BAB I
PENDAHULUAN


Sebagai makhluk social, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Dalam pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang dapat digunakan bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Sebelum membahas lebih lanjut tentang pembagian atau macam-macam akad secara spesifik, akan dijelaskan teori akad secara umum yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan akad-akad lainnya secara khusus . Maka dari itu, dalam makalah ini saya akan mencoba untuk menguraikan mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita sehari-hari.




BAB II
PEMBAHASAN
AKAD (PERIKATAN/PERJANJIAN)




A.    PENGERTIAN AKAD
Secara literal, akad berasal dari bahasa arab yaitu عَقَََدَ يََعْقِدُ عََََقْدًا yang berarti perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad diartikan dengan hubungan ( الرّبْطُُ ) dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ ).  Secara terminologi ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari segi umum dan segi khusus. Dari segi umum, pengertian akad sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, dan Hanabilah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasakan keinginananya sendiri seperti waqaf, talak, pembebasan, dan segala sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.[1] Sedangkan dari segi khusus yang dikemukakan oleh ulama fiqih antara lain:
1.      Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara' yang berdampak pada objeknya.
2.      Keterkaitan ucapan antara orang yang berakad secara syara' pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.
3.      Terkumpulnya adanya serah terima atau sesuatu yang menunjukan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum.
4.      Perikatan ijab qabul yang dibenarkan syara' yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.
5.      Berkumpulnya serah terima diantara kedua belah pihak atau perkataan seseorang yang berpengaruh pada kedua belah pihak.[2]
Para pakar hukum membedakan antara akad dan kesepakatan atas dasar bahwa kesepakatan (perikatan) lebih umum dalam pemakaiannya dibandingkan akad. Dengan demikian, pemakaian istilah akad lebih terperinci kepada hal yang lebih penting dan khusus kepada apa yang telah diatur dan memiliki ketentuan. Sedangkan istilah kesepakatan tidak harus demikian, akan tetapi dapat dipakai dalam hal apa saja yang serupa, misalanya untuk melengkapi kegiatan manusia untuk semacam janji yang tidak memiliki nama khusus atau aturan tertentu.
Kesepakatan antara dua keinginan dalam mencapai komitmen yang diinginkan pada waktu yang akan datang dan telah diketahui secara mutlak seperti jual beli atau pemindahan hutang piutang. Sedangkan akad dapat dipahami sebagai sebatas kesepakatan dalam mencapai suatu. Adapun yang membedakan antara keduanya adalah kecakapan pelaku.
Kecakapan pelaku akad berbeda dengan kecakapan dalam pelaku perikatan, karena keduanya memiliki nilai hasil masing-masing. Dan pelaku akad tidak dibebani tanggung jawab dan syarat sebanyak pelaku perikatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesepakatan atau perikatan memiliki arti lebih luas dibandingkan akad.[3]
Dalam pelaksanaan akad, keinginan peribadi (individu) merupakan kekuatan yang paling besar dan mendasar dalam pembentukan akad dan juga berfungsi membatasi nilai-nilai yang dihasilkan. Kekuasaan (kekuatan) peribadi disandarkan untuk melindungi hak dan kebebasan individu. Dalam pelaksanaan akad pemberian (donasi), berbeda dengan pelaksaan akad peminjaman yang merupakan aktifitas serupa bila dikategorikan serupa dalam pelaksanaan akad, tapi yang membedakannya adalah dari segi kecakapan di pelaku. Yang perlu diperhatikan adalah kesepakatan yang dimasukkan dalam pembahasan akad, yang dalam pemahaman ini, akad harus mengikuti pembahasan dalam hukum privat dari satu segi dan di sisi lain akad yang masuk dalam kategori aktifitas pengelolaan keuangan (mu'amalah al-maliyah). Akan tetapi dalam hukum Romawi, kesepakatan untuk melaksanakan akad tidak bisa diterima apabila hanya berlandaskan keinginan peribadi semata tanpa memiliki kekuatan hukum, akan tetapi harus mengikuti bentuk administrasi tertentu (khusus). Sedangkan defenisi akad menurut ulama syari'ah adalah ikatan antara ‘ijab' dan ‘qabul' yang diselenggarakan menurut ketentuan syari'ah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad tersebut diselenggarakan. Dari uraian diatas dapat dinyatakan bhawa Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah. Akad yang menyalahi syariat seperti agar kafir atau akan berzina, tidak harus ditepati. Akad-akad yang dipengaruhi aib adalah akad-akad pertukaran seperti jual beli dan akad sewa.

