BAB I
PENDAHULUAN


Gagasan modern yang kita kenal mengenai civil society berawal dari surutnya pengaruh Gereja Katolik dalam masyarakat luas, lahirnya perlawanan terhadap feodalisme dan tumbuhnya kelas borjuis baru di Eropa yang lahir bersamaan dengan zaman Rennaisance. Secara etismologis, istilah civil turun dari kata dalam bahasa Latin untuk warganegara civis dan untuk komunitas politis civitas. Istilah ini menunjuk pada pembedaan mendasar antara penduduk kota yang terikat satu sama lain secara social dan secara politis oleh ikatan kewarganegaraan dan penduduk yang hidup sebagai petani di luar kota. Pada Abad Pertangahan, kota memiliki makna social, cultural dan politis distingtif.
Secara jasmani, kota dibangun sebagai suatu kantung perlindungan yang kerap dikelilingi oleh benteng-benteng . imajinasi dualistis ini menghuni alam pikir periode ini: penghuni kota - petani (dalam bahasa Jerman: burgher/bauer dan bahasa Italia Borghese/peasano). Keanggotaan dalam suatu komunitas dirumuskan secara legal, kontitusional dan politis yang terwujudkan dalam gagasan tentang warganegara dan kewarganegaraan. Gagasan ini kemudian dirumuskan secara intelektual dalam karya Niccolo Machiavelli (1469-1527) dan Francesco Guicciardini (1433-1540).


BAB II
PEMBAHASAN
CIVIL SOCIETY (MASYARAKAT MADANI)



A.    SEJARAH CIVIL SOCIETY
Ditinjau dari segi sejarahnya konsep civil society berasal dari dunia Barat, dan Marcus Tullius Cicero, salah satu seorang filosof dari bangsa Romawi (106-43 SM) tercatat sebagai orang yang pertama kali menggunakan istilah socies civilis dalam filsafat politiknya. Sampai dengan abad ke 18, dalam tradisi Eropa pengertian Civil Society dianggap sama dan sebangun dengan pengertian negara (the state), yaitu suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi terhadap seluruh kelompok lainnya.
Konsep civil society yang ditekankan pada sistem kenegaraan ini antara lain dapat diikuti dari teori yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes. Apa yang dimaksud dengan civil society bagi Hobbes haruslah memiliki kekuatan yang absolut yang digambarkan dengan istilah Leviathan agar dengan demikian dapat mengendalikan dan mengawasi secara ketat perilaku politik yang dilakukan oleh warga negaranya.
Pada pertengahan abad ke 18, istilah civil society dan negara mulai dibedakan pengertiannya, sebagai akibat dari berlangsungnya proses pembentukan sosial dan berbagai perubahan struktural politik di Eropa akibat adanya pencerahan dan modernisasi dalam menghadapi persoalan-persoalan duniawi. Civil society oleh para pemikir politik pernah dipahami secara radikal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas Paine yang menggunakan istilah society sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara, bahakn dianggapnya sebagai antitesis dari negara.
Dengan demikian, civil society menurut Panie adalah suatu ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadiannya dan memberikan peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. Paine mengidealkan terciptanya ruang gerak yang menjadi domain masyarakat di mana intervensi negara didalamnya  merupakan aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Dan untuk mewujudkan hal yang seperti itu, maka civil society harus lebih kuat dan mampu mengontrol aktivitas negara demi mencukupi kebutuhannya.
Dari beberapa pendapat tentang apa yang dimaksud dengan civil society seperti diatas, AS Hikam mendefinisikan sebagai berikut yaitu sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voulenteer), keswasembadaan, dan keswadayaan, memiliki kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Sebagai sebuah ruang politik, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap didalam suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat.

