BAB I
PENDAHULUAN



Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan religi, dan sila ketuhanan yang maha esa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate.
 Kemudian, pada urutanya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis.









BAB II
PEMBAHASAN
FUNGSI AGAMA



A.     FUNGSI AGAMA
Untuk mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat ada tiga aspek penting yang perlu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek tersebut merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan, sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara sistem, dan sejauh manakah agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan itu timbul sebab, sejak dulu sampai saat ini, agama itu masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Sebagai kerangka acuan penelitian empiris, teori fungsional memandang masyarakat sebagai suatu lembaga sosial yang seimbang. Manusia mementaskan dan memolakan kegitannya menurut norma yang berlaku umum, peranan serta setatusnya. Lembaga yang demikian kompleks ini secara keseluruan merupakan sistem sosial, di mana setiap unsur dari kelembagaan itu saling tergantung dan menentukan semua unsur lainnya. Perubahan salah astu unsur akan mempengaruhi unsur lainnya, dan akhirnya akan mempengarui kondisi sistem keseluruan. Dalam pengertian lembaga sosial yang demikian, maka agama merupakan salah satu bentuk perilaku manusia yang telah terlembaga.
Teori fungsional dalam melihat kebudayaan pengertiannya adalah, bahwa kebudayaan itu berwujud suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, setiap saat mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan, bersifat kongkret terjadi di sekeliling. Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial yang dominan dalam terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama, dan termasuk kinflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan mendasar yang dapat dipenuhi kebutuhan nilai-nilai duniawi. Tetapi tidak mengutik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transendetal (istilah Talcott Parsons).
Aksioma teori fungsional agama adalah, segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya, karena agama sejak dulu sampai saat ini masih ada, mempunyai fungsi, dan bahkan memerankan sejumlah fungsi. Jadi seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan, agama dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut. Sumbangan agama terhadap pemeliharaan masyarakat ialah memenuhi sebagian di antara kebutuhan masyarakat, sebagai contoh ialah dalam system kredit (masalah ekonomi), di mana sirkulasi sumber kebudayaan dari suatu system ekonomi bergantung kepada, apakah manusia satu sama lain dapat saling menaruh kepercayaan, bahwa mereka akan memenuhi kewajiban bersama di bidang keuangan (janji social untuk membayar). Dalam hal ini agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan kewajiban social, dan memberikan kekuatan memaksa memperkuat atau mempengaruhi adapt-istiadat.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka normanyapun dikukuhkan dengan sanksi-sanksi sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi sakral mempunyai kekuatan memaksa istimewa, karena ganjaran dan hukumnya bersifat duniawi dan supramanusiawi dan ukhrowi. Fungsi agama di bidang sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara angg0ta-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Dimensi komitmen agama, menurut Roland Robertson (1984), diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.
a.                Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama.
b.               Praktek agama mencakup perbuatan-perbutan memuja berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata. Ini menyangkut, Pertama, ritual, yaitu berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, dan perbuatan mulia. Kedua, berbakti tidak bersifat formal dan tidak bersifat public serta relative spontan.
c.                Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi.
d.               Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yag bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.                Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan keempat dimensi lainnya. Dimensi ini mengidentifikasi pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan dan pengetahuan keagamaan.

Dimensi keyakinan, pengalaman, dan pengetahuan dapat diterima sebagai dalil atau dasar analisis, namun hubungan-hubungan antara keempatnya tidak dapat diungkapkan tanpa data emperis. Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tipe-tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954).
a.      Mastarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama. Agamamenyusup kedalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya
1)      Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam system nilai masyarakat secara mutlak.
2)      Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga relative belum berkembang, agama jelas menjadi focus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.

b.      Masyarakat-masyarakat Pra-Industri yang Sedang Berkembang
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi dari pada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada system nilai dalam tipe masyarakat ini, tetapi pada saat yang samalingkungan yang sakral dan yang secular itu sedikit-banyaknya masih dapat dibedakan.

c.       Masyarakat-masyarakat Industri Sekular
Masyarakat industri bercirikan dinamika dan teknologi semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sehingga besar penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-penyesuaian dalam hubungan-hubungan kemanusiaan sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai konsekuensi penting bagi agama.

