BAB I
PENDAHULUAN
Dalam membicarakan
ekonomi pada umumnya, dan ekonomi Islam pada khususnya, rasanya janggal jika
tidak memulainya dengan membahas “uang”. Apalagi, jika pembahasan ekonomi ini
terfokus pada masalah atau topik moneter dan fiskal. Dimana uang adalah alat
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sejak peradaban kuno mata uang logam sudah
menjadi alat pembayaran biasa walaupun belum sesempurna sekarang.
Oleh karena itu, uang
oleh sebagian penduduk dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting. Sebab
uang dapat dijadikan alat pemenuhan kebutuhan manusia, alat pemudah aktivitas
ekonomi. Dengan adanya uang yang berfungsi sebagai alat pembayaran akan
memudahkan pertukaran barang, sehingga pekerjaan dijalankan lebih mudah.
Kebutuhan muncul karena system barter ternyata banyak menimbulkan kesukaran.
Orang tidak bebas memperjual belikan barang-barang yang mereka perlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
ECONOMIC VALUE OF TIME
A. DEFINISI ECONOMIC VALUE OF TIME
Economic value of time adalah sebuah konsep dimana
waktulah yang memiliki nilai ekonomi, bukanlah uang memiliki nilai waktu. Economic
value of time memiliki arti memaksimumkan nilai ekonomis suatu dana pada
periodik waktu.
Teori economic value of time
berkembang pada abad ke-7 masehi. Pada masa saat digunakannya emas dan perak
sebagai alat tukar. Logam ini diterima sebagai alat tukar disebabkan nilai
intrinsiknya, bukan karena mekanisme untuk dikembangkan, sehingga hubungan
debetur/kreditur yang muncul bukan kerena akibat transaksi secara lansung,
namun jelas merupakan transaksi “permintaan uang”.
Didalam Islam, keuntungan bukan
saja keuntungan di dunia, namun yang dicari adalah keuntungan di dunia dan di
akhirat. Oleh karena itu, pemanfaatan waktu itu bukan saja harus efektif dan
efisien, namun harus juga didasari dengan keimanan. Keimanan inilah yang akan
mendatangkan keuntungan di akhirat. Sebaliknya, keimanan yang tidak mampu
mendatangkan keuntungan di dunia berarti keimanan yang tidak di amalkan.
Dalam Al-Qur’an disebutkan nilai
waktu, termasuk nilai ekonomi waktu ditentukan oleh keimanan, amal baik, saling
mengingatkan dalam hal kebaikan dan kesabaran. Firman Allah Q.S Al-Ashr yang
berbunyi sebagai berikut:
ÎóÇyèø9$#ur
ÇÊÈ
¨bÎ)
z`»|¡SM}$#
Å"s9
Aô£äz
ÇËÈ
wÎ)
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=ÏJtãur
ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
(#öq|¹#uqs?ur
Èd,ysø9$$Î/
(#öq|¹#uqs?ur
Îö9¢Á9$$Î/
ÇÌÈ
Artinya: “Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. Al-Ashr:
1-3).[1]
Islam tidak mengenal konsep time value of
money, Dasar perhitungan pada kontrak berbasis time value of money adalah bunga. Sedangkan Dasar
perhitungan pada kontrak berbasis Economic value
of time adalah nisbah.
Economic value of time relatif lebih adil dalam perhitungan kontrak yang
bersifat pembiayaan bagi hasil (profit sharing).
Konsep bagi hasil (profit sharing) berdampak
pada tingkat nisbah yang menjadi perjanjian kontrak dua belah pihak. Transaksi bagi hasil
berbeda dengan transaksi jual beli atau transaksi sewa menyewa, karena dalam
transaksi bagi hasil hubungannya bukan antara penjual dengan pembeli atau
penyewa dengan yang menyewakan.