B.     KARAKTERISTIK CIVIL SOCIETY
Suatu masyarakat baru dapat dinyatakan sebagai masyarakat madani (civil society) kalau didalamnya terdapat ciri-ciri khaas yang menandainya. Menurut Daniel Bell ada tiga ciri utama yang menandai civil society diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara.
2.      Adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik.
3.      Adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.
Sementara yang lain menandai adanya lima karakter yang menjadi ciri khasnya, kelima karakter tersebut yaitu:
1.      Free public sphere
Yang dimaksud dengan free public sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran.
2.      Demokratis
Demokrasi dalam pengertian yang luas merupakan satu salah satu syarat mutlak bagi penegakan civil society.
3.      Toleran
Civil society meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.
4.      Tegaknya supremasi hukum
Dengan adanya tegaknya supremasi hukum maka masyarakat madani akan lebih nyaman dengan adanya perlindungan dari negara.
5.      Pluralis
Pluralisme menurut Nurcholis Madjid adalah peralian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang majemuk, yaitu masyarakat yang tidak monolitik.
6.      Keadilan sosial (social justice)
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
           



C.    TIANG PENYANGGA CIVIL SOCIETY (MASYARAKAT MADANI)
Dalam suatu masyarakat yang bercirikan civil society atau masyarakat madani ada beberapa tiang penyangga yang menjadi pendukung utamanya, diantaranya adalah:
1.      Partai politik yang independen
2.      Lembaga swadaya masyarakat yang bukan perpanjangan tangan dari kekuasaan luar secara terselubung
3.      Pers yang bebas, yang berperan sebagai social control
4.      Perguruan Tinggi  yang memerankan diri sebagai moral force untuk menyalurkan berbagai aspirasi masyarakat serta mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.

D.    MASYARAKAT MADANI
Istilah masyarakat madani pertama kali dikemukakan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim untuk menterjemahkan istilah civil society. Dengan singkat Anwar mensifati masyarakat madani sebagai masyarakat yang memiliki peradaban maju. Penterjemahan civil society menjadi masyarakat madani ini dilatar belakangi oleh konsep kata ilahi, kata peradaban, atau masyarakat kota.
Istilah madani sendiri mempunyai hubungan yang sangat erat sekali dengan istilah tamadun atau peradaban. Bertolak dari makna seperti ini masyarakat madani diartikan sebagai suatu masyarakat yang beradab, masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan penghormatan bahwa secara difinitif masyarakat madani merupakan konsep masyarakat ideal yang  mengandung dua komponen besar yaitu masyarakat kota dan beradab.
Robert N. Bellah, ahli sosiologi agama yang cukup terkemuka dalam bukunya “Beyond Belief,” 1976: 150-151 menyatakan bahwa civil society atau masyarakat madani yang benar-benar telah terwujud secara riel, konkrit adalah masyarakat yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW di kota Madinah. Ia menyatakan bahwa gerakan reformasi Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat baru yang memiliki pranata dan aturan main yang jelas, bukan saja berimplikasikan pada kesejahteraan dan kedamaian intern masyarakat muslim, tetapi juga seluruh warga Madinah menjadi masyarakat baru yang beradab.
Negara Madinah merupakan contoh konkrit tentang kerukunan hidup bernegara maupun hidup beragama. Piagam Madinah merupakan sebuah konsensus bersama antara berbagai golongan, baik ras, suku maupun agama, yang paling demokratis sepanjang sejarah. Piagam Madinah telah mewariskan kepada kita prinsip-prinsip yang tahan banting sejarah dalam menegakan masyarakat pluralistis yang harmonis.


BAB III
KESIMPULAN



Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Secara etismologis, istilah civil turun dari kata dalam bahasa Latin untuk warganegara civis dan untuk komunitas politis civitas. Istilah ini menunjuk pada pembedaan mendasar antara penduduk kota yang terikat satu sama lain secara social dan secara politis oleh ikatan kewarganegaraan dan penduduk yang hidup sebagai petani di luar kota.
Sebagai sebuah ruang politik, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap didalam suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Ubaidillah, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat  Madani, (Jakarta: UIN Hidayatullah Press, 2000).

Muhammad Hikam HS, Demokrasi dan Civil Education, (Jakarta: LP3ES, 1999).

Musthafa Kamal Pasha, Pendidikan Kewarganegaraan: Civic Education, (Yogyakarta: Citra Karya Mandiri, 2002).

0 komentar:

 
Top