BAB I
PENDAHULUAN
Bank
ada suatu lembaga yang melibatkan banyak
pihak, di antaranya adalah pikah stockholder maupun stakeholder. Kedua pihak ini dapat dijangkau oleh pihak manajemen
Bank itu sendiri. Ada perbedaan antara bank konvensional dengan bank syari’ah
dalam hal partisipasi stock dan stakeholder tersebut. Perbedaan itu
muncul karena ada sisi yang berbeda dari bank konvensional dengan bank syariah,
dalam aspek: equitas, risiko, pembagian
keuntungan, sampai pada hubungan antar pihak yang terkait dalam system
perbankan tersebut.
Dalam
makalah ini, akan dibahas tentang corporate
government yang berlaku di bank syari’ah. Bank syari’ah sebagai corporate belum banyak yang mengkaji
aspek-aspek perbankan dari sisi corporate
govermance-nya. Pengkajian kita mengenai isu-isu ini dimulai dengan sebuah
uraian tentang corporate government
dan govermance dalam perbankan
konvensional.
BAB II
PEMBAHASAN
CORPORATE
GOVERNANCE
BANK SYARIAH
A.
PENGERTIAN
CORPORATE GOVERNANCE
Dalam literature lain
disebutkan bahwa Good Corporate
Governance (GCG) berarti suatu proses dan struktur yang digunakan untuk
mengarahkan dan mengelola bisnis dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama
mempertinggi nilai saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan
kepentingans stakeholders lain. Dari
pengertian tersebut, selanjutnya dapat dijelaskan bahwa GCG tidak lain adalah
permasalahan mengenai proses pengelolaan perusahaan, yang secara konseptual mencakup
diaplikasikannya prinsip-prinsip transparency,
accountability fairness dan responsibility.[1]
Dari sudut pandang corporate govermance, perbankan syariah menunjukan
sejumlah segi yang menarik karena aransemen partisipasi ekuitas, resiko dan profit and loss sharing menjadi basis pembiayaan
(pemberi kredit) yang Islami. Semua aturan mekanisme (aransemen) memiliki satu
aspek penting, dalam arti bahwa mereka harus merupakan transaksi yang riil dan
bukan transaksi keuangan semata-mata, dan semua pihak yang mengadakan kontrak harus sama-sama menanggung
resiko dari transaksi itu dengan memakai mekanisme profit and loss sharing.
Cadbury Committee
mendefinisikan corporate governance
sebagai system yang mengarahkan dan mengontrol perusahaan.[2]
Secara formal, corporate governance
dapat didefinisikan sebagai system hak, proses, dan control secara keseluruhan
yang ditetapkan secara internal dan eksternal atas manajemen sebuah entitas
bisnis dengan tujuan untuk melindungi
kepentingan-kepentingan semua stockeholder.[3]
Definisi ini, kemudian
memunculkan pertanyaan lebih jauh
mengenai siapakah mereka yang mempunyai
kepentingan dalam sebuah korporasi. Menurut literature tentang corporate governance, kelompok-kelompok yang terlibat adalah mulai
dari para pemegang saham serta Dewan Direktur, pada satu ujung spectrum, sampai
semua entitas yang mempunyai kepentingan dalam perusahaan, pada ujung spectrum
lainnya.[4]
Namun, bagaimanapun, kita sedang
membicarakan aransemen dan hubungan institusional melalui nama
perusahaan-perusahaan dan institusi-institusi diarahkan dan dikontrol. Menurut paradigm
yang dominan dari teori keagamaan (agency
theory)¸govermance structure itu dibutuhkan karena kepentingan para pemodal
dan agen (wakil) berbeda.
Hart misalnya
berpendapat bahwa governance structure muncul
bilamana ada problem keagenan yang mungkin sekali terjadi, atau konflik kepentingan, antara para stakeholders yang tidak dapat diselesaikan melalui aransemen kontrak,
beberapa tindakan masa akan datang belum (dan mungkin tidak dapat) ditentukan dalam
kontrak awal.[5]
Jadi, korporasi modern
mampunyai banyak pemilik, dan ada pemisah antara kepemilikan dengan control
manajeral atas asset-aset perubahan.
