Al Quran dan hadits
merupakan pedoman bagi seluruh umat Islam di dunia yang mengatur kehidupan
mereka. “Aku tinggalkan dua warisan,selama kedua-duanya kamu pegang teguh maka
kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Al-qur`an dan Sunah Rasulnya
(hadits) " itulah perkataan nabi untuk seluruh umat manusia. Banyak
diantara kita yang mungkin terjadi kesalahpahaman dalam menyebutkan tentang
apakah itu yang dinamakan hadits.
Dalam makalah ini kami
akan menjabarkan tentang pengertian hadits serta macam-macam hadits yang ada.
Karena hadis merupakan sumber pokok kedua dari ajaran Islam, maka hadis- hadis
yang dijadikan dasar untuk melaksanakan ajaran Islam haruslah yang sahih dan
autentik, bukan hadis yang lemah, apalagi palsu. Untuk mengetahui otentisitas
dan tingkat validitas hadis tersebut diperlukan suatu penelitian yang cermat,
terutama meriwayatkannya. Memahami pengertian hadits dan bentuk-bentuknya
merupakan suatu ilmu yang penting dipelajari oleh setiap muslim. Oleh karena
itu penulis akan menjelaskan pengertian dan bentuk-bentuk hadis.
BAB
II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN
DAN BENTUK-BENTUK HADIST
A.
PENGERTIAN
HADIST DAN SINOPSISNYA
Pengertian hadits secara etimologis
Menurut Ibn Manzhur, kata ‘hadis ‘ berasal dari bahasa arab, yaitu al-hadist,
jamaknya al-Ahadist , al-Hadistan dan al-hudtsan. Secara etimologis , kata ini
memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim
(yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita. Dalam Al-Quran,
kata hadist ini digunakan sebanyak 23 kali.
Secara terminologis, para ulama,
baik muhaditsin, fuqaha, ataupun ulama ushul, merumuskan pengertian hadits
secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh
terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung
kecenderungan pada aliran ilmu yang di dalaminya. Ulama hadis mendefinisikan
hadis sebagai berikut:
“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.” Adapun menurut istilah para fuquha, hadis adalah: “Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.”
“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.” Adapun menurut istilah para fuquha, hadis adalah: “Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.”
Sejarah perkembangan hadits
merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa lahirnya
dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke
generasi.
M. Habsyi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadits menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi SAW. Hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.
M. Habsyi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadits menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi SAW. Hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.
1. Periode pertama
Perkembangan hadits pada masa
Rasulullah SAW. Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin’ (masa turunnya
wahyu dan pembentukan masyarakat islam). Tokoh-tokohnya yaitu:
a. Abdullah Ibn Amr Ibn Al-’Ash, shahifah-nya
disebut Ash-Shadiqah.
b. Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadits
tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-lain.
c. Anas Ibn Malik
2. Periode kedua
Perkembangan hadits pada masa
khulafa’ ar-rasyidin (11 H – 40 H)
periode ini disebut Ashr-At-Tatsabbul wa Al-Iqlal min Al Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW, wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
periode ini disebut Ashr-At-Tatsabbul wa Al-Iqlal min Al Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW, wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
3. Periode ketiga
Perkembangan pada masa sahabat kecil
dan tabiin. Periode ini disebut ‘ashr intisyar al-riwayah ila al-amshar’ (masa
berkembang dan meluasnya periwayatan hadis). Adapun tokoh-tokohnya :
a. Abu hurairah, menurut ibn al-jauzi,
beliau meriwayatkan 5.374 hadits, sedangkan menurut al-kirmany, beliau
meriwayatkan 5.364 hadits.
b. Abdullah ibn umar meriwayatkan 2.630
hadits.
c. Aisyah, istri Rasul Saw.
Meriwayatkan 2.276 hadits.
d. Abdullah ibn abbas meriwayatkan
1.660 hadits.
e. Jabir ibn ‘Abdullah meriwayatkan
1.540 hadits.
f. Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan
1.170 hadits.
4. Periode Keempat
Masa Mentashihkan Hadits dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya. Abad ketiga
Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Sesudah kitab-kitab Ibnu
Juraij, kitab Muwaththa’ – Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut
dengan gembira, kemauan enghapal hadits, mengumpulkan, dan membukukannya
semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke
tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits. Para ulama
pada mulanya menerima hadits dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya,
tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan
shahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya
dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadits, para ulama pun melakukan
hal-hal berikut:
a. Membahas keadaan rawi-rawi dari
berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b. Memisahkan hadits-hadits yang shahih
dari hadits yang dha’if yakni dengan men-tashih-kan hadits. Tokoh-tokoh dalam
masa ini yaitu : ‘Ali Ibnul Madany, Abu Hatim Ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir
Ath-Thabari, Muhammad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibnu Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhari,
Muslim, An-Nasa’I, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Qutaibah
Ad-Dainuri.
