BAB I
PENDAHULUAN
Wakaf
merupakan salah satu ibadah kebendaan yang penting yang secara ekplisit tidak
memiliki rujukan dalam kitab suci Al-Quran. Oleh karena itu, ulama telah
melakukan identifikasi untuk mencari “induk kata” sebagai sandaran hukum. Hasil
identifikasi mereka juga akhirnya melahirkan ragam nomenklatur wakaf yang
dijelaskan pada bagian berikut.
Wakaf
adalah institusi sosial Islami yang tidak memiliki rujukan yang eksplisit dalam
al-Quran dan sunah. Ulama berpendapat bahwa perintah wakaf merupakan bagian
dari perintah untuk melakukan al-khayr (secara harfiah berarti
kebaikan). Dari latar belakang diatas, maka disini penulis akan menjelaskan
makalah yang berjudul Wakaf secara
terinci agar mudah untuk dipahami dan mudah untuk dimengerti bersama.
BAB II
PEMBAHASAN
W A K A F
A.
PENGERTIAN
WAKAF
Menurut
bahasa, Wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis
(tertahan), al-tasbil (tertawan) dan al-man’u (mencegah).[1]
Disebut pula dengan al-habs (al-ahbas, jamak). Secara bahasa, al-habs
berarti al-sijn (penjara), diam, cegah, rintangan, halangan, “tahanan,”
dan pengamanan. Gabungan kata ahbasa
(al-habs) dengan al-mal (harta) berarti wakaf (ahbasa al-mal).[2]
Sedangkan
menurut istilah Wahbah al-Zuhaily mengatakan bahwa, wakaf pada hakikatnya adalah: “Menahan harta (benda) milik orang
yang berwakaf, kemudian menyedakahkan manfaatnya kepada jalan kebaikan.” [3]
Kata
“wakaf” dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti: (1) tanah Negara tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan
digunakan untuk tujuan amal. (2) benda bergerak atau tidak bergerak yang
disediakan untuk kepentingan umum (islam) sebagai pemberian yang ikhlas.[4]
Sedangkan
dalam Kompilasi Hukum Islampasal 215 wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan
untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran islam.[5]
B.
DASAR
HUKUM WAKAF
Adapun dasar hukum
dari wakaf tunai adalah sebagai berikut yang sudah tertera dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
1.
Al-Qur’an
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhsÛ $tB óOçFö;|¡2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( wur (#qßJ£Jus? y]Î7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îÏJym ÇËÏÐÈ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.” (Q.S. Al-Baqarah: 267).[6]
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
Artinya: “Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Q.S. Ali-Imron: 92).[7]
2.
Hadist
اد
قطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية او علم ينتفع به اوولد صا لح يدعواله
Artinya: “Jika seseorang meninggal dunia, maka
terputuslah segala amal perbuatannya, kecuali tiga; shadaqah jariah, ilmu yang dimanfaatkan,
dan anak shalih yang mendoakannya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Para
ulama menafsirkan kata-kata shadaqah jariah yang akan terus mengalir pahalanya
dalam hadist tersebut dengan wakaf. Nash nash diatas merupakan nash yang jelas
yang secara khusus dijadikan landasan utama adanya syari'ah wakaf.[8]
Imam
Az-Zuhri (wafat tahun 124 H) memberikan fatwa yang membolehkan wakaf diberikan
dalam bentuk uang, yang saat itu berupa dinar dan dirham, untuk pembangunan
sarana dakwah, sosial dan pembangunan umat. Ulama mahzab Hanafiyah membolehkan
wakaf uang, dan sebagian ulama syafi'iyah membolehkan wakaf uang (dinar dan
dirham).
C.
RUKUN
DAN SYARAT WAKAF
Meskipun
para mujtahid berbeda pandangan dalam
merumuskan pengertian wakaf, namun
mereka sepakat bahwa dalam pemberian wakaf
diperlukan beberapa rukun yang mengikat sahnya perbuatan. Abdul Wahhab Khallaf
menetapkan rukun wakaf pada empat kategori, yang mempunyai
signifikan, yaitu:
1.
Wakif,
yakni pemilik harta benda Yang melakukan tindakan hukum.
2.
Mauqf bih sebagai obyek perbuatan hukum.
3.
Mauqf ‘alaih, (tujuan) atau yang berhak
menerima wakaf
Rukun wakaf
sebagaimana telah di kemukakan, masing-masing harus memenuhi syarat-syarat yang
disepakati jumhur Ulama. Untuk itu, setiap bagian dari rukun wakaf tersebut, memerlukan
penjelasan dan pengkajian deskriftif
berdasarkan pandangan ulama Mujtahid.
hal ini sangat penting, di samping untuk mengungkap khasana keragaman persepsi
dan pandangan, juga sebagai alternatif landasan teoritik dalam pengkajian
perwakafan.
