BAB I
PENDAHULUAN


Seorang ahli ekonomi pembangunan kenamaan melihat demokrasi sebagai meta institution atau  institusi induk yang dapat menciptakan iklim kondusif bagi tumbuhnya institusi-institusi lain yang berkualitas artinya efek dan tata kelola yang baik. Maka demokrasi menjadi penentu bagi pembangunan ekonomi.[1] Bagaiman strategi pembenahan perbankan? Langkah terpenting yang dilakukan adalah memotong spiral injeksi likuiditas kepada penbankan sambil menghindari keruntuhan sistem perbankan.
Dalam keadaan seperti pada waktu itu, penghentian injeksi likuiditas akan  mengakibatkan banyak bank rontok, tetapi apabila inflasi dan gejolak kurs harus diizinkan, kebijakan ini tidak bisa tidak harus dilakukan oleh pelaku ekonomi.[2] Dari latar belakang diatas, maka disini penulis akan menjelaskan makalah yang berjudul Keseimbangan Dalam Kebijakan Moneter yang mana sudah penulis rangkum sedemikian mungkin agar mudah untuk dimengerti dan mudah untuk dipahami oleh para pembaca.


BAB II
PEMBAHASAN
KESEIMBANGAN DALAM KEBIJAKAN MONETER


A.    PENGERTIAN KESEIMBANGAN MONETER
Keseimbangan Moneter adalah gentlement’s agreement yaitu keadaan di bidang moneter yang terjadi jika perubahan faktor ekonomi yang menambah jumlah uang beredar diimbangi oleh perubahan faktor-faktor ekonomi lainnya yang mengurangi jumlah uang beredar, misalnya kelebihan ekspor daripada impor diimbangi oleh kelebihan tabungan swasta daripada investasi.[3]
Kebijakan Moneter ini menyoroti peran kebijakan moneter yang dilakukan Indonesia dan dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia. Dalam sistem nilai tukar bebas, kebijakan moneter lebih efektif dibandingkan kebijakan fiskal dalam upaya mencapai keseimbangan dan stabilitas makroekonomi. Kebijakan moneter lebih berperan dalam menstimulasi pemulihan ekonomi. Kebijakan moneter yang efektif menjanjikan tercapainya inflasi yang rendah,stabilitas nilai tukar,dan suku bunga.

