BAB I
PENDAHULUAN




Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh umat manusia mempunyai sumber yang lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal bahwa sumber ajaran islam adalah Al-Qur”an dan Sunnah yang sangat lengkap. Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran yang bersifat pedoman pokok dan global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi oleh Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa berbeda pandangan, mengenai pengertiannya secara istilah muncul belakangan, yaitu pada massa tasyri dan massa sahabat. Ijtihad mempunyai definisi dan mempunyai landasan serta dasar-dasar dan mempunyai hukum dan mempunyai unsur-unsur.

BAB II
PEMBAHASAN
IJTIHAD DALAM NU



A.    QAIDAH FIQHIYAH SEBAGAI DASAR PEMBENTUKAN PERILAKU NAHDLIYIN
Sebelum Nahdlatul Ulama dilahirkan, telah terjadi dialog sangat panjang antara budaya lokal versus nilai Islam di tengah-tengah umat Islam Nusantara hingga mewujud menjadi tradisi baru yang membumi. Kelompok Islam ini menyatu dalam pola pikir dan referensi tradisi sosial keagamaan.
Sehingga kelahiran NU merupakan aktualisasi dari progresifitas arus besar umat Islam di Indonesia. Maka deklarasi NU pun yang dilakukan pada tanggal 30 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H. Mendapat sambutan luas masyarakat Islam. Dasar pembentukan perilaku etik moral kaum Nahdliyin yang bercirikan sikap tawassuth, tawazun, tasamuh dan i’tidal merupakan implementasi dari kekukuhan mereka dalam memegang prinsip-prinsip keagamaan (qaidah al-fiqhiyyah) yang dirumuskan oleh para ulama klasik.[1]  Diantara prinsip keagamaan tersebut adalah:
1.      Al-‘Adah al-Muhakkamah
Artinya sebuah tradisi dapat menjelma menjadi pranata sosial keagamaan. Maksudnya, Rumusan hukum yang tidak bersifat absolut dapat ditata selaras dengan subkultur sebuah komunitas masyarakat menurut ruang dan waktunya dengan mengacu kepada kesejahteraan dan kebikan masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilakukan selama tidak kontradiksi dengan prinsip-prinsip ajaran yang bersifat absolut (qath’i), dalil-dalil yang merupakan kaidah umum dan prinsip-prinsip universal.

2.      Al-Adah al-Muhakkamah
Menjadikan performance Islam sebagai agama yang dinamis dan membumi yang selalu aktual di tengah-tengah masyarakat. Islam pun menjadi agma yang mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan umat tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Umat Islam Indonesia juga mengenal prinsip dasar keagamaan al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (upaya pelestarian nilai-nilai yang baik di masa llau dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik). Kaidah ini merupakan instrumen bagi pres rekonsiliasi agama dan budaya. Sebagaimana maklum, agama dan budaya merupakan dua hal yang berbeda serta mempunyai independensi tersendiri. Agama berasal dari wahyu Tuhan karena itu bersifat suci dan permanen. Edangkan budaya adalah produk manusia yang selalu berubah dan dinamis. Kaidah inio mampu memperkaya khazanah keagamaan sebagai imlikasi dari dialog budaya dan prinsip-prinsip keagamaan.
Selanjutnya kaum Nahdliyin mengenal kaidah al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman (sebuah keputusan itu terkait dengan sebabnya). Masudnya, sebuah kebijakan yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh reasoningnya. Sehingga sebuah keputusan tidak dapat berdiri senmdiri. Ia sangat tergantung kepada alasan keputusan tersebut. Maka di internal kaum Nahdliyin sebuah kebijakan sangat kontekstual, membumi.
Prinsip selanjutnya, idza ta’aradla mafsadatani ru’iya a’dzamuhuma dlararan birtikabi akhaffihima (jika terjadi kemungkinan komplikasi yang membahayakan maka yang dipertimbangkan adalah resiko yang terbesar dengan cara melaksanakan yang paling kecil resikonya). Kaidah ini merupakan sousi untuk menghindari resiko buruk dengan cara menghindari langkah-langkah ideal yang beresiko tinggi. Setiap langkah kebijakan di tengah masyarakat selalu mengandung resiko. Karena itu resiko buruk harus menjadi pertimbangan dengan cara memilih kebijakan yang mempunyai dampak buruk paling ringan.
Kaum Nahdliyin juga mengenal kaidah daru al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (mencegah marabahaya lebih diutamakan daripada meraih kebaikan). Maksudnya, masyarakat perlu memilih langkah menghindari bahaya daripada mengupayakan kebikan yang beresiko tinggi. Prinsip ini mendorong masyarkat untuk bertindak cermat dan tepat sehingga aktivitasnya benar-benar berdampak positif, baik bagi dirinya maupun orang lain.
Kaidah yang tidak kalah pentingnya adalah tasharruf al-imam manathun bi maslahah al-ra’iyyah (kebijakan pemimpin harus mengacu kepada kebaikan rakyatnya). Maksudnya, seorang penguasa merupakan penjelmaan kepentingan rakyatnya. Ia bukanlah representasi atas dirinya sendiri. Karena itu segala kebijakan yang diambil harus mengacu kepada kepentingan rakyat yang dipimpinnya.

