B A B I
PENDAHULUAN
Islam
sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh umat manusia
mempunyai sumber yang lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal bahwa sumber
ajaran islam adalah Al-Qur”an dan Sunnah yang sangat lengkap. Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an adalah
merupakan sumber ajaran yang bersifat pedoman pokok dan global, sedangkan
penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi oleh Sunnah secara
komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh
serta berkesinambungan.
Para ulama
bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa berbeda pandangan, mengenai
pengertiannya secara istilah muncul belakangan, yaitu pada massa tasyri dan
massa sahabat. Ijtihad mempunyai definisi dan mempunyai landasan serta dasar-dasar
dan mempunyai hukum dan mempunyai unsur-unsur. Dilihat dari fungsinya ijtihad berperan
sebagai penyalur kretifitas pribadi atau kelompok dalam merespon peristiwa yang
dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Ijtihad
juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang zhanni al-wurud
atau zhanni ad-dalalah.
BAB II
PEMBAHASAN
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
A. PENGERTIAN
IJTIHAD
Secara bahasa ijtihad
berasal dari kata ja-ha-da. Kata inipun berarti kesanggupan (Al-Wus), kekuatan
(Al-Thaqah), dan berat (Al-Masyaqqah). Ahmad bin Ahmad bin Ali Al-Muqri
Al-Fayumi. Kata
ijtihad secara bahasa, Ahmad bin Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi (t.th: 112)
menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah:
بذل وسعه وطاقته فى طلبة ليبلغ مجهوده
ويصل الى نهايته
”pengesahan
kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian sesuatu, supaya
sampai pada ujung yang ditujunya.”
Menurut Asy-Syaukani
(t.th:250). Arti etimologi ijtihad adalah:
عبارة عن الستفراغ فى اي فعل
”Pembicaraan
mengenai pengarahan kemampuan dalm pekerjaan apa saja secara bahasa, arti
ijtihad dalam artian ja-ha-da terdapat di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16)
ayat 38, surat An-nuur (24) ayat 53 dan surat Fathir (35) ayat 42.”
Semua kata itu berarti
pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wusy’i wa al-thaqah), atau
juga berarti berlebihan dalam bersumpah (Al-Muhalaghat fi al-yamin).
Dalam sunnah, kata ijtihad
terdapat dalam sabda Nabi yang artinya:
“pada
waktu sujud” dan hadist lain yang
artinya “rosul Allah SAW para ulama
bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa, pengertian ijtihad secara
istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasy’i dan masa sahabat.
Menurut Abu Zahrah secara
istilah arti ijtihad adalah:
بذل الفقيه وسعة فى استنباط الاحكام
العملية من ادلتها التفصلية
”Upaya
seseorang ahli fiqih dengan kemamapuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amalaiah
yang diambil dari dalil-dalil yang rinci”.
Menurut Al-Amidi yang
dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili (1978-480) Ijtihad adalah:
استفرغ الوسع فى طلب الظن من الاحكام
الشرعية
“Pengerahan
segala kemampuan untuk menentukakn sesuatu yang zhoni dari hukum-hukum syara’
”.
Definisi ijtihad di atas
secara tersirat menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fiqih, bidang
hukum yang berkenaan dengan amal. Bukan bidang pemikiran. Ijtihad berkenaan
dengan dalil zhoni berbeda dengan Husen, Harun Nasution menjelaskan bahwa
pengertian ijtihad hanya dalam lapangan fiqh adalah ijtihad daslam pengertian
sempit.
Dalam arti luas menurutnya
ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tasyawuf dan filsafat.
Harun Nasution, Ibrahim
Abbas Al-Dzarwi ( 1983 : 9 ) mendefinisikan ijtihad. Menurut Fakhruddin ijtihad
adalah pengarahan kemampuan untuk memikirkan apa saja yang tidak mendatangkan
celaan. Sebagian
ulama ada yang memmpersamakan ijtihad dengan Qiyas, ada pula yang mepersamakan
dengan ra’y. Dari definisi ijtihad seperti digambarkan diatas terlihat beberapa
persamaan dan perbedaan. Perbedaanya
adalah pertama terletak pada penggunaan bahasa. Kedua, terletak pada subjek
ijtihad dinisbatkan kepada kata mujtahid yang berkonotasi bahwa lapangan
ijtihad itu tidak hanya bidang fiqh. Ketiga, terletak pada metode ijtihad.
