ZAKAT DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT
A.
Pengertian Zakat
Ditinjau
dari segi bahasa, menurut lisan orang arab, kata zakat merupakan kata dasar (masdar)
dari zakat yang berarti suci, berkah, tumbuh, dan terpuji, yang semua arti ini
digunakan didalam menerjemahkan Al-Qur’an dan hadits.
Menurut
terminologi syariat(istilah), zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu
yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk
dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan
tertentu pula.[1]
Kaitan
antara makna bahasa dan istilah ini berkaitan erat sekali, yaitu bahwa setiap
harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah,
tumbuh dan berkembang. Dalam penggunaannya, selain untuk
kekayaan, tumbuh dan suci disifatkan untuk jiwa orang yang menunaikan zakat.
Maksudnya, zakat itu akan mensucikan orang yang mengeluarkannya dan menumbuhkan
pahalanya.[2] Sedangkan
dalam istilah ekonomi, zakat
merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari golongan kaya kepada golongan tidak
punya.[3]
A. Qodri Azizy dalam bukunya
menyimpulkan bahwa zakat hendaknya tidak sekedar konsumtif, maka idealnya zakat
dijadikan sumber dana umat. Penggunaan zakat untuk konsumtif hanyalah untuk
hal-hal yang bersifat darurat. Artinya, ketika ada mustahiq yang tidak mungkin
untuk dibimbing untuk mempunyai usaha mandiri atau memang untuk kepentingan
mendesak, maka penggunaan konsumtif dapat dilakukan.[4]
B.
Urgensi dan Tujuan Zakat
Zakat pada era emasnya
merupakan instrumen fiskal negara yang berfungsi bukan hanya untuk
mendistribusikan kesejahteraan umat secara lebih adil dan merata tetapi juga
merupakan bagian integral akuntabilitas manusia kepada Allah SWT atas rezeki
yang telah diberikan-Nya. Namun dalam era modern saat ini, yang dikarenakan
sistem pajak telah menjadi instrumen fiskal bagi suatu negara menyebabkan zakat
hanya menjadi representasi tanggung jawab umat manusia atas limpahan rezeki
dari Allah SWT sekaligus tidak jarang hanya menjadi ritual budaya periodik umat
Islam.
Tujuan zakat tidak
sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang
lebih permanen yaitu mengentaskan kemiskinan.[5] Salah satu yang menunjang kesejahteraan hidup di dunia
dan menunjang hidup di akherat adalah adanya kesejahteraan sosial-ekonomi. Ini
merupakan seperangkat alternatif untuk mensejahterakan umat Islam dari
kemiskinan dan kemelaratan. Untuk itu perlu dibentuk lembaga-lembaga sosial
Islam sebagai upaya untuk menanggulangi masalah sosial tersebut.
Sehubungan dengan hal itu, maka zakat dapat berfungsi sebagai
salah satu sumber dana sosial-ekonomi bagi umat Islam. Artinya pendayagunaan
zakat yang dikelola oleh Badan Amil Zakat tidak hanya terbatas pada kegiatan-
kegiatan tertentu saja yang berdasarkan pada orientasi konvensional, tetapi
dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi umat, seperti dalam
program pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan memberikan zakat
produktif kepada mereka yang memerlukan sebagai modal usaha.
Zakat memiliki
peranan yang sangat strategis dalam upaya pengentasan kemiskinan atau
pembangunan ekonomi. Berbeda dengan sumber keuangan untuk pembangunan yang
lain, zakat tidak memiliki dampak balik apapun kecuali ridha dan mengharap
pahala dari Allah semata. Namun demikian, bukan berarti mekanisme zakat tidak
ada sistem kontrolnya.