B.     KETENTUAN BERMADZHAB
Diantara mazhab bidang fiqih yang paling berpengaruh yang pernah ada sebanyak empat.[2] Mereka menjadi panutan warga Nahdliyin, masing-masing adalah:
1.      Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Biasa di sebut Imam Hanafi. Lahir 80 H, dan wafat tahun 150 H, di Bagdad. Abu Hanifah berdarah Persia, digelari Al-Imam Al-A’zham (Imam Agung, menjadi tokoh panutan di Iraq, pengatu aliran ahlur ra’yi dan menjadi tokoh sentralnya. Diantara manhaj istinbathnya yang terkenal adalah Al-Ihtihsan. Fiqih Abu Hanifah yang menjadi rujukan utama Mahzab Hanafi ditulis oleh dua orang murid utamanya; imam Abu Yusuf Ibrahim dan Imam Muhammad bin Hasan As-Syaibani.
2.      Imam Malik bin Anas. Biasanya di sebut Imam Maliki. Lahir  93 H, dan wafat 179 H di Madinah. Malik, dikenal sebagai “Imam Dar Al-Hijrah”, Imam Malik adalah seorang ahli hadits sangat terkenal sehingga kitab monumentalnya berjudul “Al-Muwatha’” di nilai sebagai kitab hadits hukum yang paling shahih sebelum adanya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim (dua kumpulan hadits shahih yang menjadi rujukan ulama Ahlussunnah). Imam Malik juga mempunyai konsep manhaj istinbath yang berpengaruh sampai sekarang. Kitabnya berjudul al-maslahah al-mursalah dan ‘amal al-Ahl al-Madinah.
3.       Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Biasa disebut Imam Syafi’i. Lahir 150 H di Ghoza dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Imam yafi’i mempunyai latar belakang keilmuan yang memadukan antara Ahl al-Hadits dan Ahl Al-Ra’yi, karena cukup lama menjadi murid Imam Malik di Madinah dan cukup waktu belaajr kepada Imam Muhammad bin Hasan, di Baghdad. Dia adalah murid senior Imam Abu Hanifah. Metodologi Istinbatnya ditulis menjadi buku pertama dalam ushul fiqih berjudul ; al-Risalah. Pendapat-pendapa dan fatwa-fatwa fiqh Imam Syafi’i ada dua macam. Yang disampaikan selama di Baghdad disebut al-Qaul al-Qadim (pendapat lama) dan yang disampaikan setelah berada di Mesir disebut al-Qaul al-Jadid (pendapat baru).
4.      Imam Ahmad bin Hambal, biasa disebut Imam Hambali lahir 164 H di Baghdad. Imam Hambali terkenal sebagai tokoh ahl-Hadits. Imam Ahmad bin Hambal adalah salah seorang murid Imam Syafi’i sealma di Baghdad, dan sangat menghormati Imam Syafi’i. Sampai Imam Syafi’i wafat masih selalu mendoakannya.

C.    KETENTUAN IJTIHAD
Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.[3]
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Seseorang yang ingin mendudukkan  dirinya  sebagai  mujtahid harus   memenuhi  beberapa  persyaratan.  Di  antara  sekian persyaratan itu yang terpenting ialah:
1.      Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
2.      Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.
3.      Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4.      Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5.      Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
           
