BAB I
PENDAHULUAN
Pertentangan atau konflik social jika ditinjau
secara psikologis dapat dikatakan sebagai refleksi dari kondisi psikhis manusia dalam
kerangka interaksi sosialnya. Struktur energy psikhis manusia yang terdiri dari
Ide, Ego dan super ego merupakan proses diantara kebutuhan dan keinginan
tersebut sering terjadi pertentangan antara kebutuhan dan keinginan ego dengan
norma-norma yang dipegang oleh super ego. Ego sebagai lembaga yang bekerja
untuk mencapai tujuan berada pada garis persimpangan antara keinginan untuk
secepatnya tercapai dengan kekuatan super ego yang selalu mempertimbangkan
norma dan nilai dalam mencapai tujuan ego.
Interaksi antar individu dalam kelompoknya
mempertemukan berbagai macam ego dan berbagai pertimbangan super ego dan tentu
saja hal tersebut menyebabkan pentingnya pelembagaan ego dan super ego tersebut
dalam suatu proses integrasi. Maka dari latar belakang diatas, penulis akan menjelaskan
tentang pertentangna-pertentangna social dan integrasi masyarakat yang kami
rangkum dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
PERTENTANGAN-PERTENTANGAN SOSIAL DAN INTEGRASI
MASYARAKAT
A.
PERBEDAAN KEPENTINGAN DAN KONFLIK
Dalam
mengkomunikasikan harapannya kelompok yang berkepentingan dihadapkan pada
kekuatan norma dan tata nilai masyarakat yang secara konsensual diterima
sebagai nilai universal. Antara komunikasi harapan dengan standar normative
tidak selalu sejalan, sehingga komunikasi harapan ini masih harus melalui
proses pertimbangan Super ego. Ketidaksesuaian pandangan antara kedua kekuatan
tersebut menimbulkan suatu sikap yang bertentangan yang diwujudkan dengan
kesalahpahaman diantara keduanya.
Dalam
menghadapi standar normative ini kelompok yang berkepentingan akan selalu
berusaha membentangkan tujuan-tujuannya atau harapan-harapannya diatas tebaran
tata nilai yang dijadikan standar dengan berusaha mengadakan rasionalisasi.
Dalam hal ini sering mengakibatkan terjadinya konflik dalam bentuk perdebatan.
Bentuk lain yang lebih ekstrim dari konflik ini adalah penyimpangan tingkah
laku yang diaktualisasikan secara demonstrative maupun tingkah laku yang bersifat mediator.
Berdasarkan
uraian diatas, maka dapat kita lakukan bahwa pada awalnya konflik dimulai
dengan pertentangan yang bersifat idiologis dan kemungkinan akan berakhir pada
saat salah satu pihak memaksakan pengertian mereka tentang moral maupun suatu
harapan yang diikuti dengan kesadaran bahwa salah satu diantaranya telah
berbuat kekelirruan. Ini harus kita sadari sebagai konsekuensi teringat dari
satu konflik ideologis atau perbedaan ideology. Konsekuensinya yang lebih berat juga bisa
muncul dalam bentuk sangsi maupun aksi tertentu.
B.
GEJALA-GEJALA YANG MENIMBULKAN PERTENTANGAN SOSIAL
Secara
sistematis dalam bagian ini akan dibahas mengenai gejala-gejala perilaku social
yang menyebabkan timbulnya konflik antara kelompok social yang terdiri dari
Prasangka, diskriminasi dan pandangan etnosentris. Adapun penjelasannya sebagai
berikut:
1.
Prasangka
Prasangka
merupakan salah satu bentuk sikap social yang dapat terjadi antara saut orang
dengan orang lain dan dapat pula berlaku antara satu kelompok dengan kelomopk
yang lainnya. Prasangka dapat berorientasi kepada hal yang positif, tetapi
umumnya dalam studi sosiologi diarahkan kepada sikap negative.