C. Signifikansi Zakat
Kewajiban zakat dan dorongan untuk terus
menerus berinfaq dan bershadaqah yang demikian mutlak dan tegas itu, disebabkan
karena di dalam ibadah ini terkandung berbagai hikmah dan manfaat
(signifikansi) yang demikian besar dan mulia baik bagi muzakki (orang yang
harus berzakat), mustahiq maupun masyarakat keseluruhan, antara lain tersimpul
sebagai berikut:[6]
1.
Sebagai realisasi
iman kepada Allah SWT, berzakat merupakan upaya mensyukuri nikmatnya. Zakat
adalah ibadah, karena itu aturannya harus sesuai dengan petunjuk syari’ah.
2.
Sebagai sumber dana bagi pembangunan sarana maupum prasarana yang
dibutuhkan umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial dan
ekonomi, sekaligus sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia muslim.
3.
Menolong, membantu dan membina kaum Dhuafa’ (orang
yang lemah secara ekonomi) maupum mustahiq lainnya ke arah kehidupan yang lebih
baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya
kekufuran, sekaligus memberantas sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin
timbul ketika mereka (orang-orang fakir miskin) melihat orang kaya yang
berkecukupan hidupnya tidak mempedulikan mereka.
4.
Untuk mewujudkan keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi harta,
sehingga diharapkan akan lahir masyarakat marhamah di atas prinsip ukhuwah Islamiyah
dan takaful ijtima’i.
5.
Zakat mengembangkan harta benda, pengembangan tersebut dapat ditinjau dari
segi spiritual keagamaan berdasarkan firman Allah, “Allah memusnahkan riba
(tidak berkah), dan mengembangkan sedekah (zakat)”. (QS 2:276).
6.
Menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kemanusiaan yang
tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketegangan batin dan
kehidupan, sekaligus mengembangkan harta yang dimiliki.
7.
Menyebarkan
dan memasyarakatkan etika bisnis yang baik dan benar.
D.
Organisasi
Pengelola Zakat
Pengertian Organisasi Pengelola Zakat
Organisasi Pengelola Zakat merupakan sebuah
institusi yang bergerak di bidang pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqah.[7] Definisi menurut UU Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat.
Fungsi Organisasi Pengelola Zakat
Organisasi pengelola zakat apapun bentuk dan
posisinya secara umum mempunyai dua fungsi yakni[8]:
a.
Sebagai perantara keuangan
Amil berperan menghubungkan antara pihak Muzakki
dengan Mustahiq. Sebagai perantara keuangan Amil dituntut menerapkan
azas trust (kepercayaan). Amil
yang disebut secara eksplisit dalam QS. Al-Taubah: 60 sesungguhnya memiliki
peran penting. Yusuf Qardhawi menyebutkan, ada empat peran amil;
1.
Untuk mengingatkan
muzaki, karena naluriah manusia adalah bakil.
2.
Menjaga “air
muka” para mustahik. Karena dengan perantaraan amil, mereka tidak harus bertemu
langsung dengan muzaki. Lebih dari itu, dengan cara kerja amil yang proaktif
mendatangi muzaki dan mustahik, mereka yang hidupnya kekurangan namun tidak
membiarkan diri mereka meminta-minta di jalanan, akan mendapat perhatian secara
proporsional.
3.
Untuk mengontrol
agar mustahik menerima pemberian zakat dari mana-mana. Karena prioritas
pendistribusian zakat kepada para mustahik juga harus dilaksanakan secara
proporsional.
4.
Untuk menentukan
prioritas dan pendistribusian zakat yang produktif dan konsumtif. Ini
diharapkan dalam satuan waktu tertentu, mustahik dapat berubah menjadi muzaki,
dengan mengembangkan zakat yang diterimanya sebagai modal usaha.
b.
Pemberdayaan
Fungsi
ini, sesungguhnya upaya mewujudkan misi pembentukan Amil, yakni bagaimana
masyarakat Muzakki menjadi lebih berkah rezekinya dan ketentraman
kehidupannya menjadi terjamin disatu sisi dan masyarakat Mustahiq tidak
selamanya tergantung dengan pemberian bahkan dalam jangka panjang diharapkan
dapat berubah menjadi Muzakki baru.