Metode mangkuli (dari
Al-Qur’an dan Sunnah) yaitu metode yang mengikuti (Ittiba’) sebagian lagi
menggunakan metode ma’kuli (berdasarkan Ra’y dan akal). Metode ini berdasarkan
asumsi bahwa Rasulullah SAW. Adapun
persamaannya adalah pertama, hukum yang dihasilkan bersifat Zhanni. Kedua,
objek ijtihad berkisar seputar hukum taklifi yasitu hukum dengan amaliah
ibadah.
B. DASAR-DASAR
IJTIHAD
Dasar hukum ijtihad adalah
Al-Qur’an dan Sunnah. Diantara ayat Al-Qur’an yang menmmjadi dasar ijtihad:
adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya Hadits Amr bin Ash yang
diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda:
اذا حكم الحاكم فاجتهد فاطاب فله
اجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر واحد
“apabila
seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian dia benar maka ia
mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu
salah maka ia mendapatkan satu pahala” . (HR. Muslim, 11,t.th :62).
C. SYARAT-SYARAT
MUJTAHID
Syarat-syarat yang harus
dimiliki seorang mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara
istimbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syari’at dan tathbiq/penerapan
hukum) Syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu menurut hukum
ijtihad, yaitu sebagai berikut:
1. Al-Waqi’ yaitu adanya
kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nas
2. Mujtahid yaitu orang yang
melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan intuk berijtihad dengan
syarat-syarat tertentu
3. Mujtahid fih ialah
hukum-hukum syari’ah yang bersifat amali (taqlifi).
4. Dalil syara’ untuk
menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (Nadiah Syafari al-umari
t.tth:199-200)
Menurut fakkhr ad-din,
Muhammad bin Umar bin Al Husin Ar Razi (1988:496-7) syarat-syarat adalah
sebagai berikut:
1. Mukalaf, karena hanya
mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penerapan hukum.
2. Mengetahui makna-makna
lafadz dan rahasianya.
3. Mengetahui keadaan
mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan.
4. Mengetahui keadaan
lafadz, apakah memiliki Qorinah atau tidak.
Berbeda dengan
syarat-syarata terdahulu, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad As Syaukani (t.th:
250-252) menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut.
1. Mengetahui Al-Qur’an dan
Sunnah yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum. Jumlah ayat-ayat hukum
didalam Al-Qur’an sekitar 500 ayat.
2. Mengetahui ijma’ sehingga
tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijma ulama.
3. Mengetahui bahasa arab
karena Al-Qur’an dan Sunnah disusun dalam bahasa arab.
4. Mengetahui ilmu Ushul
Fiqh, membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
5. Mengetahui nasikh-mansukh
sehingga tidak berfatwa berdasarkan dalil yang sudah mansukh.
Adapun syarat-syrat mujtahid
yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah (t.th: 250-2) adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bahasa arab
karena Al-Qur;an diturunkan dalam bahasa arab, As Sunnah, sebagai penjelasn
Al-Qur’an juga ditulis dalam bahasa arab.
2. Mengetahui nasikh-mansukh
dalam Al-Qur’an.
3. Mengetahui Sunnah, baik
perbuatan, perkataan maupun penetapan.
4. Menegtahui ijma’ dan
iktilaf.
5. Menegetahui kiyas .
6. Mengetahui maqoshid As
Syariah.
7. Memilki pemahaman yang
tepat (Syihah Al Fahm) yang karenanya mujtahid dapat memahami ilmu Mantiq.
8. Memilki niat.
Syarat-syarat yang diajukan
oleh Abu Zahrah, Wahbah Al Juhaili (1977 : 487-492) mengajukan syarat-syasrat
mujtahid sebasgai berikut:
1. Mengetahui makna
ayat-ayat hukum yang terdapat didalam Al-Qur’an baik secara bahasa maupun
secara istilah.
2. Mengetahui makna
hadits-hadits hukum secara bahasa maupun istilah.
3. Mengetahui nasikh-mansukh
baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah.
4. Mengetahui ijma’ sehingga
tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijma’ terdahulu.
5. Mengetahui kiyas dan
syarat-syarat yang disepakati karenas kiyas merupakan salah satu metode
ijtihad, rincian hukum banyak dijelaskan dengan cara tersebut.
