakang tunanetra siswanya dapat memberikan petunjuk, apakah penyimpangan itu terjadi pada mata saja atau penyimpangan yang sistematis, misalnya penyakit katarak pada mata saja atau penyimpangan  yang sistematis, misalnya penyakit katarak pada mata yang disebabkan oleh penyakit gula.
Dengan memiliki pemahaman terhadap latar belakang penyebab ketunanetraan, seorang pendidik anak tunanetra dapat memberikan informasi kepada orang tua atau keluarga tentang hal-hal yang perlu mendapats perhatians dalam kaitannya dengan pendidikan anak tunanetra, mendapat perhatian dalam kaitannya dengan pendidikan anak tunanetra, khususnya dalam memberikan bimbingan kepada anak tunanetra yang  relevan dengan karakteristik dan kebutuhannya.

D.    DAMPAK KETUNANETRAAN
Aktivitas manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar akan efektif apabila mengikut sertakan alat-alat indera yang dimiliki, seperti penglihatan, pendengaran, perabaan, pembau, pengecap, baik dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Dengan pemanfaatan beberapa alat indra secara simultan memudahkan seseorang melakukan apersepsi terhadap  peristiwa atau objek yang diobservasi, terutama untuk membentuk suatu pengertian yang utuh.

Dengan tergantungnya salah satu atau lebih alat indera (penglihatan, pendengaran,  pengecap, pembau, maupun peraba), niscaya akan berpengaruh terhadap indera-indera yang lain.  Contoh kasus yang  terjadi pada anak tunanetra, dengna skehilangan sebagian atau keseluruhan fungsi penglihatannya pada anak tunanetra akan menimbulkan dampak negative atas kemampuannya yang lain, kemampuan mendayagunakan kemampuan fisiknya yang lain, seperti pengembangan fungsi psikis dan penyesuaian social.

E.     FUNGSI PANCA INDERA BAGI ANAK TUNANETRA
Penggunaan semua fungsi indera maupun fungsi motorik sebagai eksplorasi terhadap lingkungan  sekitar memiliki peranan yang  sangat penting. Namun, di antara panca indera yang  dimiliki manusia, indera penglihatan menjadi indera terpendam, disamping fungsi organ fisik yang  lain mempunyai kontribusi yang sangat berarti. Hilangnya sebagian atau keseluruhan fungsi mata sebagai indera penglihatan pada seseorang berarti ia serasa telah  kehilangan sebagian perangkat hidup yang sangat berharga bagi dirinya.
Meskipun penglihatan memiliki peranan yang sangat vital, namun bukan berarti dengan hilangnya fungsi penglihatans manusia sama sekali tidak mempunyai kesempatan memperoleh pengalaman melalui berbagai interaksi dengan lingkungan sekitarnya.
Oleh karena itu, tidak heran jika pengertian  anak tunanetra terhadap  benda atau objek yang dikenalnya cenderung bersifat verbalistis. Perabaan sebagai sarana lainnya setelah pendengaran, barangkalis dapat membantu bagi anak tunanetra untuk memperoleh pengalaman. Melalui perabaan, anak-anak tunanetra dapat langsung melakukan kontak dengan objek yang ada disekitarnya. Seseorang yang kehilangan penglihatan, biasanya pendengaran dan perabaan akan menjadi sasaran  alternative yang  digunakan untuk melakukan pengenalan terhadap  lingkungan sekitarnya. Kelebihan  indra pendengaran  sebagai transmisi dalam berinteraksi dengan lingkungan bagi anak  tunanetra dapat membantu memberikan petunjuk tentang jarak atau arah objek dengan  mengenal suaranya.
Dengan mendengar suaranya, anak barangkali dapat mengenali karakteristik atau jenis bendanya berdasarkan  informasi pengalaman sebelumnya, tetapi ia tidak dapat mengenal lebih jauh seperti apa bentuk pesawat terbang tersbut, bagaimana bentuk dan ukurannya.
Bagi anak normal penglihatan, kebutuhan untuk bergerak barangkali tidak banyak  persoalan  karena persepsi visual sebagai sarana utama yang  menyertai anak dalam melakukan mobilitas cukup banyak membantu di samping keikut sertaan fungsi indra yang  lain.  
Dengan kemampuan yang dimilikinya,  anak normal  dengan mudah  memperoleh  berbagai pengalaman belajar baru dari lingkungan  alam sekitar, maupun berbagai pengalaman belajar baru dari lingkungan alam sekitar,  maupun dari hubungan  social kemasyarakatan. Tidak demikian  halnya dengan anak  tunanetra, hilangnya fungsi persepsi visual sebagai alat orientasi menyebabkan kemampuan untuk melakukan mobilitas di lingkungannya menjadi terhambat.
Alat bantu yang biasa digunakan anak tunanetra untuk melakukan orientasi dan mobilitas yang lazim biasanya berupa tongkat putih yang  khas. Tongkat putih bagi  anak tunanetra, selain berfungsi memberi tahu kepada orang lain, bahwa pemakaian adalah penderita tunanetra dapat jugas berfungsi untuk menambah  rasa percaya diri.