B.     PEMBENTUKAN AKAD
Dalam pelaksanaan akad atau pembentukannya, baru dapat dikatakan benar, sah atau diakui keberadaannya oleh hukum apabila semua unsur pembentuknya terpenuhi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di antaranya adalah adanya unsur unsur‘ridla', unsur objek akad (‘mahal') dan unsur sebab akibat (‘sabab') serta ‘ganjaran' apabila asas (rukun)-nya tidak dipenuhi (konsekuensi). Sebelum melakukan akad (perikatan) pelaku akad harus menentukan jenis, hakikat tujuan, bentuk dan nama yang sudah umum. Sehingga pihak hakim bisa mengambil kesimpulan dari bentuk pelaksanaan akad itu.[4] Dan apabila didapati kesamaran (keraguan) dalam bentuk, jenis, nama dan sebagainya, yang dengan kesamaran tersebut, hakim tidak bisa menyimpulkan bentuk akadnya, maka pihak hakim berhak mengambil kesimpulan dengan lebih memprioritaskan pihak yang berhutang.[5]
C.    RUKUN AKAD
1.      Aqid (Orang yang Menyelenggarakan Akad)
Aqid adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak, seperti dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli.[6] Ulama fiqh memberikan persyaratan atau criteria yang harus dipenuhi oleh aqid antara lain :
a.       Ahliyah
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan.
b.      Wilayah
Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar'i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
2.      Ma'qudAlaih (objek transaksi)
Ma'qudAlaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
a.       Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
b.      Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara' untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
c.       Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
d.      Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
e.       Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.
3.      Shighat, yaitu Ijab dan Qobul 
Ijab Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau akad. Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun menerima, sedangkan qobul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang yang pertama. Menurut ulama selain Hanafiyah, ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan Qobul adalah pernyataan dari orang yang menerima. Dari dua pernyataan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan ungkapan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang dengan kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak tersebut.
Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi , ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut :
a.       Adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
b.      Adanya kesesuaian antara ijab dan qobul[7]
c.       Adanya pertemuan antara ijab dan qobul (berurutan dan menyambung).
d.      Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukkan penolakan dan pembatalan dari keduannya.
Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila :
a.       Penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli.
b.      Adanya penolakan ijab dari si pembeli.
c.       Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan qobul dianggap batal.
d.      Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakatan
e.       Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan.
4.      Syarat-Syarat Akad
a)      Syarat terjadinya akad [8]
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara'. Syarat ini terbagi menjadi dua bagian yakni umum dan khusus. Syarat akad yang bersifat umum adalah syarat–syarat akad yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam setiap akad adalah:
1.      Pelaku akad cakap bertindak (ahli).
2.      Yang dujadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3.      Akad itu diperbolehkan syara' dilakukan oleh orang yang berhak melakukannya walaupun bukan aqid yang memiliki barang.
4.      Akad dapat memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn dianggap imbangan amanah.
5.      Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh karenanya akad menjadi batal bila ijab dicabut kembali sebelum adanya kabul.
6.      Ijab dan kabul harus bersambung, sehingga bila orang yang berijab berpisah sebelum adanya qabul, maka akad menjadi batal.
Sedangkan syarat yang bersifat khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat ini juga sering disebut syarat idhafi (tambahan yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
b)     Syarat Pelaksanaan akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara'. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketentuan syara'.
c)      Syarat Kepastian Akad (luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalika.[9]


5.      Pembagian Akad dan Sifat - Sifatnya
Pembagian akad dibedakan menjadi beberapa bagian berdasarkan sudut pandang yang berbeda, yaitu:
a)      Berdasarkan ketentuan syara'
1.      Akad shahih
Akad Shahih adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara'. Dalam istilah ulama Hanafiyah, akad shahih adalah akad yang memenuhi ketentuan syara' pada asalnya dan sifatnya.
2.      Akad tidak shahih
Akad shahih adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara'. Dengan demikian, akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain Hanafiyah menetapkan akad bathil dan fasid termasuk kedalam jenis akad tidak shahih, sedangkan ulama Hanafiyah membedakan antara fasid dengan batal. Menurut ulama Hanafiyah, akad batal adalah akad yang tidak memenuhi memenuhi rukun atau tidak ada barang yang diakadkan seperti akad yang dilakukan oleh salah seorang yang bukan golongan ahli akad. Misalnya orang gila, dan lain-lain. Adapun akad fasid adalah akad yang yang memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi dilarang syara' seperti menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan percekcokan.[10]
b)     Berdasarkan ada dan tidak adanya qismah
1.      Akad musamah , yaitu akad yang telah ditetapkan syara' dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah.
2.      Ghair musamah yaitu akad yang belum ditetapkan oleh syara' dan belum ditetapkan hukumnya.
c). Berdasarkan zat benda yang diakadkan
1. Benda yang berwujud.
2. Benda tidak berwujud.