Prasangka
sebagai suatu sikap tindakan merupakan bawaan dasar dari individu melainkan
merupakan hasil proses interaksi antar individu atau golongan. Atau lebih tepat
kalau prasangka merupakan hasil proses belajar dan pengenalan individu dalam
perkembagnannya. Pada prinsipnya seseorang akan bersikap tertentu terhadap
orang lain atau terhadap suatu kelompok apabila ia telah memiliki pengetahuan
itu tidak dapat kita pastikan apakah bersifat postitif atau negataif.
Pengetahuan itu akan membuat seseorang atau satu kelompok berpersepsi, berpikir
dan merasa terhadap objek tertentu. Dari sinilah lahirnya suatu sikap dalam
bentuk tingkah laku yang cenderung negative.
Dengan
demikian, prasangka dapat dikatakan seperti yang dikemukakan oleh Newcomb
sebagai sikap yang tak baik dan sebagai suatu predisposisi untuk berpikir,
merasa dan bertindak dengan cara yang menentang atau menjauhi dan bukan
menyokong atau mendekati orang-orang lain, terutama sebagai anggota kelompok.
2.
Deskriminasi
Prasangka
yang demikian intens dan etnosentris yang fanatic akan menjurus kepada
tindakan-tindakan yang bersifat otoriter terhadap kelompok yang diprasangkai
dan atau terhadap kelompok etnis lain. Sikap otoriter ini membuktikan
perkembangan sikap prasangka dan etnosentris yang semakin meningkatkan dalam
arti intensitasnya.
Deskriminasi
ini timbul karena pandangan-pandangan stereotif yang selanjutnya digunakan
untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu yang umumnya berorientasi pada
politik dan ekonomi. Dengan adanya sikap-sikap menghambat, mematikan antipasti
dan permusuhan kelompok lain akan menimbulkan rasa antipasti dan permusuhan
antar kelompok yang merupakan manifestasi dari konflik.
3.
Etnosentris
Ada
kecenderungan bahwa suatu kelompok etnis tertentu merasa bahwa kebudayaan
kelompoknyalah yang menempati urutan tangga teratas, sebagai kebudayaan yang
utama. Sedangkan kebudayaan etnis lain dianggapnya sesuatu yang tidak logis,
aneh, bertentangan dengan kehendak alam, dan seterusnya.
Kecenderungan
untuk menilai unsure-unsur kebudayaan lain dengan menggunakan ukuran kebudayaan
sendiri inilah yang disebut dengan sikap etnosentris. Perasaan ini adalah
merupakan pengembangan dari sikap pandangan “in group” dan “out group” yang ditanamkan kepada
anggota kelompok dengan mempertajam perbedaan-perbedaan social antara satu
kelompok etnis dengan kelompok etnis yang lainnya.
C.
BENTUK-BENTUK KONFLIK YANG MENIMBULKAN KETEGANGAN
Seperti
yang telah dijelaskan diatas, bahwa konflik bisa terjadi dimana-mana saja, baik
antara dua orang, antara dua kelompok, atau antara dua bangsa atau lebih.
Konflik tersebut terjadi akibat perbedaan kepentingan dalam berbagai hal. Namun
yang perlu kita catat bahwa konflik itu
sendiri memiliki kadar intensitas atau kedalaman yang menunjukan kemampuannya
untuk menimbulkan suatu ketegangan bagi individu maupun kelompok bahkan public yang lebih luas, menyangkut
Negara suatu bangsa. Untuk melihat konflik yang dapat menimbulkan ketegangan,
penulis akan mencoba menyorotinya dari segi yaitu konflik diadik (mikro) dan
konflik dalam kolektif (makro), dengan menghubungkan berbagai kepentingan yang
melatar belakangi.
