ZAKAT DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT
A.      Pengertian Zakat
       Ditinjau dari segi bahasa, menurut lisan orang arab, kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari zakat yang berarti suci, berkah, tumbuh, dan terpuji, yang semua arti ini digunakan didalam menerjemahkan Al-Qur’an dan hadits.
       Menurut terminologi syariat(istilah), zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.[1]
       Kaitan antara makna bahasa dan istilah ini berkaitan erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh dan berkembang. Dalam penggunaannya, selain untuk kekayaan, tumbuh dan suci disifatkan untuk jiwa orang yang menunaikan zakat. Maksudnya, zakat itu akan mensucikan orang yang mengeluarkannya dan menumbuhkan pahalanya.[2] Sedangkan dalam istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari golongan kaya kepada golongan tidak punya.[3]
       A. Qodri Azizy dalam bukunya menyimpulkan bahwa zakat hendaknya tidak sekedar konsumtif, maka idealnya zakat dijadikan sumber dana umat. Penggunaan zakat untuk konsumtif hanyalah untuk hal-hal yang bersifat darurat. Artinya, ketika ada mustahiq yang tidak mungkin untuk dibimbing untuk mempunyai usaha mandiri atau memang untuk kepentingan mendesak, maka penggunaan konsumtif dapat dilakukan.[4]


B.       Urgensi dan Tujuan Zakat
       Zakat pada era emasnya merupakan instrumen fiskal negara yang berfungsi bukan hanya untuk mendistribusikan kesejahteraan umat secara lebih adil dan merata tetapi juga merupakan bagian integral akuntabilitas manusia kepada Allah SWT atas rezeki yang telah diberikan-Nya. Namun dalam era modern saat ini, yang dikarenakan sistem pajak telah menjadi instrumen fiskal bagi suatu negara menyebabkan zakat hanya menjadi representasi tanggung jawab umat manusia atas limpahan rezeki dari Allah SWT sekaligus tidak jarang hanya menjadi ritual budaya periodik umat Islam.
       Tujuan zakat tidak sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu mengentaskan kemiskinan.[5] Salah satu yang menunjang kesejahteraan hidup di dunia dan menunjang hidup di akherat adalah adanya kesejahteraan sosial-ekonomi. Ini merupakan seperangkat alternatif untuk mensejahterakan umat Islam dari kemiskinan dan kemelaratan. Untuk itu perlu dibentuk lembaga-lembaga sosial Islam sebagai upaya untuk menanggulangi masalah sosial tersebut.
       Sehubungan dengan hal itu, maka zakat dapat berfungsi sebagai salah satu sumber dana sosial-ekonomi bagi umat Islam. Artinya pendayagunaan zakat yang dikelola oleh Badan Amil Zakat tidak hanya terbatas pada kegiatan- kegiatan tertentu saja yang berdasarkan pada orientasi konvensional, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi umat, seperti dalam program pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan memberikan zakat produktif kepada mereka yang memerlukan sebagai modal usaha.
       Zakat memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya pengentasan kemiskinan atau pembangunan ekonomi. Berbeda dengan sumber keuangan untuk pembangunan yang lain, zakat tidak memiliki dampak balik apapun kecuali ridha dan mengharap pahala dari Allah semata. Namun demikian, bukan berarti mekanisme zakat tidak ada sistem kontrolnya.

