BAB I
PENDAHULUAN

BAB II
PEMBAHASAN
NU DAN SIKAP-SIKAP KEAGAMAAN




A.    AKIDAH DALAM NU
Perumus Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah dalam Bidang Akidah
Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW.
Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Karena itu, ketika ada yang menyebut Ahl al- Sunah wa al-Jama’ah, pasti yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti rumusan kedua iman tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami dalam Tathhir al-Janan wa al-Lisan, “Jika Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Asy’ari (golongan Asya’riah) dan Imam Maturidi (golongan Maturidiyyah)”. (Tathhir al-Janan wa al-Lisan, 7).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thasy Kubri Zadah, sebagaimana yang dikutip oleh DR Fathullahi Khulayf dalam pengantar kitab al-Tauhid karangan Imam Maturidi, “Thasy Kubri Zaddah berkata, ”Ketahuilah bahwa polopor gerakan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab Hanafi, sedang yang lain dari golongan Syafi’I. Seorang yang bermadzhab Hanafi itu adalah Abu Mansyur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan yang dari golongan Syafi’i adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin masyarakat, imam para mutakallimin, pembela sunnah Nabi SAW dan agama Islam, pejuang dalam menjaga kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu al-Hasan al-Asy’ari al-Bashri”.
Dua orang inilah yang menjadi polopor gerakan kembali pada ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Intisari dari kedua rumusan beliau tersebut tersimpul pada kitab-kitab yang telah diajarkan di pesantren seperti Aqidah al-Awam, Kifayah al-Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah. Jawharah al-Tauhid serta kitab lain yang sudah tidak asing bagi orang-orang yang belajar di pesantren.
Nama lengkap Imam Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H /874 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. Beliau adalah salah satu keturunan sahabat Nabi SAW yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu beliau menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama al-Jubba’i.
Karena menjadi anak tiri al-Juba’i, Imam Asy’ari sangat tekun mempelajari aliran Mu’tazilah, sehingga beliau sangat memahami aliran ini. Tidak jarang beliau menggantikan ayahnya menyampaikan ajaran Mu’tazillah. Berkat kemahirannya ini, dan juga posisinya sebagai anak tiri dari salah seorang tokoh utama Mu’tazilah, banyak orang memperkirakan bahwa suatu saat beliau akan menggantikan kedudukan ayah tirinya sebagai salah seorang tokoh Mu’tazilah.

B.     SYARIAT DALAM NU
Diantara mazhab bidang fiqih yang paling berpengaruh yang pernah ada sebanyak empat.[1] Mereka menjadi panutan warga Nahdliyin, masing-masing adalah :
Pertama : Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Biasa di sebut Imam Hanafi. Lahir 80 H, dan wafat tahun 150 H, di Bagdad. Abu Hanifah berdarah Persia, digelari Al-Imam Al-A’zham (Imam Agung, menjadi tokoh panutan di Iraq, pengatu aliran ahlur ra’yi dan menjadi tokoh sentralnya. Diantara manhaj istinbathnya yang terkenal adalah Al-Ihtihsan. Fiqih Abu Hanifah yang menjadi rujukan utama Mahzab Hanafi ditulis oleh dua orang murid utamanya; imam Abu Yusuf Ibrahim dan Imam Muhammad bin Hasan As-Syaibani.
Kedua : Imam Malik bin Anas. Biasanya di sebut Imam Maliki. Lahir  93 H, dan wafat 179 H di Madinah. Malik, dikenal sebagai “Imam Dar Al-Hijrah”, Imam Malik adalah seorang ahli hadits sangat terkenal sehingga kitab monumentalnya berjudul “Al-Muwatha’” di nilai sebagai kitab hadits hukum yang paling shahih sebelum adanya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim (dua kumpulan hadits shahih yang menjadi rujukan ulama Ahlussunnah). Imam Malik juga mempunyai konsep manhaj istinbath yang berpengaruh sampai sekarang. Kitabnya berjudul al-maslahah al-mursalah dan ‘amal al-Ahl al-Madinah.
Ketiga : Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Biasa disebut Imam Syafi’i. Lahir 150 H di Ghoza dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Imam yafi’i mempunyai latar belakang keilmuan yang memadukan antara Ahl al-Hadits dan Ahl Al-Ra’yi, karena cukup lama menjadi murid Imam Malik di Madinah dan cukup waktu belaajr kepada Imam Muhammad bin Hasan, di Baghdad. Dia adalah murid senior Imam Abu Hanifah. Metodologi Istinbatnya ditulis menjadi buku pertama dalam ushul fiqih berjudul ; al-Risalah. Pendapat-pendapa dan fatwa-fatwa fiqh Imam Syafi’i ada dua macam. Yang disampaikan selama di Baghdad disebut al-Qaul al-Qadim (pendapat lama) dan yang disampaikan setelah berada di Mesir disebut al-Qaul al-Jadid (pendapat baru). Tentang ini semua telah dihimpun Imam Syafi’i dalam kitab “Al-Um”.
Keempat; Imam Ahmad bin Hambal, biasa disebut Imam Hambali lahir 164 H di Baghdad. Imam Hambali terkenal sebagai tokoh ahl-Hadits. Imam Ahmad bin Hambal adalah salah seorang murid Imam Syafi’i sealma di Baghdad, dan sangat menghormati Imam Syafi’i. Sampai Imam Syafi’i wafat masih selalu mendoakannya. Imam Ahmad bin Hambal mewariskan sebuah kitab yang terkait dengan hukum Islam berjudul “Musnad Ahmad”. Alasan kenapa memilih empat Mazhab saja; pertama : kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur. Jika disebut nama mereka hampir dipastikan mayorits umat Islam di dunia mengenal dan tidak perlu lagi menjelaskan secara detail.
Kedua; Keempat Imam Mazhab tersebut merupakan Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil, yaitu Imam Mujtahid yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-Fikr, pola, metode, proses dan prosedur istinbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan. Imam Ghazali belum mencapai derajat seperti empat Imam Mazhab itu. Beliau masih mengikuti Mahzab imam Syafi’i.
Ketiga; Para Imam Mazhab itu mempunyai murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan mazhabnya yang didukung oleh buku induk yang masih terjaim keaslianya hingga saat ini. Keempat; ternyata para imam Imazhab itu mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual di antara mereka.

