BAB I
PENDAHULUAN
Ajaran islam yang di bawa
oleh Nabi Muhammad SAW. pada awalnya di laksanakan secara murni. Ketika
Rasulullah wafat, cara beramal dan beribadah para shahabat dan tabi’in masih
tetap memelihara dan membina ajaran Rasulullah. Akan tetapi pada masa-masa
selanjutnya, ajaran Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad semakin menyebar
luas, sehingga memunculkan cara beramal dan beribadah yang berbede-beda.
Pada abad pertama Hijriyah,
mulai ada perbincangan tentang Theologi, di lanjutkan mulai ada formalisasi
syariah, abad kedua hijriyah mulai muncul tasawuf, setelah abad kedua hijriyah
muncullah golongan sufi yang mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian
jiwa untuk Taqarrub kepada Allah, dan pada abad kelima hijriyah barulah muncul
Thariqah sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya. Dan kini Thariqah
telah berkembang di seluruh dunia, dan kini Thariqah jumlahnya banyak sekali,
padahal setiap Thariqah memiliki ciri-ciri husus.Hal ini menimbulkan tanda
tanya bagi para kaum Muslimin, sebenarnya Thariqah mana yang sesuai dengan kaum
Muslimin dan apakah setiap Thariqah itu sudah pasti keshahihannya.
Berawal dari situlah
kiranya pemakalah perlu mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan Thariqah,
sehingga menjadi jelaslah Thariqah mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
THARIQOH (SEJARAH PERKEMBANGAN THARIQOH YANG
MASYHUR DAN UNSUR DALAM THARIQOH)
A.
PENGERTIAN
THARIQOH
Istilah
tarekat bisa dipahami dalam dua pengertian: Pertama, tarekat dalam pengertian jalan spiritual menuju
Tuhan, dan ini meliputi metode sufistik dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedua, dalam pengertian,
persaudaraan suci di mana berkumpul sejumlah murid dan seorang mursyid, yang
dibantu oleh para wakil mursyid.
Berkaitan
dengan pembicaraan sebelumnya, tarekat dalam pengertian pertama ini yang perlu
kita fahami dari perspektif etimologinya terlebih dahulu. Tarekat yang berasal
dari kata thariqah artinya adalah jalan kecil (path), dan dalam konteks Timur Tengah berarti jalan setapak menuju waadi (oase).
Terkadang
jalan kecil tersebut tertutup oleh pasir yang terbawa angin padang pasir yang
bertiup kencang. Untuk mengenali jalan kecil tersebut diperlukan pengetahuan
yang detil terhadap tempat tersebut, sehingga kita masih dapat mengenal jalan
menuju oase itu meski sama sekali telah tertimbun oleh pasir. Dari sini dapat
kita fahami bahwa jalan spiritual menuju Tuhan yang kita sebut dengan tarekat
ini, tidak mudah kita kenal seperti mudahnya kita mengenal jalan raya yang
bernama syari'ah. Itulah sebabnya banyak orang yang tidak bisa melihat melihat
adanya jalan tersebut dan menganggap tarekat sebagai sesuatu yang tidak
berguna, dibanding jalan raya yang mudah dikenal (fiqh-red). Nah, untuk
menjawab perasaan terasing yang memicu sebuah "pencarian spiritual"
(spiritual quest) dari seorang manusia, ia membutuhkan tarekat sebagai jalan
spiritualnya menuju Tuhannya.
Sebagian
sufi ada yang menggambarkannya dengan istilah maqamat atau stasiun-stasiun,
yaitu fase-fase atau babak-babak, dari titik awal sampai titik akhirnya. Ibarat
seseorang yang sedang melakukan perjalanan menuju sebuah kota, mereka harus
melewati berbagai stasiun dengan tanda-tandanya yang harus mereka kenali, dan
mengetahui juga di mana posisi mereka saat ini.
Dengan
demikian seseorang dapat mengevaluasi kemajuan yang diraih dalam perjalanan
tersebut. Ada juga sufi yang menggambarkan perjalanan spiritual secara tidak
langsung dengan menyebutkan maqamat secara formal dan tegas, tetapi
menggambarkannya secara simbolis, berupa novel spiritual, atau perumpamaan atau
dengan deskripsi prosa yang tidak dengan spesifik menamakan tahap-tahap
perjalanan mereka, seperti Farid al-Din 'Aththar, dengan bukunya Mantiq
al-Thayr, Ibn 'Arabi dalam bukunya Risalat al-Anwar dan Jalal al-Din Rumi,
terutama dalam al-Matsnawi.
