BAB I
PEMBAHASAN
PINJAMAN (‘ARIYAH)


A.    PENGERTIAN PINJAMAN (‘ARIYAH)
Pinjaman atau ‘Ariyah menurut bahasa yaitu pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘Ariyah ada beberapa pendapat diantaranya:
1.      Menurut Ulama’ Hanafiyah, ‘Ariyah mempunyai arti memilikan manfaat secara Cuma-Cuma.
2.      Menurut Ulama’ Malikiyah, ‘Ariyah yaitu memilikan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.[1]
3.      Sedangkan menurut Ulama’ Syafi’iyah, ‘Ariyah diartikan sebagai kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskanya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.[2]
Dengan dikemukakanya definisi-definisi menurut para ahli diatas, kiranya dapat dipahami bahwa meskipun menggunakan redaksi yang berbeda-beda, namun materi permasalahannya dari definisi tentang ‘Ariyah tersebut sama.
Jadi, yang dimaksud dengan ‘Ariyah adalah memberikan menfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalanya, hal itu tidak dapat disebut dengan ‘Ariyah.

B.     DASAR HUKUM ‘ARIYAH
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ‘Ariyah hukumnya wajib ketika awal Islam. Adapun landasan hukumnya dari nash al-Qur’an sebagai berikut:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤9$# tP#tptø:$# Ÿwur yôolù;$# Ÿwur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah[3], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya[4], dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al-Maaidah: 2).

Adapun dasar Hukum lain dari ‘Ariyah di Kitab Suci Al-Qur’an yaitu sebagai berikut, yang berbunyi:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  

Artinya
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (Q.S. An-Nisa’: 58).

Adapun dalam hadist sudah dijelaskan juga tentang dasar hukum ‘Ariyah yaitu “Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu.” (HR. Abu Daud).
C.    RUKUN DAN SYARAT ‘ARIYAH
Menurut Ulama’ Hanafiyah, rukun ‘Ariyah  adalah satu, yaitu ijab dan Kabul, tidak  wajib diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab Kabul denan ucapan.[5]
Sedangkan menurut Syafi’iyah, rukun ‘ariyah adalah sebagai berikut:
1.      Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “saya mengaku benda ini kepada kamu”. Syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2.      Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan musa’ir yaitu orang yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mu’tir dan musta’ir adalah sebagai berikut:
a.       Baligh, maka batal ‘ariyah yang dilakukan anak kecil atau shabiy
b.      Berakal, maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila.
c.       Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle), maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang berada di bawah perlindungan seperti pemboros.

3.      Benda yang diutangkan. Pada ketiga ini disyaratkan dua hal yaitu:
a.       Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan maka tidak sah ‘ariyah yang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyumpan padi.
b.      Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’, seperti meminjam benda-benda najis.[6]

D.    PEMBAYARAN PINJAMAN
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rosulullah saw. Telah bersabda “orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang  membayar utang. Rasulullah saw. Bersabda “sesungguhnya di antara orang yang baik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah SAW pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasulullah saw bersabda “orang yang baik di antara kamu ialah orang yang membayar utangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad).
Jika pembahasan tersebut dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan,maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang, untuk mengembalikannya. Rasulullah saw. Bersabda “tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”. (HR. Baihaki).

E.     MEMINJAM PINJAMAN DAN MENYEWAKANNYA
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman.[7] Menurut mazhab Hambali, peminjam boleh  memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjam berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hambaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik orang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak di tangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang di antara keduanya. Dalma keadaan seperti ini, lebih baik pemilik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.[8]

F.     TANGGUNG JAWAB PEMINJAM
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut Ibnu Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’I, dan Ishaq dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah SAW bersabda “Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.
Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakanya yang berkelebihan karena Rasulullah saw bersabda “Peminjam yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan oran yang dititipi yang tidak berkhianat tidak berkeajiban untuk mengganti kerusakannya.” (HR. Al-Daruqudni).

G.    TATAKRAMA BARANG
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang piutang tentang nilai-nilai, sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut:
a.       Sesuai dengan Q.S Al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u Ÿwur ó§yö7tƒ çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 Ÿwur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·ŽÉó|¹ ÷rr& #·ŽÎ7Ÿ2 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºsŒ äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤=Ï9 #oT÷Šr&ur žwr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouŽÅÑ%tn $ygtRr㍃Ïè? öNà6oY÷t/ }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ žwr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇËÑËÈ  




Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[9]   tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah: 282).

b.      Pinjaman hendaknya dilakukan atau dasar adanya kebutuhan  yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya  atau mengembalikannya.
c.       Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikannya, maka yang berpiutang hendaknya membebaskannya.
d.      Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat aniaya atau zalim.


BAB II
KESIMPULAN


Pinjaman atau ‘Ariyah menurut bahasa yaitu pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘Ariyah ada beberapa pendapat diantaranya: Menurut Ulama’ Hanafiyah, ‘Ariyah mempunyai arti memilikan manfaat secara Cuma-Cuma. Dan sedangkan Menurut Ulama’ Malikiyah, ‘Ariyah yaitu memilikan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rosulullah saw. Telah bersabda “orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya.” (HR. Bukhari dan Muslim).


DAFTAR PUSTAKA


Hendi   Suhendi,   Fiqih   Muamalah,   Jakarta:  PT. Raja  Grafindo  Persada,  2010.



[1] LiHAT, Abd. Al-Rahman Al-Jazimi,  dalam Al-Fiqih ‘Ala  Madzahib al-Ariha’ah, ttp tp th. 1968, hal. 270
[2] Ibid, hal. 270
[3] Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
[4] Ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.
[5] Abd. Al-Rahman Al-Jaziri, Op Cit, hal. 272
[6] Ibid,
[7] Hendi Suhendi,  Fiqih Muamalah, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2010. Hal. 97
[8] Lihat Sayyid Sabiq dalam Fiqih al-Sunnah,hal. 68
[9] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.

0 komentar:

 
Top