F.     PENYESUAIAN SOSIAL ANAK TUNANETRA
Sebagai makhluk social, anak tunanetra merupakan bagian tidak terpisahkan dari kelompok masyarakat lingkungannya. Jika orang normal untuk menyatakan keberadaanya dilakukan lewat serangkaian aktivitas atau karya-karya yang dapat dihargai secara moril maupun material oleh masyarakat lingkungannya. Hal ini sama juga menjadi keinginan para penyandangs tunanetra.
Jadi, pada hakiketnya, apa yang dirasakan  orang normal tidak  berbeda   dengan yang  dirasakan anak tunanetra. Contoh,  manusia normal suntuk melengkapis  kehidupannya perlu pemenuhan kebutuhan dasar, seperti kebutuhan fisik biologis, kebutuhan menjadi bagian dari kelompok, kebutuhan untuk diakui keberadaanya serta kebutuhan untuk mencapai  sesuatu, hal yang sama juga menjadi kebutuhan anak tunanetra.
Bagi orang normal,  untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut barang kali tidak banyak masalah karena sarana untuk mencapainya yakni penglihatan  sangat memungkinkan. Akan tetapi, tidak demikian halnya bagi anak tunanetra,  untuk mencapai  maksud tersebut seringkali  terbentur pada berbagai hambatan penglihatannya. Hal tersebut, sangat berpengaruh  terhadap kondisi fisik, psikis, dan sosialnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengalaman visual yang  dimiliki seseorang dapat memiliki  daya yang  memungkinkan seseorang dapat menguasai lingkungan, penguasaan diri, atau hubungan  antara kehidupannya. Oleh karena itu,  dengan berkurangnya atau hilangnya kemampuan  persepsi visual pada anak  tunanetra  akan mengakibatkan terjadinya keterpisahan social.
Demikian pula, kesulitan menyebabkan anak tunanetra seringkali mengalami kesulitan untuk menyelaraskan tindakannya pada situasi yang ada. Keterbatasan kemampuan yang dimiliki membuat anak tunanetra merasa terisolasi dari dunia orang-orang normal, atau dapat menimbulkan perasaan minder, bimbang, ragu, tidak percaya diri jika berada dalam situasi yang tidak dikenalnya. Dalam peristiwa-peristiwa yang sifatnya mendadak atau secara tiba-tiba terjadi, misalnya suatu tabrakan mobil, genteng yang jatuh dari atap. Pada saat seperti ini, dalam diri anak tunanetra akan terjadi konfrontasi antara  hasrat untuk mengetahui dan perasaan cemas atas peristiwa yang  terjadi tersebut.
Dalam hal ini, peranan keluarga memang dituntut harus bijaksana untuk membantu anak tunanetra dalam mengatasi keterbatasannya. Sommer (1944) dalam penelitiannya menemukan bahwa sikap keluarga atau orang tua pada awal-awal melihat kecacatan anaknya seringkali cenderung melindungi.s kondisi ini bisa dipahami, barangkali hal itu merupakan perwujudan dari kasih sayang terhadap anaknya yang berkelainan, tetapi langsung atau tidak langsung bantuan yagn berlebihan untuk anak tunanetra dapat merugikan anak tunanetra itu sendiri, karena aktivitasnya menjadi terbatas.
Berdasarkan uraian sebelumnya,s dapat disimpulkan bahwa, ekses-ekses negative yang ditampilkan  oleh anak tunanetra sebenarnya tidak lepas dari sikap lingkungan yang kurang bijaksana terhadap anak tunanetra. Oleh karena itu,  jika lingkungan  dapat memberikan kesempatan untuk berbuat serta membantus anak tunanetra untuk melakukan penyesuaian social yang  sebaik-baiknya, niscaya perkembangan kepribadian anak tunanetra tidak berbeda sebagaimana layaknya anak normal lainya.
Disisi lain, yang tidak kalah pentingnya dalam penyesuaian social anak tunanetra adalah peran pendidik. Peran pendidik selain mengarahkan dan membina pengetahuan anak tunanetra tentang kenyataan yang ada di sekitarnya, juga  menumbuhkan  kepercayaan  diri serta menanamkan perasaan bahwa dirinya dapat diakui dan diterima oleh lingkungannya.
Meskipun anak tunanetra telah mendapatkan pendidikan tentang berbagai hal, baik yang berkenaan dengan pengembangan  pengetahuan maupun pembinaan pribadi, namun tidak jarang mereka masih menunjukan kebiasaan yang kurang adaptif, seperti menggerak-gerakan kepala, menggosok-gosok matanya, memainkan telinganya dan lain-lain sebagainya.


BAB III
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Kehadiran anak tunaetra tidak mengenal sekat suku bangsa, agama, golongan, ras atau status. Mereka hadir tanpa harus memberikan tanda-tanda khusus sebagaimana layaknya fenomena alam lainnya. Menyikapi keadaan tersebut, sebaiknya tidak perlu mempersoalkan perihal ia hadir dengan keterbatasan fungsi penglihatannya, tetapi perlu dipikirkan bantuan apa yang dapat kita berikan agar mereka dapat menerima keadaan ketunanetraannya.
Mengetahui sebab-sebab terjadinya ketunanetraan dalam dunia pendidikan luar biasa merupakan bagian yang amat penting, bahkan seorang pendidik anak tunanetra dengan mengetahui latar belakang tunanetra siswanya dapat memberikan petunjuk, apakah penyimpangan itu terjadi pada mata saja atau penyimpangan yang sistematis, misalnya penyakit katarak pada mata saja atau penyimpangan  yang sistematis, misalnya penyakit katarak pada mata yang disebabkan oleh penyakit gula.


DAFTAR PUSTAKA



Anonim. (2004). Deklarasi Bandung Menuju Pendidikan Inklusi 2004 dari www.idp-europe.org. Diakses pada 28 Mei 2008.

Anonim. Identifikasi ABK dalam Pendidikan Inklusif dari http://www.ditplb.or.id/profile. Diakses 3 Januari 2010.

Bendi Delphie. (2006). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Rineka Cipta.

Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. (2006). Exceptional Learners: Introduction to Special Education 10th  ed. USA: Pearson.

Hardman, Michael L., dkk, (1990). Human Exceptionality 3rd, Allyn and Bacon: Toronto.



0 komentar:

 
Top