BAB I
PENDAHULUAN


Secara resmi, keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU) dalam kancah politik praktis (sebagai partai politik) dilakukan sejak tahun 1953 sampai 1973. Namun demikian, bukan berarti peran politik NU hanya terbatas dalam dekade tersebut. Sebelum dan sesudah masa itu, tidak sedikit kegiatan NU yang dampak politiknya justru lebih monumental. Bahkan, ketika NU menjadi bagian penting dari Masyumi (pra NU parpol) dan saat NU masih secara resmi menyalurkan aspirasi politiknya melalui Partai Persatuan Pembangunan (pasca NU parpol), juga merupakan periode–periode penting untuk diungkap.
Pada masa pra dan pasca NU sebagai parpol, eksistensi organisasi yang dimotori kaum pesantren, dengan dukungan masa dari masyarakat Islam tradisional sempat dilanda krisis identitas. Berbagai dampak negatif maupun positif akibat lamanya NU terjun dalam politik praktis merupakan alasan utama mengapa masa-masa tersebut penting untuk ditilik.

BAB II
PEMBAHASAN
NU DAN PARTAI POLITIK


A.    NAHDLATUL ULAMA DAN PARTAI POLITIK
Politik adalah sebuah kata dengan sejuta makna,mulai dari arti yang paling luas sampai arti yang paling sempit.mulai yang umum sampai yang khusus. Pada dasarnya,politik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kenegaraan, kekuasaan, dan pemerintahan. Seorang petani yang membayar pajak berarti dia mendukung kelestarian pemerintah. Maka dia sudah dianggap melakukan perbuatan politik. Sebaliknya, seseorang yang memboikot pajak, dia juga sudah melakukan perbuatan politik.
Namun biasanya, politik diartikan sebagai upaya mengikatkan diri atau mengikutkan teman masuk ke dalam kekuasaan, ikut mengambil keputusan dalam pemerintahan/kenegaraan seperti menjadi anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Politik bisa disebut juga perbuatan-perbuatan yang biasanya dilakukan oleh partai politik (meskipun tidak hanya partai politik yang dapat melakukan perbuatan politik).
Pada dasarnya, semua orang yang hidup dalam suatu Negara adalah makhluk politik, termasuk warga nahdliyyin. Nahdlatul Ulama memang dilahirkan sebagai partai politik, namun merupakan kekuatan (potensi) politik yang sangat besar karena anggotanya puluhan juta jumlahnya. Oleh karena itu, semua partai politik selalu ingin mempengaruhi pimpinan NU supaya mendapat kekuatan politiknya. Dalam keadaan seperti ini, NU dapat memainkan politiknya untuk mempengaruhi partai-partai politik. NU bermain politik pada tingkat tinggi, tidak hanya sekedar mencari kursi-kursi politik, tetapi bagaimana para politisinya dapat dikerahkan dan diarahkan sesuai dengan garis politik yang diinginkan oleh NU. Partai yang dimainkan NU adalah politik kebangsaan dalam arti untuk kepentingan seluruh bangsa, tidak hanya untuk kepentingan partai/kelompok.
Sebagai jam’iyah yang bukan partai politik tetapi merupakan kekuatan politik yang besar, adakalanya NU mengalami kesulitan di dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Dalam sejarahnya yang cukup panjang, NU mempunyai pengalaman tentang cara-cara menyalurkan aspriasi politiknya.