5. Periode Kelima
Dari Abad IV hingga tahun 656 H (yaitu pada masa ‘Abasiyyah
angkatan ke-2). Periode ini dinamakan ‘Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa
Al-Istidraqi wa Al-Jami’. Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan
ke-3, digelari mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadits semata-mata atas usaha
sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya di berbagai
pelosok negeri. Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat
yang degelari ‘mutaakhirin’. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan itu
petikan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikityang dikumpulkan dari usaha
mencari sendiri kepada para penghapalnya.
Di antara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah: mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab, mengumpulkan hadits-hadits dalam enam kitab, mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab, mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Athraf.
Di antara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah: mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab, mengumpulkan hadits-hadits dalam enam kitab, mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab, mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Athraf.
6. Periode Keenam (656 H-sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah
Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tashim (w. 656 H) sampai sekarang. Periode ini
dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al-Jami’ wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa
pensyarahan, penghimpunan, pen-takhrij-an, dan pembahasan. Usaha-usaha yang
dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits,
menyaringnya dan menyusun kitab enam takhrij, serta membuat kitab-kitab Jami’
yang umum. Tokoh-tokoh hadits yang terkenal pada masa ini adalah : Adz-Dzahaby
(748 H), Ibnu Sayyidinnas (734 H), Ibnu Daqiq Al-’Ied, Mughlathai (862 H),
Al-Atsqalany (852 H), Ad-Dimyati (705 H), Al-’Ainy (855 H), As-Suyuthi (911 H),
Az-Zarkasy (794 H), Al-Mizzy (742 H), Al-’Alay (761 H), Ibnu Katsir (774 H),
Az-Zaily (762 H), Ibnu Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804 H), Al-Bulqiny (805
H), Al-’Iraqy (w. 806 H), Al-Haitsamy (807 H), dan Abu Zurah (826 H).
B.
BENTUK-BENTUK
HADIST
Bentuk-bentuk hadits terbagi pada hadist
qauli (perkataan), hadist fi’li
(perbuatan), hadist taqrir (ketetapan), ahwali dan
hammi.
1.
Hadits qauli
Hadits qauli adalah segala bentuk perkataan,
atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW, yang berisi berbagai tuntutan dan
petunjuk, peristiwa, syara’, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek
aqidah, syari’at maupun akhlak. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh
‘Ubadah ibn al-Shamith bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artinya:
”Tidak (sah/sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah”. (Shahih
al-Bukhari, III: 204, hadits 714)
2.
Hadits Fi’li
Hadits fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW.
Dalam hadits tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW, yang menjadi
anutan perilaku para sahabat pada saat itu dan menjadi keharusan bagi semua
umat Islam untuk mengikutinya. Contohnya:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى
رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ
فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَة
Artinya:
”Rasulullah saw pernah shalat di atas tunggangannya, ke mana pun tunggangannya menghadap.
Apabila ia mau melaksanakan shalat fardhu, ia turun dari tunggangannya, lalu
menghadap ke kiblat”.
3.
Hadits Taqriri
Hadits taqriri adalah segala ketetapan Nabi terhadap apa yang datang/ di
lalukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan suatu
perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan,
apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya.
لَا
يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ
الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا
وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Artinya:
“Janganlah salah seorang (di antara kamu) mengerjakan shalat Ashar, kecuali
(setelah sampai) di perkampungan Bani Quraizhah. Lalu sebagian mereka mendapati
(waktu) ‘Ashar di perjalanan. Sebagian mereka mengatakan, kita tidak boleh
shalat sehingga sampai di perkampungan, dan sebagian lainnya mengatakan, tetapi
kami shalat (dalam perjalanan), tidak ada di antara kami yang membantah hal
itu. Hal itu lalu dilaporkan kepada Nabi saw, ternyata beliau tidak menyalahkan
seorang pun dari mereka”. (Shahih al-Bukhari, III: 499, hadits 894)
4.
Hadits Hammi
Hadits Hammi adalah Hadits yang berupa keinginan/hasrat Nabi SAW. yang
belum direalisasikan, seperti: hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Contohnya:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ
تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya:
“Sewaktu Rasulullah saw berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat
untuk berpuasa, mereka berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah hari
yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”. Rasulullah saw menjawab, ”Tahun
yang akan datang, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan(nya)”.
‘Abd Allah ibn ‘Abbas mengatakan, “Belum tiba tahun mendatang itu, Rasulullah
saw pun wafat”. (Shahih Muslim, V: 479, hadits 1916).
5.