Pemisahan ini, memungkinkan terjadinya penyebab risiko kepada sekelompok besar
pemegang saham ketika menarik modal ekuitas, dan memfasilitasi penggajian para
manajer professional yang memiliki lebih banyak informasi dan keahlian mengenai
persolan-perosalan manajemen
dibandingkan para pemilik harta perusahaan. Tetapi mungkin saja manajemen
menanam investasi terlalu banyak dalam proyek-proyek yang menaikan gaji,
kekuasaan, dan status. Bagian utama dari corporate
governance, karenanya berkaitan dengan rancangan check and balances atas perilaku manajemen.[6]
Akan tetapi, Corporate Governance tidak hanya tentang
bagaimana mendesain mekanisme control dan memecahkan konflik-konflik pemodal agen
seraya terus mengawasi perilaku oportunistik agen yang mementingkan dirinya
sendiri. Mekanisme corporate governance
bisa juga digunakan untuk membangun kepercayaan, mendatangkan kerja sama, dan
menciptakan visi bersama diantara mereka yang terlibat dalam perusahaan yang
bisa mencegah timbulnya problem-problem
keagenan.
B.
GOVERNANCE DALAM BANK KONVENSIONAL
Paling tidak ada empat
kelompok stakeholder langsung yang dapat
diidentifikasikan dalam sebuah bank,
adapun keempat kelompok tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Pemegang saham/pemilik utang yang
disubordinasi
2.
Deposan/kreditur
3.
Manajemen
4.
Agen-agen asuransi
pemerintah/Badan-badan penyedia
Dalam realitasnya ada beberapa hal yang seringkali dilakukan
oleh pemegang saham (share holder)
yang menurut pendapat Abdul Ghofur Anshori bertentangan dengan saham itu antara
lain sebagai berikut:
1.
Pemegang saham yang bersangkutan baik
langsung maupun tidak langsung dengan I’tikad buruk memanfaatkan persoalan semata-mata
untuk kepentingan pribadi.
2.
Pemegang saham yang bersangkutan terlibat
dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan.
3.
Pemegang saham yang bersangkutan baik secara langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakitkan
kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.[7]
Problem keagenan dapat
muncul apabila control atas sumber daya didelegasikan oleh satu pihak (pemodal)
kepada pihak lain (wakil), tetapi kepentingan mereka tidak sama dan pihak
pemodal tidak dapat menilai informasi yang secara rutin diberikan oleh bank
sebagai bagian dari aktivitas bisnis mereka tidak dengan mudah dapat diperoleh
oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam bisnis perbankan, sedangkan kerahasiaan nasabah
mencegah terjadinya penyebaran banyak
informasi mengenai keputusan-keputusan pemberian pinjaman dan perkara-perkara
lainnya.
C.
GOVERNANCE DALAM BANK SYARI’AH
Dalam perbankan syari’ah,
persoalan Governance sangat berbeda
dengan governance dalam bank
konvensional karena perbankan syariah mempunyai kewajiban untuk mentaati
seperangkat peraturan yang berbeda-beda yaitu hukum syariah (syariat) dan pada
umumnya mengikuti harapan kaum Muslimin degnan memberikan modal kemitraan berdasarkan
aransemen profit and loss sharing
(PLS) atau cara-cara pembiayaan lainnya yang dibenarkan oleh Syariat.
Metode profit
and loss sharing ini, sebaliknya
menerapkan hubungan-hubungan stakeholder
yang berbeda dengan hubungan dalam pola peminjaman dan pemberian pinjaman berbasis
bunga.
D.
FINANCIAL GOVERNANCE (TATA KELOLA KEUANGAN)
Konsep syariah tentang ummah (umat) atau solidaritas dikalangan
Muslim berkaitan erat dengan konsep amanah
(kepercayaan) harta harus diperoleh, digunakan, dan didistribusikan dalam
kerangka syariat. Tidak ada orang yang memiliki hak absolute untuk menggunakan hartanya
sesuka dia. Tapi hanya dapat menggunakannya untuk tujuan-tujuan yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam. konsep yang
sama dari amanah juga memberikan arti
bahwa bank-bank syariah bertindak sebagai wakil (wali) para investor yang
dananya mereka kelola, dan harus memenuhi segala kewajiban mereka dengan
bertanggung jawab dan sesungguh-sungguhnya.
Perbankan bebas-bunga
dalam bentuk murninya didasarkan pada konsep syirkah (kemitraan) atau musyarakah,
dan mudharabah (bagi hasil). Sebuah
bank syariah dipahami sebagai intermediator keuangan yang menggalang tabungan masyarakat yang
berdasarkan prinsip mudharabah dan
menanamkan modal pada pengusaha berdasarkan kemitraan PLS. Aransemen profit and loss sharing dua deret pun
berjalan.