B.     SEJARAH PARTAI NU
Pada zaman penjajahan Belanda, NU menyembunyikan perbuatan politiknya kecuali dalam hal-hal sangat besar seperti :
1)      Sikap anti penjajahan, mempersiapkan umat untuk merebut kemerdekaan, disembunyikan di pesantren-pesantren.
2)      Menuntut Indoensia ber-parlemen bersama MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia)  gabungan semua organisasi Islam se Indonesia dan GAPI (Gabungan Politik Indonesia). Gabungan partai-partai politik se Indonesia mendesak supaya pemerintah Hindia Belanda didampingi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia.
Pada zaman penjajahan Jepang yang membekukan semua organisasi rakyat, para tokoh NU bersama dengan tokoh-tokoh lain memperlihatkan sikap kerja sama dengan Jepang supaya dapat tetap berhubungan dengan rakyat dan mempersiapkan rakyat merebut kemerdekaan. Pada zaman revolusi fisik, NU bahu membahu dengan seluruh lapisan bangsa mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dan menyalurkan aspirasi politiknya melalui Masyumi. Sesudah selesai revolusi fisik, NU mandiri sebagai Partai NU dan ternyata berhasil menempatkan diri sebagai kekuatan politik nasional Indonesia.
Pada zaman  orde baru yang memaksa partai-partai bergabung menjadi dua partai dan satu Golkar, NU memfusiukan fungsi politiknya ke dalam PPP sampai tahun 1984 ketika NU menyatakan tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. Ketika jaman reformasi, NU mempersilakan warganya mendirikan partai dengan bimbingan PBNU yaitu partai Kebangkitan Bangsa. Semua ini hanyalah cara-cara yang dipilih NU pada suatu kondisi dan situasi tertentu untuk kepentingan perjuangan NU sendiri, bukan sesuatu yang qoth’I, bukan sesuatu yang abadi yang tidak dapat berubah sepanjang zaman tanpa memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan perjuangan NU sendiri. Yang pokok adalah bahwa NU adalah jami’iyah (Organisasi, kelompok) yang mandiri, tidak menjadi bagian dari organisasi lain, baik organisasi politik maupun organisasi kemasyarakatan.
C.    NU KEMBALI KE-KHITTOH
Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926.  NU mencakup tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-lain. Ada Perbincangan Khittah NU sering dikaitkan dengan urusan politik. Sementara, cakupan Khittah NU 1926 pada dasarnya tidak hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan politik, tetapi juga hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah Swt dan kemasyarakatan. Khittah anggapan, hal ini sudah mulai dilupakan banyak orang. Seringkali, bicara Khittah NU 1926 hanya dikaitkan hubungan NU dengan PKB, PKNU, PPP dan partai politik lain.
Padahal khittah bukan sebatas itu, dan mencakup tema-tema yang luas seluas wilayah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain. Pada Muktamar Ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur, pada pasal pengertian khittah menyebutkan, Khitthah NU 1926 merupakan landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi. Juga daIam setiap proses pengambilan keputusan.
 Landasan tersebut ialah faham Islam Ahlussunnah wal Jama'ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia. Ini meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. Khitthah NU 1926 yang digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa. Dalam praksisnya, Khittah NU 1926, misal, terkait dengan persoalan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pandangan Khittah NU 1926, NKRI sudah final. NU tidak sepakat dengan pemberlakukan hukum Islam secara legal formal. Selain itu, menurut keputusan Muktamar Ke-27 juga disebutkan, NU sebagai organisasi keagamaan, merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia.
Khittah NU 1926 juga melandasi praksis hubungan kemasyarakatan yang senantiasa memegang teguh prinsip persaudaraan, toleransi, kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama warga negara dengan keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.  Kini, banyak orang memunculkan gagasan, perlunya membumikan Khittah NU 1926 dalam tatara yang lebih praktis, lebih konteks, dan lebih memberi daya dorong dalam beragam persoalan. Khittah NU 1926 dirasakan masih ”abstrak” dan ”imajiner” dibandingkan dengan sebagai ruh yang mampu memberi daya dorong dalam segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