6. Mengetahui ilmu bahasa
arab, seperti nahwu, sharaf, ma’ani, dan bayan, karena Al-Qur’an dan Sunnah
disusun dalam bahasa arab.
7. Mengetahui ilmu Ushul
Fiqh karena didalamnya dibahas dasar-dasar dan rukun-rukun ijtihad.
8. Mengetahui maqoshid As
Syariati dalam penerapan hukum, karena mujtahid wajib menetahui rahasia-rahasia
hukum disamping dilalat Al-Alfazh (penunjukan makna-makna lafadz).
Menurut Muhaimin dkk (1994:
198-199) mujtahid terbagi menjadi beberapa tingkatan:
Mujtahid Mutlaq dan Mujtahid Mazhab
1.
Mujtahid
mutlaq ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari sumbernya. Mujtahid mutlaq terbagi menjadi beberapa
tingkatan, tingkatan itu ialah mujtahid mutlaq mustaqil dan mujtahid madzhab.
2.
Mujtahid
mutlaq mustaqil yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan
dasar yang ia susun sendiri. Empat tokoh madzhab fiqh terkenal seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Imam Hambali. Kedua mujtahid mutlaq muntasib yaitu mujtahid yang
telah mencapai derajat mutlaq mustaqil tetapi ia tidak menyusun metode
tersendiri, ia menggunakan keterangan imammnya untuk meneliti dalil-dalil dan
sumber-sumber pengambilannya. Contoh, Al- Muzami dari madzhab Syafi’i dan Al-Hasan bin Ziad dari madzhab Hanafi
mujtahid fi – al madzhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum-hukum
agama yang tidak atau belum di keluakan oleh madzhabnya itu. Contohnya, Abu
Jafar al tahtawi dalam madzhab Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi dua:
1. Mujtahid tahkrij, dan
2. Mujtahid tarjih atau bisa
disebut dengan mujtahid fatwa.
Tampaknya untuk masa
sekarang ini akan sulit terpenuhi, oleh kaena itu ijtihad tidak hanya dapat di
lakukan oleh perorangan (ijtihad faridah), tetapi juga dapat dilakukan secara
kelompok (ijtihad jama’i). Artinya sekelompok ulama dengan disiplin ilmu yang
berbeda secara bersama-sama melakukan ijtihad.
D. LAPANGAN
IJTIHAD (MAJAL AL-IJTIHAD)
Wilayah ijtihad atau majal
al ijtihad adalah masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad
itu. Adapun
hukum yang diketahui dari agama secara dharudoh dan bid’ah (pasti benar
berdasarkan pertimbangan akal). Dalil qoth’i al subut wal dalalah tidaklah
termasuk lapangan ijtihad, persoalan-persoalan yang tergolong ma’ulima min ad
din bi ‘al dhoruroh diantaranya kewajiban shalat lima waktu, puasa pada bulan
Ramadhan.
Secara lebih jelas, Wahbah
az zuhaili (1978:497) menjelaskan bahwa lapangan ijtihat itu ada dua. Pertama,
sesuatu yang tidak dijelaskan samasekali oleh Allah dan Nabi dalam Al-Qur’an
dan Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan
dalil zhanni Ats-Tsubut wa Al-Adalah atau salah satunya (Zhanni Ats Tsubut atau
Zhanni Al Adalah).
E. HUKUM
IJTIHAD
Ulama berendapat, jika
seorang muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu
masalah yang berkaitan dengan hukum Syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu
bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, sunnat atau haram, tergantung pada kapasitas
orang tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang
memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang
terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akasn hilang begitu saja tanpa kepastian
hukumnya maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain. Kedua, bagi seorang muslim yang
memenuhi kriteria mutahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang
terjadi maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayat. Artinya, jika semua mujtahid
tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa.
Sebaliknya jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad atas kasus tersebut
maka yang lainnya tidak berdosa.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi
sunnat jika dilakuakn atas persoalan atau kejadian yang tidak atau belum
terjadi. Keempat, hukum ijtihad menjadi haram jika dilakukan atas peristiwa yasng sudah
jelas hukumnya secara qath’i, baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, atau ijtihad
atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijma’. (Wahbah Al Juhaili
1978:498-9 dan Muhaimin dkk, 1994:189).
F. IJTIHAD NABI
MUHAMMAD SAW
Pembicaraan mengenai ijtihad
Rasululloh SAW di kalangan para ulama ternyata sangat pelik dan berbelit-belit.
