BAB
I
PENDAHULUAN
Sebagai makhluk social, manusia tidak bisa lepas untuk
berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak
mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan
antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus
terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan
kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan
keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak.
Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia
merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam
sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup
jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Dalam pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang dapat digunakan
bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi
kebutuhan yang ada. Sebelum membahas lebih lanjut tentang pembagian atau
macam-macam akad secara spesifik, akan dijelaskan teori akad secara umum yang
nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan akad-akad lainnya secara
khusus . Maka dari itu, dalam makalah ini saya akan mencoba untuk menguraikan
mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di
dalam kehidupan kita sehari-hari.
BAB
II
PEMBAHASAN
AKAD
(PERIKATAN/PERJANJIAN)
A. PENGERTIAN
AKAD
Secara literal,
akad berasal dari bahasa arab yaitu عَقَََدَ يََعْقِدُ عََََقْدًا yang berarti
perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat
karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah,
kata akad diartikan dengan hubungan ( الرّبْطُُ ) dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ
). Secara terminologi ulama
fiqih, akad dapat ditinjau dari segi umum dan segi khusus. Dari segi umum,
pengertian akad sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut ulama
Syafi'iyah, Hanafiyah, dan Hanabilah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh
seseorang berdasakan keinginananya sendiri seperti waqaf, talak, pembebasan,
dan segala sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti
jual beli, perwakilan, dan gadai.[1]
Sedangkan dari segi khusus yang dikemukakan oleh ulama fiqih antara lain:
1.
Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara' yang berdampak pada
objeknya.
2. Keterkaitan
ucapan antara orang yang berakad secara syara' pada segi yang tampak dan
berdampak pada objeknya.
3. Terkumpulnya
adanya serah terima atau sesuatu yang menunjukan adanya serah terima yang disertai
dengan kekuatan hukum.
4. Perikatan
ijab qabul yang dibenarkan syara'
yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.
5. Berkumpulnya
serah terima diantara kedua belah pihak atau perkataan seseorang yang berpengaruh
pada kedua belah pihak.[2]
Para pakar hukum membedakan antara akad dan kesepakatan
atas dasar bahwa kesepakatan (perikatan) lebih umum dalam pemakaiannya dibandingkan
akad. Dengan demikian, pemakaian
istilah akad lebih terperinci kepada
hal yang lebih penting dan khusus kepada apa yang telah diatur dan memiliki
ketentuan. Sedangkan istilah kesepakatan tidak harus demikian, akan tetapi
dapat dipakai dalam hal apa saja yang serupa, misalanya untuk melengkapi
kegiatan manusia untuk semacam janji yang tidak memiliki nama khusus atau
aturan tertentu.
Kesepakatan antara dua keinginan dalam mencapai komitmen
yang diinginkan pada waktu yang akan datang dan telah diketahui secara mutlak seperti
jual beli atau pemindahan hutang piutang. Sedangkan akad dapat dipahami sebagai sebatas kesepakatan dalam mencapai
suatu. Adapun yang membedakan antara keduanya adalah kecakapan pelaku.
Kecakapan pelaku akad berbeda dengan kecakapan dalam
pelaku perikatan, karena keduanya memiliki nilai hasil masing-masing. Dan
pelaku akad tidak dibebani tanggung jawab dan syarat sebanyak pelaku perikatan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesepakatan atau perikatan memiliki
arti lebih luas dibandingkan akad.[3]
Dalam pelaksanaan
akad, keinginan peribadi (individu)
merupakan kekuatan yang paling besar dan mendasar dalam pembentukan akad dan
juga berfungsi membatasi nilai-nilai yang dihasilkan. Kekuasaan (kekuatan)
peribadi disandarkan untuk melindungi hak dan kebebasan individu. Dalam
pelaksanaan akad pemberian (donasi),
berbeda dengan pelaksaan akad peminjaman yang merupakan aktifitas serupa bila
dikategorikan serupa dalam pelaksanaan akad, tapi yang membedakannya adalah
dari segi kecakapan di pelaku. Yang perlu diperhatikan adalah kesepakatan yang
dimasukkan dalam pembahasan akad, yang dalam pemahaman ini, akad harus
mengikuti pembahasan dalam hukum privat dari satu segi dan di sisi lain akad
yang masuk dalam kategori aktifitas pengelolaan keuangan (mu'amalah al-maliyah). Akan tetapi dalam hukum Romawi, kesepakatan
untuk melaksanakan akad tidak bisa diterima apabila hanya berlandaskan
keinginan peribadi semata tanpa memiliki kekuatan hukum, akan tetapi harus
mengikuti bentuk administrasi tertentu (khusus). Sedangkan defenisi akad menurut ulama syari'ah adalah
ikatan antara ‘ijab' dan ‘qabul' yang diselenggarakan menurut
ketentuan syari'ah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang
karenanya akad tersebut diselenggarakan. Dari uraian diatas dapat dinyatakan
bhawa Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau
tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah. Akad yang menyalahi
syariat seperti agar kafir atau akan berzina, tidak harus ditepati. Akad-akad
yang dipengaruhi aib adalah akad-akad pertukaran seperti jual beli dan akad
sewa.