1.      Keseimbangan Sektor Rill
Istilah sektor riil dalam pembahasan mengenai ekonomi makro menggambarkan kondisi perekonomian dipandang dari sisi permintaan dan penawaran barang dan jasa.  Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi penawaran di pasar barang ini menggambarkan kemampuan perekonomian menghasilkan barang dan jasa pada suatu periode tertentu.
Sedangkan sisi permintaannya menggambarkan pengeluaran yang dilakukan oleh pelaku ekonomi, seperti rumah tangga, perusahaan, pemerintah, dan luar negeri. Stabilitas ekonomi makro dilihat dari keseimbangan antara permintaan (yang ditunjukkan oleh total pengeluaran) dan penawaran (yang ditunjukan  oleh kemampuan perekonomian tersebut menghasilkan barang dan jasa) yang terjadi di pasar tersebut.
2.      Keseimbangan Sektor Moneter (Uang)
Ada dua alasan utama memegang uang dalam ekonomi Islam,  diantaranya yakni:
a.       Motivasi transaksi, dan
b.      Motivasi berjaga-jaga
Spekulasi dalam pengertian Keynes, tidak akan pernah ada dalam ekonomi Islam. Hal ini diikuti bahwa permintaan uang untuk tujuan spekulasi (sebagian fungsi tingkat bunga) menjadi nol dalam ekonomi Islam. Oleh karena itu, permintaan uang dalam ekonomi Islam berhubungan dengan tingkat pendapatan. Keperluan uang tunai yang dipegang dalam jangka waktu penerimaan pendapatan dan pembayarannya. Besarnya persediaan uang tunai akan berhubungan dengan tingkat pendapatan dan frekuensi pengeluaran. Jika sektor moneter yang selama ini lazim dikenal dalam perekonomian tidak ingin dihilangkan dalam wacana ekonomi Islam, maka sektor investasi dapat saja diidentikkan dengan sektor moneter.
Namun yang harus dipahami bahwa definisi moneter di sini tidak merujuk pada definisi yang digunakan oleh konvensional. Sektor moneter (investasi) di sini terbatas pada penyediaan modal atau proyek-proyek investasi yang mendukung terselenggaranya aktivitas riil di pasar.
Perumusan model aktivitas investasi, baik pada sisi permintaan maupun sisi penawaran, merujuk pada nilai-nilai moral Islam yang diyakini mempengaruhi perilaku ekonomi seseorang serta segala ketentuan hukum syariah yang memang menjadi pedoman dalam berperilaku dan berinteraksi secara Islam.
Pada sisi permintaan investasi, keikutsertaan kelompok pemilik modal tergantung pada keberadaan usaha yang telah ada di pasar, di mana mereka menempatkan sebagian modalnya (uang) pada usaha yang ada, sehingga besar-kecil jumlah investasi atau penanaman modal mereka pada proyek investasi tergantung pada besar-kecilnya ekspektasi keuntungan yang ada. Semakin besar ekspektasi keuntungan, maka akan semakin besar permintaan terhadap proyek investasi tersebut.  Begitu juga sebaliknya, jika ekspektasi keuntungan kecil, maka permintaan proyek investasi pun akan turun. Seberapa besar penurunan permintaan investasi sangat tergantung pada tingkat sensitivitas permintaan tersebut terhadap pergerakan naik-turunnya ekspektasi keuntungan.
C.    KESEIMBANGAN SEKTOR MONETER DENGAN SEKTOR RIIL
Untuk menjamin kestabilan antara sektor moneter dan sektor riil, peranan pemerintah dalam hal ini Bank Sentral sangat diperlukan.  Bank Indonesia mempunyai tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, BI memerlukan instrumen kebijakan moneter untuk memengaruhi penawaran uang, antara lain:
1.      Cadangan Wajib (Giro Wajib Minimum)
  1. Operasi Pasar Terbuka Dengan Persetujuan Pembelian Kembali (Open market repurchase agreements)
  2. Suku Bunga Diskonto.
Untuk menciptakan keseimbangan antara sektor moneter dengan sektor riil kebijakan yang dapat diambil adalah:
1.      Mengontrol secara ketat atau membatasi jumlah uang yang beredar di masyarakat.
  1. Mempercepat perputaran uang yang beredar di masyarakat. Untuk mempercepat perputaran uang pemerintah harus menghapus sistem bunga/ riba dari tubuh perbankan. Jika sistem bunga dihapuskan sektor riil akan tergerak karena dana yang ada sepenuhnya diinvestasikan di sektor riil untuk memperoleh keuntungan.[4]
Oleh karena itu, dalam ekonomi Islam jumlah uang yang beredar, bukanlah variabel yang dapat ditentukan begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel eksogen. Dalam ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar ditentukan di dalam perekonomian sebagai variabel endogen, yaitu ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riil. Atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Ibnu Taymiyah pada tahun 1250an, sudah menjelaskan dengan canggih teori ini. Menurutnya, penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas-perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Di sini Ibnu Taymiyah menjelaskan hubungan jumlah uang yang beredar dan volume transaksi, dalam rangka menjamin harga yang adil. Dalam kaedah fikih ekonomi makro disebutkan Terkaitnya sector moneter/financial dengan sector riil. Jadi, dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riil. Disinilah bedanya dengan ekonomi konvensional yang memisahkan antara sektor finansial dan sektor riil. Akibat keterpisahan itu, maka arus uang (moneter) berkembang dengan cepat sekali, sementara arus barang di sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor moneter dan sektor riil menjadi sangat tidak seimbang. Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa.[5]
Fenomena ketidak seimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi pada kedua pasar keuangan di atas, yaitu di pasar modal dan pasar valas (money market) sehingga ekonomi dunia terjangkit penyakit yang bernama balon economy (bubble economy). Disebut ekonomi balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riil, bahkan sektor riil tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.
