BAB I
PENDAHULUAN


Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al Ghazali Ath Thusi merupakan nama lengkap  dari Al Ghazali sebagai panggilannya atau Abu Hamid Al Ghazali. Ia adalah seorang Persia asli yang dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Thus (sekarang dekat Mashed) sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang bernama Iran). Dalam ilmu tasawuf, Al Ghazali sangat berperan penting.
Dari latar belakang diatas inilah penulis akan membahas makalah yang berjudul tentang Tasawuf yang dikembangkan oleh Muhammad Ibn Muhammad Al Ghazali dari biografi beliau lahir sampai dengan karya-karyanya serta cara pandangnya tentang akal dan lain sebagainya secara terinci agar mudah untuk dimengerti dan mudah untuk dipahami kita semua.


BAB II
PEMBAHASAN
TASAWUF YANG DIKEMBANGKAN MUHAMMAD IBN MUHAMMAD AL-GHAZALI



A.    RIWAYAT HIDUP AL-GHAZALI
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al Ghazali dilahirkan di Thus, suatu Kota di Khurasan pada tahun 450 M. Ayahnya seorang pekerja pembuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar. Pada masa kecilnya, ia mempelajari ilmu fiqih di negerinya sendiri pada Syaekh Ahmad bin Muhammad Ar Rasikani, kemudian belajar pada Imam Abi Nasar Al Ismaili di Negeri Jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Nishabur dan belajar pada Imam Al Haromain.[1]
Pada tahun 488 H. Al Ghazali pergi ke Mekkah untuk menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima. Setelah selesai mengerjakan haji, ia terus pergi ke Syria (Syam) untuk mengunjungi Baitul Maqdis, kemudian melanjutkan perjalanannya  ke Damaskus dan menetap untuk beberapa lama. Pada saat itulah ia sempat mengarang kitab yang berjudul Ihya Ulumuddin. Al Ghazali tinggal di Damaskus kurang lebih 10 tahun.[2]
Setelah penulisan ihya ulumuddin selesai, ia kembali ke Baghdad, kemudian mengadakan majelis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya itiu. Teori karena ada desakan dari penguasa yaitu Muhammad penguasa waktu itu. Al Ghazali diminta kembali ke Naisabur dan mengajar di perguruan Nizamiyah.

B.     KARYA-KARYA AL GHAZALI
Karangan imam Al Ghazali berjumlah kurang lebih 100 buah. Karangan-karangannya meliputi berbagai macam lapangan ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam (theologi Islam), fiqih (hukum Islam), tasawuf, akhlak, dan autobiografi. Sebagian besar dari karangannya adalah berbahasa Arab, dan sebagian lagi berbahasa Parsi. Diantara karangannya yang banyak itu ada beberapa kitab yang kurang mendapat perhatian di kalangan ulama Indonesia. Namun sangat terkenal di Negeri Barat yaitu di antaranya buku yang menyebabkan polemik diantara ahli filsafat, buku itu adalah Maqashidul Falasifah, dan Kitab Tahafut Al Falasifah.[3]
Karanganya yang lain yaitu Al Munqidz min Ad Dhalal (penyelamat dan kesesatan) berisi sejarah perkembangan alam pikiran dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan.
Karya Al Ghazali dalam kitab Ulum Ad Din adalah menunjukan adanya tujuan yang hendak dicapai oleh beliau, dan kitab tersebut juga telah berperan dalam mekanisme ajaran Islam. Setelah ilmu-ilmu agama menjadi bahan perdebatan yang kosong yang terjadi pada ulama-ulama kalam, maka dirasa perlu untuk memperbaharui ilmu-ilmu agama dan menyuburkan perasaan keagamaan yang sudah semakin kering. Pembaharuan yang diperintahkan oleh syara’ yakni nilai kerohanian yang terkandung dalam syari’at.
Ihya Ulum Ad Din yang berarti menghidupkan ilmu-ilmu agama juga merupakan kitab yang menjelaskan  metode dan sarana bagi tasawuf sunni. Banyak para sufi berpegang secara esensial terhadap kitab itu. Mereka setelah mengkajinya banyak menemui kepuasan, sehingga menemukan benteng yang kuat. Dengan begitu Al Ghazali telah mencapai hakekat agama, yang belum pernah ditemukan oleh orang-orang sebelumnya dan mengambilkan kepada ajaran agama serta nilai-nilainya yang utuh dari kehilangannya yang tidak menentu.[4]