Secara umummereka menyepakati dalam urusan keduniawiyaan (al mashalih ad
dunyawiyati) pengaturan taktik dan keputusan yang berhubungan dengan
persengketaan (al aqdiah wa al kushumah). Akan tetapi perbedaan pendapat mereka
mengenai ijtihaj Rasulullah SAW dalam hukum agama (wahbah al zuhaili 1978:499,
asy syaukani, t.th:234).
Dalam menanggapi ijtihad
dalam hukum agama ulama berbeda pendapat. Pertama, ahli ushul fiqh membolehkan karena ini pernah di lakukan oleh
Rasulullah SAW. Kedua, pengikut Hanifah berpendapat Rasulullah SAW
diperintah untuk berijtihad setelah beliau menunggu wahyu untuk menyelesaikan
peristiwa yang terjadi, beliau khawatir peristiwa itu lenyap begitu saja.
Ketiga, kebanyakan pengikut As
Syariah, ahli kalam, kebasnyakan pengikut uktazilah tidak setuju ijtihad
Rasulullah daslam urusan hukum agama. Berikut dalil-dalil yang dikemukakan kelompok pertama, sesungguhnya pada
yang dmikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati
(QS. Al-Imran {3}: 13). Maka
ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pejaran bagi orang-orang yang mempunyai
pandangan (QS. Al-Hayr{59}: 2).
Sesungguhnya pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal
(QS. Yusuf {12}: 111). Kata-kata
ulul Al-Abshar ulu al albab, ibram pada ayat terdahulu tidak hanya berlaku bagi
khitab ketika ayat itu diturunkan tetapi berlaku bagi khitab ketika ayat itu
diturunkan tetapi berlasku juga bagi Rasulullah SAW karena sesungguhnya
beliaulah yang lebih tepast disebut ulul abshar dan ulul al basb. Kata –kata
tersebut menggambarkan suatu perintah memprediksi masa depan cara perbandingan
dengan cara istilah ushul adalah Qiyas adalah bagian dari kegiatan ijtihad.
Dalam surat Al-Imrasn {3}: 159, Allah
SWT berfirman: Maka disebabkan
rahmat dari Allah SWT kamu belaku lemah lembut terhadap mereka sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu, karenas itu maafkanlah mereka , mohon ampun bagi merekas dan
bermusyawarahlah dengasn mereka daslam urusan itu, kemudian aspabila kamu telah
membulatkan tekasd, maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepadanya.
Menurut kelompok ini ayat
diatas mengisyaratkan adanya ijtihad karena musyawarah hanya berlaku
menyelesaikan urusan yang hukumnya tidak ditunjuk secara jelas jelas oleh Nas.
Ulama yangmenolak adanya ijtihad Rasulullah SAW juga menjadikan Al-Qur’an
sebagai dalil :
Dan tidaklah yang diucapkan
itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapkanlah itu tiadas hanyalah wahyu yang di
wahyukan (kepadanya) (QS An-Najm {53}: 3 - 4). Katakanlah, “tiada patut bagiku
menggantkannya dari pihak diriku sendiri aku tidak mengikuti kecuali apa yang
diwahyukan kepadaku”. (QS. Yunus {10}: 15).
G. IJTIHAD:
SUMBER DINAMIKA
Dewasa ini umat islam
dihadapkasn dengan sejumlah peristiwa yang menyangkut aspek kehidupan. Di balik
itu kata Roter Garaudy, yang di kutip oleh Jalaluddin Rahmat (1983:39)
tantangan umat sekarang ada dua macam, taqlid kepada barat dan taqlid kepada
masa lalu. Melihat persoalan-persoalan diatas, uamt islam dituntut untuk keluar dari
kemelut itu dengan cara melakukan ijtihad. Ijtihad itu penting meskipun tidak
bisa dilakukan oleh setiap orang. Kepentingannya disebabkan oleh hal-hal
berikut:
1. Jarak entara kita antara
kita dengan masa tasyiri semakin jauh. Jarak yang jauh ini memungkinkan
terlupakan beberapa nass, khsusunya dalam as-sunnah yaitu masuknya
hadist-hadist palsu dan perubahan pemahaman terhadap nass. Oleh karena itu pera
mujtahid dituntut secara bersungguh-sungguh menggali ajaran agama islam yang
sebenarnya melalui kerja ijtihad.