Dalam
ekonomi konvensional time value of money didefinisikan sebagai berikut: A
dollar today is worth more than a dollar in the future because a dollar today
can be invested to get a return.[2]
Definisi
ini tidak akurat karena setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan untuk
mendapat positive, negative, atau no return. Itu sebabnya dalam teori finance, selalu dikenal risk-return relationship.
Bagi ekonom konvensional ada dua hal yang menjadi alasan
intuisi mereka akan konsep time value of money[3]:
1.
Presence of inflation
Katakanlah
tingkat inflasi 10% per tahun. Seseorang dapat membeli sepuluh potong
goreng pisang hari ini dengan membayar sejumlah Rp10.000,-. Namun bila ia
membelinya tahun depan, dengan sejumlah uang yang sama yaitu Rp10.000,-, ia
hanya dapat membeli sembilan pisang goreng/ Oleh karena itu, ia akan
meminta kompensasi untuk hilangnya daya beli uangnya akibat
inflasi.
2.
Preference present
consumption to future consumption.
Bagi
umumnya individu, present consumption lebih disukai daripada future
consumption. Katakanlah tingkat inflasi nihil, sehingga dengan uang Rp.10.000,-
seseorang tetap dapat membeli sepuluh pisang goring hari ini maupun tahun
depan. Bagi kebanyakan orang, mengkonsumsi sepuluh pisang goreng hari ini
lebih disukai daripada mengkonsumsi sepuluh pisang goreng tahun depan. Dengan
argumentasi ini, meskipun suatu perekonomian tingkat inflasinya nihil, seseorang
lebih menyukai Rp10.000,- hari ini dan mengkonsumsi hari ini. Oleh karena
itu untuk menunda konsumsi, ia meminta kompensasi.
Argumen
yang pertama tidak dapat diterima
karena tidak lengkap kondisinya (non exhausted condition). Dalam
setiap perekonomian selalu ada keadaan inflasi dan keadaan deflasi. Bila
keberadaan inflasi menjadi alasan adanya time value of money, seharusnya
keberadaan deflasi menjadi alasan adanya negative time value of money.
Katakanlah
tingkat deflasi 10% per tahun. Seseorang dapat membeli sepuluh potong
goreng pisang hari ini dengan membayar sejumlah Rp10.000,-. Namun bila ia
membelinya tahun depan, dengan sejumlah uang yang sama yaitu Rp10.000,-,
ia dapat membeli sebelas pisang goreng.
Oleh
karena itu, ia akan memberi kompensasi untuk naiknya daya beli uangnya akibat
deflasi. Inikah yang berlaku? Ternyata tidak. Hanya satu
kondisi saja yang diakomodir oleh konsep time value of money, yaitu
kondisi inflasi; sedangkan kondisi deflasi diabaikan.[4]
Argumen yang kedua
akan dijelaskan dalam bagian berikutnya bab ini, dengan berbagai skenarionya.[5]
C. KETIDAK-PASTIAN RETURN
Sebenarnya
dalam ekonomi konvensional, penerapan time value of money tidak senaif
yang dibayangkan, misalnya dengan mengabaikan ketidak-pastian return yang akan
diterima. Bila unsur
ketidak-pastian return ini dimasukkan, ekonom konvensional menyebut
kompensasinya sebagai discount rate. Jadi
istilah discount rate lebih bersifat umum dibandingkan istilah interest
rate[6].
Certainty in Return
|
Uncertainty in Return
|
Disebut
interest rate
|
Disebut
discount rate
|
Real interest rate
ditentukan oleh preferensi current
consumption seseorang
|
|
Nominal
interest rate = real interest rate + expected inflation
|
|
Discount
rate
= real interest rate + expected
inflation + premium for uncertainty
|
Jadi, dalam ekonomi
konvensional, ketidak-pastian return
dikonversi menjadi suatu kepastian melalui premium for uncertainty. Dalam
setiap investasi tentu selalu ada probabiliti untuk mendapat positif return, negative return, dan no return. Adanya probabiliti inilah yang
meninbulkan uncertainty (ketidak-pastian). Probabiliti
untuk mendapat negative return dan no return
ini yang dipertukarkan (exchange of
liabilities) dengan sesuatu yang pasti yaitu premium for uncertainty.