E. Zakat Hilangkan Kemiskinan
Kemiskinan
merupakan bahaya besar bagi umat manusia dan tidak sedikit umat yang jatuh
peradabannya hanya karena kefakiran. Karena itu seperti sabda Nabi yang
menyatakan bahwa kefakiran itu mendekati pada kekufuran.[9] Islam
sebagai Ad-diin telah menawarkan beberapa doktrin bagi manusia yang berlaku
secara universal dengan dua ciri dimensi, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan
hidup di dunia serta kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di akhirat.
Salah
satu cara menanggulangi kemiskinan adalah dukungan orang yang mampu untuk
mengeluarkan harta kekayaan mereka berupa dana zakat kepada mereka yang
kekurangan. Zakat merupakan salah
satu dari lima nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada
tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya
Kalau kita lihat pada sistem pengololaan
dana zakat yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz yaitu memberikan kepada
mereka yang memilki daya beli rendah, sehigga meningkatkan permintaan dan
akhirnya meningkatkan produksi nasional. Pola
distribusi zakat seperti ini tidak hanya menghilangkan kemiskinan absolute akan
tetapi juga meningkatkan perekonomi secara makro.
Kebijakan yang dilakukan Khalifah Umar
agar mereka mampu meningkatkan daya beli mereka dari dana zakat yang mereka
peroleh, kemudian dana tersebut digunakan sebagai modal kerja untuk membeli
barang-barang produksi. Dana zakat tersebut akan terus
berkembang karena semakin banyak orang yang menggunakanya sebagai dana
produktif.
Langkah yang
dilakukan Khalifah Umar dapat diadopsi ke Negara Indonesia, dengan langkah-
langkah sebagai berikut.[10]
Pertama, pemerintah melalui kementerian urusan zakat hendaknya
melakukan pendataan terhadap kaum mustahiq dengan menggunakan lembaga
independent yang bebas dari nepotisme. Selanjutnya dana zakat didistribusikan melalui
badan pengelola zakat swasta maupun milik pemerintah kepada kaum mustahiq
dengan rekomendasi lembaga independent tersebut. Pendistribusi dana zakat oleh
lembaga pengelola juga harus diikuti dengan melakukan manajemen terhada
mustahiq yang memperoleh dana tersebut. Pengelolaan dilakukan secara
desentralisasi dengan batasan wilayah propinsi masing-masing. Kebijakan ini
diusahakan untuk meningkatkan kesejahtera masyarakat diwilayah tersebut. Kedua, salah satu keberhasilan khalifah umar mengembangkan zakat
produktif karena sifat kejujurannya yang diturunkan kepada masyarakat.
Pelajaran yang diambil dari kejujuran beliau adalah menggambarkan sifat
transparansi yang harus diterapkan dalam pengelolan dana zakat. Untuk menjaga
transparansi pengelolaan dana zakat hendaknya dibuat satu badan independent
yang mengawasi langsung perolehan dan pengalokasian dana tersebut. Badan tersebut
berhak melakukan audit terhadap lembaga zakat yang mengelola dan berhak pula membuat
rekomendasi kepada menteri zakat untuk memberhentikan operasionalnya, jika
terjadi mismanage dana zakat tersebut. Ketiga, dengan
melakukan stimulant terhadap para pembayar zakat berupa kompensasi pajak secara
langsung. Penerapan zakat pengurang pajak selama ini hanya pada tataran zakat
tersebut sebagai biaya pengurang penghasilan. Pengaruhnya tentu tidak besar
bagi para pembayar pajak yang juga merupakan para pembayar zakat karena tidak
dikreditkan langsung pada pajak terutang.
