BAB I
PENDAHULUAN
Zakat adalah ibadah
maaliyyah ijtima’yyah yang memiliki posisi sangat penting, stategis, dan
menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran islam maupun dari sisi pembangunan
pembangunan kesejahteraan umat.[1]
Ajaran islam sangat mendorong umatnnya
untuk melakukan aktivas jual beli. Peran zakat sangat penting dalam menghidupkan sirkulasi
hasil-hasil industri, pertanian, jasa dan harta kekayaan[2].
Dalam kesempatan
ini pemakalah akan mencoba menjelaskan makalah yang berjudul tentang “Cara Menghitung Zakat” yang sudah penulis
rankum sedemikian rupa agar mudah untuk dimengerti dan mudah untuk dipahami
oleh semua pembaca sekalian.
BAB
II
PEMBAHASAN
CARA MENGHITUNG ZAKAT
A. CARA
MENGHITUNG ZAKAT FITRAH/FIDYAH
Dari Ibnu Umar ra berkata: “Rasulullah saw
mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau gandum pada budak, orang merdeka,
lelaki perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari ummat Islam dan
memerintahkan untuk membayarnya sebelum mereka keluar untuk sholat (‘iid ). (HR. Mutafaqun Alaih). Besarnya zakat fitrah menurut ukuran sekarang adalah 2,176 kg.
Sedangkan makanan yang wajib dikeluarkan yang disebut nash hadits yaitu tepung,
terigu, kurma, gandum, zahib (anggur) dan aqith (semacam keju). Untuk
daerah/negara yang makanan pokoknya selain 5 makanan di atas, mazhab Maliki dan
Syafi’i membolehkan membayar zakat dengan makanan pokok yang lain.[3]
Menurut mazhab hanafi pembayaran zakat fitrah dapat dilakukan dengan
membayar- kan harganya dari makanan pokok yang di makan. Pembayaran
zakat menurut jumhur ‘ulama:
1.
Waktu
wajib membayar zakat fitrah yaitu ditandai dengan tenggelamnya matahari di
akhir bulan Ramadhan.
2.
Membolehkan
mendahulukan pembayaran zakat fitrah di awal. Keterangan: Bagi yang tidak berpuasa Ramadhan karena udzur tertentu yang
dibolehkan oleh syaria’t dan mempunyai kewajiban membayar fidyah, maka
pembayaran fidyah sesuai dengan lamanya seseorang tidak berpuasa.[4]
B. CARA MENGHITUNG ZAKAT MAAL
1. Pengertian Maal (harta)
Menurut terminologi bahasa (lughat), harta
adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk memiliki,
memanfaatkan dan menyimpannya.
Sedangkan menurut terminologi syari’ah (istilah
syara’), harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki (dikuasai) dan dapat
digunakan (dimanfaatkan) menurut ghalibnya (lazim). Sesuatu dapat
disebut dengan maal (harta) apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
a)
Dapat
dimiliki, dikuasai, dihimpun, disimpan.
b)
Dapat
diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Misalnya rumah, mobil, ternak,
hasil pertanian, uang, emas, perak, dll.
2.
Syarat-syarat
Kekayaan yang Wajib di Zakati
a)
Milik
Penuh
Artinya harta tersebut berada dalam kontrol dan kekuasaanya secara
penuh, dan dapat diambil manfaatnya secara penuh. Harta tersebut didapatkan
melalui proses pemilikan yang dibenarkan menurut syariat Islam, seperti: usaha,
warisan, pemberian negara atau orang lain dan cara-cara yang sah.
Sedangkan apabila harta tersebut diperoleh dengan cara yang haram,
maka zakat atas harta tersebut tidaklah wajib, sebab harta tersebut harus
dibebaskan dari tugasnya dengan cara dikembalikan kepada yang berhak atau ahli
warisnya.
b)
Berkembang
Artinya harta tersebut dapat bertambah atau berkembang bila
diusahakan atau mempunyai potensi untuk berkembang.
c)
Cukup Nishab
Artinya harta tersebut telah mencapai jumlah
tertentu sesuai dengan ketetapan syara’. sedangkan harta yang tidak sampai
nishabnya terbebas dari Zakat dan dianjurkan mengeluarkan Infaq serta Shadaqah.
