Sekilas “Ahlussunnah Wal Jamaah”
dari Embrio sampai ke-Manhajul Fikri
Oleh : MUHAMMAD IBNU SOIM
A. Pendahuluan
Dengan
tidak memonopoli predikat sebagai satu-satunya golongan Ahlussunnah Wal
Jamaah, organisasi PMII semenjak pertama berdirinya menegaskan diri
sebagai penganut, pengemban dan pengembang islam ala ahlussunnah wal
jamah. Dengan sekuat tenaga, PMII berusaha menempatkan diri sebagai
pengamal setia dan mengajak seluruh kaum muslimin, terutama para
warganya untuk menggolongkan diri pada Ahlussunnah Wal Jamaah.
Pada
hakikatnya, Ahlussunnah Wal Jamaah adalah ajaran islam yang murni
sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rosulullah Saw. bersama para
sahabatnya.
Ketika
Rosulullah Saw. Menerangkan bahwa umatnya akan terpecah-pecah menjadi
73 golongan, beliau menegaskan bahwa yang benar dan selamat dari sekian
banyaknya golongan itu hanyalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Atas pertanyaan
para sahabat, apakah Ahlussunnah Wal Jamaah itu, beliau merumuskan
dengan sabdanya :
“Apa yang Aku berada di atasnya, hari ini, bersama para sahabatku”.
B. Firqah-firqah dalam islam
Dalam
sejarah islam telah tercatat adanya firqah-firqah di kalangan umat
islam yang antara satu dan yang lainnya saling berbeda faham dan sulit
dikompromikan. Hal ini, memang pernah diprediksikan oleh Rosulullah Saw.
Beliau pernah menggambarkan akan timbulnya firqah-firqah di kalangan umat islam.
Banyak
hadits-hadits Rasulullah Saw yang menjelaskan tentang adanya perpecahan
atau firqah-firqah ini. Dari hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan
sebagai berikut :
- Sesudah Nabi Muhammad saw wafat, akan timbul kelompok umat islam yang saling berselisih faham yang jumlahnya tidak kurang dari 73 golongan.
- Di antara sekian banyaknya firqah (golongan) itu terdapat golongan yang disebut sebagai “Majusinya umat islam”, yaitu golongan yang mengingkari takdir. Bahkan, lebih tegas lagi dinyatakan bahwa dari sekian banyaknya golongan itu ada yang tidak lagi termasuk golongan umat islam, yaitu Murji’ah dan Qodariyah.
- di antara golongan yang banyak itu ada yang benar, yaitu golongan Ahlussunnah Wal Jamaah, yaitu golongan yang selalu berpegang kepada sunnah Nabi dan sunnah Khulafaur Rasyidin.
Di
dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan mufti syekh sayyid
abdurrahman bin muhammad bin husen bin umar ba ‘Alawi, disebutkan bahwa
ada tujuh firqah (golongan) yang tidak termasuk Ahlussunnah Wal Jamaah,
sekaligus rincian dari 73 golongan tersebut, di antaranya seperti di
dalam bagan di bawah ini :
No
|
Golongan
|
Karakteristik
|
Sempalan
|
Keterangan
|
1
|
Syi’ah
|
yang
berlebihan memuja sayyidina ali karramallahu wajhahu serta membenci
para sahabat Rasullullah yang lain. Golongan ini terpecah menjadi :
|
22 Aliran
|
|
2
|
Khawarij
|
Yang berlebihan membenci Sayyidina Ali K.W. bahkan di antara mereka ada yang mengkafirkannya.
|
20 Aliran
|
|
3
|
Mu’tazilah
|
Yang berlebihan menggunakan akal (rasio) dan banyak meninggalkan dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadits).
|
20 Aliran
|
|
4
|
Najariyah
|
Yang mengingkari sifat-sifat than.
|
3 Aliran
|
|
5
|
Jabariyah
|
Yang berpendapat bahwa manusia itu majbur / tidak berdaya sama sekali.
|
1 Aliran
|
|
6
|
Murji’ah
|
Yang
sangat murah memberikan pengertian atau batasan mengenai imam. Mereka
memfatwakan bahwa kemaksiatan tidak akan memberikan mudlarrat
terhadap seseorang yang telah menyatakan beriman.
|
5 aliran
|
|
7
|
Musyabbihah
|
Yang menyerupakan tuhan dengan manusia.
|
1 Aliran
|
|
Dengan
memperhatikan ketujuh golongan tersebut di atas, beserta aliran-aliran
sempalannya, maka jelaslah bahwa ada 72 aliran di luar golongan
Ahlussunnah Wal Jamaah. Apabila ditambah dengan satu aliran lagi, yaitu
faham Ahlussunnah Wal Jamaah, maka jumlah seluruh firqah dan aliran
dalam islam sebanyak 73 golongan sebagaimana pernah diprediksikan dan
digambarkan oleh Rasulullah Saw. Selain itu masih ada aliran-aliran baru
yang masih dipertanyakan kislamannya, seperti Ahmadiyah, Salafiyah yang
selanjutnya membaku menjadi gerakan wahabiyah.
