BAB I
PENDAHULUAN
Politik,
Ekonomi, bisnis dan berbagai aspek lainnya yang kita alami dan kita lihat di
sekeliling kita adalah politik, ekonomi, dan bisnis yang tidak dibarengi dengan
etika atau disebut dengan non value
laden. Etika diletakan di luar sistem etika, bukan bagian dari sistem,
sehingga pelaksanaanya terlihat dipaksakan atau harus dipaksakan. Jika tidak
diletakan diluar sistem etika, maka politik ekonomi dan bisnis akan berjalan
sendiri-sendiri, melanggar dengan potensi yang akan selalu melanggar etika demi
mengejar kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Keadaan
ini bermuara pada semakin banyak terungkapnya
skandal politik, bisnis dan skandal korupsi perusahaan karena ketiadaan
etika (misalnya skandal perusahaan Enron di Amerika Serikat, Skandal Korupsi
Gayus Tambunan dan perusahaan lainnya). Itulah yang menyebabkan isu etika
belakangan ini menjadi isu yang terpenting terutama di Amerika Serikat dan
belakangan ini di bumi kita sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
KAPITALISME DAN SKANDAL KORUPSI
A. KAPITALISME
DAN SKANDAL KORUPSI
Saat ini, tidak dapat disangkal bahwa kita berada
dalam hegemoni atau penguasaan peradaban atau peradaban Barat yang menggunakna
sistem kapitalisme dengan ideologi sekuler sebagai dasar dalam kehidupan (world view). Seperti yang diketahui,
kapitalisme ini bersifat sekuler, materialistis, rasional, liberalistis,
individualistis, hedonisme, dan nihilisme.[1]
Kapitalisme sekuler ini pada hakikatnya tidak
mengetahui keberadaan Tuhan, hal-hal yang gaib termasuk masalah akhirat,
pertanggungjawaban di akhir (yaumul
akhir), malaikat, apalagi dengan kitab suci. Kalaupun penganutnya percaya
pada agama atau menganut agama, agama dan keyakinan itu dipisahkan dari standar
perilakunya sehari-hari. Ada potensi dikotomi antara nilai agama dengan nilai
dunia. Sasaran atau ukuran yang menjadi prestasi para penganut tersebut adalah
materi dan tidak memperhatikan etika atau nilai-nilai spiritual.
Cara pengambilan keputusan hanya menggunakan rasio
tanpa dikendalikan oleh iman atau wahyu dari Tuhan. Mereka menganggap bahwa
manusia bebas menikmati kehidupan dunia tanpa ada batasan moral atau aturan
dari Tuhan. Pelaku dan pemicu setiap kegiatan atau aktivitasnya adalah
individualisme dan konsumerisme yang berasal dari nilai nafsu manusia. Jadi,
dengan sifat seperti ini, tidaklah mengherankan jika manusia bisa bebas
mengeksploitasi alam secara tidak terbatas, menjadi hedonis, dan mengutamakan pemenuhan
kebutuhan materi (atau kekayaan) sehingga lahirlah jurang antara si kaya dan si
miskin yang sangat dalam. Secar sederhana, dapat disebutkan bahwa manusia kapitalisme ini
adalah pemburu harta (wealt hunter)
karena hartalah yang menjadi ukuran dan media untuk menikmati kehidupan dunia.
Kapitalisme menciptakan berbagai macam dan jenis harta untuk memenuhi keinginan
dan kesenangan kehidupan dunia tanpa dibatasi oleh peraturan dan norma-norma moral[2].
Bisnis sebagai lembaga kapitalis bersifat seperti
judi, dimana hanya mementingkan kepentingan atau kesenangan pribadi saja.
Selain itu juga, aturan yang mengikatnya
berbeda dari aturan yang berlaku dalam bidan dan nilai etika. Kapitalis juga
melakukan tekanan atau eksploitasi pembagian untuk buruh dan masyarakat secara
s istematis dan tersembunyi. Kapitalis
mengeksploitasi berbagai sumber daya alam secara membabi buta untuk memenuhi
nafsu serakahnyatanpa mempertahankan sustainbilitynya.
Kerja sama kapitalis dengan ilmuawan yang mendukungnya melahirkan kemajuan ilmu
dan teknologi kehidupannya dan menikmatinya secara hedonis, bersenang-senang
tanpa batasan nilai apapun.
Kapitalis dengan kemampuannya mengumpulkan dan
menghitung harta menjadi semakin kuat
karena dia mampu merambah dan membeli sektor lain dengan kekuatan hartanya.