B. PEMBENTUKAN
AKAD
Dalam pelaksanaan akad
atau pembentukannya, baru dapat dikatakan benar, sah atau diakui keberadaannya
oleh hukum apabila semua unsur pembentuknya terpenuhi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Di antaranya adalah adanya unsur unsur‘ridla', unsur objek akad
(‘mahal') dan unsur sebab akibat
(‘sabab') serta ‘ganjaran' apabila asas (rukun)-nya tidak dipenuhi (konsekuensi). Sebelum melakukan akad (perikatan) pelaku akad harus menentukan jenis, hakikat
tujuan, bentuk dan nama yang sudah umum. Sehingga pihak hakim bisa mengambil
kesimpulan dari bentuk pelaksanaan akad
itu.[4] Dan
apabila didapati kesamaran (keraguan) dalam bentuk, jenis, nama dan sebagainya,
yang dengan kesamaran tersebut, hakim tidak bisa menyimpulkan bentuk akadnya,
maka pihak hakim berhak mengambil kesimpulan dengan lebih memprioritaskan pihak
yang berhutang.[5]
C. RUKUN
AKAD
1.
Aqid
(Orang yang Menyelenggarakan Akad)
Aqid adalah
pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau orang yang memiliki hak dan yang
akan diberi hak, seperti dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli.[6]
Ulama fiqh memberikan persyaratan atau criteria yang harus dipenuhi oleh aqid
antara lain :
a. Ahliyah
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan.
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan.
b.
Wilayah
Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar'i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar'i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
2.
Ma'qud
‘Alaih (objek transaksi)
Ma'qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
a. Obyek
transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
b.
Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim
(harta yang diperbolehkan syara' untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh
pemiliknya.
c.
Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat
terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian
hari.
d.
Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
e.
Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis
dan bukan barang najis.
3. Shighat, yaitu Ijab dan Qobul
Ijab Qobul merupakan ungkapan yang
menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau
akad. Definisi ijab menurut ulama
Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang
diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun menerima, sedangkan qobul adalah orang yang berkata setelah
orang yang mengucapkan ijab, yang
menunjukkan keridhaan atas ucapan orang yang pertama. Menurut ulama selain Hanafiyah,
ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baik
dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan Qobul adalah pernyataan dari orang yang menerima. Dari dua
pernyataan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan ungkapan antara
kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang
dengan kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak
tersebut.
Dalam ijab qobul
terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi
, ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut :
a. Adanya
kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
b. Adanya
kesesuaian antara ijab dan qobul[7]
c.
Adanya pertemuan antara ijab dan qobul (berurutan
dan menyambung).
d.
Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak
menunjukkan penolakan dan pembatalan dari keduannya.
Ijab Qobul akan dinyatakan
batal apabila :
a. Penjual
menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul
dari si pembeli.
b. Adanya
penolakan ijab dari si pembeli.
c. Berakhirnya
majlis akad. Jika kedua pihak belum
ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan qobul dianggap batal.
d. Kedua
pihak atau salah satu, hilang ahliyah
-nya sebelum terjadi kesepakatan
e. Rusaknya
objek transaksi sebelum terjadinya qobul
atau kesepakatan.
4.