Akan tetapi tentu
akan lebih terasa besarnya pengaruh zakat terhadap pajak jika zakat tersebut
dapat di kreditkan langsung ke pajak penghasilan. Logika penggunaannya tentu
sama saja. Pajak digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan karyawan begitu
juga zakat yang memiliki implikasi kesejahteraan dunia dan akhirat.
Sebuah harapan yang sangat besar
rekomendasi konferensi dewan zakat asia tenggara (DZAT) dapat diimplemetasikan
segera, dan bahkan juga berharap pemerintah berperan aktif dalam mewujudkan
rekomendasi tersebut. Kita sudah rindu dengan zaman
seperti khilafah Umar bin Abdul Aziz.
Fakta sejarah
membuktikan di zaman sahabat, ummayah dan Abbasiah, ekonomi umat, bila potensi
zakat umat digali secara optimal. Di zaman Umar bin Abdul Aziz dalam tempo 30
bulan tidak ditemukan lagi masyarakat miskin, karena semua muzakki mengeluarkan
zakat dan distribusi zakat tidak sebatas konsumtif, tetapi juga produktif.
Kenyataan itu harus kita wujudkan saat ini agar kemiskinan yang menjadi musuh kita
dapat diatasi.
Ali bin Abi
Thalib pernah berkata, “Seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya
aku akan membunuhnya”. Makna ucapan khalifah keempat tersebut ialah bahwa ia
mendeklarasikan secara tegas “perang terhadap kemiskinan”. Pada masa krisis
ekonomi yang masih berlangsung masalah kemiskinan sedang menjadi isu penting,
karena jumlah rakyat miskin membengkak secara luar biasa, dari 22,5 juta
menjadi hampir 100 juta jiwa.
Islam
menyediakan seperangkat ajaran yang komprehensif utnuk memecahkan masalah
kemiskinan, diantaranya melalui lembaga zakat, infaq, sedekah (ZIS) tersebut.
Zakat sebagai
instrumen ekonomi dalam Islam tampaknya belum dapat dikelola dengan baik dan
profesional di negeri ini. Banyak faktor bisa dikemukakan untuk mendukung
statemen tersebut. Mulai dari tidak efektifnya UU No 38/ 1999, hingga kinerja
Badan/Lembaga Amil Zakat yang tidak optimal.
Potensi zakat di
Indonesia sesungguhnya sangat besar. Kalau negeri yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, boleh jadi 210 juta dari 220 juta warga itu muslim.
Implikasinya kalau 39%-nya miskin, maka bagian terbesar warga miskin adalah
beragama Islam. Yang termasuk kategori sedang dan kaya 61%.
Menurut penelitian
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan
The Ford Foundation, potensi zakat di Indonesia tahun 2006 adalah Rp 19,3
triliun; Rp 5,1 triliun dalam bentuk barang dan Rp 14,2 triliun tunai.
Penelitian yang melibatkan 1.500 responden di 11 provinsi, yang terdiri dari 50
BAZ dan 50 LAZ menemukan bahwa zakat fitrah menempati 33 % dari total dana
sosial/pertahun (Rp 6,2 triliun), dan sisanya zakat maal.
Lebih lanjut
penelitian tersebut mengungkapkan bahwa 61% zakat fitrah, diberikan langsung
kepada penerima, sisanya dititipkan melalui Badan/Lembaga Amil Zakat. Untuk
zakat mal, 93 % diberikan langsung kepada penerima, tanpa melibatkan
Badan/Lembaga Amil Zakat yang sudah profesional.
Dengan kata lain,
penerima zakat fitrah dan mal 70% adalah masjid. Walhasil, Badan Amil Zakat
(BAZ) hanya mampu menghimpun sebanyak 5% zakat fittrah, dan 3% zakat mal.
Sementara Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya menghimpun 4% zakat mal.
Alasan yang
dikemukakan dari responden bermacam-macam, pertama, membagi sendiri lebih mudah
dilakukan. Kedua, nilai zakat yang dibayarkan relatif kecil. Ketiga, sulit
mengakses layanan BAZ/LAZ, dan keempat, 10 % masyarakat tidak percaya kepada
BAZ/LAZ.