Dengan hartanya, kapitalis menundukan buruh, politikus, penguasa, dan
sebagainya. Kapitalis merajai dan
merambah kemana-mana. Kapitalisme sudah menjadi agama masyarakat dan ukuran
keberhasilan, bahkan dijadikan ideologi yang diekspor ke seluruh belahan dunia
dengan berbagai cara dan media yang dikuasainya. Dengan uang, kita akan
mendapatkan segalanya. Bahkan, dengan kekayaan atau uangnya, kapitalis mampu mempengaruhi
agama dan perilaku keagamaan seseorang. Coba kita lihat, betapa ibadah haji
sudah di jadikan justifikasi atau penutup dosa lainnya, serta doa dan melakukan
wirid yasin dapat dibeli untuk
mengharapkan keampuhan.[3]
Sedekah dan infak menjadi alat untuk menutupi
kesalahan yang diperbuat secara terus-menerus sehingga agama tidak berbekas
dalam perilaku seseorang. pendududknya yang mayoritas Islam, wajar jika
Indonesia juga dikenal sebagai negara terkorup di Asia, tingkat perceraian
tertinggi, perokok ketiga terbesar, pornografi kedua tertinggi di dunia, polusi
terburuk, eksportir asap, dan julukan negatif lainnya. Islam tidak tergambar
dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya.
Jika kita menganalisis sifat asli atau filosofi ideologi kapitalisme ini
secara kritis, kita dapat sebutkan bahwa
sistem inilah yang menimbulkan berbagai permasalahan dunia yang kita
hadapi saat ini, seperti:
1.
Semakin
banyaknya kemiskinan dan melebarnya jurang kaya dan miskin
2.
Kerusakan
lingkungan dan terjadinya berbagai bencana alam
3.
Pemanasan
global (global warming) dan perubahan
iklim (climate change) yang tidak
terduga
4.
Hilangnya
kasih sayang antar sesama
5.
Semakin
banyak perang dan konflik sosial terjadi
6.
Munculnya
berbagai jenis penyakit aneh yang sukar disembuhkan baik penyakit manusia
maupun penyakit sosial lainnya
7.
Kebodohan,
kekurangan gizi, dan keterbelakangan sebagian besar penduduk
8.
Dan
lain-lain.[4]
B. ETIKA
DAN TREN BISNIS
Dalam Megatrends 2010-nya, Patrice Aburdene mengemukakan ada tujuh Megatrends
bisnis yang telah mewarnai dunia bisnis
modern. Megatrends itu adalah sebagai berikut:
1.
Muncul
dan meningkatnya kekuatan spiritualitas (the
power of spirituality)
2.
Munculnya
fajar baru kesadaran kapitalisme (the
dawn of conscious capitalism)
3.
Bukti
bahwa yang terjadi dan sukses adalah memimpin dari tengah (leading from the middle)
4.
Banyaknya
penerapan spiritualisme dalma bisnis (the
spirituality in business)
5.
Meningkatnya
konsumen yang memutuskan perilakunya berdasarkan tata nilai yang diyakininya (value driven based consumer)
6.
Munculnya
gelombang pemecahan masalah atau solusi berdasarkan kesadaran (the wave of conscious solution)
7.
Munculnya
ledakan investasi dalam berbagai bidang bisnis yang memiliki etika dan tanggung
jawab sosial (the corporate social
responsibility investment).[5]
Etika bisnis
sebagai suatu pelajaran dan praktik bisnis atau perangkat nilai sebenarnya
sudah lama dikenal. Namun, belum memasyarakat secara luas karena perbedaan
situasi dari satu negara dengan negara
lain, terutama dari kedaulatan konsumen. Semakin tinggi kualitas demokrasi
suatu negara atau masyarakat, maka semakin penting peran etik bisnis. Etika adalah garis yang membedakan antara yang
benar dengan yang salah. Manusia memiliki perbedaan pendapat soal ukuran yang benar
dan yang salah ini. Berikut dua pendapat besar diantaranya adalah:
1.
Ukuran
atau kriteria benar dan salah ditentukan oleh rasionalitas manusia. Menurut
pendapat ini, manusia dengan rasio dan akalnya mampu mencapai dan menemukan
kebenaran hakiki
2.
Ukuran
benar dan salah harus mengacu pada ketentuan Yang Maha Esa yang menciptakan manusia
yaitu Tuhan. Jika ini yang dianut, maka setiap agama tentu akan memiliki
perbedaan lagi dalam menentukan benar dan salah. Menurut pendapat ini, benar
dan salah adalah urusan Tuhan.