Syarat-Syarat Akad
a) Syarat
terjadinya akad [8]
Syarat terjadinya akad
adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara'. Syarat ini terbagi menjadi dua bagian yakni
umum dan khusus. Syarat akad yang
bersifat umum adalah syarat–syarat akad
yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam setiap akad adalah:
1. Pelaku
akad cakap bertindak (ahli).
2. Yang
dujadikan objek akad dapat menerima
hukumnya.
3.
Akad
itu diperbolehkan syara' dilakukan
oleh orang yang berhak melakukannya walaupun bukan aqid yang memiliki barang.
4.
Akad
dapat memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn dianggap imbangan amanah.
5.
Ijab
itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh karenanya akad
menjadi batal bila ijab dicabut
kembali sebelum adanya kabul.
6.
Ijab
dan kabul harus bersambung, sehingga
bila orang yang berijab berpisah sebelum adanya qabul, maka akad menjadi
batal.
Sedangkan syarat yang bersifat khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat ini juga sering disebut syarat idhafi (tambahan yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
Sedangkan syarat yang bersifat khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat ini juga sering disebut syarat idhafi (tambahan yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
b) Syarat
Pelaksanaan akad
Dalam pelaksanaan akad,
ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang
dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang
dimilikinya sesuai dengan aturan syara'.
Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketentuan syara'.
c)
Syarat Kepastian Akad (luzum)
Dasar dalam akad
adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad
batal atau dikembalika.[9]
5.
Pembagian Akad
dan Sifat - Sifatnya
Pembagian akad
dibedakan menjadi beberapa bagian berdasarkan sudut pandang yang berbeda,
yaitu:
a) Berdasarkan
ketentuan syara'
1. Akad shahih
Akad Shahih adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara'. Dalam istilah ulama Hanafiyah, akad shahih
adalah akad yang memenuhi ketentuan syara' pada asalnya dan sifatnya.
2.
Akad tidak shahih
Akad shahih adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan
syarat yang ditetapkan oleh syara'.
Dengan demikian, akad ini tidak
berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur
ulama selain Hanafiyah menetapkan akad
bathil dan fasid termasuk kedalam
jenis akad tidak shahih, sedangkan
ulama Hanafiyah membedakan antara fasid
dengan batal. Menurut ulama Hanafiyah, akad
batal adalah akad yang tidak memenuhi
memenuhi rukun atau tidak ada barang yang diakadkan seperti akad yang dilakukan oleh salah seorang
yang bukan golongan ahli akad.
Misalnya orang gila, dan lain-lain. Adapun akad
fasid adalah akad yang yang
memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi dilarang syara' seperti menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat
menimbulkan percekcokan.[10]
b) Berdasarkan
ada dan tidak adanya qismah
1.
Akad musamah , yaitu akad yang telah ditetapkan syara'
dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah.
2.
Ghair musamah yaitu akad yang belum ditetapkan oleh syara'
dan belum ditetapkan hukumnya.
c). Berdasarkan zat benda yang diakadkan
1. Benda yang berwujud.
2.
Benda tidak berwujud.
d). Berdasarkan adanya unsur lain didalamnya
1.
Akad munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti
dengan pelaksaan akad adalah
pernyataan yang disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu
pelaksanaan adanya akad.
2.
Akad mu'alaq
adalah akad yang didalam pelaksaannya
terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan
setelah adanya pembayaran.
3.
Akad mu'alaq
ialah akad yang didalam pelaksaannya
terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksaan akad, pernyataan yang pelaksaannya ditangguhkan hingga waktu yang
ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tidanya waktu
yang ditentukan.
e)
Berdasarkan disyariatkan atau tidaknya akad
1.
Akad musyara'ah
ialah akad-akad yang debenarkan syara' seperti gadai dan jual beli.
2.
Akad mamnu'ah
ialah akad-akad yang dilarang syara' seperti menjual anak kambing
dalam perut ibunya. [11]
f)
Berdasarkan sifat benda yang menjadi objek dalam
akad
1.
Akad ainniyah ialah akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang seperti jual beli.
2.
Akad ghair ‘ainiyah ialah akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barangg karena
tanpa penyerahan barangpun akad sudah sah.
g)
Berdasarkan cara melakukannya
1.
Akad yang
harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat
nikah.
2.
Akad ridhaiyah
ialah akad yang dilakukan tanpa
upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak seperti akad-akad pada umumnya.
h)
Berdasarkan berlaku atau tidaknya akad
1.