C. Sejarah dan Faktor-faktor Timbulnya Perpecahan (Firqah)
Agama
islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw merupakan satu kesatuan yang utuh
dari tiga unsur, yaitu : iman, Islam, dan ihsan.ketiganya telah
diterapkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw beserta para sahabatnya
secara serempak, terpadu dan berkeseimbangan. Tidak ada yang lebih
ditonjolkan dengan mengesampingkan yang lainnya. Tidak ada yang
dipertentangkan, karena sesungguhnya agama islam itu bukan merupakan
bahan pertentangan. Apabila terjadi hal yang kurang dapat dipahami, maka
seluruh persoalan itu dikembakikan kepada rasullullah saw.
Setelah beliau wafat, bibit perselisihan di antara umat islam mulai tampak. Mula-mula
perselesihan para sahabat mengenai wafat tidaknya Rasulullah Saw, dan
dimana beliau dimakamkan, dan siapa yang layak menggantikan beliau
sebagai pemimpin umat islam. Namun, di antara ketiganya, yang berkembang
menjadi perselisihan yang menyebabkan timbulnya firqah-firqah di
kalangan umat islam adalah tentang “pengganti beliau sebagai pemimpin
umat (khalifah)”.
Pada
perselisihan ini, ada tiga kelompok yang masing-masing mempunyai
argumentasi sendiri, di antaranya Sahabat Anshar, Sahabat Muhajirin, dan
kelompok sahabat yang mendukung Bani Hasyim (Ali bin abi Thalib). Semua
ketiga-tiganya tersebut mengusung sahabat dari kalangan mereka
masing-masing yang dipandang pantas untuk menggantikan Rasulullah Saw
sebagai pemimpin umat islam pada waktu itu. Namun, perbedaan pendapat
masalah khalifah ini dapat diatasi dengan tampilnya Sahabat Abu Bakar
dan selanjutnya sahabat Umar bin Khattab menjadi khalifah pertama dan
kedua dari khulafaur Rasyidin yang memang mendapat dukungan luas dari
umat islam kala itu. Akan tetapi pada akhir pemerintahan sahabat Utsman
bin Affan perselisihan masalah khalifah ini muncul kembali, sehingga
menjadi pemicu timbulnya perpecahan dan firqah-firqah di kalangan islam.
Hal ini, sebenarnya disebabkan munculnya seorang Yahudi yang lahir di
Yaman bernama abdullah bin Saba’. Ia mengaku masuk islam tetapi dengan
sengaja menghembuskan api perpecahan di antara sesama umat islam dengan
mempropagandakan semangat anti Kalifah Utsman dengan ajarannya
“al-Washilah” yang pada intinya mengajarkan bahwa kekhalifahan itu
merupakan bagian dari syariat islam, artinya seorang khalifah itu harus
berdasarkan atas wasiat Rasulullah Saw.
Propaganda
Abdullah bin saba’ ini tumbuh dengan subur di beberapa wilayah
kekuasaan islam, seperti mesir, Kufah, dan Bashrah. Sejak itu muncullah
aliran Syi’ah yang selanjutnya disusul aliran-aliran lain sebagai reaksi
terhadap aliran syi’ah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa akar
persoalan yang melatarbelakangi timbulnya firqah-firqah di kalangan umat
islam adalah masalah-masalah politik (khalifah). Dari akar persoalan
ini kemudian timbul usaha membentengi ajaran dengan rumusan-rumusan
Syi’ah. Maka lahi9rlah firqah-firqah atau madzhab-madzhab di bidang fiqh
dan aqidah bahkan juga tasawwuf.