Namun secara
sederhana kita dapat menentukan bahwa agama dapat kita golongkan kedalam dua
golongan. Pertama, agama yang benar
berasal dari Yang Maha Pencipta, dan kedua,
agama yang merupakan ciptaan (hasil rasio) manusia atau yang diklaim sebagai
ciptaan Allah, tetapi sebenarnya adalah ciptaan manusia. Menentukan agama yang
benar dan yang salah tidak akan bisa diselesaikan secara tuntas sebelum Tuhan
membuktikannya secara empiris yang mungkin baru kita ketahui menjelang
kehidupan dunia ini berakhir (hari kiamat). Salah satu keyakinan dalam Islam,
hal ini akan dpaat diketahui pada saat turunnya Imam Mahdi. Ini adalah wilayah irrasional
atau bergantung pada keyakinan masing-masing. Wajar jika setiap penganut agama
atau ideologi akan menganggap bahwa
agama atau keyakinannyalah yang paling benar, serta agama dan meminta petunjuk
illahi agar kita mendapat petunjuk-Nya sebelum meninggal supaya tidak menyesal
di kemudian hari.[6]
Etika yang
dikenal sekarang ini dalam dunia Barat berasal dari hasil pemikiran dan
kontemplasi rasion manusia. Dalam Islam,
isu ini sebenarnya bukan menjadi hal yang bermasalah karena Islam mengenal
bahwa etika itu adalah bagian utama dair ajaran Islam yang tidak bisa
dipisahkan dari pengamalah Islam itu sendiri. Seorang penganut Islam yang taat,
akhlaknya (etika) dalam bidang apapun, termasuk dalam bidang bisnis, pasti akan
sesuai dengan ketentuan Allah dan Agamanya itu sendiri.
Mempelajari
etika bisnis dalam Islam sama halnya dengan mempelajari Islam, baik tauhid,
syari’at, fikih maupun etika bisnisnya. Dalam pelajaran etika bisnis dalam
Islam, paling tidak kita memfokuskan pada hal-hal berikut yang sangat dikenal
kegiatan bisnisnya diantaranya adalah sebagai berikut dibawah ini:
1.
Bisnis
atau transaksi apa yang dibolehkan?
2.
Produk
apa yang dibenarkan dalam Islam?
3.
Bagaimana
perilaku seorang pemilik, investor, manajemen, dan karyawan dalam berbisnis?
4.
Bagaimana
perilaku pemerintah, pengawas, konsultan dalam berbisnis?
5.
Bagaimana
hubungan antara pengusaha dengan pelanggan atau pemasok diatur?
6.
Bagaimana
hubungan perusahaan dengan masyarakat?
7.
Bagaimana
hubungan perusahaan tersebut dengan makhluk lainnya dan alam itu sendiri?
8.
Bagaimana
hubungannya dengan Tuhan?
Sebenarnya
isu-isi ini sudah terangkum dalam hukum fikih muamalat yang seharusnya
diketahui seluruh umat-Nya. Isu etika bisnis bukan hal yang terpisah dari isu
agama atau isu lainnya dalam Islam. Etika (akhlak) seperti halnya ibadah dan s
yari’at adalah satu kesatuan yagn tidak dapat dipisahkan dalam Islam. Itulah
sebabnya umat Islam diharuskan untuk masuk Islam secara Kaffah.[7]
Dalam pandangan
konvensional, sebagai lembaga bisnis, perusahaan memiliki keterkaitan dengan
pihal lain. Perusahaan tidak berdiri sendiri. Keterkaitan ini dapat dibagi
menjadi dua macam diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Hubungan
Primer
Hubungan
primer yaitu antara perusahaan dengan konsumen, produsen, pemasok, kreditor,
pemegang saham, serikat pekerja, grosir,
dan perusahaan pesaing.[8]
2.
Hubungan
Sekunder
Hubungan
sekunder yaitu antara perusahaan dengan pemerintah, negara asing, aktivis
sosial, media massa, kelompok-kelompok pendukung, pendapat umum, komunitas
sosial, dan komunitas lokal.[9]
Dengan adanya
etika (akhlak), bisnis yang di kembang
oleh perusahaan diharapkan akan memiliki[10]:
1.
Standar
tanggung jawab klien, lembaga, dan masyarakat umumnya dalam dunia bisnis
2.
Standar
bagi pengurus menentukan apa yang harus mereka perbuat jika menghadapi
masalah-masalah bisnis. Benchmark
untuk mencapai reputasi, nama, dan integritas melawan praktik buruk
3.
Standar
ekspektasi moral yang diharapkan masyarakat pada bisnis
4.
Menjaga
standar kelakuan dan integritas atau kejujuran anggota pengurus atau profesi.
C. AGAMA
DAN EKONOMI
Mengapa bisnis harus diatur agama? Bagaimana
sebenarnya hubungan agam dengan ekonomi bisnis ini? Arus sekularisme yang
demikian deras meluluhlantakkan peran agama di semua bidang publik. Agama
didesak kesudut yaitu hanya untuk urusan proses pengurusan lahir, nikah dan mati.