D.    KETENTUAN TAKLID
Taqlid bagi NU, sesuai dengan pengertiannya yang telah ditulis dalam kitab-kitab Syafi'iyah, ialah mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa tahu dalil-dalilnya atau hujjahnya. Tentang status hukumnya, taqlid di bidang fiqih (bukan aqidah) ada beberapa pendapat yang cukup panjang pembahasannya. Dalam hal ini Dr. Said Ramadlan mengutip kata Imam Ibnu al-Qoyyim yang disetujui oleh beberapa ulama sebagai berikut. Bahwa telah lengkapnya kitab-kitab al-Sunan saja belum cukup untuk dijadikan landasan fatwa, tetapi juga diperlukan tingkat kemampuan istinbath dan keahlian berfikir dan menganalisa. Bagi yang tidak memiliki kemampuan tersebut, maka ia berkewajiban mengikuti firman Allah: fas'alu ahla al-dzikri in kuntum laa ta'lamun, yang salah satu pengertiannya adalah taqlid.
Ibnu Khaldun juga menceritakan, para Shahabat tidak semuanya ahli fatwa. Begitu pula para Tabi'in. Ini berarti sebagian para Shahabat dan Tabi'in yang paling banyak jumlahnya, adalah bertaqlid kepada mereka yang ahli fatwa. Tidak ada satupun dari sahabat dan tabi'in mengingkari taqlid. Irnam al-Ghozali dalam kitabnya al-Mustashfa mengatakan, para Shahabat telah sepakat (ijma') mengenai keharusan bertaqlid bagi orang awam.
Fatwa para mujtahid dan hukum-hukum yang telah dihasilkan dari istinbath dan ijtihadnya, telah absah sebagai dalil bagi kalangan ahli taqlid. Imam al-Syatibi mengatakan, fatwa-fatwa kaum mujtahidin bagi orang awam adalah seperti beberapa dalil syar'i bagi para mujtahidin. Itulah sebabnya, maka kita-kitab fiqih di kalangan ulama Syafi'iyah menjadi penting dan berkembang dalam ratusan bahkan rnungkin ribuan judul dengan berbagai analisis, penjelasan dan tidak jarang berbagai kritik (intiqad dan radd).  Kitab yang besar diringkas menjadi mukhtashor, nadhom dan matan. Sebaliknya, kitab yang kecil diberi syarah dan hasyiyah menjadi berjilid-jilid. Sampai pun tokoh ulama Indonesia, Syeikh Mahfudh al-Tarmasi (dari Termas Jawa Timur) menulis hasyiyah kitab Mauhibah empat jilid, bahkan lima jilid (yang terakhir belum dicetak). 
Kedudukan kitab-kitab tersebut menjadi seperti periwayatan dalam Hadits/al-Sunnah. Kalau dalam al-Sunnah ada mustanad riwayah; bi al-sama' kemudian bi al-qira'ah dan lalu bi al-ijazah, maka para ulama dalam menerima dan mengajarkan kitab-kitab itu pun menggunakan mustanad tersebut dengan silsilah sanad yang langsung, berturut-turut sampai kepada para penulisnya (mu'allif) bahkan sampai kepada Imam al-Syafi'i (atau panutan mazhabnya).  Bagi orang awam taqlid atau mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama secara mendalam hukumnya wajib, sebab tidak semua orang mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk mempelajari agama secara mendalam. Allah SWT berfirman:
* $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts ÇÊËËÈ  
Artinya : “Tidak pantas orang beriman pergi ke medan perang semua, hendaknya ada sekelompok dari tiap golongan dari mereka ditinggal untuk memperdalam agama dan memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, mudah-mudahan mereka itu takut.” (QS At-Taubah: 122).
Dalam ayat ini jelas Allah SWT menyuruh kita untuk mengikuti orang yang telah memperdalam agama. Dalam ayat lain secara lebih tegas Allah SWT berfirman:
!ö 4 (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ
Artinya : “Maka hendaknya kamu bertanya kepada orang-orang yang ahli Ilmu Pengetahuan jika kamu tidak mengerti.” (An-Nahl: 43).

Kepada siapakah kita bertaqlid? Kita bertaqlid kepada salah satu dari madzhab empat yang telah dimaklumi oleh seluruh Ahli Ilmu, tentang keahlian dan kemampuan mereka dalam Ilmu Fiqih. Di samping itu telah dimaklumi pula ketinggian akhlaq dan taqwa mereka yang tidak akan menyesatkan umat. Mereka adalah orang yang takut kepada Allah SWT dan telah meletakkan hukum bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas.
Namun, ketika kita boleh bertaqlid, bukan kemudian kita bertaqlid kepada sembarang orang yang belum mutawatir kemasyhurannya. Tentu taqlid semcam itu justru akan membawa kesesatan. Kita bertaqlid kepada ulama yang telah diakui umat, baik akhlaq dan sikapnya sehari-hari, di mana fatwa mereka diyakini berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
3 $yJ¯RÎ) Óy´øƒs ©!$# ô`ÏB ÍnÏŠ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$# 3
Artinya : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah para Ulama.” (Fathir: 28).
Taqlid buta, atau taqlid kepada sembarang orang tentu dilarang oleh agama. Bagi mereka yang ada kesempatan dan kemampuan tentu wajib mengetahui seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh para fuqaha'. Namun, untuk mencapai derajat mujtahid barangkali sulit, walaupun kemungkinan selalu ada. Mengenai "Taqlid" ini,justru dasar dari agama ini adalah Taqlid, karena taqlid berarti mengikuti atau memanut, namun orang orang wahabi memang tak mau memanut pada guru guru yg mempunyai sanad hingga Rasul saw, karena memang mereka tak punya guru, sanad mereka terputus.