Dalam sebuah seminar di STAN Jakarta, di mana Bodiono dan Dr. Aviliani ketika itu sebagai pembicara, beliau mengatakan, bahwa perbandingan transaksi sector riil dan sector keuangan telah membengkak secara spektakuler, yakni 1 banding 3000. Ini Artinya, jika transaksi bisnis riil hanya 1 triliun US dolar setahun, maka transaksi derivative di sector keuangan 3000 kali lipatnya, yakni sebanyak 3000 triliun US dollar dalam setahun. Percepatan ini terjadi dalam 6 tahun belakangan ini.[6]
D.    PEMULIHAN EKONOMI MELALUI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA
Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan prasyarat bagi pemulihan ekonomi karena tanpa itu aktivitas ekonomi masyarakat, sektor usaha, dan sektor perbankan akan terhambat. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya jika fokus utama kebijakan moneter Bank Indonesia selama krisis ekonomi ini adalah mencapai dan memelihara kestabilan harga dan nilai tukar rupiah. Apalagi Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia secara jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang di dalamnya mengandung pengertian kestabilan harga (laju inflasi) dan kestabilan nilai tukar rupiah.
Dengan perkataan lain, sesuai dengan UU No. 23 tahun 1999 sasaran kebijakan moneter Bank Indonesia hanya satu (single objective), yaitu memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal ini berbeda dengan Undang-undang tentang Bank Sentral yang lama, yaitu UU No. 13 tahun 1968, yang menuntut Bank Indonesia untuk memenuhi beberapa sasaran sekaligus (multiple objectives), yakni mendorong kegiatan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yang pencapaiannya pada hakekatnya dapat saling bertolak belakang, terutama dalam jangka pendek[7].
Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat ini masih menerapkan kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pengendalian jumlah uang beredar atau yang di kalangan akademisi dikenal sebagai quantity approach. Di dalam kerangka tersebut Bank Indonesia berupaya mengendalikan uang primer (base money) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Dengan jumlah uang primer yang terkendali maka perkembangan jumlah uang beredar, diharapkan juga ikut terkendali. Selanjutnya, dengan jumlah uang beredar yang terkendali diharapkan permintaan agregat akan barang dan jasa selalu bergerak dalam jumlah yang seimbang dengan kemampuan produksi nasional sehingga harga-harga dan nilai tukar dapat bergerak stabil.[8]
Dengan menggunakan kerangka kebijakan moneter seperti telah diuraikan di atas, Bank Indonesia pada periode awal krisis ekonomi, terutama selama tahun 1998, menerapkan kebijakan moneter ketat untuk mengembalikan stabilitas moneter. Kebijakan moneter ketat terpaksa dilakukan karena dalam periode itu ekspektasi inflasi di tengah masyarakat sangat tinggi dan jumlah uang beredar meningkat sangat pesat. Di tengah tingginya ekspektasi inflasi dan tingkat risiko memegang rupiah, upaya memperlambat laju pertumbuhan uang beredar telah mendorong kenaikan suku bunga domestik secara tajam. Suku bunga yang tinggi diperlukan agar masyarakat mau memegang rupiah dan tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak mendesak serta tidak menggunakannya untuk membeli valuta asing.
Upaya pemulihan kestabilan moneter melalui penerapan kebijakan moneter ketat yang dibantu dengan upaya pemulihan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional mulai memberikan hasil positif sejak triwulan IV 1998. Pertumbuhan uang beredar yang melambat dan suku bunga simpanan di perbankan yang tinggi telah mengurangi peluang dan hasrat masyarakat dalam memegang mata uang asing sehingga tekanan depresiasi rupiah berangsur surut. Sejak pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah terhadap USD cenderung menguat dan kemudian bergerak relatif stabil selama tahun 1999.[9]
Sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang yang diterapkan sejak 14 Agustus 1997, perkembangan nilai tukar rupiah lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar. Di dalam sistem tersebut, penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi sejak pertengahan 1998 hingga akhir 1999 lebih banyak disebabkan oleh meredanya tekanan permintaan valas sejalan dengan terkendalinya jumlah uang beredar dan turunnya ekspektasi inflasi. Bank Indonesia hanya melakukan penjualan valas melalui mekanisme pasar pada harga pasar untuk mensterilisasi atau menyedot kembali ekspansi moneter yang berasal dari pembiayaan defisit anggaran pemerintah dan bukan terutama itujukan untuk mengarahkan nilai tukar rupiah ke suatu tingkat tertentu. Pelaksanaan penjualan valas itu pun tidak sampai membahayakan posisi cadangan devisa Bank Indonesia karena menggunakan devisa yang berasal dari penarikan hutang luar negeri pemerintah yang memang diperuntukkan untuk mendukung pembiayaan defisit anggaran Pemerintah.
Adapun para ekonom sepakat ciri-ciri suatu Negara yang rentan terhadap krisis moneter adalah apabila Negara tersebut:
1.      Memiliki jumlah hutang luar negeri yang cukup besar
2.      Mengalami inflasi yang tidak terkontrol
3.      Defisit neraca pembayaran yang besar
4.      Kurs pertukaran mata uang yang tidak seimbang
5.      Tingkat suku bunga yang diatas kewajaran[10].
Jika ciri-ciri di atas dimiliki oleh sebuah negara, maka dapat dipastikan Negara tersebut hanya menunggu waktu mengalami krisis ekonomi.