Mursyid
artinya penunjuk jalan, yaitu penunjuk jalan bagi seorang yang sedang melakukan
perjalanan spiritual. Tetapi karena sebagian besar manusia tidak mengetahui
jalan tersebut, mursyid diperlukan bagi mereka yang hendak meniti jalan
spiritual. Karena tanpa seorang mursyid, seseorang yang belum mengetahui jalan
bisa saja, bahkan kemungkinan besar akan kesasar dan tidak pernah mencapai
tujuannya.
Oleh
karena itu, kehadiran seorang mursyid sangat diperlukan kalau ia ingin
betul-betul sampai ke tempat tujuan. Lebih lagi, kalau kita menyadari bahwa
perjalanan spiritual bukanlah perjalanan yang mudah tapi perjalanan yang
panjang, terjal dan berliku-liku yang sangat membutuhkan orientasi yang sangat
jelas, determinasi yang membaja dan bimbingan serta nasihat yang senantiasa
diperlukan seorang untuk meneruskan perjalanan spiritualnya sehingga sampai ke
tempat tujuan.
B.
PERKEMBANGAN
THARIQOH
Dunia
Sufi pada hakikatnya tidak bisa dipelajari lewat buku, maka latihan spiritual
berupa dzikr, atau sama', adalah cara yang efektif untuk memahaminya lewat
pengalaman batin. Para mursyid umumnya mengajak murid-muridnya untuk melakukan
perjalanan spiritual bersama melalui zikir menuju Tuhan, dengan metode seperti
yang dialami dan dikuasai oleh sang mursyid sendiri. Mereka tidak mengajar
murid-muridnya tentang ajaran para sufi.
Karena
itu, yang pertama dan utama yang harus dimiliki seorang murid adalah keyakinan
kepada mursyid dan jalan yang dipilihnya. Dalam proses bimbingan, sang murid
tidak boleh protes atau membangkang. Apalagi sampai melirik atau menuju jalan (thariqah) sana-sini. Jangan berharap sukses kalau sang murid masih
meragukan otoritas jalan (thariqah) dan mursyid yang dipilihnya. Ada beberapa thariqoh yang kita kenal
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Mengenal
Tarekat Mu'tabarah
Dalam tasawwuf seringkali dikenal istilah Tarekat, yang berarti jalan, yakni
jalan untuk mencapai Ridlo Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan,
adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan jalan
menuju Allah itu sebanyak nafasnya mahluk, aneka ragam dan bermacam macam.
Kendati demikian orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah berhati hati,
karena dinyatakan pula dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan ada yang
tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima. Yang dalam istilah
ahli Tarekat lazim dikenal dengan ungkapan, Mu’tabaroh.
Wa ghoiru Mu’tabaroh.
KH. Dzikron Abdullah menjelaskan, awalnya
Tarekat itu dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril.
Jadi, semua Tarekat yang Mu’tabaroh itu, sanad (silsilah)-nya muttashil
(bersambung) sampai kepada Nabi. Kalau suatu Tarekat sanadnya tidak muttashil
sampai kepada Nabi bisa disebut Tarekat tidak (ghoiru) Mu’tabaroh. Barometer lain untuk menentukan
ke-mu’tabaroh-an suatu Tarekat adalah pelaksanaan syari’at. Dalam semua Tarekat
Mu’tabaroh syariat dilaksanakan secara benar dan ketat. Diantara Tarekat
Muktabaroh itu adalah:
a)
Tarekat
Syathariyah
Tarekat Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah
Syathar (w.1429 M). Tarekat Syathariyah berkembang luas ke Tanah
Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan
Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh
'Abd al-Rauf al-Sinkili ke Nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh
Burhan al-Din ke Minangkabau.
b)
Tarekat
Naqsyabandiyah
Sementara
Tarekat Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850.
Tarekat Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu
masuknya melalui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Limapuluh
kota. Tarekat Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama
abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula
belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir
dan India. Naqsyabandiyah merupakan salah satu Tarekat sufi yang paling luas
penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki,
Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad
ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim
dalam waktu seratus tahun.
Perluasannya
mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut
nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua, w.
1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan Tarekat tersebut
di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah.
Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at
secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik
dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati (Sirri).
c)
Tarekat
Naqsyabandiyah Khalidiyah
Penyebaran
Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah ditunjang oleh ulama ulama Minangkabau yang
menuntut ilmu di Mekah dan Medinah, mereka mendapat bai'ah dari Syekh Jabal
Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya, Syekh
Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk
Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936), dan Syekh Muhammad Sai'd Bonjol.