Dalam system mudharabah, proyek dikelola oleh nasabah
dan bukan oleh bank, meskipun bank sama-sama menanggung risiko. Beberapa
keputusan penting, seperti perubahan penting, seperti perubahan dalam jalur
bisnis yang ada dan pembagian laba, harus mengikuti persetujuan bank. Sebagai
mitra, bank berhak untuk mengetahui sepenuhnya tentang pembukuan dan catatan, dan
dapat melakukan monitoring serta
penyelesaian lanjutan. Namun demikian, para direktur dan manajemen perusahaan tetap
bebas dalam menyelenggarakan segala urusan perusahaan.[8]
E.
MASALAH
KEAGENAN (AGENCY)
Dari sudut pandang
analisis perbankan konvensional, karakteristik pandangan seperti itu
menimbulkan, paling tidak secara potensial, ada tiga isu insentif. Pertama, tidak adanya kolateral biasa
memperparah problem adverse selection (seleksi
yang merugikan). Para peminjam yang mengharapkan proyek mereka memberikan
manfaat non-moneter yang tinggi namun laba terealisirnya rendah akan memilih system
pendanaan PLS. Sebab mereka akan menikmati pendapatan total yang tinggi dengan
pengorbanan yang modal yang secara artificial. Kedua, suatu perjanjian mudharabah
akan menonjolkan problem moral hazard, karena
pihak bank tidak dapat memaksa pengusaha untuk melakukan tindakan dan upaya yang
dibutuhkan dalam memaksimalkan pendapatannya. Ketiga, dalam perjanjian PLS, Selalu ada dorongan pada pinjaman
untuk membuat laporan yang menyatakan jumlah laba yang kurang dari sebenarnya. Mereka dapat menurunkan laba
dengan cara mengambil penghasilan tambahan yang berlebihan atau waktu luang
ekstra atau memakai dalih akuntansi.
Sebagaimana ditunjukan
oleh dua kutipan diatas, eksistensi dari persoalan keagenan yagn potensial
seperti itu diakui dalam lingkungan perbankan Islam. Demikian pula, ada
persoalan keagamaan pada sisi lain dari persamaan permodalan dimana, tidak
seperti pada bank konvensional, harus ditarik suatu perbedaan yang tegas antara
rekening giro (current account) dan
rekening investasi (non contingent
liability) dan harus dibayar bila
ditagih.
Jelaslah dari
perspektif teori intermediasi keuangan standar,
persoalan keagenan pasti ada dalam perbankan Islam. namun sampai taraf tertentu,
bank Syariah yang menggunakan berbagai macam system insentif. Diantaranya teknik-teknik
yang dikemukakan dalam literature ini, yang bertujuan untuk meluruskan perilaku
agen demi kepentingan principal (pemodal), adalah gagasan pemberian gaji yang
berkaitan dengan laba atau opsi-opsi
saham.
Dengan cara yang sangat
mirip, sebuah bank syariah dapat memakai mekanisme insentif khusus seperti
memberikan saham dalam kepemilikan, menghubungkan pemindahan kepemilikan
melalui pemberian saham bonus berdasarkan kinerja, menyusun skema cadangan
untuk membujuk (orang-orang) agar mau memegang saham dan provisi perusahaan sebagai
pembayaran laba yang berkaitan dengan pernyataan laba, dan sebagainya.[9]
F.
STRUKTUR
GOVERNANCE
Ketika mengkaji Governance Structure, maka ada gunanya memulai
dengan perbedaan menurut Gambar berikut
antara proses regulasi internal dan proses regulasi eksternal. Proses regulasi
eksternal mencakup fungsi audit eksternal diserta idengan syarat-syarat
pelaporan terkait menurut undang-undang perusahaan dan aturan-aturan praktik akuntansi
yang terbaik, dan jasa aksi-aksi para pemegang saham serta peran bursa saham.
Regulasi internal meliputi segala aktivitas dan fungsi para dewan direktur,
direktur non eksekutif, komite audit, dan audit internal. Semua ini, harus
dilengkapi dengan system control internal yang bertujuan untuk memastikan keterpercayaan dari
laporan keuangan, kesesuaian dengan undang-undang dan peraturan, disertai dengan
efisiensi operasi.
Semua struktur tersebut
ditunjukan dalam gambar dibawah ini dan disertai beberapa tambahan yang sangat penting
untuk sebuah bank syariah yang berkaitan dengan proses penyeliaan syariah.
Bank-bank syariah mengerahkan para sarjana hukum syariah yang ulung, biasanya sebagai penasehat atau
konsultasi, untuk memastikan bahwa kebijakan dan aktivitas sehari-hari bank
sesuai dengan syariat. Di beberapa bank seperti Jordan Islamic Bank, hanya ada satu
konsultan agama. Di beberapa bank lainnya, seperti Faisal Islamic Bank of Egypt,
para penasehat membentuk Dewan Penyelia (sejenis struktur Dewan dua-deret di
Jerman, meskipun komposisi dan tujuanya tentu saja berbeda).