Bahkan, kecenderungannya justru hanya
mengurus mati. Karena kelahiran sudah
diwakili kantor catatan sipil dan pernikahan sudah wewenang pencatatan sipil
dan lembaga pengadilan. Memang, inilah yang diharapkan oleh ide sekularisme
supaya bebas dari kungkungan aturan agama, dan ini merupakan pesan sponsor dari
pendukungan sistem ekonomi kapitalisme yang karena kekuasaanya juga merambah ke
bidang politik dan sosial.
Dibarat sendiri, belakangan ini, kajian tentnag
hubungan antara agama dengan ekonomi memang diakui sangat sedikit jika tidak
dapat dikatakan hampir tidak ada. Namun, bukan tidak ada, mari, kita simak
beberapa studi berikut ini. Dalam buku pertamanya Adam Smith sebenarnya
menganggap unsur agama mempunyai peran dalam bidang ekonomi. Dalam hal ini,
aspek moral harus mewarnai dan berperan dalam ekonomi. Namun dalam buku
keduanya yang lebih terkenal, The Wealth
of Nation, aspek agama akhirnya
hilang, tetapi fungsi yang hilang itu masih tetap ada dan diganti dengan nama invisible hand. Sebagaiamna kita
ketahui, peran dan nilai agama akhirnya sama sekali dihilangkan dalam teori dan
kebijakan ekonomi, keuangan perbankan.
Chester I Barnard (1938) pernah mengemukakan tentang
tanggung jawab moral seorang eksekutif dalam memimpin perusahaan. Kemudian, Max
Weber (1958) menulis buku yang membahas
tentang pengaruh positif etika Protestan terhadap spirit kapitalisme dalam bukunya yang berjudul The Protestans Ethics and the Spirit of Capitalism. Kemudian,
Gerald Bell (1967) membandingkan kesuksesan dibidang kekayaan dan kekuasaan
antara Protestan dengan Katolik. Dia menyimpulkan bahwa pemeluk Protestan lebih
berhasil dalam meraih kekayaan dan kekuasaan dibandingkan dengan Katolik.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam
pembahasan makalah diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa bahwa sistem
kapitalisme atau sistem apapun yang mengabaikan keberadaan etika, akhlak, atau
Tuhan akan berbahaya dan akan merusak keseimbangan yang ada di alam atau di
bumi ini yang memang dibuat seimbang. Selama ini, etika dan akhlak ditempatkan
diluar sistem sehingga sistem itu berjalan sendiri dan keluar dari rel yang
diharapkan, manusia menjadi korban, alam mengamuk, muncullah global warming atau climate change serta menjadi agenda dalam pembahasan seluruh bangsa
yang sebenarnya akibat ulah kapitalis yang tidak memiliki etika.
Belakangan
ini, muncul kesadaran perlunya etika diterapkan dan ditegakkan kendatipun dasar
etika di Barat baru dari pemikiran rasional yang oleh Putin sudah dikritik.
Sejak awal, Islam menempati etika sebagai dasar ukuran benar tidaknya. Islam
mengatur apa yang boleh dan apa yang dilarang. Manusia tidak bisa begitu saja melakukan
keinginannya yang dikomandoi oleh hawa nafsu yang akan memasukan ke jurang
kesengsaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Keraf Bertens, Etika, (Jakarta:
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993).
Panuju Redi, Etika Bisnis: Tinjauan Empiris dan Kiat Mengembangkan Bisnis Sehat, (Jakarta:
PT. Grasindo, 1995).
Patricia Aburdence, Megatrends 2010: Bangkitnya Kesadaran Kapitalisme, (Jakarta: Trans
Media, 2005).
Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Penerbit Salemba
Empat, 2010).
[1] Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam, (Jakarta:
Penerbit Salemba Empat, 2010), hal. 1.
[2] Ibid, hal. 2.
[3] Ibid, hal. 2-3.
[4] Ibid, hal. 3.
[5] Patricia Aburdence, Megatrends 2010: Bangkitnya Kesadaran
Kapitalisme, (Jakarta: Trans Media, 2005).
[6] Sofyan S. Harahap, op cit, hal. 7.
[7] Maksudnya masuk Islam
secara kaffah adalah masuk ke dalam
agama Islam secara keseluruhan jiwa raga dan tidak setengah-setengah atau
ragu-ragu.
[8] Keraf Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1993).
[9] Panuju Redi, Etika Bisnis: Tinjauan Empiris dan Kiat
Mengembangkan Bisnis Sehat, (Jakarta: PT. Grasindo, 1995).
[10] Panuju Redi, Etika Bisnis: Tinjauan Empiris dan Kiat
Mengembangkan Bisnis Sehat, (Jakarta: PT. Grasindo, 1995).
0 komentar:
Post a Comment