Sedangkan syarat-syarat wakaf menurut Badan Zakaf Indonesia terbagi menjadi beberapa macam
diantaranya adalah sebagai berikut, seperti dibawah ini:
1. Syarat-syarat
orang yang berwakaf (al-waqif)
Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah
memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu
kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua
dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau
orang yang sedang mabuk. Ketiga dia
mestilah baligh. Dan keempat dia
mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid).
2.
Syarat-syarat harta yang
diwakafkan (al-mauquf) Harta yang
diwakafkan itu tidak sah dipindah milikkan, kecuali apabila ia memenuhi
beberapa persyaratan yang ditentukan oleh: pertama
barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi
apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti
dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif).
Keempat, harta itu mestilah berdiri
sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan)
atau disebut juga dengan istilah (ghaira
shai’).
3.
Syarat-syarat orang yang
menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih). Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama
tertentu (mu’ayyan) dan tidak
tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang
dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah
seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh
dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak
ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir,
miskin, tempat ibadah.
4.
Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi
kata-kata yang menunjukkan kekalnya (ta’bid).
Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan
batas waktu tertentu. Kedua, ucapan
itu dapat direalisasikan segera (tanjiz),
tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh
syarat yang membatalkan.[10]
D.
MACAM-MACAM
WAKAF
Sayyid
Sabiq menyebutkan bahwa wakaf terbagi
kepada dua macam, diantaranya yaitu:
1.
Wakaf Ahliy (وقف أهلى )
Wakaf Ahliy di sebut juga wakaf keluarga atau khusus, yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau
terbilang, baik keluarga wakif maupun
orang lain. Misalnya, seseorang mewakafkan buku-buku yang ada di perpustakaan
pribadinya untuk turunannya yang mampu menggunakan. Wakaf semacam ini di pandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu ialah orang-orang yang di
tunjuk dalam pernyataan wakaf.[11]
2.
Wakaf
Khairy (وقف خيرى)
Wakaf khairy
atau wakaf umum ini perlu digalakkan
dan di anjurkan, agar kaum muslimin melakukannya, Karena dapat dijadikan modal
untuk menegakkan agama Allah, membina sarana keagamaan, membangun sekolah,
menolong fakir miskin, anak yatim, orang terlantar dan kepentingan umum lainnya.
Wakaf khairy adalah wakaf yang pahalanya terus menerus
mengalir dan diperoleh wakif
sekalipun ia telah meninggal dunia.[12]
Wakaf Khairy
atau wakaf umum sungguh lebih besar
manfaatnya dari pada wakaf ahli dalam kehidupan ummat islam, karena
pemanfaatannya tidak terbatas pada satu orang atau kelompok tertentu saja,
melainkan untuk ummat islam secara umum.
3.
Wakaf Uang
Sebagai
lembaga atau institusi yang dapat mensejahterahkan masyarakat, wakaf semakin maju, tidak hanya berupa
tanah, uang pun dapat di wakafkan. Langkah ini menjadi gerakan alternatif dalam
pemberdayaan umat dan meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Saat ini, telah
tercetus Gerakan Nasional Wakaf Indonesia (GNWU) yang di gagas oleh Ketua Badan
Wakaf Indonesia (BWI).
Wakaf
uang dalam Islam bukan sesuatu yang baru. Muhammad Abdullah al-Anshari, murid
dari zufar (sahabat Abu Hanifa ) telah membolehkan Wakaf dalam bentuk uang.
Dalam mazhab Hanafi, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Abidin, sah tidaknya
wakaf uang tergantung kebiasaan di suatu tempat.
E.
HIKMAH
WAKAF
Karena besarnya manfaat wakaf ini, maka wakaf
tidak cukup hanya dipahami sebatas aturan atau hukumnya saja, tetapi juga
filosofi dan hikmahnya, sehingga pengumpulan harta wakaf dan pendayagunaannya bisa dilakukan seoptimal mungkin. Adapun
hikmah dari wakaf itu sendiri adalah
sebagai berikut:
1.
Wakaf sebagai ibadah social
Ibadah sosial adalah jenis ibadah yang lebih
berorientasi pada hablum minan nas,
hubungan manusia dengan lingkungannya, atau biasa juga disebut kesalehan
sosial. Ini adalah satu paket dalam kesempurnaan ibadah seorang hamba di
samping kesalehan dalam ibadah vertikal, hablum
mina Allah. Keduanya ibarat dua keping mata uang yang tak terpisahkan. Wakaf, dalam konteks ini, masuk dalam
kategori ibadah sosial.
2. Wakaf mengalirkan pahala
tiada akhir
Dalil
yang menjadi dasar keutamaan ibadah wakaf
dapat kita lihat dari beberapa ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
Artinya:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu
cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
(Q.S. Ali-Imron: 92).