E.     KHILAFIYAH DAN BID’AH
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikan bid’ah. Imam Syafi’i mengatakan bahwa bid’ah adalah segala hal yang baru yang terdapat setelah masa Rosulullah SAW, dan khulafa Al-Rasidin. Ibnu Rajab Al-Hanbali, seorang fuqaha Hambali mendefinisikan bid’ah sebagai sesuatu yang baru yang tidak ada dasar syari’atnya. Sedangkan Al-Syatibi, seorang fuqaha Maliki menyatakan, bahwa yang disebut bid’ah adalah suatu thariqat atau metode yang di ciptakan menyerupai syari’at dalam ajaran agama untuk dikerjakan sebagai ibadah kepada Allah SWT. Dari aspek kajian ushul Fiqh, bid’ah diklasifikasikan menjadi dua bagian, Pertama, bid’ah meliputi segala sesuatu yang diadakan dalam bidang ibadah saja. Bid’ah dalam pengertian ini adalah segala urusan yang sengaja diada-adakan dalam agama, yang dipandang menyamai syari’at agama, dan mengerjakannya secara berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT. Kedua, bid’ah meliputi segala urusan yang sengaja diada-adakan dalam agama, baik yang berkaitan dengan urusan ibadah maupun urusan adat.[4]
Sedangkan dari aspek fiqih, bid’ah adalah perbuatan tercela yang diada-adakan dan bertentangan dengan Al-Qur’an, sunnah, maupun ijma’. Bid’ah yang dilarang oleh ajaran Islam. Baik berupa perkataan maupun perbuatan, namun dalam persoalan duniawi tidak termasuk dalam pengertian ini. Di samping itu bid’ah juga meliputi segala perbuatan baik maupun perbuatan buruk, dan baik yang berkaitan ibadah maupun adat.[5] Lebih jauh, para ulama’ mengklasifikasikan bid’ah menurut bahasa menjadi dua bagian, yakni bid’ah hasanah (inovasi yang baik) dan bid’ah sayyi’ah (inovasi yang buruk). Bid’ah hasanaha  diklasifikasikan lagi menjadi bid’ah wajibah, bid’ah mandubah, dan bid’ah mubahah. Sedangkan bid’ah sayyi’ah diklasifikasikan menjadi bid’ah makruhah dan bid’ah muharramah.[6]
Bid’ah wajibah adalah segala perbuatan yang masuk dalam kategori kaidah-kaidah wajib, dan masuk juga dalam kehendak dalil agama, misalnya, mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, atau menetapkan kaidah-kaidah untuk menggali hukum Al-Qur’an. Perbuatan ini dianggap sebagai bid’ah, karena tidak ada praktek dan contoh pada masa Rosulullah SAW. Bid’ah mandubah, adalah segala perbuatan yang masuk dalam kategori kaidah-kaidah nadb (sunnat). Misalnya, mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah pada bulan Ramadhan. Perbuatan ini masuk dalam kategori bid’ah, karena tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah SAW, inovasi shalat tarawih berjama’ah tersebut pertama kali dilakukan oleh Umar Ibn Khottab.
Bid’ah mubahah adalah segala perbuatan yang termasuk dalam kategori perbuatan yang dibolehkan (Mubah), seperti penggunaan pengeras suatu azdan. Bid’ah makruhah, adalah segala pekerjaan yang termasuk ke dalam kategori perbuatan yang di benci (makruh). Misalnya, menambah-nambah perbuatan sunat yang sudah ada batasannya. Sedangkan bid’ah muharramah, adalah segala perbuatan yang  termasuk ke dalam kategori yang diharamkan, seperti melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Bid’ah ini disebut sebagai bid’ah haqiqiyah.
Sementara ulama’ yang memandang bid’ah dari aspek syari’at membagi bid’ah ke dalam dua jenis, yakni bid’ah al-‘adiyah (bid’ah dalam kebiasaan/adat sehari-hari) dan bid’ah ta’abudiyah (bid’ah dalam ibadat). Bid’ah al-’adiyah, adalah adat kebiasaan duniawi yang telah diserahkan oleh Rosulullah kepada umatnya untuk dilaksanakan atau ditinggalkan. Jadi menurut kelompok ini, bid’ah dalam arti sebenarnya adalah hanya terbatas pada hal-hal yang menyangkut ibadah. Kelompok ini memandang bahwa pengertian bid’ah wajibah dan mandubah, sebagaimana dikemukakan oleh para ulama’ dalam aspek kebahasaan, dianggap sebagai al-maslahah al-mursalah.
Menurut Al-Syatibi, bid’ah dapat dikategorikan atas dua macam, yakni bid’ah haqiqiyah (bid’ah hakiki) dan bid’ah idafiyah (bid’ah karena hal lain). Bid’ah haqiqiyah adalah segala sesuatu yang tidak ada dasar dan rujukannya dalam syari’at, baik dari Al-Qur’an, sunnah, ijma’, maupun dalil-dalil lain yang biasa digunakan sebagai pedoman ulama’ dalam  menetapkan hukum. Contohnya, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, dan menciptakan ibadah di luar ketentuan syara’. Sedangkan bid’ah idafiyah, yaitu sesuatu yang dianggap sebagai bid’ah berdasarkan salah satu sisinya, artinya dari sisi pertama tidak termasuk bid’ah, tetapi dari sisi lain merupakan bid’ah. Seperti, ibadah merupakan sunnah Rosulullah, tetapi mengkhususkan satu hari untuk ibadah adalah perbuatan bid’ah.
Di samping pandangan di atas, menurut Izzat Ali Id Atiyah, bid’ah dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk, yaitu:
1.      Bid’ah I’tiqadiyah (bid’ah dalam keyakinan), yaitu bid’ah karena menganut suatu keyakinan yang tidak sesuai dengan keyakinan yang di bawa oleh Rosulullah, seperti bid’ahnya keyakinan kelompok Mujassimah (golongan yang menganut paham antropomorfisme), kaum khawarij, dan lain sebagainya.
2.      Bid’ah Qauliyah, (bid’ah ucapan), yakni suatu bid’ah karena mengubah atau memalsukan ucapan Nabi Muhammad SAW seperti mengubah hadits tentang kewajiban membayar zakat yang ditetapkan oleh Rosulullah.
3.      Bid’ah Amaliyah (bid’ah dalam perbuatan), yaitu bid’ah karena menantang perbuatan Rosulullah SAW dalam hadits-haditsnya.