Dengan
demikian dapat kita katakana bahwa konflik yang dapat menimbulkan ketegangan
adalah konflik yang telah menyangkut masalah-masalah perasaan dan fungsi-fungsi
kerohanian lain dari individu maupun kelompok. Hal-hal umum yang sering menjadi
masalah peka dalam interaksi social dan sering menimbulkan ketegangan antara
lain masalah-masalah pemenuhan kebutuhan (ekonomi), kehormatan, ideology dan
kekuasaan.
1.
Konflik diadik
(mikro)
Konflik
diadik adalah konfilk antara individu dan antar kolektif. Teori ini peratama
kali dicetuskan oleh George Simmel yang secara eksplisit tentang subyek konflikdan
implikasi ekonomi uang. Umumnya konflik antara individu dan antar kelompok ini
lebih banyak ditimbulkan oleh masalah-masalah ekonomi dalam rangka memenuhi
kebutuhan dan masalah-masalah yang menyangkut kehormatan dan eksistensi
individu dan kelompok.
2.
Konflik Kolektif
(Makro)
Dalam
pembahasan konflik kolektif, maka yang menjadi sorotan kita adalah hubungan
antar negara bangsa dalam hubungan internasional. Karena secara teoritis
konflik yang paling sederhana diantara kolektifitas adalah hubungan
internasionl, dimana yang terlibat adalah nation states yang berdaulat. Konflik antar berbagai Negara atau antar
berbagai bangsa dapat ditimbulkan oleh berbagi hal seperti yang terjadi dalam
konflik diadik.
D.
PERBEDAAN GOLONGAN DAN INTEGRASI
Adanya
perbedaan suatu golongan seperti itu, merupakan gejala social dapat menimbulkan
dua kemungkinan arah yaitu konflik dan integrasi. Dalam bagian ini akan dibahas
khusus mengenai perbedaan golongan dan kemungkinan integrasi. Dalam bidang agama, umpamanya, masalah agama
adalah merupakan masalah kepercayaan yang paling mendasar bagi manusia tentu
saja satu agama dengan agama yang lain mungkin timbul juga lebih besar.
Dalam
bidang ekonomi dan profesi merupakan golongan social berdasarkan fungsi
(fungsional). Perbedaan fungsi ini mungkin dapat menimbulkan konflik yang
disebabkan karena perbedaan pandangan tentang urgensi dari masing-masing
beidang atau golongan. Integrasi dalam hal ini ditempuh dengan jalan pemahaman
akan kesamaan arah dan tujuan dalam arti universal, untuk kesejahteraan seluruh
anggota kelompok dan masyarakat.
Sehubungan
dengan proses dan aspek mental (sikap) seperti yang dibahas diatas, maka untuk
dapat terlaksananya integrasi dibutuhkan pemahaman dan penghayatan akan
nilai-nilai yang akan diinternalisir dan akhirnya akan mewarnai pola fikir dan
tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Aspek-aspek yagn umumnya dijadikan
indicator penerimaan atau penolakan adalah tujuan, system sosialnya, system
tindakan dan system sangsi yang dijalankan.
Proses
sosialisasi sebagai penunjang proses integrasi merupakan proses aktif untuk
mempelajari nilai-nilai, mengadakan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan
serta menimba pengalaman mental. Disatu pihak integrasi sebagai proses pasif
berusaha menyerap individu-individu dalam satu kelompok sebagai hasil atau tepatnya
akibat dari proses sosialisasi tersebut.
E.
INTEGRASI NASIONAL
Integrasi
nasional adalah merupakan masalah yang dialami oleh semua anggota Negara atau
nation yang ada didunia, yang berbeda adalah bentuk permasalahan yang
dihadapinya. Beberapa Negara yang berdiri sendiri perang dunia II ternyata
banyak yang tidak mampu mengintegrasikan berbagai golongan dalam masyarakat. Menghadapi masalah integrasi ini, sebenarnya
tidak memiliki kunci yang pasti karena masalah yang dihadapi berbeda dan latar
belakang sosio cultural nation state yang berbeda pula. Sehingga masalah integrasi
ini cenderung diselesaikan sesuai dengan kondisi Negara yang bersangkutan. Ada
yang menempuh jalan kekerasan dan adapula yang menempuh strategi politik yang
lebih lunak.
