BAB
I
PEMBAHASAN
A. KONSEP
IMAN MENURUT ASWAJA
Pengertian
iman dari bahasa Arab yang artinya percaya. Sedangkan menurut
istilah, pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan
dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan). Dengan demikian,
pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu
benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya, kemudian
pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan
secara nyata.
Jadi, seseorang
dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi
ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang
keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan
amal perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang
sempurna. Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang
utuh dan tidak dapat dipisahkan.[1]
B.
SIFAT-SIFAT
ALLAH
·
Wujud : Artinya Ada
Yaitu tetap
dan benar yang wajib bagi zat Allah Ta’ala yang tiada disebabkan dengan sesuatu
sebab. Maka wujud ( Ada ) – disisi Imam Fakhru Razi dan Imam Abu Mansur
Al-Maturidi bukan ia a’in maujud dan bukan lain daripada a’in maujud , maka
atas qaul ini adalah wujud itu Haliyyah ( yang menepati antara ada dengan
tiada) . Tetapi pada pendapat Imam Abu Hassan Al-Ashaari wujud itu ‘ain
Al-maujud , karena wujud itu zat maujud karena tidak disebutkan wujud melainkan
kepada zat. Kepercayaan bahwa wujudnya Allah SWT. bukan saja di sisi agama
Islam tetapi semua kepercayaan di dalam dunia ini mengaku menyatakan Tuhan itu
ada.
·
Qidam : Artinya Sedia
Pada
hakikatnya menafikan ada permulaan wujud Allah SWT karena Allah SWT. menjadikan
tiap-tiap suatu yang ada, yang demikian tidak dapat tidak keadaannya lebih
dahulu daripada tiap-tiap sesuatu itu. Jika sekiranya Allah Ta’ala tidak lebih
dahulu daripada tiap-tiap sesuatu, maka hukumnya adalah mustahil dan batil.
Maka apabila disebut Allah SWT. bersifat Qidam maka jadilah ia qadim. Di dalam
Ilmu Tauhid ada satu perkataan yang sama maknanya dengan Qadim Yaitu Azali.
·
Baqa’ : Artinya Kekal
Sentiasa ada,
kekal ada dan tiada akhirnya Allah SWT . Pada hakikatnya ialah menafikan ada
kesudahan bagi wujud Allah Ta’ala. Adapun yang lain daripada Allah Ta’ala , ada
yang kekal dan tidak binasa Selama-lamanya tetapi bukan dinamakan kekal yang
hakiki ( yang sebenar ) Bahkan kekal yang aradhi ( yang mendatang jua seperti
Arasy, Luh Mahfuz, Qalam, Kursi, Roh, Syurga, Neraka, jisim atau jasad para
Nabi dan Rasul ). Perkara –perkara tersebut kekal secara mendatang tatkala ia
bertakluq dengan Sifat dan Qudrat dan Iradat Allah Ta’ala pada mengekalkannya. [2]
·
Mukhalafatuhu Lilhawadith. Artinya
: Berbeda dengan makhluknya
Pada zat ,
sifat atau perbuatannya sama ada yang baru , yang telahada atau yang belum ada.
Pada hakikat nya adalah menafikan Allah Ta’ala menyerupai dengan yang baharu
pada zatnya , sifatnya atau perbuatannya. Sesungguhnya zat Allah Ta’ala
bukannya berjirim dan bukan aradh Dan tiada sesekali zatnya berdarah ,
berdaging , bertulang dan juga bukan jenis leburan , tumbuh-tumbuhan , tiada
berpihak ,tiada bertempat dan tiada dalam masa.
·
Qiyamuhu Binafsihi : Artinya
: Berdiri dengan sendirinya .
Tidak
berkehendak kepada tempat berdiri ( pada zat ) dan tidak berkehendak kepada
yang menjadikannya Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan Allah SWT.
berkehendak kepada tempat berdiri dan kepada yang menjadikannya. Allah SWT itu
terkaya dan tidak berhajat kepada sesuatu sama adapada perbuatannya atau
hukumannya. Allah SWT menjadikan tiap-tiap sesuatu dan mengadakan undang-undang
semuanya untuk faedah dan maslahah yang kembali kepada sekalian makhluk .
·
Wahdaniyyah. Artinya : Esa
Allah Ta’ala pada zat, pada sifat & pada perbuatan.