3. Wakaf untuk sarana dan
prasarana ibadah dan aktivitas social
Sebenarnya wakaf sudah dikenal dalam masyarakat Arab kuno di Makkah sebelum
kedatangan Muhammad SAW. di tempat itu, terdapat bangunan Ka’bah yang dijadikan
sarana peribadatan bagi masyarakat setempat.
Sementara itu, dalam Islam, tradisi ini
dirintis oleh Rasulullah Muhammad SAW. yang membangun masjid Quba’ di awal
kedatangannya di Madinah. Peristiwa ini dijadikan sebagai penanda wakaf pertama dalam Islam untuk
kepentingan peribadatan dalam agama. Ini terjadi tak lama setelah Nabi hijrah
ke Madinah. Selain itu, Nabi juga membangun masjid Nabawi yang didirikan di
atas tanah anak Yatim dari bani Najjar. Tanah itu telah dibeli Nabi dengan
harga delapan ratus dirham. Langkah ini menunjukkan, bahwa Nabi telah
mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid sebagai sarana peribadatan umat
Islam.
4. Wakaf untuk peningkatan
peradaban umat
Masjid sebagai harta wakaf di masa awal Islam mempunyai peran yang signifikan. Selain
sebagai sarana ibadah, ia juga digunakan untuk pendidikan dan pengajaran, yang
biasa disebut dengan halaqah,
lingkaran studi. Kegiatan ini tak lain merupakan bagian dari upaya mencerdaskan
dan membangun peradaban umat. Di tempat itu, diajarkan cara membaca al-Quran
dan menulis. Di samping itu, didirikan pula katatib, sejenis sekolah dasar yang
mengajarkan membaca, menulis, bahasa arab, dan ilmu matematika.
5. Wakaf untuk
peningkatan kesejahteraan umat
Kalau ditarik benang merah dari beberapa
pembahasan di atas, maka akan tampak jelas, bahwa hikmah lain disyariatkannya wakaf adalah untuk mensejahterakan
kehidupan manusia secara umum. Ini sejalan dengan pandangan ulama al-Azhar
Mesir Ali Ahmad al-Jurjawi, penulis Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu.
Menurutnya, wakaf seharusnya mampu
mengurangi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, serta dapat
meningkatkan taraf hidup manusia.[13]
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan
makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Menurut
bahasa, Wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis
(tertahan), al-tasbil (tertawan) dan al-man’u (mencegah). Disebut pula dengan al-habs (al-ahbas,
jamak). Secara bahasa, al-habs berarti al-sijn (penjara), diam,
cegah, rintangan, halangan, “tahanan,” dan pengamanan. Gabungan kata ahbasa (al-habs) dengan al-mal
(harta) berarti wakaf (ahbasa
al-mal).
Sedangkan
menurut istilah Wahbah al-Zuhaily mengatakan bahwa, wakaf pada hakikatnya adalah: “Menahan harta (benda) milik orang
yang berwakaf, kemudian menyedakahkan manfaatnya kepada jalan kebaikan. Ada
beberapa hikmah adanya wakaf diantaranya adalah: (1) Wakaf sebagai
ibadah social, (2) Wakaf mengalirkan
pahala tiada akhir, (3) Wakaf untuk
sarana dan prasarana ibadah dan aktivitas social, (4) Wakaf untuk peningkatan peradaban umat dan Wakaf untuk peningkatan
kesejahteraan umat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Akademika Presindo, 1992).
Ahmad
Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1977).
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:
CV. Al-Waah, 1989).
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002).
Didin Hafidhuddin, Wakaf Uang Dalam Pandangan
Syariat Islam, (Jakarta: Kumpulan Hasil Seminar Perwakafan, Bimas
dan Haji DEPAG RI, 2004).
Faisal
Haq Saiful Anam, Hukum Wakaf dan
Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Garoeda Buana Indah, 1994).
Ghufraon
A Masadi, Fikh Muamalah Kontekstual,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).
[1]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1977), hal. 490.
[2] Ibid, hal. 450.
[3] Ibid, hal. 452.
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 1266.
[5]Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo,
1992), hal. 165.
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Al-Waah, 1989), hal. 67.
[7] Ibid, hal. 91.
[8] Didin
Hafidhuddin, Wakaf Uang Dalam Pandangan Syariat Islam, (Jakarta: Kumpulan
Hasil Seminar Perwakafan, Bimas dan Haji DEPAG RI,2004), hal. 194.
[10] Anne Ahira, ”Pengertian Wakaf”, Dalam http:///F:/wakaf%20makalah/bahan%20wakaf/Pengertian%20Wakaf%20dan%20Ketentuannya.htm. (17 Mei 2014).
[11] Ghufraon A Masadi, Fikh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
hal. 175.
[12] Faisal Haq Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Garoeda Buana
Indah, 1994), hal. 6.
[13] Masykuri
Abdillah, dalam http://bwi.or.id/index.php/in/artikel/356-filosofi-dan-hikmah-wakaf, Sabtu, 10 Juni 2014, pukul 01:42 .
0 komentar:
Post a Comment