BAB III
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa istilah sektor riil dalam pembahasan mengenai ekonomi makro menggambarkan kondisi perekonomian dipandang dari sisi permintaan dan penawaran barang dan jasa.  Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi penawaran di pasar barang ini menggambarkan kemampuan perekonomian menghasilkan barang dan jasa pada suatu periode tertentu.
Istilah sektor riil dalam pembahasan mengenai ekonomi makro menggambarkan kondisi perekonomian dipandang dari sisi permintaan dan penawaran barang dan jasa.  Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi penawaran di pasar barang ini menggambarkan kemampuan perekonomian menghasilkan barang dan jasa pada suatu periode tertentu.




DAFTAR PUSTAKA


Boediono, dan Aviliani, Seminar Ekonomi Tentang: Kebijakan Sektor Moneter dan Kebijakan Sektor Riil, (Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, 2009).

Boediono, Ekonomi Indonesia, Mau Dibawa Kemana?, (Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, 2009).

                , Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Volume 1, Nomor 1, Juli 1998.

Keseimbangan Dalam Kebijakan Moneter mengutip dari situs: http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/keseimbangan_moneter.aspx, pukul: 19.00 wib tanggal 02 Juni 2013.

Keseimbangan Sektor Moneter dan Sektor Riil, Mengutip dari Situs: http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-kebijakan-moneter.html, pada pukul: 20.00 wib, tanggal: 02 Juni 2013.

Sri Adiningsih, Perkembangan Moneter Perbankan Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2000).




[1] Boediono, Ekonomi Indonesia, Mau Dibawa Kemana?, (Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, 2009), hal. 7.
[2] Ibid, hal. 100.
[3] Keseimbangan Dalam Kebijakan Moneter mengutip dari situs: http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/keseimbangan_moneter.aspx, pukul: 19.00 wib tanggal 02 Juni 2013.
[4] Keseimbangan Sektor Moneter dan Sektor Riil, Mengutip dari Situs: http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-kebijakan-moneter.html, pada pukul: 20.00 wib, tanggal: 02 Juni 2013.
[5] Boediono, Ekonomi Indonesia, Mau Dibawa Kemana?,Op Cit, hal. 27.
[6] Boediono, dan Aviliani, Seminar Ekonomi Tentang: Kebijakan Sektor Moneter dan Kebijakan Sektor Riil, (Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, 2009).
[7] Sri Adiningsih, Perkembangan Moneter Perbankan Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2000), hal. 78.
[8] Ibid, hal. 79.
[9] Boediono, Ekonomi Indonesia, Mau Dibawa Kemana?,Op Cit, hal. 89.
[10] Boediono,Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Volume 1, Nomor 1, Juli 1998.

0 komentar:

 
Top