C.      Signifikansi Zakat
       Kewajiban zakat dan dorongan untuk terus menerus berinfaq dan bershadaqah yang demikian mutlak dan tegas itu, disebabkan karena di dalam ibadah ini terkandung berbagai hikmah dan manfaat (signifikansi) yang demikian besar dan mulia baik bagi muzakki (orang yang harus berzakat), mustahiq maupun masyarakat keseluruhan, antara lain tersimpul sebagai berikut:[6]
1.      Sebagai realisasi iman kepada Allah SWT, berzakat merupakan upaya mensyukuri nikmatnya. Zakat adalah ibadah, karena itu aturannya harus sesuai dengan petunjuk syari’ah.
2.      Sebagai sumber dana bagi pembangunan sarana maupum prasarana yang dibutuhkan umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi, sekaligus sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia muslim.
3.      Menolong, membantu dan membina kaum Dhuafa’ (orang yang lemah secara ekonomi) maupum mustahiq lainnya ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah  kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus memberantas sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul ketika mereka (orang-orang fakir miskin) melihat orang kaya yang berkecukupan hidupnya tidak mempedulikan mereka.
4.      Untuk mewujudkan keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi harta, sehingga diharapkan akan lahir masyarakat marhamah di atas prinsip ukhuwah Islamiyah dan takaful ijtima’i.
5.      Zakat mengembangkan harta benda, pengembangan tersebut dapat ditinjau dari segi spiritual keagamaan berdasarkan firman Allah, “Allah memusnahkan riba (tidak berkah), dan mengembangkan sedekah (zakat)”. (QS 2:276).
6.      Menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kemanusiaan  yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketegangan batin dan kehidupan, sekaligus mengembangkan harta yang dimiliki.
7.      Menyebarkan dan memasyarakatkan etika bisnis yang baik dan benar.
D.      Organisasi Pengelola Zakat
Pengertian Organisasi Pengelola Zakat
       Organisasi Pengelola Zakat merupakan sebuah institusi yang bergerak di bidang pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqah.[7] Definisi menurut UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Fungsi Organisasi Pengelola Zakat
       Organisasi pengelola zakat apapun bentuk dan posisinya secara umum mempunyai dua fungsi yakni[8]:
a.      Sebagai perantara keuangan
       Amil berperan menghubungkan antara pihak Muzakki dengan Mustahiq. Sebagai perantara keuangan Amil dituntut menerapkan azas trust (kepercayaan).  Amil yang disebut secara eksplisit dalam QS. Al-Taubah: 60 sesungguhnya memiliki peran penting. Yusuf Qardhawi menyebutkan, ada empat peran amil;
1.         Untuk mengingatkan muzaki, karena naluriah manusia adalah bakil.
2.         Menjaga “air muka” para mustahik. Karena dengan perantaraan amil, mereka tidak harus bertemu langsung dengan muzaki. Lebih dari itu, dengan cara kerja amil yang proaktif mendatangi muzaki dan mustahik, mereka yang hidupnya kekurangan namun tidak membiarkan diri mereka meminta-minta di jalanan, akan mendapat perhatian secara proporsional.
3.         Untuk mengontrol agar mustahik menerima pemberian zakat dari mana-mana. Karena prioritas pendistribusian zakat kepada para mustahik juga harus dilaksanakan secara proporsional.
4.         Untuk menentukan prioritas dan pendistribusian zakat yang produktif dan konsumtif. Ini diharapkan dalam satuan waktu tertentu, mustahik dapat berubah menjadi muzaki, dengan mengembangkan zakat yang diterimanya sebagai modal usaha.
b.      Pemberdayaan
       Fungsi ini, sesungguhnya upaya mewujudkan misi pembentukan Amil, yakni bagaimana masyarakat Muzakki menjadi lebih berkah rezekinya dan ketentraman kehidupannya menjadi terjamin disatu sisi dan masyarakat Mustahiq tidak selamanya tergantung dengan pemberian bahkan dalam jangka panjang diharapkan dapat berubah menjadi Muzakki baru.