B.     PELEMBAGAAN AGAMA
Agama begitu universal, permanent (langgeng), dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, akan sukar memahami masyarakat. Hal yang perlu dijawab dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur agama. Bila ini berhasil dijawab, maka lebih jelas lagi kaitan agama dengan masyarakat. Tugas ini tidak mudah sebab agama lebih tahan terhadap kajian ilmiah dibandingkan dengan adat dan kebiasaan. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu pandangan yang emosional dan pikiran yang bias (rational bias). Kebiasaan pandangan emosional ini akibat agama dengan segala sifatnya melibatkan nilai-nilai dasar yang menyebabkan agama itu hampir tidak mungkin dipandang dengan sikap yang netral.
Agama melalui wahyunya atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia guna memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan selamat di akhirat, di dalam perjuangan tentu tidak boleh lalai. Pengalaman tokoh agama dan juga merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan, yang kemudian menjadi organisasi keagamaan terlambang. Pengunduran dari atau kematian figur kharismatik akan melahirkan krisis keseimbangan. Lembaga-lembaga keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan, pada ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya organisasi keagamaan. Lembaga ibadah haji dimulai dari terlibatnya berbagai peristiwa, ada nama-nama penting seperti Adam, Ibrahim, Hajar, dan juga syetan, tempatnya adalah Masjidil Haram, mas’a, masyar, miria, dan ka’bah yang merupakan symbol penting, ada peristiwa kurban, pakaian ihram, dan sebagainya.
Organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus semula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi, kemudian menjadi organisasi keagamaan yang terlambang. Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial islam yang penting, dipelopori oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad abduh dari tafsir Al-manar. Ayat suci Al-qur’an telah memberi inspirsi kepada dahlan untuk mendirikan muhammadiyah. Salah satu mottonya ialah bahwa muhammadiyah dipandang sebagai “segolongan dari kaum” mengajak kepada kebaikan, mencegah perbuatan jahat. 

C.     AGAMA, KONFLIK, DAN INTEGRASI
Agama, dalam kaitannya dengan masyarakat, mempunyai dampak positif berupa daya penyatu dan dampak negatif berupa daya pemecah. Agama yang mempunyai system kepercayaan dimulai dengan penciptaan pandangan dunia baru yang didalamnya konsepsi lama dan pelambangannya bisa kehilangan dasar adanya. Meskipun ajaran pokok agama bisa bersifat universal, namun mula-mula ditujukan kepada suatu kelompok orang yang sedikit-banyak homogen. Agama menjadi dasar solidaritas kelompok baru yang tertentu. Dalam kajian ilmu sosial, tentang daya pemecah agama ini berkaitan dengan akronim SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Artinya mensejajarkan persoalan agama dengan suku, ras dan golongan politik tertentu atau hal yang rawan, peka, dan tahu untuk dibicarakan.
Mazhab-mazhab dalam agama merupakan usaha rasionalisasi dan sistematisasi yang berpusat pada took-tokoh sentral, melahirkan teori dan praktek peribadatan, serta kultus tokoh mazhab lebih banyak menjadi sumber perhatian pemeluk daripada pendiri agama atau “tuhan”nya sendiri, sehingga simbol lebih penting dari pada fungusi, dan solidaritas lebih utama daripada pemahaman. Dari segi pola keagamaan biasanya tidak terwujud secara langsung dalam bentuk sosial secara murni dan sederhana, tetapi banyak likunya, ada janji-janji kepada kelas, tetangga, dan sebagainya cenderung seimbang, timbul individu dan kelompok “tipe campuran”. Keberadaan agama tetap harus dilihat peranan positifnya dalam membangun masyarakat, sebab agama dihadirkan kepada umat manusia untuk petunjuk, dan kalau konflik itu ada, jadikanlah rahmat bagi penganutnya.

BAB III
KESIMPULAN



Teori fungsional dalam melihat kebudayaan pengertiannya adalah, bahwa kebudayaan itu berwujud suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, setiap saat mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan, bersifat kongkret terjadi di sekeliling. Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial yang dominan dalam terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama, dan termasuk kinflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan mendasar yang dapat dipenuhi kebutuhan nilai-nilai duniawi. Tetapi tidak mengutik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transendetal (istilah Talcott Parsons).







DAFTAR PUSTAKA




0 komentar:

 
Top