Gambar
Corporate Governance dalam sebuah
Bank Islam
Jadi, yang pokok dalam kerangka
corporate governance untuk sebuah
bank Syariahs adalah Dewan Penyelia Syariah (DPS) dan control-kontrol internal
yang mendukungnya. DPS penting karena dua alasan. Pertama, mereka yang berurusan dengan sebuah bank syariahs
memerlukan jaminan bahwa bank itu melakukan transaksi sesuai dengan hukum
Islam. Kedua, sebagian ulama
berpendapat bahwa prinsip-prinsip agama syariah yang tegas akan bertindak sebagai imbangan
terhadap problem-problem insentif yang
telah diuraikan sebelumnya.[10]
Kaum Muslimin menyakini akan akhirat, dimana kejujuran akan mendapat pahala dan ketidak jujuran akan mendapat
siksaan. Keanggotaan ummah (umat)
menciptakan hak dan kewajiban. Solidaritas merupakan basis dari tatanan social
syariah dengan dalil bahwa aturan moral syariah akan mencegah kaum muslim dari perilaku yang secara etis tidak baik, sehingga meminimlakan
biaya transaksi yang muncul dari isu-isu insentif.
Sebenarnya, ideology
keagamaan syariah itu sendiri bertindak sebagai mekanisme insentif untuk
mengurangi inefisiensi yang diakibatkan oleh informasi yang asimetris dan risiko moral.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
Pembahasan makalah diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa struktur-struktur corporate
governance penting sekali artinya bagi bank Islam. system perbankan ini
meliputi penggantian aktivitas-aktivitas
peminjaman dan pemberian pinjaman berbunga dengan prinsip-prinsip profit and loss sharing. Sebagai ganti dari membebankan atau membayar
riba (bunga), bank-bank Syari’ah melakukan investasi dalam perdagangan dan industry,
secara langsung atau dalam bentuk kemitraan (perseroan) dengan pihak lain, dan
berbagi hasil.
Komunitas
syariah selalu menyandarkan diri pada ketaatan ketaatan kaum Muslim terhadap
keputusan Al-Qur’an tentang riba. Bank-bank Islam, sebagaimana sudah diketahui,
bekerja sama dengan badan-badan keagamaan dan mengandalkan kampanye pendidikan untuk
mendorong umat agar menggunakan fasilitas perbankan bebas bunga yang mereka
sediakan. Namun, hal itu kemudian diserahkan kepada kesadaran masing-masing
individu. Hal ini bertentangan nyata dengan agama Kristen dalam menjalankan larangannya
atas riba. Selanjutnya kita mengkaji berbagai pengalaman yang berbeda.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori, 2007. Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Algaound,
Latifa M dan Mervyn K. Lewis, 2001,
Islamic Banking, Massachussentts:
Edward Elger.
Ali,
AH, 1999, The Islamic Banking Cultural, New
Horizon, 1999
Berle,
A. dan G. Means, 1933. The Modern Corporation
and Private Property, New York: Macmillan.
Muhammad, 2002. Manajemen
Bank Syari’ah (Edisi Revisi), Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
[1] Peri Umar Farouk, Tinjauan Kritis Implementasi GCG di
Indonesia, Jakarta: www.inlawnesia.net Tanggal akses 20 Mei 2006.
[2] Cadbury Committee, Report of the Committee on The Financial
Aspects of Corparate Govermance, London: Gee & Co. 1992.
[3] K. Lannoo, Corporate Governance in Eropa, CEPS Working Party Report No. 12
Centre for European Studies, Brussels, 1995.
[4] M.M. Blair, Ownership and Control: Rethinking Corporate Government for the
Twenty-First-Century. Washington: Brookings Institution, 1995.
[5] O. Hart, Corporate Governance:
Theory and Implications, Economic
Journal, 105 Mei, 1995
[6] Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah (Edisi Revisi),
Yogyakarta: UPP AMP YKPN,
2002.
[7] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007.
[8] MA.A. Sarker, The Agency Problem, Nature, Characteristic
and its Relevancy with the Islamic Contract Model. New Horizon, 1999.
[9] KJ. Arrow, The Of Organization, New
York and London: W. W. Norton. 1974.
[10] Nadeem UI Haque dan Abbas
Mirakhor, Perjanjian Bagi Hasil yang Optimal
dan Investasi Dalam Perekonomian Bebas Bunga, Washington DC: Internasional
Monetary Fund. 1986.
0 komentar:
Post a Comment