d). Berdasarkan adanya unsur lain didalamnya
1.      Akad munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksaan akad adalah pernyataan yang disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan adanya akad.
2.      Akad mu'alaq adalah akad yang didalam pelaksaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
3.      Akad mu'alaq ialah akad yang didalam pelaksaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksaan akad, pernyataan yang pelaksaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tidanya waktu yang ditentukan.
e)      Berdasarkan disyariatkan atau tidaknya akad
1.      Akad musyara'ah ialah akad-akad yang debenarkan syara' seperti gadai dan jual beli.
2.      Akad mamnu'ah ialah akad-akad yang dilarang syara' seperti menjual anak kambing dalam perut ibunya. [11]
f)       Berdasarkan sifat benda yang menjadi objek dalam akad
1.      Akad ainniyah ialah akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang seperti jual beli.
2.      Akad ghair ‘ainiyah ialah akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barangg karena tanpa penyerahan barangpun akad sudah sah.
g)      Berdasarkan cara melakukannya
1.      Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.
2.      Akad ridhaiyah ialah akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak seperti akad-akad pada umumnya.
h)     Berdasarkan berlaku atau tidaknya akad
1.      Akad nafidzah , yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad
2.      Akad mauqufah , yaitu akad –akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan seperti akad fudluli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta)
i)        Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan
1.      Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad nikah. Manfaat perkawinan, seperti bersetubuh, tidak bisa dipindahkan kepada orang lain. Akan tetapi, akad nikah bisa diakhiri dengan dengan cara yang dibenarkan syara'
2.      Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, dapat dipindahkan dan dapat dirusakkan seperti akad jual beli dan lain-lain.
3.      Akad lazimah yang menjadii hak kedua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak. Seperti titipan boleh diambil orang yang menitip dari orang yang dititipi tanpa menungguu persetujuan darinya. Begitupun sebalikanya, orang yang dititipi boleh mengembalikan barang titipan pada orang yang menitipi tanpa harus menunggu persetujuan darinya.
j)       Berdasarkan tukar menukar hak
1.      Akad mu'awadhah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti akad jual beli
2.      Akad tabarru'at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan seperti akad hibah.
3.      Akad yang tabaru'at pada awalnya namun menjadi akad mu'awadhah pada akhirnya seperti akad qarad dan kafalah.
k)     Berdasarkan harus diganti dan tidaknya
1.      Akad dhaman , yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua setelah benda-benda akad diterima seperti qarad.
2.      Akad amanah , yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda bukan, bukan oleh yang memegang benda, seperti titipan.
3.      Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu seginya adalah dhaman dan segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn.