D.    GERAKAN POLITIK NU SETELAH KHITTAH
Nahdlatul Ulama (NU) berdiri 1926 adalah sebagai organisasi kemasyarakatan atau jam’iyah, bukan  partai politik, bukan institusi politik, tapi tak bisa dipungkiri dan dihindarai bahwa sejak kelahirannya NU telah bersinggungan dengan ruang politik. Pada tahun 1940-1943 NU masuk MIAI yang kemudian menjadi Masyumi. Masyumi dibentuk dimaksudkan untuk menciptakan kekuatan besar bagi umat Islam. Tahun 1945 Raisul Akbar Hadrotussyaikh KH Hasyim As’ary mengeluarkan fatwa resolusi jihad untuk menghadapi tentara nicca belanda. Dan pada tahun-tahun berikutnya NU juga tak tinggal diam menghadapi PKI.
Ada satu hal yang perlu dicatat bahwa, kelahiran NU itu sendiri sebagai respon atas munculnya Islam wahabisme atau Islam reformis yang menyatakan dirinya sebagai kaum pambaharu Islam. Melihat sisi historis demikian maka boleh dikata  semenjak kelahirannya NU telah berpolitik, barulah pada tahun 1952 Muktamar NU ke 19 di palembang, NU resmi menyatakan diri sebagai partai politik setelah keluar dari Masyumi.
Dari pemilu 1955 sampai pemilu 1971 NU berhasil meraih suara cukup menggembirakan, NU benar-benar bermain di arena politik, NU punya bargaining  cukup tinggi, NU punya banyak wakil di DPR, para ulama  sepuh NU juga masih banyak. sampai disini NU masih berjaya. Barulah pada tahun 1973 NU mulai melewati masa awal perpecahan. Semua partai Islam termasuk NU harus fusi dalam satu partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan(PPP).  PPP tak ubahnya seperti Masyumi dulu, perselisihan antar kelompok dalam tubuh PPP terus terjadi tak kunjung usai. Kasus yang terjadi di PPP serupa dengan yang terjadi di Masyumi – NU selalu dimarjinalkan.
NU  dalam posisi rumit, bikin partai tak boleh, memperbaiki PPP juga suatu hal yang sangat sulit karena PPP dan PDI saat itu merupakan boneka orde baru.  Disinilah titik awal dimulainya perpecahan warga NU, dimana pemerintah Orba salah satu factor utama dalam penghancuran NU. NU selanjutnya hanya berpolitik secara moral yang sulit dipertanggungjawabkan hasilnya. NU kemudian hanya menitipkan para kadernya di PPP, sedang NU sendiri hanya bisa bermain diluar arena.
Pola dukung mendukung oleh NU mulai dijalankan. NU terkadang bermetamorfosa dari hijau menjadi merah ketika Gus Dur mendekati Mega yang waktu itu kita kenal dengan istilah Mega-Gus Dur untuk menandingi PDI Suryadi. Atau terkadang NU berubah ujud dari hijau ke kuning ketika Gus Dur mengajak warganya untuk mengikuti Istighotsah NU-Golkar di berbagai daerah beberapa tahun silam sebelum reformasi. Setelah reformasi bergulir, sepertinya ada harapan besar bagi NU untukmengembalikan kejayaan NU dimasa silam. Toh demikian masih terlalu berat jika NU menjelma menjadi partai. NU akhirnya mendirikan PKB dimana PKB diharapkan menjadi satu-satunya partai NU yang berakses ke PBNU. NU sendiri bukanlah partai tapi NU punya sayap politik yaitu PKB. Betapa hebat respon masyarakat terhadap lahirnya PKB, Ini wajar saja karena warga NU benar-benar haus dengan partai NU setelah 32 tahun NU dipinggirkan.
Namun tampaknya harapan hanya tinggal harapan, PKB yang diharapkan menjadi sayap politik NU justeru berjalan sendiri bahkan senantiasa berseberangan dengan NU structural. Antara PKB dan NU mulai ada tanda-tanda kurang serasi, PKB memecat ketuanya yaitu Matori Abdul jalil yang sebenarnya NU tidak menghendaki. Ketidak serasian NU-PKB ini diperuncing lagi ketika NU punya gawe mencalonkan Hasyim Muzadi menjadi cawapres Mega. Dengan susah payah NU menggerakkan warganya dari tingkat PW-PC-MWC bahkan sampai ketingkat ranting untuk mengegolkan jagonya yaitu Hasyim Muzadi menjadi Cawapres, tapi PKB saat itu justeru mendukung Wiranto-Wahid dari Golkar, diteruskan pada  pilpres putaran kedua PKB mendukung SBY-JK.
Cukup sudah PKB menyodok NU saat itu.  Mulai dari itu PKB dianggap bukan lagi partai sayap politik NU karena PKB  terlalu jauh meninggalkan NU. Carut-marut perpolitikan NU saat ini sudah sangat rumit. Musuh sudah pakai senjata api kita masih berebut senjata bambu. Sederet pertanyaan inilah yang mungkin akan terjawab dalam muktamar NU mendatang.