C.    TASAWUF DALAM NU
Seorang hamba diharuskan pula untuk mempraktikkan adab (etika dan sopan santun) yang sesuai dengan sikap penghambaannya di hadapan Tuhannya. Etika itu merupakan akhlak yang dipraktikkan Rasulullah SAW kepada Allah SWT dan kepada sesama mahluk. Aspek ini disebut dengan Ihsan. Penelitian terhadap dimensi Ihsan inilah yang akhirnya melahirkan ilmu tashawwuf atau ilmu akhlaq.
Tasawuf atau sufisme ini menjunjung nilai-nilai kerohanian dan adab sebagai ruh dalam ibadah. Orang yang mempelajari tasawuf disebut sebagai sufí.
Dalam hal tasawuf, Paham Ahlussunnah WalJamaah mengikuti tasawuf yang diajarkan oleh Imam Junaid, Imam Ghazali, dan Imam Qusyairi, terutama Imam Ghazali. Pada intinya, konsep tasawuf yang dihadirkan para sufí sunni ini berusaha menyampaikan bahwa ilmu tidak akan dinamakan tasawuf apabila ia tidak dibingkai dalam ajaran syariat islam.
Tasawuf ini seringkali diartikan sebagai ilmu mengenai tahapan-tahapan menuju puncak pengenalan diri terhadap Allah SWT. Tahapan-tahapan itu terbagi dalam bagian Thariqoh, Hakikat, dan Ma’rifat. Tasawuf sendiri merupakan ajaran akhlaq yang didasarkan pada akhlaqnya Nabi Muhammad SAW. Diantara sikap batin yang menonjol dibahas dalam tasawuf diantaranya mengenai sikap ikhlas, istiqomah, zuhud dan Wara’.
Thariqoh sebagai jalan awal menuju Ma’rifatu Allah yang merupakan bagian dari ilmu tasawuf telah diajarkan Nabi Muhammad SAW melalui sahabatnya seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. dan Sayyidina Abu Bakar Ash-shiddiq. Diantara thoriqoh mu’tabaroh (sah) dan musalsal (bersilsilah ilmu hingga ke Nabi Muhammad) diantaranya Thoriqoh Qadiriyah yang didirikan Syekh Abdul Qodir Al-Jailaniy, Thoriqoh Syadziliyah yang didirikan Syekh Abul Hasan Ali Assadzili, thoriqoh Naqsabandiyah yang didirikan Syekh Muhammad Bahaudin An-Naqsabandiy, dan thoriqoh Tijaniyah yang didirikan Syekh At-Tijaniy. Menurut Habib Luthfi bin Yahya, Mursyid Thariqoh di Indonesia, Thoriqoh yang mu’tabaroh di Indonesia tercatat sekitar 48 macam.
Mengenai hakikat, telah dijelaskan oleh Imam Al-Qusyairi bahwa hakikat ialah penyaksian atas rahasia ke-Tuhan-an, semua bentuk ibadah atau syariat tidak akan mengena jika tidak mengenal intinya (hakikat). Syariat untuk mengetahui kewajiban suatu perintah dan larangan bermaksiat sementara hakikat untuk mengetahui makna inti, keputusan Allah, dan rahasia yang ada di dalamnya.
Kondisi saat berkembangnya Ilmu Tasawuf yang mulai dituliskan dan dimulai sekitar abad ke-3 H yang memperkenalkan konsep Ittihad (penyatuan), Hulul (leburnya substansi manusia ke dalam substansi Ilahi), dan Wahdatul Wujud (penyatuan wujud), serta Wahdatul Muthalaqah (penyatuan mutlak), dalam pengertian ma’rifat itu ditolak oleh Imam Abul Hasan Al-Asy’ari karena dianggap tidak sesuai. Sikap Imam Asy’ari itu didukung dan berusaha diluruskan oleh para tokoh tasawuf sunni, diantaranya Imam Ghazali, dan Imam Qusyairi.