d)
Lebih Dari Kebutuhan Pokok
Kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang
diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk
kelangsungan hidupnya. Artinya apabila kebutuhan
tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak. Kebutuhan
tersebut seperti kebutuhan primer atau kebutuhan hidup minimum, misal, belanja
sehari-hari, pakaian, rumah, kesehatan, pendidikan, dsb.
e)
Bebas Dari hutang
Orang yang mempunyai hutang sebesar atau
mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama (dengan waktu
mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas dari zakat.
f)
Berlalu Satu Tahun (Al-Haul)
Maksudnya adalah bahwa pemilikan harta tersebut sudah belalu
(mencapai) satu tahun. Persyaratan ini hanya berlaku bagi ternak, harta
simpanan dan perniagaan. Sedangkan hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang
temuan) tidak ada syarat.[5]
C.
NISHAB
ZAKAT EMAS DAN PERAK
Emas dan perak adalah harta kekayaan
utama umat manusia. Dengannya, harta benda lainnya dinilai.
Artinya: “Dari Sahabat ‘Ali radhiyallâhu'anhu, ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam, Beliau bersabda: “Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah
berlalu satu tahun (sejak pemilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat
sebesar lima dirham.
Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun –maksudnya zakat emas–hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya),maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar.
Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”. (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni).
Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun –maksudnya zakat emas–hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya),maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar.
Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”. (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni).
Dalam hadits riwayat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu
dinyatakan:
Artinya:
“Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar
seperdua puluh (2,5 %).” (HR. al-Bukhâri).
Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang penentuan nishab[6]
zakat emas dan perak, dan darinya, kita dapat menyimpulkan beberapa hal:
1.
Nishab
emas, adalah 20 (dua puluh) dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas.
2.
Nishab
perak, yaitu sebanyak 5 (lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram.
3.
Kadar
zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab
adalah atau 2,5%.
4.
Perlu
diingat, bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak tersebut, ialah
emas dan perak murni (24 karat).
Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang
tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan
nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga
jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas, atau ahli emas, tentang kadar
emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka
ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk
membayar zakat.[7]
Orang yang hendak membayar zakat emas
atau perak yang ia miliki, dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut:
1.
Membeli emas
atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung
kepada yang berhak menerimanya.
2.
Ia membayarnya
dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau
perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.[8]
Sebagai contoh, bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan
telah berlalu satu haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk
perhiasan emas seberat 2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk
mengeluarkan uang seharga emas 2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran
Rp. 200.000, maka, ia berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp.
500.000,- kepada yang berhak menerima zakat.
D.
NISHAB
ZAKAT UANG KERTAS
Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai cara untuk
bertransaksi dan bertukar barang, agar dapat memenuhi kebutuhannya. Pada
awalnya, kebanyakan menggunakan cara barter, yaitu tukar-menukar barang. Akan
tetapi, tatkala manusia menyadari bahwa cara ini kurang praktis - terlebih bila
membutuhkan dalam jumlah besar maka manusia berupaya mencari alternatif lain.
Hingga akhirnya, manusia mendapatkan bahwa emas dan perak sebagai
barang berharga yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi antar manusia, dan
sebagai alat untuk mengukur nilai suatu barang. Dalam
perjalanannya, manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan uang
emas dan perak, sehingga kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat
menggantikan peranan uang emas dan perak itu. Hingga
pada akhirnya ditemukanlah uang kertas. Dari sini, mulailah uang kertas tersebut
digunakan sebagai alat transaksi dan pengukur nilai barang, menggantikan uang
dinar dan dirham.
Berdasarkan hal ini, maka para ulama menyatakan bahwa uang kertas
yang diberlakukan oleh suatu negara memiliki peranan dan hukum, seperti halnya
yang dimiliki uang dinar dan dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya
hukum-hukum riba dan zakat. Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki
uang kertas yang mencapai harga nishab emas atau perak, ia wajib
mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total uang yang ia miliki. Dan untuk
lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal ini dengan contoh
berikut.
Misalnya satu gram emas 24 karat di pasaran dijual
seharga Rp.200.000,- sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga Rp. 25.000,-
Dengan demikian, nishab zakat emas adalah 91 3/7 x Rp. 200.000 = Rp.
18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah 595 x Rp 25.000 = Rp. 14.875.000,-.