E.     GERAKAN KULTUR NU
NU sebagai organisasi masa Islam, sampai sekarang masih menjadi bahasan yang menarik di dunia akademik. Banyak peneliti asing yang tertarik dengan NU, di antaranya Martin van Bruinessen, Greg Barton, Greg Fealy, Ben Anderson, Mitsuo Nakamura dan lain sebagainya. Mereka tertarik kultur NU dengan ketradisionalannya yang dianggap eksotik.
Berbeda dengan aliran Islam lainnya, NU sangat menghargai tradisi dan kebudayaan setempat. Para peneliti ini mengikuti penelitian Antropologis yang sebelumnya pernah dilakukan. Mereka adalah Clifford Gertz, Andrew Beautty, Mark R. Woodward, Robert Hefner dan antropolog lainya yang memfokuskan pada agama Jawa. Karya-karya yang dihasilkan oleh para peneliti ini hingga sekarang cukup populer dan selalu menjadi rujukan di dunia akademis baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dalam konteks seperti ini, NU menjadi obyek penelitian. Para peneliti inilah yang memiliki otoritas untuk merepresentasikan NU, baik itu berupa sejarah, komunitas, perilaku, dan masa depan NU. Sebagai obyek penelitian, tentunya NU sama sekali tidak memiliki otoritas dalam merepresentasikan dirinya. Hasil-hasil penelitian beberapa peneliti ini, bukan tidak berdampak pada perkembangan Islam di Indonesia. Kita perlu menyadari bersama bahwa peneliti Barat bukan hanya sekedar meneliti atas nama pengetahuan belaka.
Mereka datang untuk meneliti sekaligus membuat bangunan epistemologi gerakan Islam. Sehingga wajar jika gerakan Islam di Indonesia semakin bias kepentingan.


BAB II
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Politik adalah sebuah kata dengan sejuta makna,mulai dari arti yang paling luas sampai arti yang paling sempit.mulai yang umum sampai yang khusus. Pada dasarnya,politik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kenegaraan, kekuasaan, dan pemerintahan. Seorang petani yang membayar pajak berarti dia mendukung kelestarian pemerintah. Maka dia sudah dianggap melakukan perbuatan politik. Sebaliknya, seseorang yang memboikot pajak, dia juga sudah melakukan perbuatan politik.
NU mencakup tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-lain. Ada Perbincangan Khittah NU sering dikaitkan dengan urusan politik. Sementara, cakupan Khittah NU 1926 pada dasarnya tidak hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan politik, tetapi juga hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah Swt dan kemasyarakatan.




DAFTAR PUSTAKA


Abuddin Nata, Teologi Islam, Modul Penyetaraan Universitas Terbuka, Departemaen Agama 1997.

Hasanuddin, Dkk, Pendidikan  ke-NU-an (ASWAJA), CV Al-Ihsan, Surabaya 1992.

Pustaka Ma’arif  NU, Islam Ahlussunnah Wal Jamaah Di Indonesia, Jakarta, 2007.


1 komentar:

Anonymous said... 2 January 2013 at 02:20

ijin copy buat tugas...
bermanfaat banget...

 
Top