D. Sejarah dan Perkembangan ASWAJA
Istilah
Ahlussunnah Wal Jamaah kalau ditinjau secara etimologis maka jelaslah
adanya ASWAJA tersebut sudah ada pada zaman Rasulullah Saw. Namun,
ASWAJA sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum ASWAJA mengalami
perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahap
embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik,
artinya memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada
tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi
penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua,Proses
konsolidasi awal dan mencapai pucaknya setelah imam al-Syafi’I (w. 205
H/820 M) berhasil menetapkan hadits sebagai sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an dalam kontruksi pemikiran hukum islam. Ketiga, merupakan
Kristalisasi teologi sunni, di satu pihak menolak adanya rasionalisme
dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama.
Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus di
tempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yaitu ; abu hasan
al-Asy’ari (w.324 H/935 M) di Mesopotamia, dan juga Abu mansur
al-Maturidi (w.331 H/944 M) di samarkandi, dan ahmad bin Ja’far
al-Thahawi (w.331 H/944 M) di Mesir. Pada tahap kristalisasi inilah abu
hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan.
Di
Indonesia, ASWAJA menyebar luas dengan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari
lewat organisasinya yaitu NU (Nahdlatul Ulama) dengan konsep ASWAJA yang
lebih konkrit, beliau menyatakan bahwa, islam Ahlussunnah Wal Jamaah
adalah islam yang dalam bidang fiqih menganut satu dari empat madzhab,
yaitu ; al-Syafi’I, al-Maliki, al-Hanafi dan al-Hanbali, dan dalam
bidang teologi/ tauhid menganut satu dari dua madzhab, yaitu ;
al-Asy’ari dan al-Maturidi, serta dalam bidang tasawuf menganut satu
dari dua madzhab, yaitu ; al-ghazali dan al-Junaidi.
Selain itu, para Ulama NU menganggap ASWAJA sebagai upaya pembakuan prinsip-prinsip Tawassut (moderat), Tasamuh (toleran) dan Tawazzun (seimbang) dan I’tidal (tegak lurus/ tidak condong kekiri-kirian atau kekanan-kanan-an).
Di
dalam tubuh PMII ASWAJA dijadikan sebagai Manhajul Fikri artinya ASWAJA
bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam
berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Dan ternyata ASWAJA sebagai
manhajul fikri di tubuh PMII ada banyak relevansinya dalam kehidupan
beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam ruang dialektika dengan
siapapun dan kelompok apapun.
Sebenarnya
konsepsi ASWAJA sebagai Manhajul Fikri pertama kali dilontarkan oleh
KH. Said Aqil siraj pada tahun 1991. walaupun hal tersebut mendapat
tantangan yang berat dari kalangan sesepuh NU pada waktu itu, namun pada
akhirnya, kian diterima masyarakat khususnya kalangan pemuda termasuk
PMII. Bahkan di dalam tubuh PMII menjadi konsep dasar sekaligus sebagai
prinsip organisasi.
Adapun prinsip dasar dari ASWAJA sebagai manhajul fikri meliputi ; Tawassut (moderat), Tasamuh (toleran) dan Tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari Tawassut
adalah selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang
terhormat, namin tidak terjebak sehingga mengagung-agungkan akal) karena
martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia
menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan
keseombangan yang mendalam antara wahyau dan akal. Aktualisasi Tasamuh
adalah dalam hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai
dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan pada keyakinan sekalipun.
Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar
pendapat kita pada orang lain, yang dianjurkan hanya sebatas penyampaian
saja yang ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari
tuhan. Dan yang terakhir, aktualisasi Tawazzun. Penjabaran dari prinsip Tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maipun dalam kontekc politik sekalipun.
E. Penutup
Demikianlah
sejarah dan perkembanga ASWAJA dari zaman ke zaman, namun tulisan ini
masih belum sempurna dalam wacana ASWAJA, butuh diskusi lebih lanjut dan
panjang. Lebih-lebih memahami isi ASWAJA sebagai ideologi ataupun
Manhajul fikri, apalagi mengamalkannya. Mungkin hanya ini yang dapat
kami sajikan, atas salah dan kekhilafannya mohon kritik dan sarannya
demi membangun konstruk pemahaman ASWAJA yang sejati. “ Selamat Berdiskusi “.
Referensi
Achamd Shidiq, KH. Khittah Nahdliyah, Khalista, Surabaya, 2005.
Abdul Rozak, Dr. Roshihon Anwar, Drs. Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2003
Makalah-makalah dan diskusi dua mingguan PMII, IPNU-IPPNU, GP. Anshor dan Lakspedam NU Lumajang. 2006.
0 komentar:
Post a Comment