Menurut mereka, tasawuf merupakan upaya sungguh-sungguh dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin, melalui sikap zuhud (sikap menjauhi cinta dunia), ketekunan ibadah (al-Nusuk) dan latihan rohani (al-riyadhoh al-nafs), meskipun harus diakui bahwa ada dua alam yakni alam dhohir yang dicapai melalui panca indera dan alam batin yang dicapai dengan sarana emanasi (pancaran rohani) dan ilham, tetapi hal itu bukanlah melalui proses ittihad, hulul, atau wahdatul wujud, melainkan melalui proses mukasyafah dan musyahadah (terbukanya tirai- hijab ghoib dan terbukanya kemampuan untuk melihat keagungan Ilahiyah) yakni suatu jenis pengetahuan perasaan tertentu yang dimiliki orang-orang yang sudah mampu melepaskan dirinya dari pengaruh duniawi atau godaan materi dan mampu berperilaku yang mencitrakan sifat-sifat terpuji. (Ma’rifat Dzauqiyah).
Meskipun konsep pemikiran para sufí falsafi seperti Dzun Nun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami, Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, dan Ibnu Sab’in bahkan salah satu Sufi paling kontroversial, Husain bin Mansur Al-Hallaj (yang memperkenalkan istilah Ittihad, Wahdatul wujud, dsb) ditolak oleh kaum Aswaja, namun pada bagian tertentu, seperti ilmu riyadhoh, hikmah, dan amaliyah yang diajarkan dan dilakukan oleh para sufí falsafi tersebut tetap dipelajari dan dilakukan oleh kaum Aswaja dalam rangka menambah nilai-nilai tasawuf dalam bingkai nilai-nilai syariat Islam.
Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf.
Jika pada awal pembentukan tasawuf-berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan-dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazaid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana', dan wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.
Kendatipun sumbangan Al-Ghazali dalam tasawuf bisa dikatakan cukup besar dan telah memberikan warna baru, dan berusaha merilis satu jalan ruhani menuju Tuhan dengan mendasarkan Al Quran dan hadits, selain secara epistemologi berusaha menemukan kebenaran dengan jalan intuisi (dzauqiyah), toh oleh banyak kalangan (Barat) tasawuf tetap dianggap antirasionalitas. Bahkan yang lebih parah lagi adalah adanya satu tuduhan di mana karena tasawuflah, umat Islam mengalami kemunduran.
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani di kenal sebagai pelaku sufi yang mukhlis (ikhlas). Ia rutin mengamalkan wirid dan dzikir, kegiatan wirid dan dzikir biasanya dilakukan setelah sholat sunnah, baik siang ataupun malam hari.
Namun demikian ia juga sering melakukannya setelah sholat fardhu.
Sholat-sholat sunnah yang sering dikerjakan Al-Jaelani ini setiap hari meliputi :
  1. Sholat witir (3 ra’aat)
  2. Sholat witir ( raka’at)
  3. Sholat fajar
  4. Sholat Isyroq (setelah matahari terbit)
  5. Sholat Isti’adah
  6. Sholat Istikharah
  7. Sholat Dhua
  8. Sholat Kaffarah li al-gaul
  9. Sholat Tasbih
Sedangkan dzikir kesehariannya antara lain :
  1. Membaca Al-Qur’an paling sedikit 200 ayat
  2. Surat Al-Ikhlas 100 kali
  3. Sholawat 100 kali
  4. Sayyidaul Istighfar 100 x
  5. Tahlil 100 x

Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani maqam-maqam yang harus dilewati seorang pencari kesadaran (Mutasawwif) illahiyyah adalah :
-          Maqam taubat
-          zuhud
-          Tawakkal
-          Syukur
-          Sabar
-          Ridho
-          Jujur
-          Ma’rifat
Pada perkembangan pengikut Abdul Qadir Al-Jaelani sering menggunakan manabit sebagai rasa untuk menghormatinya.

D.    SUMBER HUKUM ISLAM
Imam mazhab empat dalam menentukan suatu hukum tidaklah semata-mata mengikuti kehendak suara hatinya sendiri, akan tetapi selalu berdasarkan petunjuk dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam menentukan pilihan dasar hukum yang dijadikan pegangan utama, para imam Mazhab empat berpedoman pada ayat 59 dalam surat An-Nisaa’ yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT dan taatilah Rasulullah dn Ulil Amri diantara kalian. Kemudian jika kamu kembalikan ia kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW".
Dengan demikian sumber hukum dasar yang dijadikan sebagai landasan pengambilan hukum oleh para Ulama NU menetapkan menjadi empat adalah :
1.      Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah dasar hukum yang pertama dan utama dalam Islam. Karena itu setiap muslim harus menerima bahwa asas yang pertama dan terkuat untuk menentukan hukum Islam adalah Al-Qur’an.
  1. Al-Hadits atau As-Sunnah
Al-hadits atau As-Sunnah meliputi sunnah Qauliyan, Fi’liyah, dan sunnah Taqririyah. Dalam agama Islam al-Hadits atau as-Sunnah mempunyai peran yang sangat penting dan merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
  1. Ijma’
Yaitu kesepakatan para ulama’ mujtahid mengenai suatu hukum ijma’ baru dapat dipergunakan sebagai dalil terhadap suatu perkara sesudah ternyata tidak ditemkan nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Ijma’, ada beberapa macam diantaranya ijma’ sharih, ijma’ sukuni, ijma’ sababy, ijma’ khalifah empat, dan lain-lainnya.
  1. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan suatu masalah yang belum diketahui hukumnya, karena diantaranya terdapat kesamaan (illat) yang menjadi dasar penentu hukum. Berdasarkan pengertian diatas, maka dalam mengqiyaskn suatu hukum harus diperhatikan empat hal, yaitu :
a.       Asal, yaitu sesuatu yang sudah ada nash hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan
b.      Far’un yaitu sesuatu yang belum diketahui hukumnya dan dimaksudkan untuk diukur atau diserupakan dengan hukum asal.
c.       Hukum asal yaitu hukum syara’ yang terdapat pada asal dan dimaksudkan menjadi hukum bagi far’un.
d.      Illat yaitu sebab yang menggabungkan atau menghubungkan antara asal (pokok) dengan far’un (cabang).


BAB III
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Perumus Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah dalam Bidang Akidah
Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW.
Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi.
Diantara mazhab bidang fiqih yang paling berpengaruh yang pernah ada sebanyak empat. Mereka menjadi panutan warga Nahdliyin, masing-masing adalah : Pertama : Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Kedua : Imam Malik bin Anas. Biasanya di sebut Imam Maliki. Ketiga : Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Keempat; Imam Ahmad bin Hambal
Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf.
Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani di kenal sebagai pelaku sufi yang mukhlis (ikhlas). Ia rutin mengamalkan wirid dan dzikir, kegiatan wirid dan dzikir biasanya dilakukan setelah sholat sunnah, baik siang ataupun malam hari.

DAFTAR PUSTAKA


Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, Khalista : Surabaya 2006.

Baehaqi Imam, Kontroversi Aswaja Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, LkiS: Yogyakarta, 2000.



[1] Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, Khalista : Surabaya 2006. Hlm. 212

0 komentar:

 
Top