Penelitian Pirac mengasumsikan potensi
zakat di Indonesia adalah Rp 20 triliun/tahun. Angka tersebut belum terurus
dengan baik, karena masih kecilnya penyaluran zakat melalui BAZ/LAZ, yang
antara lain faktor kedekatan jarak. Karena 80% responden lebih senang
menyalurkan dana zakat ke panitia setempat.
H. Pengaruh Zakat Terhadap
Perekonomian
Zakat yang diberikan kepada mustahiq akan berperan sebagai pendukung
peningkatan ekonomi mereka apabila dikonsumsikan pada kegiatan produktif.
Pendayagunaan zakat produktif sesungguhnya mempunyai konsep perencanaan dan
pelaksanaan yang cermat seperti mengkaji penyebab kemiskinan, ketidakadaan
modal kerja, dan kekurangan lapangan kerja, dengan adanya masalah tersebut maka
perlu adanya perencanaan yang dapat mengembangkan zakat bersifat produktif
tersebut.[13]
Pengembangan
zakat bersifat produktif dengan cara dijadikannya dana zakat sebagai modal
usaha, untuk pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan supaya fakir miskin dapat
menjalankan atau membiayai kehidupannya secara konsisten. Dengan dana zakat tersebut fakir miskin akan mendapatkan
penghasilan tetap, meningkatkan usaha, mengembangkan usaha serta mereka dapat
menyisihkan penghasilannya untuk menabung
Dana zakat untuk kegiatan produktif akan lebih optimal bila
dilaksanakan Lembaga Amil Zakat karena LAZ sebagai organisasi yang terpercaya
untuk pengalokasian, pendayagunaan, dan pendistribusian dana zakat, mereka
tidak memberikan zakat begitu saja melainkan mereka mendampingi, memberikan
pengarahan serta pelatihan agar dana zakat tersebut benar-benar dijadikan modal
kerja sehingga penerima zakat tersebut memperoleh pendapatan yang layak dan
mandiri.
Dengan berkembangnya usaha kecil menengah dengan modal berasal
dari zakat akan menyerap tenaga kerja. Hal ini berarti angka pengangguran bisa
dikurangi, berkurangnya angka pengangguran akan berdampak pada meningkatnya
daya beli masyarakat terhadap suatu produk barang ataupun jasa, meningkatnya
daya beli masyarakat akan diikuti oleh pertumbuhan produksi, pertumbuhan sektor
produksi inilah yang akan menjadi salah satu indikator adanya pertumbuhan
ekonomi.
Zakat dapat dijadikan sebagai salah satu
bentuk modal bagi usaha kecil. Dengan demikian, zakat memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam berbagai hal kehidupan umat, di
antaranya adalah pengaruh dalam bidang ekonomi. Pengaruh zakat yang lainnya
adalah terjadinya pembagian pendapatan secara adil kepada masyarakat Islam.
Dengan
kata lain, pengelolaan zakat secara profesional dan produktif dapat ikut
membantu perekonomian masyarakat lemah dan membantu pemerintah dalam
meningkatkan perekonomian negara, yaitu terberdayanya ekonomi umat sesuai
dengan misi-misi yang diembannya. Diantara misi-misi tersebut adalah:[14]
1.
Misi pembangunan ekonomi dan bisnis yang berpedoman pada ukuran
ekonomi dan bisnis yang lazim dan bersifat universal.
2.
Misi pelaksanaan etika bisnis dan hukum;
3.