2. Syariat disampaikan dalam
Al-Qur’an dan sunnah secara komprehensif: memerlukan penelaahan dan pengkajian
yang sungguh-sungguh. Didalamnya terdapat yang ‘am dan khas, mutlaq da
muqayyad, hakim dan mahkum, nasikh dan mansukh, serta yang lainya yang
memerlukan penjelasan rapa mujtahid.
Dilihat dari fungsinya,
ijtihad berperan sebagai penyalur kreatifitas pribadi atau kelompok dalam
merespon peristiwa yang di hadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Dalil-dalil
Qully dan maqasyid as-syari’at yang merupakan aturan-aturan pengarah dalam
hidup. Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan kembali
ruh islam yang dinamis menerobos kejumudan dan kebekuan memperoleh manfaat yang
besar dari ajaran islam mencari pemecahan islami dari masalah kehidupan
kontemporer. Ijtihad juga adalah saksi bagi kehidapan islam atas agama-agama
lainnya (ya’lu wala yu’la ‘alaih).
H. IJTIHAD
Islam sebagai agama yang
adil dan berlaku untuk seluruh umat manusia. Sumber ajaran islam adalah
Al-Qur’an dan sunnah yang sangat lengkap. Pertanyaan timbul mengapa ijtihad
dijadikan sebagai sumber hukum atas sumber ajaran agama islam, padahal
Al-Qur’an dan sunnah sudah cukup lengkap. Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran yang
bersifat pedoman pokok dan global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan
dan dilengkapi oleh sunnah, karena perkembanganya zaman banyak masalah yang
tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan as-sunnah.
Sebagai contoh akibat dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul masalah bayi tabung,
pemindahan kornea mata. Semua itu memerlukan jawaban apakah dibolehkan atau
tidak, bagaimana sebenarnya menurut konsep ajaran agama islam. Jawabanya
bagaimana dan sejauh mana islam secara tegas menetapkan dan menyelesaikan
persoalan. Demikian ijtihad dibutuhkan sebagai metode menerangkan suatu
persoalan yang tidak ada atau secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah.
I. PENGERTIAN
IJTIHAD
Ijtihad menurut bahasa ialah
percurahan segenap kesanggupan untuk mendatangkan sesuatu dari berbagai urusan
atau perbuatan. Berasal dari kata ja-ha-da yang artinya berusaha keras atau
berusaha sekuat tenaga: ijtihad secara harfiah mengndung arti yang sama.
Menurut Muhammad Syaltut,
ijtihad artinya sama dengan ar-ra’yu yang perinciannya berarti:
a. Pemikiran arti yang
mengandung oleh Al-Qur’an dan sunnah.
b. Mendapat ketentuan hukum
sesuatu yang tidak diajukan oleh nass dengan suatu masalah yang hukumnya
ditetapkan oleh nass.
c. Pencerahan seganap
kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak
ditunjukan hukunya oleh suatu nass secara langsung.
J. LANDASAN
IJTIHAD
Dalam islam akal sangat
dihargai. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menagtaka suruhan untuk mempergunakan
akal, sebagaimana dapat dilihat dari terjemaahan ayat-ayat ini: “Sesungguhnya pencptaan langit dan bumi dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal” (Q.S
8:22).
“Sesungguhnya bunatang (makhluk) yang seburuk-buruknya disisi Allah ialah
orang yang peka dan tuli yang mengerti apapun” (Q.S 8:22).
K. MACAM-MACAM
IJTIHAD
Ditinjau dari segi pelakunya
ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu: ijtihad perorangan dan ijtihad jam’i.
Ijtihad perorangan yaitu suatu ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid
dalam suatu persoalan hukum. Sedangkan ijtihad jam’i atau ijtihad kelompok
adalah ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok mujtahidin dalam menganalisa
suatu masalah untuk menentukan suatu hukum.
Dilihat dari lapangannya
ijtihad dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Ijtihad pada
masalah-masalah yang ada nassnya tapi bersifat zhanni.
b. Ijtihad untuk mencapai
suatu hukum syara’ dengan penetapan kaidah kulliyah yang bisa diterapkan tanpa
adanya suatu nass.
c. Ijtihad bi ar-ra’i yaitu
ijtihda yang berpegang pada tanda-tanda dan wasilah yang telah ditetapkan
syara’ untuk menunjuk pada suatu hukum.
