BAB I
PENDAHULUAN


Ajaran islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW.  pada awalnya di laksanakan secara murni. Ketika Rasulullah wafat, cara beramal dan beribadah para shahabat dan tabi’in masih tetap memelihara dan membina ajaran Rasulullah. Akan tetapi pada masa-masa selanjutnya, ajaran Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad semakin menyebar luas, sehingga memunculkan cara beramal dan beribadah yang berbede-beda.
Pada abad pertama Hijriyah, mulai ada perbincangan tentang Theologi, di lanjutkan mulai ada formalisasi syariah, abad kedua hijriyah mulai muncul tasawuf, setelah abad kedua hijriyah muncullah golongan sufi yang mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk Taqarrub kepada Allah, dan pada abad kelima hijriyah barulah muncul Thariqah sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya. Dan kini Thariqah telah berkembang di seluruh dunia, dan kini Thariqah jumlahnya banyak sekali, padahal setiap Thariqah memiliki ciri-ciri husus.Hal ini menimbulkan tanda tanya bagi para kaum Muslimin, sebenarnya Thariqah mana yang sesuai dengan kaum Muslimin dan apakah setiap Thariqah itu sudah pasti keshahihannya.
Berawal dari situlah kiranya pemakalah perlu mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan Thariqah, sehingga menjadi jelaslah Thariqah mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.




BAB II
PEMBAHASAN
THARIQOH (SEJARAH PERKEMBANGAN THARIQOH YANG MASYHUR DAN UNSUR DALAM THARIQOH)


A.    PENGERTIAN THARIQOH
Istilah tarekat bisa dipahami dalam dua pengertian: Pertama, tarekat dalam pengertian jalan spiritual menuju Tuhan, dan ini meliputi metode sufistik dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedua, dalam pengertian, persaudaraan suci di mana berkumpul sejumlah murid dan seorang mursyid, yang dibantu oleh para wakil mursyid.
Berkaitan dengan pembicaraan sebelumnya, tarekat dalam pengertian pertama ini yang perlu kita fahami dari perspektif etimologinya terlebih dahulu. Tarekat yang berasal dari kata thariqah artinya adalah jalan kecil (path), dan dalam konteks Timur Tengah berarti jalan setapak menuju waadi (oase).
Terkadang jalan kecil tersebut tertutup oleh pasir yang terbawa angin padang pasir yang bertiup kencang. Untuk mengenali jalan kecil tersebut diperlukan pengetahuan yang detil terhadap tempat tersebut, sehingga kita masih dapat mengenal jalan menuju oase itu meski sama sekali telah tertimbun oleh pasir. Dari sini dapat kita fahami bahwa jalan spiritual menuju Tuhan yang kita sebut dengan tarekat ini, tidak mudah kita kenal seperti mudahnya kita mengenal jalan raya yang bernama syari'ah. Itulah sebabnya banyak orang yang tidak bisa melihat melihat adanya jalan tersebut dan menganggap tarekat sebagai sesuatu yang tidak berguna, dibanding jalan raya yang mudah dikenal (fiqh-red). Nah, untuk menjawab perasaan terasing yang memicu sebuah "pencarian spiritual" (spiritual quest) dari seorang manusia, ia membutuhkan tarekat sebagai jalan spiritualnya menuju Tuhannya.
Sebagian sufi ada yang menggambarkannya dengan istilah maqamat atau stasiun-stasiun, yaitu fase-fase atau babak-babak, dari titik awal sampai titik akhirnya. Ibarat seseorang yang sedang melakukan perjalanan menuju sebuah kota, mereka harus melewati berbagai stasiun dengan tanda-tandanya yang harus mereka kenali, dan mengetahui juga di mana posisi mereka saat ini.
Dengan demikian seseorang dapat mengevaluasi kemajuan yang diraih dalam perjalanan tersebut. Ada juga sufi yang menggambarkan perjalanan spiritual secara tidak langsung dengan menyebutkan maqamat secara formal dan tegas, tetapi menggambarkannya secara simbolis, berupa novel spiritual, atau perumpamaan atau dengan deskripsi prosa yang tidak dengan spesifik menamakan tahap-tahap perjalanan mereka, seperti Farid al-Din 'Aththar, dengan bukunya Mantiq al-Thayr, Ibn 'Arabi dalam bukunya Risalat al-Anwar dan Jalal al-Din Rumi, terutama dalam al-Matsnawi.
Mursyid artinya penunjuk jalan, yaitu penunjuk jalan bagi seorang yang sedang melakukan perjalanan spiritual. Tetapi karena sebagian besar manusia tidak mengetahui jalan tersebut, mursyid diperlukan bagi mereka yang hendak meniti jalan spiritual. Karena tanpa seorang mursyid, seseorang yang belum mengetahui jalan bisa saja, bahkan kemungkinan besar akan kesasar dan tidak pernah mencapai tujuannya.
Oleh karena itu, kehadiran seorang mursyid sangat diperlukan kalau ia ingin betul-betul sampai ke tempat tujuan. Lebih lagi, kalau kita menyadari bahwa perjalanan spiritual bukanlah perjalanan yang mudah tapi perjalanan yang panjang, terjal dan berliku-liku yang sangat membutuhkan orientasi yang sangat jelas, determinasi yang membaja dan bimbingan serta nasihat yang senantiasa diperlukan seorang untuk meneruskan perjalanan spiritualnya sehingga sampai ke tempat tujuan.