Akad nafidzah , yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad
2.
Akad mauqufah , yaitu akad –akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan seperti akad fudluli
(akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta)
i)
Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan
1.
Akad lazim
yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad nikah. Manfaat perkawinan, seperti
bersetubuh, tidak bisa dipindahkan kepada orang lain. Akan tetapi, akad nikah
bisa diakhiri dengan dengan cara yang dibenarkan syara'
2.
Akad lazim
yang menjadi hak kedua belah pihak, dapat dipindahkan dan dapat dirusakkan
seperti akad jual beli dan lain-lain.
3.
Akad lazimah
yang menjadii hak kedua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu
pihak. Seperti titipan boleh diambil orang yang menitip dari orang yang
dititipi tanpa menungguu persetujuan darinya. Begitupun sebalikanya, orang yang
dititipi boleh mengembalikan barang titipan pada orang yang menitipi tanpa
harus menunggu persetujuan darinya.
j)
Berdasarkan tukar menukar hak
1.
Akad mu'awadhah,
yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti akad jual beli
2.
Akad tabarru'at,
yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan seperti akad
hibah.
3.
Akad yang
tabaru'at pada awalnya namun menjadi akad
mu'awadhah pada akhirnya seperti akad
qarad dan kafalah.
k)
Berdasarkan harus diganti dan tidaknya
1.
Akad dhaman , yaitu akad yang menjadi tanggung
jawab pihak kedua setelah benda-benda akad diterima seperti qarad.
2.
Akad amanah , yaitu tanggung jawab kerusakan
oleh pemilik benda bukan, bukan oleh yang memegang benda, seperti titipan.
3.
Akad yang
dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu seginya adalah dhaman dan segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn.
l)
Berdasarkan tujuan akad
1.
Tamlik:
seperti jual beli .
2.
Mengadakan usaha bersama seperti syirkah dan mudharabah.
3.
Tautsiq (memperkokoh
kepercayaan) seperti rahn dan kafalah.
4.
Menyerahkan kekuasaan seperti wakalah dan washiyah mengadakan
pemeliharaan seperti ida' atau titipan.
m)
Berdasarkan faur
dan istimrar
1.
Akad fauriyah , yaitu akad-akad yang tidak
memerlukan waktu yang lama, pelaksaaan akad hanya sebentar saja seperti jual
beli.
2.
Akad istimrar atau zamaniyah , yaitu hukum akad
terus berjalan, seperti I'arah .
n)
Berdasarkan asliyah dan tabi'iyah
1.
Akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri
tanpa memerlukan adanya sesuatu yang lain seperti jual beli dan I'arah.
2.
Akad tahi'iyah , yaitu akad yang membutuhkan
adanya yang lain, seperti akad rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang.
6. Kedudukan,
Fungsi, Ketentuan dan Pengaruh Aib
dalam Akad
1.
Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau tidaknya
muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah.
2.
Akad yang
menyalahi syariat seperti agar kafir atau akan berzina, tidak harus ditepati. [12]
3.
Tidak sah akad yang disertai dengan syarat. Misalnya
dalam akad jual beli aqid berkata: “Aku jual barang ini seratus dengan syarat
dengan syarat kamu menjual rumahmu padaku sekian…,” atau “aku jual rumah barang
ini kepadamu tunai dengan harga sekian atau kredit dengan harga sekian”, atau
“aku beli barang ini sekian asalakan kamu membeli dariku sampai dengan jangka
waktu tertentu sekian”.
4.
Akad yang
dapat dipengaruhi Aib adalah akad akad-akad yang mengandung unsur
pertukaran seperti jual beli atau sewa.
5.
Cacat yang karenanya barang dagangan bisa dikembalikan
adalah cacat yang bisa mengurangi harga/nilai barang dagangan, dan cacat harus
ada sebelum jual beli menurut kesepakatan ulama. Turunnya harga karena
perbedaan harga pasar, tidak termasuk cacat dalam jual beli.
6.
Akad yang
tidak dimaksudkan untuk pertukaran seperti hibah tanpa imbalan, dan sedekah,
tak ada sedikitpun pengaruh aib di dalamnya.
7.