Apabila pak Ahmad (misalnya), pada tanggal 1
Jumadits-Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp. 50.000.000,- lalu uang tersebut
ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun 1429H) uang tersebut tidak
pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas, maka pada saat ini pak
Ahmad telah berkewajiban membayar zakat malnya. Total
zakat mal yang harus ia bayarkan ialah:
Rp. 50.000.000 x 2,5 % = Rp
1.250.000,-
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan nishab emas ataupun perak,
sama sekali tidak diperhatikan, karena uang beliau jelas-jelas melebihi nishab
keduanya. Akan tetapi, bila uang pak Ahmad berjumlah Rp. 16.000.000,- maka pada
saat inilah kita mempertimbangkan batas nishab emas dan perak. Pada kasus kedua
ini, uang pak Ahmad telah mencapai nishab perak, yaitu Rp. 14.875.000,- akan
tetapi belum mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.
Pada kasus semacam ini, para ulama menyatakan
bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan tidak boleh menggunakan
nishab emas. Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban
membayar zakat mal sebesar:
Rp. 16.000.000 x 2,5 % = Rp.
400.000,-
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia
dibawah kepemimpinan Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada
keputusannya no. 1881 menyatakan: “Bila uang kertas
yang dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya
(emas atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka
penghitungan zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai
tersebut”.
Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat uang di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa nishab dan berbagai ketentuan tentang zakat uang adalah
mengikuti nishab dan ketentuan salah satu dari emas atau perak. Oleh karena
itu, para ulama menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak dapat
disempurnakan dengan uang atau sebaliknya. Berdasarkan pemaparan di
atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000,
(dengan asumsi harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000,-) dan ia juga memiliki
uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 %.
Dalam hal ini walaupun masing-masing dari emas dan
uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya
digabungkan, jumlahnya (Rp. 23.000.000,-) mencapai nishab. Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar
Rp. 575.000,- berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
(Rp 10.000.000,- + Rp.
13.000.000,-) x 2,5 % = Rp. 575.000,-
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
E.
ZAKAT
PROFESI
Pada zaman sekarang ini, sebagian orang mengadakan
zakat baru yang disebut dengan zakat profesi, yaitu bila seorang pegawai negeri
atau perusahaan yang memiliki gaji besar, maka ia diwajibkan untuk mengeluarkan
2,5 % dari gaji atau penghasilannya.[9] Orang-orang
yang menyerukan zakat jenis ini beralasan, bila seorang petani yang dengan
susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat, maka seorang pegawai yang
kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar dari hasil panen petani,
tentunya lebih layak untuk dikenai kewajiban zakat.
Berdasarkan qiyas ini, para penyeru zakat profesi mewajibkan seorang
pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya dengan sebutan zakat profesi. Bila pendapat
ini dikaji dengan seksama, maka kita akan mendapatkan banyak kejanggalan dan
penyelewengan. “Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci, bila gaji telah
ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib
dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu
tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati”.
Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam,
sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat
harta (simpanan/kekayaan). Dengan demikian hasil profesi seseorang apabila
telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk menunaikan zakat.
Contoh perhitungan:
Iwan Darsawan adalah seorang karyawan swasta yang
berdomisili di kota Bekasi, memiliki seorang istri dan 2 orang anak.
Penghasilan bersih perbulan Rp. 1.500.000,-. Bila kebutuhan pokok
keluarga tersebut kurang lebih Rp. 625.000 per bulan maka kelebihan dari
penghasilannya = (1.500.000 – 625.000) = Rp. 975.000 perbulan. Apabila saldo rata-rata perbulan 975.000 maka jumlah kekayaan yang dapat
dikumpulkan dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp. 11.700.000 (lebih dari
nishab).
Dengan demikian Akbar berkewajiban membayar zakat
sebesar 2.5% dari saldo. Dalam hal ini zakat dapat dibayarkan setiap bulan sebesar 2.5% dari
saldo bulanan atau 2.5 % dari saldo tahunan.
Contoh perhitungan:
Nisab sebesar 520 kg beras, asumsi harga `eras 2000 jadi
nilai nisab sebesar 520 x 2000 = 1.400.000. Jumlah pendapatan perbulan Rp 2.000.000, Zakat atas
pendapatan ( karena telah mencapai nisab ) 2,5 % x 2.000.000,- = 50.000,-
F.
ZAKAT
INVESTASI
Zakat investasi adalah zakat yang dikenakan terhadap harta yang
diperoleh dari hasil investasi. Diantara bentuk usaha yang masuk investasi
adalah bangunan atau kantor yang disewakan, saham, rental mobil, rumah
kontrakan, investasi pada ternak atau tambak, dll. Dilihat dari
karakteristik investasi, biasanya modal tidak bergerak dan tidak terpengaruh
terhadap hasil produksi maka zakat investasi lebih dekat ke zakat pertanian.