Katakanlah probabiliti positive return
dan negative return masing-masing
sebesar 0,4; sedangkan probabiliti no
return sebesar 0,2. Apa yang dilakukan dalam perhitungan discount rate
adalah mempertukarkan probabiliti
negative return (0,4) dan probabiliti no return (0,2) ini dengan
premium for uncertainty, sehingga yang tersisa tinggal probabiliti untuk positive
return (1,0).
Keadaan
|
Natural Uncertainty (probabiliti)
|
Discount rate (probabiliti)
|
Positive
return
|
0,4
|
1,0
|
No
return
|
0,2
|
0,0
|
Negative
return
|
0,4
|
0,0
|
Keadaan inilah yang ditolak dalam ekonomi
syariah, yaitu keadaan al ghunmu bi la ghurmi (gaining return without
responsible for any risk) dan al kharaj bi la dhaman (gaining income
without responsible for any expenses). Sebenarnya keadaan ini juga
ditolak oleh teori finance, yaitu
dengan menjelaskan adanya hubungan antara risk
dan return; bukankah return
goes along with risk?
Dalam ekonomi syariah, penggunaan sejenis discount
rate dalam menentukan harga mu’ajjal (bayar tangguh) dapat
digunakan. Hal ini dapat dibenarkan karena:
1.
Jual beli dan sewa menyewa
adalah sektor riil yang menimbulkan economic value added (nilai tambah
ekonomis).
2.
Tertahannya hak si penjual
(uang pembayaran) yang telah melaksanakan kewajibannya (menyerahkan barang atau
jasa), sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain.
Begitu pula penggunaan discount rate
dalam menentukan nisbah bagi hasil, dapat digunakan. Nisbah ini akan dikalikan
dengan actual return, bukan dengan expected return. Transaksi
bagi hasil berbeda dengan transaksi jual beli atau transaksi sewa menyewa,
karena dalam transaksi bagi hasil hubungannya bukan antara penjual dan pembeli,
atau penyewa dan yang menyewakan. Yang
ada adalah hubungan antara pemodal dan yang memproduktifkan modal tersebut.
Jadi, tidak ada pihak yang telah melaksanakan kewajibannya
namun masih tertahan haknya. Si pemodal telah melaksanakan kewajibannya yaitu
memberikan sejumlah modal, yang memproduktifkan modal juga telah melaksanakan
kewajibannya yaitu memproduktifkan modal tersebut. Hak bagi mereka berdua akan
timbul ketika usaha memproduktifkan modal tersebut telah menghasilkan
pendapatan atau keuntungan. Hak mereka adalah berbagi hasil atas pendapatan
atau keuntungan tersebut, sesuai kesepakatan awal apakah bagi hasil itu akan
dilakukan atas pendapatan atau keuntungan.
Certainty
in Return
|
Uncertainty
in Return
|
||
Conventional
|
Islamic
|
Conventional
|
Islamic
|
Interest rate
ditentukan oleh:
1. Preferensi current consumption
2.
Expected inflation
|
Keuntungan dalam jual
beli / sewa secara tangguh bayar ditentukan oleh:
1. Tingkat keuntungan
setiap kali transaksi
2. Frekuensi transaksi
dalam satu periode
|
Discount rate
ditentukan oleh:
1. Preferensi current consumption
2.
Expected inflation
3.
Premium for uncertainty
Dengan kata lain, actual return dipaksakan harus sama
dengan expected return nya.
|
Discount
rate ditentukan atas dasar ekspektasi keuntungan, dan
digunakan untuk menentukan nisbah bagi hasil.
Bagi
hasil yang harus dibayar adalah nisbah bagi hasil dikalikan dengan actual return nya.