Mereka adalah ulama besar dan berpengaruh pada zamannya serta mempunyai anak
murid mencapai ratusan ribu, yang kemudian turut menyebarkan Tarekat ini ke
daerah asal masing masing Di Jawa Tengah Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyyah
disebarkan oleh KH. Abdul Hadi Girikusumo Mranggen yang kemudian menyebar ke
Popongan Klaten, KH. Arwani Amin Kudus, KH. Abdullah Salam Kajen Margoyoso
Pati, KH. Hafidh Rembang.
Dari
tangan mereka yang penuh berkah, pengikut Tarekat ini berkembang menjadi
ratusan ribu. Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada
empat aspek pokok yaitu: syari'at, thariqat, hakikat dan ma'rifat. Ajaran
Tarekat Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang
harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan
Allah. Ajaran yang nampak ke permukaan dan memiliki tata aturan adalah khalwat
atau suluk. Khalwat ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang
terpencil, guna melakukan zikir dibawah bimbingan seorang Syekh atau
khalifahnya, selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari.
Tata cara khalwat ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini
berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul
dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau
mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan
untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah.
d)
Thariqat
Ahmadiyah
Thariqat
Ahmadiyah didirikan oleh Ahmad ibn ‘Aly (al-Husainy al-Badawy). Diantara
nama-nama gelaran yang telah diberikan kepada beliau ialah Syihabuddin,
al-Aqthab, Abu al-Fityah, Syaikh al-‘Arab dan al-Quthab an-Nabawy. Malah,
asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diberikan nama gelar (laqab) yang banyak,
sampai dua puluh sembilan nama. Al-Ghautha al-Kabir, al-Quthab al-Syahir,
Shahibul-Barakat wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang lelaki
keturunan Rasulullah SallAllahu ‘alaihi wa sallam, melalui Sayidina al-Husain.
Sholawat
Badawiyah sughro dan Kubro, adalah sholawat yang amat dikenal masarakat
Indonesia, dinisbatkan kepada waliyullah Sayid Ahmad Badawi ini, akan tetapi
Tarekat badawiyah sendiri tidak berkembang secara luas di indonesia khususnya
di Jawa
e)
Tarekat
Sadziliyah
Abul
Hasan Ali asy-Sadzili, merupakan tokoh Tarekat Sadziliyah yang tidak
meninggalkan karya tulis di bidang tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas
al-Mursi, kecuali hanya ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ketika ditanya
akan hal itu, ia menegaskan :”karyaku adalah murid muridku”, Asadzili mempunyai
murid yang amat banyak dan kebanyakan mereka adalah ulama ulama masyhur pada
zamannya, dan bahkan dikenal dan dibaca karya tulisnya hingga hari ini.
Ibn
Atha'illah as-Sukandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran,
pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah Tarekat Sadziliyah
tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya
paripurna tentang aturan-aturan Tarekat Sadziliah, pokok-pokoknya,
prinsip-prinsipnya, yang menjadi rujukan bagi angkatan-angkatan setelahnya.
Sebagai ajaran, Tarekat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah
satu perkataan as-Sadzili kepada murid-muridnya: "Jika kalian mengajukan
suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid
al-Ghazali".
Perkataan
yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda
ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya."
Selain kedua kitab tersebut, al-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim
at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya
Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn
Atah'illah. Tarekat Sadzaliah berkembang pesat di Jawa, tercatat Ponpes
Mangkuyudan Solo, Kyai Umar, Simbah Kyai Dalhar Watucongol, Simbah Kyai Abdul
malik Kedongparo Purwokerto, KH Muhaiminan Parakan, KH. Abdul Jalil Tulung
Agung. KH . Habib Lutfi Bin Yahya, Pekalongan.
f)
Tarekat
Qodiriyah
Tarekat
Qodiriyah dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang
bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost
al-Jaelani. Lahir di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561
H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada
tahun 488 H/1095 M. Riwayat hidup dan keutamaan akhlak (Manaqib) Syech Abdul
Qodir Jaelani ini, dikenal luas oleh masarakat Indonesia khususnya di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, dan dibaca dalam acara-acara tertentu guna tabarruk dan
tawassul kepada Syekh Abdul Qodir.
Tarekat
Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh
jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun
meski sudah berkembang sejak abad ke-13, Tarekat ini baru terkenal di dunia
pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w
1517 M) juga mengaku keturunan Syekh Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail
Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah,
Tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Tarekat Qodiriyah ini
dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak
mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti Tarekat gurunya. Bahkan dia
berhak melakukan modifikasi Tarekat yang lain ke dalam Tarekatnya.