Pendapat ini diikuti oleh ulama modern seperti Yusuf Qordhowi, Muhammad Abu
Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Abdurahman Hasan, dll.
Dengan demikian zakat investasi dikeluarkan pada saat menghasilkan
sedangkan modal tidak dikenai zakat. Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 5 %
atau 10 %. 5 % untuk penghasilan kotor dan 10 untuk penghasilan bersih.
G.
ZAKAT
HADIAH DAN SEJENISNYA
1. Jika hadiah tersebut terkait dengan gaji maka
ketentuannya sama dengan zakat profesi/pendapatan. Dikeluarkan pada saat menerima
dengan kadar zakat 2,5 %.
2. Jika komisi, terdiri dari 2
bentuk : pertama, jika komisi dari hasil prosentasi keuntungan perusahaan
kepada pegawai, maka zakat yang dikeluarkan sebesar 10 % (sama dengan zakat
tanaman), kedua, jika komisi dari hasil profesi seperti makelar, dll maka
digolongkan dengan zakat profesi. Aturan pembayaran zakat mengikuti zakat
profesi.
3. Jika berupa hibah, terdiri
dari dua kriteria, pertama, jika sumber hibah tidak di duga-duga sebelumnya,
maka zakat yang dikeluarkan sebesar 20 %, kedua, jika sumber hibah sudah diduga
dan diharap, hibah tersebut digabung kan dengan kekayaan yang ada dan zakat
yang dikeluarkan sebesar 2,5 %.[10]
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka
dapat kami simpulkan bahwa zakat adalah sangat penting peranannya dalam
perekonomian umat islam. Karena dengan adanya zakat kita bisa melihat orang
senang dan tidak ada yang susah waktu hari raya karena diwaktu hari raya kita
bersuka ria menyambut hari kemenangan dan dengan adanya zakat kita bisa melihat
orang yang kurang mampu menjadi bahagia karena bisa mendapatkan zakat.
Beberapa zakat sudah ditentukan oleh
Allah SWT dalam kadarnya dan sudah dijelaskan dalam hadist Nabi Muhammad SAW.
Yang mana setiap harta yang sudah mencapai nishob hukumnya wajib untuk
mengeluarkan zakat agar zakat atau harta yang kita keluarkan bisa menjadi
berkah dan bermanfaat dan tidak menjadi sia-sia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Djamaluddin, Al-buny, Problematika Harta Dan Zakat, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983).
Al-Zuhayly, Wahbah, Zakat Berbagai Kajian Mazhab, Bandung: (PT. Remaja Rosda Karya, 1995), hal. 45.
Didin
Hafidhuddin, ,Zakat Dalam Perekonomian
Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002).
M.Arief
Mufraini, Akutansi Dan Menejemen Zakat,(Jakarta: Kencana, 2006).
Permono, Sjekhul
Hadi, Sumbur-Sumber Penggalian Zakat,
Jakarta: (Pustaka Firdaus, 1992), hal. 221.
http://rumahislami.blogspot.com,
diakses pada tanggal 13 April 2013 pukul 21.00 wib.
haul.http://rumahislami.blogspot.com/diakses pada tanggal 10 April 2013
pukul 12.31 wib.
http://www.pkpu.or.id/ diakses pada tanggal 14 April 2013
pada pukul 08.30 wib.
[3] Ahmad, Djamaluddin, Al-buny, Problematika Harta Dan Zakat, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1983), hal.
221.
[5]
haul.http://rumahislami.blogspot.com/diakses pada tanggal 10 April 2013 pukul
12.31 wib.
[6] Nishab adalah batas minimal
dari harta zakat. Bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia
wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya
diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya
telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas
dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan
nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar
zakat. Oleh karena itu, pada hadits riwayat Ali radhiyallâhu'anhu di
atas, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyatakan: “Dan setiap
kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
[7] Al-Zuhayly, Wahbah, Zakat Berbagai Kajian Mazhab, Bandung: (PT. Remaja Rosda Karya,
1995), hal. 45.
[9] Permono, Sjekhul
Hadi, Sumbur-Sumber Penggalian Zakat,
Jakarta: (Pustaka
Firdaus, 1992), hal. 221.
0 komentar:
Post a Comment