1.
Beberapa
permasalahan integrasi nasional
Permasalahan
utama yang dihadapi dalam integrasi nasional ini adalah adanya cara pandang
yang berbeda tentang pola laku duniawi dan cara untuk mencapai tujuan. Dengan
kata lain, masalah integrasi nasional
ini pada prinsipnya bersumber pada perbedaan ideology.
Permasalahan
kedua, permasalahan yang ditimbulkan oleh kondisi masyarakat majemuk, yang
terdiri dari berbagai kelompok etnis baik diantara penduduk pribumi maupun
keturunan asing. Menurut Harsya W. Bachtiar, kelompok etnis atau suku-suku
bangsa yang ada didaerah merupakan national-national pribumi yang telah
terbentuk lama sebelum national Indonesia diproklamasikan.
Permasalahan
yang ketiga, adalah masalah territorial daerah yang seringkali berjarak cukup
jauh. Lebih-lebih Indonesia yang berbentuk Negara kepulauan dan merupakan arus
lalu lintas dua benua dan dua samudra. Kondisi ini akan lebih mempererat rasa
solidaritas kelompok etnis tertentu.
2.
Upaya pendekatan
Upaya-upaya
yang dilaksanakan untuk memperkecil dan kalau mungkin menghilangkan
kesenjangan-kesenjangan itu antara lain sebagai berikut:
1)
Untuk
mempertebal keyakinan seluruh warga Negara yang terdiri dari berbagai golongan
itu terhadap ideology nasional, maka Pemerintah berusaha untuk mewujudkan
idealism atau cita-cita nasional yang diamanatkan oleh seluruh bangsa kepada ideology
melalui pembangunan di berbagai sector.
2)
Berusaha membuka
isolasi antar berbagai kelompok etnis dan antar daerah atau pulau
3)
Menggali
kebudayaan daerah untuk dijadikan kebudayaan nasional dan membina penggunaan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
4)
Membentuk
jaringan asimilasi bagi berbagai kelompok etnis baik pribumi maupun keturunan asing.
5)
Melalui
jalur-jalur formal seperti pendidikan, perundang-undangan yang berlaku bagi
seluruh warga Negara dan pendekatan formal lainnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa pada awalnya konflik
dimulai dengan pertentangan yang bersifat idiologis dan kemungkinan akan
berakhir pada saat salah satu pihak memaksakan pengertian mereka tentang moral
maupun suatu harapan yang diikuti dengan kesadaran bahwa salah satu diantaranya
telah berbuat kekelirruan. Ini harus kita sadari sebagai konsekuensi teringat
dari satu konflik ideologis atau perbedaan ideology. Konsekuensinya yang lebih berat juga bisa
muncul dalam bentuk sangsi maupun aksi tertentu.
Interaksi
antar individu dalam kelompoknya mempertemukan berbagai macam ego dan berbagai
pertimbangan super ego dan tentu saja hal tersebut menyebabkan pentingnya
pelembagaan ego dan super ego tersebut dalam suatu proses integrasi. Maka dari
latar belakang diatas, penulis akan menjelaskan tentang
pertentangna-pertentangna social dan integrasi masyarakat yang kami rangkum
dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi, Pengantar Sosiologi, Semarang:
Ramadhani, 1975.
Alfian, Pemikiran dan Pembaharuan Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1980.
Bottomore, Tom, Sosiologi Politik, Bina Aksara, Jakarta: 1983.
Josef Riwu Kaho, Ilmu Sosial Dasar (Kumpulan Essei), Surabaya: Penerbit Usaha
Nasional, 2008.
Susanto, Astrid S, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Bina Cipta, 1977.