L. KEDUDUKAN
IJTIHAD
a. Hasil ijtihad tidak
mutlak/relatif bisa berubah bahwa ijtihad tidak mutlak karena mengingat hasil
ijtihad merupakan analisa akal, maka sesuai dengan sifat dari akal manusia
sendiri yang relatif, maka hasilnya relatif pula. Pada saat sekarang bisa
berlaku dan pada saatnya yang lain bisa tidak berlaku.
b. Hasil ijihad tidak
berlaku umum, dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu. Dalam ketentuan ini
generasi terhadap suatu masalah tidak dapat dilakukan. Umat islam bertebaran
diseluruh dunia dalam berbagai situasi dan kondisi alamiah yang berbeda.
Lungkungan sosial dan budayanya pun sangan beraneka ragam. Ijtihad suatu daerah
belum tentu berlaku di daearah lain.
c. Proses ijtihad harus
mempertimbangkan motifasi, akibat dan permasalahan umum (umat)
d. Hasil ijtihad tidak boleh
berlaku untuk masalah ibadah mahdhlah, sebab masalah tersebut telah ada
ketetapannya dalam Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian kaidah yang penting
dalam melakukan ijtihad adalah bahwa ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan
dengan Al-Qur’an dan sunnah.
M. METODE IJTIHAD
a. QIYAS. Qiyas artinya reasoning
by analogy. Makna aslinya adalah mengukur atau membandingkan atau menimbang
dengan menimbangkan sesuatu. Contoh: pada masa nabi ada belum ada permasalahan
padi. Dengan demikian diperlukan ijtihad dengan jalan qiyas dalam menentukan
zakat.
b. Ijma’ atau konsensus.
Kata ijma’ berasal dari kata jam’un yang artinya menghimpun atau mengumpulkan.
Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu menyusun dan mengatur sesuatu hal yang tidak
teratur. Oleh sebab itu, ia berarti menetapkan dan memutuskan suatu perkara,
dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan pendapat
berdasarkan dengan hasil ijma’ ini contohnya bagaimana masalah kelurga
berencana.
c. ISTIHSAN, istihsan
artinya preference, makna aslinya ialah menganggap baik suatu barang atau
menyukai barang itu menurut terminlogi para ahli hukum, berarti didasarkan atas
kepentingan umum atau kepentingan keadilan, sebagai cotoh adalah peristiwa
Ummar bin hatab yang tidak melaksanakan hukum potong tangan kepada seorang
pencuri pada masa peceklik.
d. MASLAHAT AL-MURSALAT
artinya : keputusan yang berdasarkan guna dan manfaat sesuai dengan tujuan
hukum syara’. Kepentingan umum yang menjadi dasar pertimbangan maslahat dari
suatu peristiwa. Contoh metode ini adalah tentang khamar dan judi. Dala
ketentuan nash bahwa khamar dan judi itu manfaat bagi manusia, tetapi bahayanya
lebih besar daripada manfaatnya. Dari sebuah nash dapat dilihat bahwa suatu
masalah yang mengandung masalahat dan manfaat, di dahulukan menolak mafsadat.
Untuk ini terdapat kaidah,
“menolak kerusakan lebih diutamakan
dari pada menarik kemaslahatannya, dan apabila berlawanan antara mafsadat dan
maslahat dahulukanlah menolak mafsadat”.
B A B III
KESIMPULAN
Ijtihad
merupakan suatu proses pengadilan hukum islam yaqng berkaitan erat dengan
bidang fiqih, bidang hukum yasng berkenaan dengan amal atau perbuatan. oleh
karena itu, menurut ulama fiqih, ijtihad tidak terdapat dalam ilmu kalam dan
tasawuf, karena ijtihad hanyas berkenaan dengasn dalil-dalil zhanni, sedangka
ilmu kalam menggunakan dalil yasng qhati’, baik dalam Al-Qur’an mapun Sunnah.
Ijtihad
digambarkan ada beberapa persamaan dan perbedaan dan adapun yang menjadi dasar
hukum ijtihad ialah Al-Qur’an dan Sunnah. Hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, Sunat atau
haram, bergantung pada kapasitas orang tersebut. Dewasa ini umat islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa keinginan yang
menyangkut berbagai aspek kehidupan. Melihat persoalan-persoalan diatas umat islam dituntut untuk keluar dari
kemelut itu. Karena itu ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidask bisa
dilakukan oleh setiap orang.
0 komentar:
Post a Comment