l)        Berdasarkan tujuan akad
1.      Tamlik: seperti jual beli .
2.      Mengadakan usaha bersama seperti syirkah dan mudharabah.
3.      Tautsiq (memperkokoh kepercayaan) seperti rahn dan kafalah.
4.      Menyerahkan kekuasaan seperti wakalah dan washiyah mengadakan pemeliharaan seperti ida' atau titipan.
m)   Berdasarkan faur dan istimrar
1.      Akad fauriyah , yaitu akad-akad yang tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksaaan akad hanya sebentar saja seperti jual beli.
2.      Akad istimrar atau zamaniyah , yaitu hukum akad terus berjalan, seperti I'arah .
n)     Berdasarkan asliyah dan tabi'iyah
1.      Akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu yang lain seperti jual beli dan I'arah.
2.      Akad tahi'iyah , yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti akad rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang.
6.      Kedudukan, Fungsi, Ketentuan dan Pengaruh Aib dalam Akad
1.      Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah.
2.      Akad yang menyalahi syariat seperti agar kafir atau akan berzina, tidak harus ditepati. [12]
3.      Tidak sah akad yang disertai dengan syarat. Misalnya dalam akad jual beli aqid berkata: “Aku jual barang ini seratus dengan syarat dengan syarat kamu menjual rumahmu padaku sekian…,” atau “aku jual rumah barang ini kepadamu tunai dengan harga sekian atau kredit dengan harga sekian”, atau “aku beli barang ini sekian asalakan kamu membeli dariku sampai dengan jangka waktu tertentu sekian”.
4.      Akad yang dapat dipengaruhi Aib adalah akad akad-akad yang mengandung unsur pertukaran seperti jual beli atau sewa.
5.      Cacat yang karenanya barang dagangan bisa dikembalikan adalah cacat yang bisa mengurangi harga/nilai barang dagangan, dan cacat harus ada sebelum jual beli menurut kesepakatan ulama. Turunnya harga karena perbedaan harga pasar, tidak termasuk cacat dalam jual beli.
6.      Akad yang tidak dimaksudkan untuk pertukaran seperti hibah tanpa imbalan, dan sedekah, tak ada sedikitpun pengaruh aib di dalamnya.
7.      Akad tidak akan rusak/ batal sebab mati atau gilanya aqid kecuali dalam aqad pernikahan.
8.      Nikah tidak dikembalikan (ditolak) lantaran adanya setiap cacat yang karenanya jual beli dikembalikan, menurut ijma' kaum musllimin, selain cacat seperti gila,kusta, baros, terputus dzakarnya, imptoten, fataq (cacat kelamin wanita berupa terbukanya vagina sampai lubang kencing atau Ada juga yang mengatakan sampai lubang anus (cloaca). Kebalikan dari fatq adalah rataq, yaitu tertutupnya vagina oleh daging tumbuh), qarn (tertutupnya vagina oleh tulang), dan adlal, tidak ada ketetapan khiyar tanpa diketahui adanya khilaf diantara ahlul ilmi. Dan disyaratkan bagi penetapa khiyar bagi suami tidak mengetahuinya pada saat akad dan tidak rela dengan cacat itu setelah akad. Apabila ia tahu cacat itu setelah akad atau sesudahnya tetapi rela, maka ia tidak mempunyai hak khiyar. Dan tidak ada khilaf bahwa tidak adanya keselamatan suami dari cacat, tidak membatalkan nikah, tapi hak khiyar tetap bagi si perempuan, bukan bagi para walinya.
9.      Dalam hal pernikahan Jika ada cacat dalam mahar maka boleh dikembalikan dan akadnya tetap sah dengan konsekuensi harus diganti.




BAB III
KESIMPULAN




Dari beberapa penjelasan yang telah teruai diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwasanya kesepakatan antar kedua pihak berkenaan dengan suatu hal atau kontrak antara beberapa pihak atas diskursus yang dibenarkan oleh syara' dan memiliki implikasi hukum tertentu.terkait dalam implementasinya tentu akad tidak pernah lepas dari yang namanya rukun maupun syarat yang mesti terpenuhi agar menjadi sah dan sempurnanya sebuah akad. 
Adapun mengenai jenis-jenis akad, ternyata banyak sekali macam-macam akad yang dilihat dari berbagai perspektif, baik dari segi ketentuan syari'ahnya, cara pelaksanaan, zat benda-benda, dan lain-lain. Semua mengandung unsure yang sama yakni adanya kerelaan dan keridhaan antar kedua belah pihak terkait dengan pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak lain yang melakukan kontrak. Sehingga dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban diantara pihak yang bertransaksi. Sehingga tercapailah tujuan kegiatan muamalah dalam kehidupan kita sehari-hari

DAFTAR PUSTAKA


Dimyauddin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamalah.(Yogyakarta:Pustaka pelajar,2008)

Rahmat Syafei. Fiqih Muamalah.(Bandung:Pustaka Setia,2006)

Sa'adi Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. IV, 2009

Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir,Surabaya: pustaka Progresif,cet 25 tahun 2002

Al-Munjid, Beirut: Daar Al-Masyriq
Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah, Beirut: Daar al-Fiqr,
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada


Vebyo Arson / 10814001539 / Fak. Tarbiyah dan Keguruan / PBI / III F /http://hitsuke.blogspot.com/2009/11/akad-fiqih-muamalah.html


[1] Rachmat Syafei, MA. Fiqih Muamalah, Pustaka Setia. Bandung: 2001, hal.44
[2] Ibid, hal. 44
[3] Sa'adi Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. IV, 2009
[4] Ibid,
[5] Ibid, hal. 45
[6] Ad-Dasuki, Syarakh al-Kabir li-ad-Dhardir wasiyatuh, hal. 2
[7] Sa'adi Abu Habieb, Op Cit, hal. 56
[8] Dimyauddin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamalah.(Yogyakarta:Pustaka pelajar,2008)
[9]Al-Munjid, Beirut: Daar Al-Masyriq  Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah, Beirut: Daar al-Fiqr,
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada
[11] Ibid, hal. 24
[12] Rahmat Syafei. Fiqih Muamalah.(Bandung:Pustaka Setia,2006)

0 komentar:

 
Top