C.    AJARAN AL GHAZALI
Ada beberapa ajaran yang diajarkan oleh Imam Al Ghazali  diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Tasawuf
Al Ghazali sebagai orang yang haus akan segala ilmu pengetahuan. Ia berusaha sekeras mungkin agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu. Sehingga ia selalu senantiasa bersikap kritis dan kadang ia tidak percaya terhadap adanya kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan pengetahuan hakikat.
2.      Filsafat Metafisika
Al Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani, diantaranya juga Ibnu Sina dalam dua puluh masalah diantaranya adalah yang terpenting yaitu:
a)      Al Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat Aristoteles tentang azalinya alam dan dunia.
b)      Al Ghazali menyerang kaum filsafat Aristoteles tentang pastinya keabadian alam.
c)      Al Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil.
d)     Al Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum itu.[5]
3.      Etika
Filsafat etika Al Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam bukunya ihya ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al Ghazali adalah teori tasawufnya.
4.      Konsep iman dan kufur
Al Ghazali dalam pemikirannya, menentang ilmu kalam dan para ulama kalam, meski ia sendiri tetap menjadi seorang tokoh ilmu kalam. Sebagaimana penyerangannya terhadap argumen-argumen para filosof, tetapi tetap  ia terjadi tokoh filosof. Kritikan Al Ghazali kepada para ulama kalam hanya ditujukan kepada tingkah laku mereka dan kejauhan hati mereka dari agama yang dipertahankannya oleh mereka melalui argumentasi.

D.    SITUASI POLITIK DAN PEMIKIRAN PADA MASA AL GHAZALI
Perputaran politik umat Islam secara historis dan garis besarnya dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu:
1.      Periode Klasik (650 M – 1250 M)
Periode ini dibagi kedalam dua masa, yaitu masa kemajuan Islam (600 M – 100 M) dan masa di sintegrasi (1000 M-1250 M).
2.      Periode Pertengahan (1250 M-1500 M)
Periode ini dibagi menjadi dua masa, yaitu masa kemunduran  I (1500M-1800 M) dan masa lahirnya tiga kerajaan besar yaitu kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India.
3.      Periode Modern
Periode ini terjadi sejak tahun 1800 M. Dari periodisasi perputaran sejarah politik umat Islam tersebut, tampaklah bahwa Al Ghazali hidup pada masa disintegrasi bangsa. Hal ini dapat dibuktikan dengan lahirnya daerah-daerah yang berkeinginan untuk melepaskan dari kekuasaan pemerintah pusat, yang dalam hal ini adalah negara Baghdad dan berakhir dengan munculnya negara-negara kecil yang dipimpin seorang raja, sultan, atau amir.[6]
      Sejarah mencatat  bahwa pemikiran  Islam pada masa Al Ghazali banyak diwarnai dengan berbagai pertentangan antara berbagai aliran pemikiran. Dengan kondisi ini lahirlah beberapa pemikiran dari berbagai disiplin ilmu yang berkembang secara pesat. Sejak meninggalnya mujtahid mutlak, Ahmad Ibn Hanbal Ibn Hilal Adh-Ghazali (450 H/1058 M) merupakan kurun waktu yang cukup panjang dan penuh diwarnai dengan maraknya perbedaan pendapat dan fantaisme mazhab, yang berujung pada iklim pemikiran yang kurang sehat sebab masing-masing mengklaim bahwa mazhabnya yang sesuai dengan ajaran syariat Islam dan menafikan mazhab lain yang dipandang tidak benar serta sesat.[7]
Hal ini disebabkan oleh sebagian orang yang berkuasa (Amir) itu lebih cenderung  untuk mendiskusikan fiqh dan menerangkan mana yang lebih sempurna diantara mazhab Syafi’i dan Abu Hanifah khususnya. Bahasa diskusi pada masa Al Ghazali pada umumnya lebih didominasi dengan pemikiran kalam secara umum dengan argumen-argumen yang didominasi akal budi dan doktrin keagamaan yang ditopang rasio.
Ketika Al Ghazali mendalami ilmu kalam, ia banyak melihat bahaya yang ditimbulkan dari perkembangan pemikiran ilmu kalam daripada manfaatnya. Ilmu ini  lebih banyak mengeluarkan premis-premis yang mempersulit dan menyesatkan daripada menguraikannya secara jelas. Al Ghazali menyatakan  bahwa para teolog tidak mampu mencapai pengetahuan yang hakiki apabila hanya menggunakan metode ilmu kalam saja, dikarenakan manusia sangat sulit untuk mengetahui Allah secara hakiki.
E.     PANDANGAN AL GHAZALI TENTANG TAUHID DAN KALAM
Menurut Al Ghazali, kalam tidak identik dengan ilmu tauhid, tetapi hanya sebagian daripadanya. Dalam Ar-Risalat  Al-Laduniyyah (risalah tentang ilmu laduni), Al Ghazali memasukan ilmu tauhid sebagai salah satu dari dua macam ilmu syariat yang berkenaan dengan pokok-pokok agama. Menurut Al Ghazali ada tiga objek materiil ilmu tauhid, yaitu Allah dengan segala sifat-sifat-Nya, kenabian dengan segala kaitannya, dan hari akhirat dengan segala kandungannya.[8]
Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum Ad-Din menyesalkan adanya pergeseran istilah dari “tauhid” pada “kalam”. Tauhid yang berarti mengesakan Allah merupakan inti akidah Islam yang dibawa Nabi Muhammad, sedangkan kalam yang berarti perkataan, hanya merupakan cara yang banyak dipergunakan dalam membahas masalah-masalah akidah.
Jadi, inti pembahasan akidah tergeser oleh metode pembahasannya sehingga pada masa Al Ghazali, ilmu tauhid diidentikan orang dengan ilmu kalam. Proses pergeseran terminologi ini, menurut Al Ghazali, bermula dari adanya sekelompok ahli dialektik di bidang akidah yang mengaku sebagai Ahl Al-adl wa al-tawhid (pendukung keadilan dan keesaan Tuhan), sehingga mereka yang disebut sebagai “Mutakkalimun” (ahli kalam) itujuga dianggap sebagai ulama tauhid. Padahal, isi doktrin tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. dan  dihayati oleh umat periode pertama (salaf) sama sekali berbeda dari pengertian kalam yang sudah diidentikandengan tauhid itu.
Tentang adanya pergeseran makna kata “tauhid” sebagaimana analisis semantik historis yang telah dikemukakan, Al Ghazali berpendapat bahwa pengertian tauhid yang dipahami umat Islam pada periode pertama itu tidak tertampung sepenuhnya dalam fungsi ilmu kalam. Karena itu, dalam konsep Al Ghazali, ilmu tauhid lebih luas daripada ilmu kalam.