Misi membangun kekuatan ekonomi untuk Islam, sehingga menjadi
sumber dana pendukung dakwah Islam
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad dan Ridwan Mas’ud (2005). Zakat dan
Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. (Yogyakarta: UII Press)
Hafidhhuddin, Didin (2002) dalam buku, Zakat Dalam
Perekonomian Modern. (Jakarta: Gema Insani)
Azizy, Qodri (2004). Membangun Fondasi Ekonomi Umat
(Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam), cet. 1. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar)
Muhammad, Rifqi (2006). ”Akuntansi Lembaga Keuangan
Publik Islam”, Modul Mata Kuliah. (Yogyakarta: FIAI UII)
Ridwan, Muhammad (2005). Manajemen Baitul Maal Wa
Tamwil(BMT), cet 2. (Yogyakarta: UII Press)
Daud Ali, Mohammad (1988). Sistem Ekonomi Islam
Zakat dan Wakaf, cet. 1. (Jakarta: UI Press)
Qadir, Abduracchman (2001). Zakat Dalam Dimensi
Mahdah dan Sosial. Cet. 2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada)
Saefuddin, Ahmad M.
(1987). Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, ed.1
cet.1. (Jakarta: CV Rajawali)
Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf (1982), Pedoman
Zakat (4), (Jakarta: Departemen Agama)
Sabiq, Sayyid. (1977). Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr
Yustika, Ahmad Erani dan Jati Andrianto. Jurnal Ilmiah, Journal of
Thought and Ideas, Volume I August: 6-14 “Zakat, Justice, and Social
Equality”
inilah.com, Juli 2008 |
Hilmi, SE, M.Si (Ketua Bidang Ekonomi Yayasan Bening Hati Alumni Pascasarjana
Ekonomi Syariah UI)
Suara Merdeka, Kolom WACANA oleh Prof Dr Ahmad Rofiq, Sekretaris
MUI Jateng
Agustiantocentre.com, Jumat 15-04-2011 oleh: Agustianto, Dosen
Pascasarjana Ekonomi Keuangan Syariah PSTTI UI, Program S2 IEF Trisakti, S2
MBKI Univ.Paramadina
[1] Dikutip oleh K. H. Didin Hafidhhuddin (2002) dalam buku, Zakat
Dalam Perekonomian Modern. (Jakarta: Gema Insani), hlm. 7.
[2] Muhammad dan Ridwan
Mas’ud. Zakat., hlm. 34
[3] Ibid, hlm. 42
[4] A. Qodri Azizy (2004). Membangun Fondasi Ekonomi Umat
(Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam), cet. 1. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar), hlm 148-149.
[5] Abduracchman
Qadir (2001). Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. Cet. 2 (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada) hlm. 83-84.
[6]
Jurnal Ilmiah,
Journal of Thought and Ideas, Ahmad Erani Yustika dan Jati Andrianto, “Zakat,
Justice, and Social Equality” Volume
I August: 6-14.
[7] Rifqi Muhammad (2006). ”Akuntansi Lembaga
Keuangan Publik Islam”, Modul Mata Kuliah. (Yogyakarta: FIAI UII), hlm 2.
[8] Muhammad Ridwan (2005). Manajemen Baitul Maal Wa
Tamwil(BMT), cet 2. (Yogyakarta: UII Press), hlm. 207 – 208.
[9] Dikutip
dari Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah
(1977), Beirut: Dar al-Fikr
[10]Dikutipdari inilah.com, Juli 2008
| Hilmi, SE, M.Si (Ketua Bidang Ekonomi Yayasan Bening Hati Alumni Pascasarjana
Ekonomi Syariah UI)
[11]Dikutip dari agustiantocentre.com, Jumat
15-04-2011 | oleh: Agustianto, Dosen Pascasarjana Ekonomi Keuangan Syariah
PSTTI UI, Program S2 IEF Trisakti, S2 MBKI Univ.Paramadina
[13] Mohammad Daud Ali (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan
Wakaf, cet. 1. (Jakarta: UI Press), hlm. 52-53.
[14] Muhammad dan Ridwan Mas’ud (2005). Zakat dan Kemiskinan
Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. (Yogyakarta: UII Press), hlm. 127.
0 komentar:
Post a Comment