BAB III
KESIMPULAN



Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Sebelum Nahdlatul Ulama dilahirkan, telah terjadi dialog sangat panjang antara budaya lokal versus nilai Islam di tengah-tengah umat Islam Nusantara hingga mewujud menjadi tradisi baru yang membumi. Kelompok Islam ini menyatu dalam pola pikir dan referensi tradisi sosial keagamaan. Diantara prinsip keagamaan tersebut adalah. Al-‘Adah al-Muhakkamah artinya : sebuah tradisi dapat menjelma menjadi pranata sosial keagamaan
Al-Adah al-Muhakkamah menjadikan performance Islam sebagai agama yang dinamis dan membumi yang selalu aktual di tengah-tengah masyarakat.  Umat Islam Indonesia juga mengenal prinsip dasar keagamaan al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (upaya pelestarian nilai-nilai yang baik di masa llau dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik). Selanjutnya kaum Nahdliyin mengenal kaidah al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman (sebuah keputusan itu terkait dengan sebabnya).


DAFTAR PUSTAKA



Aceng Abdul Aziz Dy, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia, Pustaka Ma’arif NU : Jakarta : 2006.

Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, Khalista : Surabaya 2006.


[1]  Aceng Abdul Aziz Dy, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia, Pustaka Ma’arif NU : Jakarta : 2006.
[2] Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, Khalista : Surabaya 2006.
[3] Hasil Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama Mengenai Masalah-Masalah Masyarakat, Bangsa, dan Negara, 1989, hal. 109
[4] DY. Aziz Abdul Aceng dkk, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah Indonesia, Pustaka Ma’arif NU, Cetakan 1 Juni 2006, cetakan 11 maret 2007.
[5] H.M. Madchan Anies, Tahlil dan Kenduri (Tradisi Santri dan Kiai) : Pustaka Pesantren, 2009, hlm. 9.
[6] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah : Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 2006, hlm. 27

0 komentar:

 
Top