F.     PANDANGAN AL GHAZALI TENTANG AKAL
Al Ghazali melihat akal sebagai kekuatan fitri yang membedakan baik buruk, manfaat- bahaya dan sebagai ilmu tasawwur dan tashdiq. Dalam Ihya’ Ulum Ad-Din, akal sebagai kemampuan yang membedakan manusia dari binatang, yang bisa mengetahui dari kemustahilan, kemungkinan, dan kemestian. Hal ini disebut hawiyat ‘aqliyah. Begitu juga dalam Ma’arij Al-Quds, lebih diperjelas dengan mengatakan bahwa akal sebagai jiwa rasional, yang memiliki daya praktis dan daya teoretis. Keduanya merupakan dua sisi dari akal yang sama.[9]
Selanjutnya tentang qolbu (hati), dalam pandangan Al Ghazali, mempunyai kedudukan penting dalam perolehan ilmu. Ilmu yang diperoleh qolbu  ini lebih mendekati dengan ilmu hakiki, melalui ilham. Sedangkan akal diyakini Al Ghazali sebagai jawhar (esensi) manusia. Bahkan dalam misykat Anwar, ia menyebutkan bahwa akal lebih berhak menyandang sebutan cahaya dibandingkan dengan mata.
Al Ghazali menyebutkan bahwa setelah mengurangi ilmu filsafat, ilmu kalam, dan kebatinan, ia tidak menemukan sesuatu yang dapat memberiakn keyakinan dalam dirinya maupun petunjuk pada suatu hakikat yang dicarinya. Akhirnya, ia sampai pada jalan yang ditempuh para sufi sehingga disanalah ia merasa yakin bahwa para sufilah yang  berjalan menuju Allah yang berperilaku paling baik, paling benar, dan berakhlak  yang paling bersih.

G.    SIKAP AL GHAZALI
Menurut Al Ghazali agama tidak melarang ataupun memerintahkan ilmu matematika, karena ilmu adalah hasil pembuktian pikiran orang yang tidak bisa diingkari, sesudah dipahami dan dimengerti, tetapi ilmu tersebut menimbulkan dua keberatan diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Karena keberatan dan ketelitian ilmu-ilmu matematika, maka boleh jadi orang ada yang mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula keadaanya, sampaipiun dalam lapangan ketuhanan.
2.      Sikap yang timbul dari pemeluk Islam yang bodoh yaitu menduga bahwa untuk menegakan agama, harus mengingkari semua ilmunya yang berasal dari filosof-filosof dan mengatakan bahwa mereka bodoh semua sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga harus diingkari dan dianggap berlawanan dengan syara’.[10]


BAB III
KESIMPULAN



Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa  Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al Ghazali dilahirkan di Thus, suatu Kota di Khurasan pada tahun 450 M. Ayahnya seorang pekerja pembuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar. Pada masa kecilnya, ia mempelajari ilmu fiqih di negerinya sendiri pada Syaekh Ahmad bin Muhammad Ar Rasikani, kemudian belajar pada Imam Abi Nasar Al Ismaili di Negeri Jurjan.
Al Ghazali melihat akal sebagai kekuatan fitri yang membedakan baik buruk, manfaat- bahaya dan sebagai ilmu tasawwur dan tashdiq. Dalam Ihya’ Ulum Ad-Din, akal sebagai kemampuan yang membedakan manusia dari binatang, yang bisa mengetahui dari kemustahilan, kemungkinan, dan kemestian.


DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999).

Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum: Dari Metodologi Sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).


[1] Ahmad Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 215.
[2] Ibid, hal. 216.
[3] Maqashidul Falasifah mempunyai arti tujuan para ahli filsafat, sedangkan Tahafut Al Falasifah adalah ilmu yang mempelajari tentang keberantakan para filosof.
[4] Ibid, hal. 223.
[5] Ibid, hal. 228.
[6] Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum: Dari Metodologi Sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 464.
[7] Ibid, hal. 465.
[8] Ibid, hal. 477.
[9] Ibid, hal. 495.
[10] Ahmad Mustofa, Op Cit, hal. 246-247.

0 komentar:

 
Top