B.     PERKEMBANGAN THARIQOH
Dunia Sufi pada hakikatnya tidak bisa dipelajari lewat buku, maka latihan spiritual berupa dzikr, atau sama', adalah cara yang efektif untuk memahaminya lewat pengalaman batin. Para mursyid umumnya mengajak murid-muridnya untuk melakukan perjalanan spiritual bersama melalui zikir menuju Tuhan, dengan metode seperti yang dialami dan dikuasai oleh sang mursyid sendiri. Mereka tidak mengajar murid-muridnya tentang ajaran para sufi.
Karena itu, yang pertama dan utama yang harus dimiliki seorang murid adalah keyakinan kepada mursyid dan jalan yang dipilihnya. Dalam proses bimbingan, sang murid tidak boleh protes atau membangkang. Apalagi sampai melirik atau menuju  jalan (thariqah) sana-sini.  Jangan berharap sukses kalau sang murid masih meragukan otoritas jalan (thariqah) dan mursyid yang dipilihnya.  Ada beberapa thariqoh yang kita kenal diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Mengenal Tarekat Mu'tabarah
Dalam tasawwuf seringkali dikenal istilah Tarekat, yang berarti jalan, yakni jalan untuk mencapai Ridlo Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya mahluk, aneka ragam dan bermacam macam. Kendati demikian orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah berhati hati, karena dinyatakan pula dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan ada yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima. Yang dalam istilah ahli Tarekat lazim dikenal dengan ungkapan, Mu’tabaroh. Wa ghoiru Mu’tabaroh.
KH. Dzikron Abdullah menjelaskan, awalnya Tarekat itu dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Jadi, semua Tarekat yang Mu’tabaroh itu, sanad (silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi. Kalau suatu Tarekat sanadnya tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut Tarekat tidak (ghoiru) Mu’tabaroh. Barometer lain untuk menentukan ke-mu’tabaroh-an suatu Tarekat adalah pelaksanaan syari’at. Dalam semua Tarekat Mu’tabaroh syariat dilaksanakan secara benar dan ketat. Diantara Tarekat Muktabaroh itu adalah:

a)      Tarekat Syathariyah
Tarekat Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarekat Syathariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh 'Abd al-Rauf al-Sinkili ke Nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau. 
b)      Tarekat Naqsyabandiyah
Sementara Tarekat Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850. Tarekat Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya melalui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Limapuluh kota. Tarekat Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India. Naqsyabandiyah merupakan salah satu Tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun.
Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan Tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati (Sirri).
c)      Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah
Penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah ditunjang oleh ulama ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah, mereka mendapat bai'ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936), dan Syekh Muhammad Sai'd Bonjol. Mereka adalah ulama besar dan berpengaruh pada zamannya serta mempunyai anak murid mencapai ratusan ribu, yang kemudian turut menyebarkan Tarekat ini ke daerah asal masing masing Di Jawa Tengah Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyyah disebarkan oleh KH. Abdul Hadi Girikusumo Mranggen yang kemudian menyebar ke Popongan Klaten, KH. Arwani Amin Kudus, KH. Abdullah Salam Kajen Margoyoso Pati, KH. Hafidh Rembang.
Dari tangan mereka yang penuh berkah, pengikut Tarekat ini berkembang menjadi ratusan ribu. Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu: syari'at, thariqat, hakikat dan ma'rifat. Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak ke permukaan dan memiliki tata aturan adalah khalwat atau suluk. Khalwat ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir dibawah bimbingan seorang Syekh atau khalifahnya, selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara khalwat ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah.
d)     Thariqat Ahmadiyah
Thariqat Ahmadiyah didirikan oleh Ahmad ibn ‘Aly (al-Husainy al-Badawy). Diantara nama-nama gelaran yang telah diberikan kepada beliau ialah Syihabuddin, al-Aqthab, Abu al-Fityah, Syaikh al-‘Arab dan al-Quthab an-Nabawy. Malah, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diberikan nama gelar (laqab) yang banyak, sampai dua puluh sembilan nama. Al-Ghautha al-Kabir, al-Quthab al-Syahir, Shahibul-Barakat wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang lelaki keturunan Rasulullah SallAllahu ‘alaihi wa sallam, melalui Sayidina al-Husain.
Sholawat Badawiyah sughro dan Kubro, adalah sholawat yang amat dikenal masarakat Indonesia, dinisbatkan kepada waliyullah Sayid Ahmad Badawi ini, akan tetapi Tarekat badawiyah sendiri tidak berkembang secara luas di indonesia khususnya di Jawa
e)      Tarekat Sadziliyah
Abul Hasan Ali asy-Sadzili, merupakan tokoh Tarekat Sadziliyah yang tidak meninggalkan karya tulis di bidang tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ketika ditanya akan hal itu, ia menegaskan :”karyaku adalah murid muridku”, Asadzili mempunyai murid yang amat banyak dan kebanyakan mereka adalah ulama ulama masyhur pada zamannya, dan bahkan dikenal dan dibaca karya tulisnya hingga hari ini.
Ibn Atha'illah as-Sukandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah Tarekat Sadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan Tarekat Sadziliah, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, yang menjadi rujukan bagi angkatan-angkatan setelahnya. Sebagai ajaran, Tarekat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Sadzili kepada murid-muridnya: "Jika kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali".
Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, al-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah. Tarekat Sadzaliah berkembang pesat di Jawa, tercatat Ponpes Mangkuyudan Solo, Kyai Umar, Simbah Kyai Dalhar Watucongol, Simbah Kyai Abdul malik Kedongparo Purwokerto, KH Muhaiminan Parakan, KH. Abdul Jalil Tulung Agung. KH . Habib Lutfi Bin Yahya, Pekalongan.
f)       Tarekat Qodiriyah
Tarekat Qodiriyah dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Riwayat hidup dan keutamaan akhlak (Manaqib) Syech Abdul Qodir Jaelani ini, dikenal luas oleh masarakat Indonesia khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan dibaca dalam acara-acara tertentu guna tabarruk dan tawassul kepada Syekh Abdul Qodir.
Tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, Tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Syekh Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, Tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti Tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi Tarekat yang lain ke dalam Tarekatnya.
Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syekh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syekh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran Tarekat Qodiriyah.
g)      Tarekat Alawiyyah
Tarekat Alawiyyah berbeda dengan Tarekat sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) yang berat, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan.
Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad.serta beberapa ratib lainnya seperti Ratib Al Attas dan Alaydrus juga dapat dikatakan, bahwa Tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat Syadziliyah (yang menekankan olah hati) dan batiniah) dan Tarekat Al-Ghazaliyah (yang menekankan olah fisik). Tarekat ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia).
Tarekat ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir–lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir—seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat. Al Imam Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali Baalwi, juga merupakan tokoh kunci Tarekat ini.
h)      Tarekat Khalwatiyah
Umumnya, nama sebuah Tarekat diambil dari nama sang pendiri Tarekat bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. Tapi Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H), pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.
Secara “nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria 
i)        Tarekat Syattariyah
Tarekat Syattariyah adalah aliran Tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar. Awalnya Tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, Tarekat ini disebut Bistamiyah.
Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu Tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik. Perkembangan mistik Tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana'. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut Tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar.
Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan Tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
j)        Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan. At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di 'Ain Madi, bagian selatan Aljazair.
Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun. Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh Tarekat-Tarekat lain.
Gugatan keras dari kalangan ulama Tarekat itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Tarekat Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan diperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Tarekat Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru Tarekat lain, Meski demikian, Tarekat ini terus berkembang, utamanya di Buntet- Cirebon dan seputar Garut (Jawa Barat), dan Jati barang brebes, Sjekh Ali Basalamah, dan kemudian dilanjutkan putranya, Sjekh Muhammad Basalamah, adalah muqaddam Tijaniah di Jatibarang yang pengajian rutinnya, dihadiri oleh puluhan ribu ummat Islam pengikut Tijaniah. Demikian pula Madura dan ujung Timur pulau Jawa, tercatat juga, sebagai pusat peredarannya. Penentangan terhadap Tarekat ini, mereda setelah, Jam'iyyah Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah menetapkan keputusan, Tarekat ini bukanlah Tarekat sesat, karena amalan-amalannya sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Keputusan itu diambil setelah para ulama ahli Tarekat memeriksa wirid dan wadzifah Tarekat ini.


BAB III
KESIMPULAN


Berdasarkan pembahasan makalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Istilah tarekat bisa dipahami dalam dua pengertian: Pertama, tarekat dalam pengertian jalan spiritual menuju Tuhan, dan ini meliputi metode sufistik dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedua, dalam pengertian, persaudaraan suci di mana berkumpul sejumlah murid dan seorang mursyid, yang dibantu oleh para wakil mursyid.
Ada beberapa thariqoh yang dikenal pada saat ini diantaranya adalah Tarekat Syathariyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Thariqat Ahmadiyah, Tarekat Sadziliyah, Tarekat Qodiriyah, Tarekat Alawiyyah, Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Syattariyah dan Tarekat Tijaniyah.




DAFTAR PUSTAKA


Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Thoriqoh, (Solo: Ramadhani, 1993).
Sokhi Huda, Tasawuf Qultural, (Yogyakarta: LK 15 Yogyakarta, 2008).
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat Mu’tabaroh di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005).


0 komentar:

 
Top