Hadits Ahwali
Hadits ahwali adalah hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang tdk
termasuk ke dalam kategori keempat bentuk hadits di atas. Contohnya:
انَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ
وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ وَلَا بِالْقَصِي
Artinya:
“Rasulullah saw adalah manusia memiliki sebaik-baik rupa dan tubuh. Kondisi
fisiknya, tidak tinggi dan tidak pendek ”.
C.
HADIST
QUDSI
Hadits Qudsi secara bahasa berasal dari kata qadusa, yaqdusu, qudsan, artinya suci atau bersih. Jadi,
hadits qudsi secara bahasa adalah hadits yang suci.
Secara terminologi, terdapat banyak
definisi dengan redaksi yang berbeda-beda. Meskipun demikian, dapat ditarik
kesimpulan bahwa hadits qudsi adalah segala sesuatu yang diberitakan Allah SWT
kepada Nabi SAW, selain Al-Quran yang redaksinya disusun oleh Nabi SAW.
Adapun perbedaan antara Hadist Qudsi
dengan Al-Qur’an, maka ada beberapa perkara yang disebutkan oleh para ulama. Di
antaranya:
1. Lafazh dan makna Al-Qur’an berasal dari
Allah, sementara lafazh hadis Qudsi berasal dari Rasulullah–Shallallaahu
‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam walaupun tentunya maknanya dari Allah.
2. Sanad periwayatan Al-Qur’an secara
umum adalah mutawatir, yakni bisa dipastikan keabsahannya dari Nabi -alaihishshalatu
wassalam-. Berbeda halnya dengan hadits qudsi, karena di antaranya ada yang
merupakan hadits shahih, ada yang hasan, ada yang lemah, bahkan ada yang palsu.
Jadi keabsahannya dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- belum bisa dipastikan
kecuali setelah memeriksa semua sanadnya.
3. Kita berta’abbud (beribadah) kepada
Allah dengan membaca Al-Qur’an, dalam artian satu huruf mendapatkan sepuluh
kebaikan. Sedangkan membaca hadits qudsi tidak mendapatkan pahala huruf
perhuruf seperti itu.
4. Tidak diperbolehkan membaca hadits
qudsi di dalam shalat, bahkan shalatnya batal kalau dia membacanya. Berbeda
halnya dengan membaca Al-Qur`an yang merupakan inti dari shalat.
5. Ayat Al-Qur`an jumlahnya kurang
lebih 6666 ayat (menurut hitungan sebagian ulama dan sebagian lainnya
berpendapat jumlahnya 6.236), sementara jumlah hadits qudsi yang shahih tidak
sebanyak itu. Abdur Rauf Al-Munawi sendiri dalam kitabnya Al-Ittihafat
As-Saniyah bi Al-Ahaditsi Al-Qudsiyah hanya menyebutkan 272 hadits.
D.
PERSAMAAN
DAN PERBEDAAN ANTARA AL-QUR’AN, HADIST QUDSI DAN NABAWI
Persamaannya yaitu antara hadits
qudsi dan hadits nabawi sama-sama bersumber dari Allah SWT. Sedangkan
perbedaannya yaitu hadits nabawi dinisbatkan kepada Rasul Saw dan diriwayatkan
dari beliau, sedangkan hadits qudsi dinisbatkan kepada Allah SWT dan Rosul Saw
hanya menceritakan dan meriwayatkan dari Allah SWT.
E.
CONTOH
HADIST QUDSI
Adapun
contoh dari hadist qudsi adalah
sebagai berikut seperti dibawah ini:
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
Shahihnya dari Abu Dzar radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam seperti yang diriwayatkan dari Allah, bahwasannya Allah berfirman: “Wahai
hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim pada diri-Ku dan
Aku haramkan pula untuk kalian. Maka janganlah kamu saling menganiaya di antara
kalian”.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Allah ta’ala berfirma: Aku selalu dalam persangkaan hamba-Ku
terhadap-Ku, dan Aku bersama-Nya bila dia mengingat-Ku. Maka jika dia
mengingat-Ku niscaya Aku mengingatnya”.
BAB
III
KESIMPULAN
Dalam pembahasan makalah diatas maka
dapat kami simpulkan bahwa Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan
dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan
ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama
Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits
merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Qur'an.
Bentuk-bentuk hadits terbagi pada
qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan), hammi (keinginan), ahwali
(hal ihwal), dan lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ismail, dan M.
Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1993).
Mudatsir,
Ilmu Hadits, Pustaka Setia, (Bandung,
2005).
Pius A
Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus
Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994).
Syadali,
Rafi’i, Ahmad. dan Ahmad. Ulumul Qur’an I,
(Bandung: Pustaka Setia, 2006).
0 komentar:
Post a Comment