E.       Zakat Hilangkan Kemiskinan

       Kemiskinan merupakan bahaya besar bagi umat manusia dan tidak sedikit umat yang jatuh peradabannya hanya karena kefakiran. Karena itu seperti sabda Nabi yang menyatakan bahwa kefakiran itu mendekati pada kekufuran.[9] Islam sebagai Ad-diin telah menawarkan beberapa doktrin bagi manusia yang berlaku secara universal dengan dua ciri dimensi, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia serta kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di akhirat.
       Salah satu cara menanggulangi kemiskinan adalah dukungan orang yang mampu untuk mengeluarkan harta kekayaan mereka berupa dana zakat kepada mereka yang kekurangan. Zakat merupakan salah satu dari lima nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan  masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya
       Kalau kita lihat pada sistem pengololaan dana zakat yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz yaitu memberikan kepada mereka yang memilki daya beli rendah, sehigga meningkatkan permintaan dan akhirnya meningkatkan produksi nasional. Pola distribusi zakat seperti ini tidak hanya menghilangkan kemiskinan absolute akan tetapi juga meningkatkan perekonomi secara makro.
       Kebijakan yang dilakukan Khalifah Umar agar mereka mampu meningkatkan daya beli mereka dari dana zakat yang mereka peroleh, kemudian dana tersebut digunakan sebagai modal kerja untuk membeli barang-barang produksi. Dana zakat tersebut akan terus berkembang karena semakin banyak orang yang menggunakanya sebagai dana produktif.
       Langkah yang dilakukan Khalifah Umar dapat diadopsi ke Negara Indonesia, dengan langkah- langkah sebagai berikut.[10] Pertama, pemerintah melalui kementerian urusan zakat hendaknya melakukan pendataan terhadap kaum mustahiq dengan menggunakan lembaga independent yang bebas dari nepotisme. Selanjutnya dana zakat didistribusikan melalui badan pengelola zakat swasta maupun milik pemerintah kepada kaum mustahiq dengan rekomendasi lembaga independent tersebut. Pendistribusi dana zakat oleh lembaga pengelola juga harus diikuti dengan melakukan manajemen terhada mustahiq yang memperoleh dana tersebut. Pengelolaan dilakukan secara desentralisasi dengan batasan wilayah propinsi masing-masing. Kebijakan ini diusahakan untuk meningkatkan kesejahtera masyarakat diwilayah tersebut. Kedua, salah satu keberhasilan khalifah umar mengembangkan zakat produktif karena sifat kejujurannya yang diturunkan kepada masyarakat. Pelajaran yang diambil dari kejujuran beliau adalah menggambarkan sifat transparansi yang harus diterapkan dalam pengelolan dana zakat. Untuk menjaga transparansi pengelolaan dana zakat hendaknya dibuat satu badan independent yang mengawasi langsung perolehan dan pengalokasian dana tersebut. Badan tersebut berhak melakukan audit terhadap lembaga zakat yang mengelola dan berhak pula membuat rekomendasi kepada menteri zakat untuk memberhentikan operasionalnya, jika terjadi mismanage dana zakat tersebut. Ketiga, dengan melakukan stimulant terhadap para pembayar zakat berupa kompensasi pajak secara langsung. Penerapan zakat pengurang pajak selama ini hanya pada tataran zakat tersebut sebagai biaya pengurang penghasilan. Pengaruhnya tentu tidak besar bagi para pembayar pajak yang juga merupakan para pembayar zakat karena tidak dikreditkan langsung pada pajak terutang.
       Akan tetapi tentu akan lebih terasa besarnya pengaruh zakat terhadap pajak jika zakat tersebut dapat di kreditkan langsung ke pajak penghasilan. Logika penggunaannya tentu sama saja. Pajak digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan karyawan begitu juga zakat yang memiliki implikasi kesejahteraan dunia dan akhirat.
       Sebuah harapan yang sangat besar rekomendasi konferensi dewan zakat asia tenggara (DZAT) dapat diimplemetasikan segera, dan bahkan juga berharap pemerintah berperan aktif dalam mewujudkan rekomendasi tersebut. Kita sudah rindu dengan zaman seperti khilafah Umar bin Abdul Aziz.
F.       Zakat dan Ekonomi Umat[11]
       Fakta sejarah membuktikan di zaman sahabat, ummayah dan Abbasiah, ekonomi umat, bila potensi zakat umat digali secara optimal. Di zaman Umar bin Abdul Aziz dalam tempo 30 bulan tidak ditemukan lagi masyarakat miskin, karena semua muzakki mengeluarkan zakat dan distribusi zakat tidak sebatas konsumtif, tetapi juga produktif. Kenyataan itu harus kita wujudkan saat ini agar kemiskinan yang menjadi musuh kita dapat diatasi.
       Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya aku akan membunuhnya”. Makna ucapan khalifah keempat tersebut ialah bahwa ia mendeklarasikan secara tegas “perang terhadap kemiskinan”. Pada masa krisis ekonomi yang masih berlangsung masalah kemiskinan sedang menjadi isu penting, karena jumlah rakyat miskin membengkak secara luar biasa, dari 22,5 juta menjadi hampir 100 juta jiwa.
       Islam menyediakan seperangkat ajaran yang komprehensif utnuk memecahkan masalah kemiskinan, diantaranya melalui lembaga zakat, infaq, sedekah (ZIS) tersebut.
       Zakat sebagai instrumen ekonomi dalam Islam tampaknya belum dapat dikelola dengan baik dan profesional di negeri ini. Banyak faktor bisa dikemukakan untuk mendukung statemen tersebut. Mulai dari tidak efektifnya UU No 38/ 1999, hingga kinerja Badan/Lembaga Amil Zakat yang tidak optimal.
       Potensi zakat di Indonesia sesungguhnya sangat besar. Kalau negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, boleh jadi 210 juta dari 220 juta warga itu muslim. Implikasinya kalau 39%-nya miskin, maka bagian terbesar warga miskin adalah beragama Islam. Yang termasuk kategori sedang dan kaya 61%.
       Menurut penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan The Ford Foundation, potensi zakat di Indonesia tahun 2006 adalah Rp 19,3 triliun; Rp 5,1 triliun dalam bentuk barang dan Rp 14,2 triliun tunai. Penelitian yang melibatkan 1.500 responden di 11 provinsi, yang terdiri dari 50 BAZ dan 50 LAZ menemukan bahwa zakat fitrah menempati 33 % dari total dana sosial/pertahun (Rp 6,2 triliun), dan sisanya zakat maal.
       Lebih lanjut penelitian tersebut mengungkapkan bahwa 61% zakat fitrah, diberikan langsung kepada penerima, sisanya dititipkan melalui Badan/Lembaga Amil Zakat. Untuk zakat mal, 93 % diberikan langsung kepada penerima, tanpa melibatkan Badan/Lembaga Amil Zakat yang sudah profesional.
       Dengan kata lain, penerima zakat fitrah dan mal 70% adalah masjid. Walhasil, Badan Amil Zakat (BAZ) hanya mampu menghimpun sebanyak 5% zakat fittrah, dan 3% zakat mal. Sementara Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya menghimpun 4% zakat mal.
       Alasan yang dikemukakan dari responden bermacam-macam, pertama, membagi sendiri lebih mudah dilakukan. Kedua, nilai zakat yang dibayarkan relatif kecil. Ketiga, sulit mengakses layanan BAZ/LAZ, dan keempat, 10 % masyarakat tidak percaya kepada BAZ/LAZ.
       Penelitian Pirac mengasumsikan potensi zakat di Indonesia adalah Rp 20 triliun/tahun. Angka tersebut belum terurus dengan baik, karena masih kecilnya penyaluran zakat melalui BAZ/LAZ, yang antara lain faktor kedekatan jarak. Karena 80% responden lebih senang menyalurkan dana zakat ke panitia setempat.
H.      Pengaruh Zakat Terhadap Perekonomian
       Zakat yang diberikan kepada mustahiq akan berperan sebagai pendukung peningkatan ekonomi mereka apabila dikonsumsikan pada kegiatan produktif. Pendayagunaan zakat produktif sesungguhnya mempunyai konsep perencanaan dan pelaksanaan yang cermat seperti mengkaji penyebab kemiskinan, ketidakadaan modal kerja, dan kekurangan lapangan kerja, dengan adanya masalah tersebut maka perlu adanya perencanaan yang dapat mengembangkan zakat bersifat produktif tersebut.[13]
       Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara dijadikannya dana zakat sebagai modal usaha, untuk pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan supaya fakir miskin dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya secara konsisten. Dengan dana zakat tersebut fakir miskin akan mendapatkan penghasilan tetap, meningkatkan usaha, mengembangkan usaha serta mereka dapat menyisihkan penghasilannya untuk menabung
       Dana zakat untuk kegiatan produktif akan lebih optimal bila dilaksanakan Lembaga Amil Zakat karena LAZ sebagai organisasi yang terpercaya untuk pengalokasian, pendayagunaan, dan pendistribusian dana zakat, mereka tidak memberikan zakat begitu saja melainkan mereka mendampingi, memberikan pengarahan serta pelatihan agar dana zakat tersebut benar-benar dijadikan modal kerja sehingga penerima zakat tersebut memperoleh pendapatan yang layak dan mandiri.
       Dengan berkembangnya usaha kecil menengah dengan modal berasal dari zakat akan menyerap tenaga kerja. Hal ini berarti angka pengangguran bisa dikurangi, berkurangnya angka pengangguran akan berdampak pada meningkatnya daya beli masyarakat terhadap suatu produk barang ataupun jasa, meningkatnya daya beli masyarakat akan diikuti oleh pertumbuhan produksi, pertumbuhan sektor produksi inilah yang akan menjadi salah satu indikator adanya pertumbuhan ekonomi.
       Zakat dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk modal bagi usaha kecil. Dengan demikian, zakat memiliki pengaruh yang sangat besar dalam berbagai hal kehidupan umat, di antaranya adalah pengaruh dalam bidang ekonomi. Pengaruh zakat yang lainnya adalah terjadinya pembagian pendapatan secara adil kepada masyarakat Islam.
       Dengan kata lain, pengelolaan zakat secara profesional dan produktif dapat ikut membantu perekonomian masyarakat lemah dan membantu pemerintah dalam meningkatkan perekonomian negara, yaitu terberdayanya ekonomi umat sesuai dengan misi-misi yang diembannya. Diantara misi-misi tersebut adalah:[14]
1.      Misi pembangunan ekonomi dan bisnis yang berpedoman pada ukuran ekonomi dan bisnis yang lazim dan bersifat universal.
2.      Misi pelaksanaan etika bisnis dan hukum;
3.      Misi membangun kekuatan ekonomi untuk Islam, sehingga menjadi sumber dana pendukung dakwah Islam