Akad tidak
akan rusak/ batal sebab mati atau gilanya aqid kecuali dalam aqad pernikahan.
8.
Nikah tidak dikembalikan (ditolak) lantaran adanya
setiap cacat yang karenanya jual beli dikembalikan, menurut ijma' kaum
musllimin, selain cacat seperti gila,kusta, baros, terputus dzakarnya, imptoten, fataq (cacat
kelamin wanita berupa terbukanya vagina
sampai lubang kencing atau Ada juga yang mengatakan sampai lubang anus (cloaca). Kebalikan dari fatq adalah rataq,
yaitu tertutupnya vagina oleh daging tumbuh), qarn (tertutupnya vagina oleh tulang), dan adlal, tidak ada ketetapan khiyar tanpa diketahui adanya khilaf
diantara ahlul ilmi. Dan disyaratkan bagi penetapa khiyar bagi suami tidak
mengetahuinya pada saat akad dan tidak rela dengan cacat itu setelah akad.
Apabila ia tahu cacat itu setelah akad atau sesudahnya tetapi rela, maka ia
tidak mempunyai hak khiyar. Dan tidak ada khilaf bahwa tidak adanya keselamatan
suami dari cacat, tidak membatalkan nikah, tapi hak khiyar tetap bagi si
perempuan, bukan bagi para walinya.
9.
Dalam hal pernikahan Jika ada cacat dalam mahar maka
boleh dikembalikan dan akadnya tetap sah dengan konsekuensi harus diganti.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan yang telah teruai diatas dapat
ditarik beberapa kesimpulan bahwasanya kesepakatan antar kedua pihak berkenaan
dengan suatu hal atau kontrak antara beberapa pihak atas diskursus yang dibenarkan
oleh syara' dan memiliki implikasi hukum tertentu.terkait dalam implementasinya
tentu akad tidak pernah lepas dari yang namanya rukun maupun syarat yang mesti
terpenuhi agar menjadi sah dan sempurnanya sebuah akad.
Adapun mengenai jenis-jenis akad, ternyata banyak sekali
macam-macam akad yang dilihat dari berbagai perspektif, baik dari segi
ketentuan syari'ahnya, cara pelaksanaan, zat benda-benda, dan lain-lain. Semua
mengandung unsure yang sama yakni adanya kerelaan dan keridhaan antar kedua belah
pihak terkait dengan pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak lain yang
melakukan kontrak. Sehingga dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan
kewajiban diantara pihak yang bertransaksi. Sehingga tercapailah tujuan
kegiatan muamalah dalam kehidupan kita sehari-hari
DAFTAR PUSTAKA
Dimyauddin
Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamalah.(Yogyakarta:Pustaka
pelajar,2008)
Rahmat
Syafei. Fiqih Muamalah.(Bandung:Pustaka
Setia,2006)
Sa'adi
Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak,
Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. IV, 2009
Ahmad
Warson Munawir, Kamus Al-Munawir,Surabaya:
pustaka Progresif,cet 25 tahun 2002
Al-Munjid,
Beirut: Daar Al-Masyriq
Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah, Beirut: Daar al-Fiqr,
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah, Beirut: Daar al-Fiqr,
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Vebyo Arson / 10814001539 / Fak. Tarbiyah dan
Keguruan / PBI / III F /http://hitsuke.blogspot.com/2009/11/akad-fiqih-muamalah.html
[1]
Rachmat Syafei, MA. Fiqih Muamalah,
Pustaka Setia. Bandung: 2001, hal.44
[2] Ibid, hal. 44
[3] Sa'adi Abu Habieb, Ensiklopedi
Ijmak, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. IV, 2009
[4] Ibid,
[5] Ibid, hal. 45
[6]
Ad-Dasuki, Syarakh al-Kabir li-ad-Dhardir
wasiyatuh, hal. 2
[7] Sa'adi Abu Habieb, Op
Cit, hal. 56
[8] Dimyauddin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamalah.(Yogyakarta:Pustaka pelajar,2008)
[9]Al-Munjid, Beirut: Daar Al-Masyriq Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah, Beirut: Daar al-Fiqr,
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada
[11] Ibid, hal. 24
[12] Rahmat Syafei. Fiqih
Muamalah.(Bandung:Pustaka Setia,2006)
0 komentar:
Post a Comment