Tarekat
Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa,
seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa
Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng
Jombang Jawa Timur. Syekh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syekh
Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam
penyebaran Tarekat Qodiriyah.
g)
Tarekat
Alawiyyah
Tarekat
Alawiyyah berbeda dengan Tarekat sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu,
misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah
(olah ruhani) yang berat, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan
beberapa wirid serta dzikir ringan.
Sehingga
wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski
tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni
Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad.serta beberapa ratib lainnya seperti Ratib
Al Attas dan Alaydrus juga dapat dikatakan, bahwa Tarekat ini merupakan jalan
tengah antara Tarekat Syadziliyah (yang menekankan olah hati) dan batiniah) dan
Tarekat Al-Ghazaliyah (yang menekankan olah fisik). Tarekat ini berasal dari
Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti
Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia).
Tarekat
ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir–lengkapnya Imam Alawi bin
Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir—seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat. Al
Imam Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali Baalwi, juga merupakan tokoh kunci
Tarekat ini.
h)
Tarekat
Khalwatiyah
Umumnya,
nama sebuah Tarekat diambil dari nama sang pendiri Tarekat bersangkutan,
seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari
Baha Uddin Naqsyaband. Tapi Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata
“khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini
dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H), pendiri Tarekat
Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.
Secara
“nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah,
cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh
Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Tarekat
Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri
(lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang
penyair sufi asal Damaskus, Syiria
i)
Tarekat
Syattariyah
Tarekat
Syattariyah adalah aliran Tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad
ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa
mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar. Awalnya Tarekat ini lebih dikenal di
Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah
Turki Usmani, Tarekat ini disebut Bistamiyah.
Kedua
nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh
utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah tidak
menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Tarekat ini
dianggap sebagai suatu Tarekat tersendiri yang memiliki
karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik.
Perkembangan mistik Tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan
yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus
melalui tahap fana'. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju
Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama
menurut Tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan
Syattar.
Seorang
salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai
kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang
terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan
yang harus dilalui untuk mencapai tujuan Tarekat ini, yaitu taubat, zuhud,
tawakkal, qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
j)
Tarekat
Tijaniyah
Tarekat
Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani
(1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari
gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis
sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at
dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai
ganti untuk menyatu dengan Tuhan. At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di
'Ain Madi, bagian selatan Aljazair.
Sejak
umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat mempelajari
ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah
menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun
1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia
kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan
intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun. Di Indonesia, Tijaniyah ditentang
keras oleh Tarekat-Tarekat lain.
Gugatan
keras dari kalangan ulama Tarekat itu dipicu oleh pernyataan bahwa para
pengikut Tarekat Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan
diperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh
dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak
1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Tarekat Tijaniyah diminta untuk
melepaskan afiliasinya dengan para guru Tarekat lain, Meski demikian, Tarekat
ini terus berkembang, utamanya di Buntet- Cirebon dan seputar Garut (Jawa
Barat), dan Jati barang brebes, Sjekh Ali Basalamah, dan kemudian dilanjutkan
putranya, Sjekh Muhammad Basalamah, adalah muqaddam Tijaniah di Jatibarang yang
pengajian rutinnya, dihadiri oleh puluhan ribu ummat Islam pengikut Tijaniah.
Demikian pula Madura dan ujung Timur pulau Jawa, tercatat juga, sebagai pusat
peredarannya. Penentangan terhadap Tarekat ini, mereda setelah, Jam'iyyah
Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah menetapkan keputusan, Tarekat ini bukanlah
Tarekat sesat, karena amalan-amalannya
sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Keputusan itu diambil
setelah para ulama ahli Tarekat memeriksa wirid dan wadzifah Tarekat ini.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan makalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Istilah
tarekat bisa dipahami dalam dua pengertian: Pertama, tarekat dalam pengertian jalan spiritual menuju
Tuhan, dan ini meliputi metode sufistik dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedua, dalam pengertian,
persaudaraan suci di mana berkumpul sejumlah murid dan seorang mursyid, yang
dibantu oleh para wakil mursyid.
Ada
beberapa thariqoh yang dikenal pada saat ini diantaranya adalah Tarekat Syathariyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat
Naqsyabandiyah Khalidiyah, Thariqat Ahmadiyah, Tarekat Sadziliyah, Tarekat
Qodiriyah, Tarekat Alawiyyah, Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Syattariyah dan Tarekat
Tijaniyah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Thoriqoh, (Solo: Ramadhani, 1993).
Sokhi
Huda, Tasawuf Qultural, (Yogyakarta: LK 15 Yogyakarta, 2008).
Sri
Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat Mu’tabaroh di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005).