DAFTAR PUSTAKA
Muhammad dan Ridwan Mas’ud (2005). Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. (Yogyakarta: UII Press)
Hafidhhuddin, Didin (2002) dalam buku, Zakat Dalam Perekonomian Modern. (Jakarta: Gema Insani)
Azizy, Qodri (2004). Membangun Fondasi Ekonomi Umat (Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam), cet. 1. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Muhammad, Rifqi (2006). ”Akuntansi Lembaga Keuangan Publik Islam”, Modul Mata Kuliah. (Yogyakarta: FIAI UII)
Ridwan, Muhammad (2005). Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil(BMT), cet 2. (Yogyakarta: UII Press)
Daud Ali, Mohammad (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, cet. 1. (Jakarta: UI Press)
Qadir, Abduracchman (2001). Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. Cet. 2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada)
Saefuddin, Ahmad M.  (1987). Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, ed.1 cet.1. (Jakarta: CV Rajawali)
Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf (1982), Pedoman Zakat (4), (Jakarta: Departemen Agama)
Sabiq, Sayyid. (1977). Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr
Yustika, Ahmad Erani dan Jati Andrianto. Jurnal Ilmiah, Journal of Thought and Ideas, Volume I August: 6-14 “Zakat, Justice, and Social Equality”
inilah.com, Juli 2008 | Hilmi, SE, M.Si (Ketua Bidang Ekonomi Yayasan Bening Hati Alumni Pascasarjana Ekonomi Syariah UI)
Suara Merdeka, Kolom WACANA oleh Prof Dr Ahmad Rofiq, Sekretaris MUI Jateng
Agustiantocentre.com, Jumat 15-04-2011 oleh: Agustianto, Dosen Pascasarjana Ekonomi Keuangan Syariah PSTTI UI, Program S2 IEF Trisakti, S2 MBKI Univ.Paramadina