Dengan kata lain, actual return tidak harus sama dengan expected return nya.
|
D. PERUBAHAN PADA ENDOWMENT
POINT DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERMINTAAN
Endowment point ditentukan oleh beberapa besar current income dan beberapa besar future income. Oleh karena itu, setiap perubahan pada current income atau setiap perubahan
pada future income atau setiap
perubahan pada current dan future
income akan megubah endowment point.
Kita
telah menjelaskan bahwa dari endowment
point inilah kita dapat menentukan budget
line. Pada budget line itu kita
akan mendapatkan titik konsumsi optimal. Nah, karena kurva permintaan
diturunkan dari titik-titik optimal pda budged
line, maka setiap perubahan pada endowment
point akan mengubah kurva permintaan.[9]
1.
Perubahan dalam Current Income
Bayangkan
endowment point Hafizh sebesar 1000 Kg beras saat ini dan 1000
kg beras tahun depan. Secara garis besar, ini digrafikan oleh titik Y (1000,1000).
Satu-satunya pedagang beras di daerah itu adalah Barri. Berdasarkan
pengalamannya berdagang beras, Barri menawarkan beras kepada Hafizh dengan
rasio Pt/Po = 1,25. Dengan rasio ini kita daat menggambarkan budged line Hafizh.
Pada
budget line, ini titik optimal bagi Hafizh terjadi pada
titik O (800, 1250) yaitu pola konsumsi optimal baginya adalah mengkonsumsi 800
kg beras tahun ini, dan mengkonsumsi
1250 kg beras tahun depan.
2.
Perubahan dalam Future Income
Bayangkan
endowment point mutia sebesar 1000 kg jagung saat ini, dan
1000 kg jagung tahun depan. Secara garis besar, ini diperlihatkan oleh titik Y
(1000, 1000). Satu-satunya pedagang jagung di daerah itu adalah Barri.
Berdasarkan pengalamannya berdagang jagung, Barri menawarkan jagung kepada
Mutia dengan rasio Pt/Po = 1,25. Dengan ratio ini, kita dapat menggambar budged line Mutia.
Pda
budged line ini, titik optimal bagi mutia terjadi pada
titik O (1100, 875) yaitu pola konsumsi optimal baginya adalah mengkonsumsi
1100 kg jagung tahun ini dan mengkonsumsi 875 kg jagung di tahun depan.[10]
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan makalah diatas, maka dapat
kami simpulkan bahwa Economic value of time adalah sebuah konsep dimana waktulah yang memiliki nilai ekonomi, bukanlah
uang memiliki nilai waktu. Economic value of time memiliki arti
memaksimumkan nilai ekonomis suatu dana pada periodik waktu.
Teori economic value of time
berkembang pada abad ke-7 masehi. Pada masa saat digunakannya emas dan perak
sebagai alat tukar. Logam ini diterima sebagai alat tukar disebabkan nilai
intrinsiknya, bukan karena mekanisme untuk dikembangkan, sehingga hubungan
debetur/kreditur yang muncul bukan kerena akibat transaksi secara lansung,
namun jelas merupakan transaksi “permintaan uang”.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:
Al-Waah, 1989).
Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Makro Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011).
Aswath Damodaran, Corporate Finance: Theory and Practive, (New York: John Willey
& Sons, 2001).
[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:
Al-Waah, 1989), hal. 1099.
[2] Lihat Aswath Damodaran, Corporate Finance: Theory and Practive, (New
York: John Willey & Sons, 2001).
[3] Ibid.
[4] Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Makro Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), hal. 112.
[5] Ibid, hal. 113.
[6] Damodaran, Op Cit, hal. 175.
[7] Adiwarman Azwar Karim, Op Cit, hal. 113.
[8] Adiwarman Azwar Karim, Op Cit.
[9] Adiwarman Azwar Karim, Op Cit, hal. 121.
[10] Adiwarman Azwar Karim, Log Cit, hal. 123.
0 komentar:
Post a Comment