[1] Dikutip oleh K. H. Didin Hafidhhuddin (2002) dalam buku, Zakat Dalam Perekonomian Modern. (Jakarta: Gema Insani), hlm. 7.
[2] Muhammad dan Ridwan Mas’ud. Zakat., hlm. 34
[3] Ibid, hlm. 42
[4] A. Qodri Azizy (2004). Membangun Fondasi Ekonomi Umat (Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam), cet. 1. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm 148-149.
[5] Abduracchman Qadir (2001). Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. Cet. 2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) hlm. 83-84.
[6] Jurnal Ilmiah, Journal of Thought and Ideas, Ahmad Erani Yustika dan Jati Andrianto, “Zakat, Justice, and Social Equality”  Volume I August: 6-14.
[7] Rifqi Muhammad (2006). ”Akuntansi Lembaga Keuangan Publik Islam”, Modul Mata Kuliah. (Yogyakarta: FIAI UII), hlm 2.
[8] Muhammad Ridwan (2005). Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil(BMT), cet 2. (Yogyakarta: UII Press), hlm. 207 – 208.
[9] Dikutip dari Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (1977), Beirut: Dar al-Fikr
[10]Dikutipdari inilah.com, Juli 2008 | Hilmi, SE, M.Si (Ketua Bidang Ekonomi Yayasan Bening Hati Alumni Pascasarjana Ekonomi Syariah UI)

[11]Dikutip dari agustiantocentre.com, Jumat 15-04-2011 | oleh: Agustianto, Dosen Pascasarjana Ekonomi Keuangan Syariah PSTTI UI, Program S2 IEF Trisakti, S2 MBKI Univ.Paramadina

[12] Dikutip dari Suara Merdeka, Kolom WACANA oleh Prof Dr Ahmad Rofiq, Sekretaris MUI Jateng

[13] Mohammad Daud Ali (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, cet. 1. (Jakarta: UI Press), hlm. 52-53.
[14] Muhammad dan Ridwan Mas’ud (2005). Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. (Yogyakarta: UII Press), hlm. 127.

0 komentar:

 
Top