Maka
hakikatnya ibarat daripada menafikan berbilang pada zat, pada sifat dan pada
perbuatan sama ada bilangan yang muttasil (yang berhubung ) atau bilangan yang
munfasil ( yang bercerai ). Makna Esa Allah SWT pada zat itu Yaitu menafikan
Kam Muttasil pada Zat ( menafikan bilangan yang berhubung dengan zat ) seperti
tiada zat Allah Ta’ala tersusun daripada darah , daging , tulang ,urat dan
lain-lain. Dan menafikan Kam Munfasil pada zat ( menafikan bilangan yang
bercerai pada zat Allah Ta’ala )seperti tiada zat yang lain menyamai zat Allah
Ta’ala.[3]
·
Al – Qudrah : Artinya : Kuasa
Memberi bekas
pada mengadakan meniadakan tiap-tiap sesuatu. Pada hakikatnya ialah satu sifat
yang qadim lagi azali yang thabit ( tetap ) berdiri pada zat Allah SWT. yang
mengadakan tiap-tiap yang ada dan meniadakan tiap-tiap yang tiada bersetuju
dengan iradah. Adalah bagi manusia itu usaha dan ikhtiar tidak boleh memberi
bekas pada mengadakan atau meniadakan , hanya usaha dan ikhtiar pada jalan
menjayakan sesuatu . Kepercayaan dan iktiqad manusia di dalam perkara ini
berbagai-bagaiFikiran dan fahaman seterusnya membawa berbagai-bagai kepercayaan
dan iktiqad.
·
Iradah : Artinya : Menghendaki
Maksudnya
menentukan segala mumkin ttg adanya atau tiadanya. Sebenarnya adalah sifat yang
qadim lagi azali thabit berdiri pada Zat Allah Ta’ala yang menentukan segala
perkara yang harus atau setengah yang harus atas mumkin . Maka Allah Ta’ala
yang selayaknya menghendaki tiap-tiap sesuatu apa yang diperbuatnya. Umat Islam
beriktiqad akan segala hal yang telah berlaku dan yang akan berlaku adalah
dengan mendapat ketentuan daripada Allah Ta’ala tentang rezeki , umur , baik ,
jahat , kaya , miskin dan sebagainya serta wajib pula beriktiqad manusia ada
mempunyai nasib ( bagian ) di dalam dunia ini.
·
‘Ilmu : Artinya : Mengetahui
Maksudnya
nyata dan terang meliputi tiap-tiap sesuatu sama ada yangMaujud (ada) atau yang
Ma’adum ( tiada ). Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada ( thabit ) qadim
lagi azali berdiri pada zat Allah Ta’ala. Allah Ta’ala Maha Mengetahui akan
segala sesuatu sama ada perkara. Itu tersembunyi atau rahasia dan juga yang
terang dan nyata. Maka ’ilmu Allah Ta’ala Maha Luas meliputi tiap-tiap sesuatu
diAlam yang fana’ ini.[4]
·
Hayat . Artinya : Hidup
Hakikatnya ialah satu sifat yang
tetap qadim lagi azali berdiri pada zat Allah Ta’ala . Segala sifat yang ada
berdiri pada zat daripada sifat Idrak ( pendapat ) Yaitu : sifat qudrat, iradat
, Ilmu , Sama’ Bashar dan Kalam.
·
Sama’ : Artinya : Mendengar
Hakikatnya
ialah sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada Zat Allah Ta’ala.
Yaitu dengan terang dan nyata pada tiap-tiap yang maujud sama ada yang maujud
itu qadim seperti ia mendengar kalamnya atau yang ada itu harus sama ada atau
telah ada atau yang akan diadakan. Tiada terhijab (terdinding ) seperti dengan
sebab jauh , bising , bersuara , tidak bersuara dan sebagainya.
·
Bashar : Artinya : Melihat
Hakikatnya
ialah satu sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada zat Allah
Ta’ala. Allah Ta’ala wajib bersifat Maha Melihat sama ada yang dapat dilihat
oleh manusia atau tidak, jauh atau dekat , terang atau gelap , zahir atau
tersembunyi dan sebagainya. Firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” Dan Allah
Maha Melihat akan segala yang mereka kerjakan “. ( Surah Ali Imran – Ayat 163)
·
Kalam : Artinya : Berkata-kata
Hakikatnya
ialah satu sifat yang tetap ada , yang qadim lagi azali , berdiri pada zat
Allah Ta’ala. Menunjukkan apa yang diketahui oleh ilmu daripada yang wajib,
maka ia menunjukkan atas yang wajib sebagaimana firman Allah Ta’ala yang
bermaksud : ” Aku Allah , tiada tuhan melainkan Aku ………”. ( Surah Taha – Ayat
14 ) Dan daripada yang mustahil sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud
: ” ……..( kata orang Nasrani ) bahwasanya Allah Ta’ala yang ketiga daripada
tiga……….”. (Surah Al-Mai’dah – Ayat 73). Dan daripada yang harus sebagaimana
firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” Padahal Allah yang mencipta kamu dan
benda-benda yang kamu perbuat itu”. (Surah Ash. Shaffaat – Ayat 96). Kalam
Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada berbilang.
·
Kaunuhu Qadiran : Artinya
: Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkuasa Mengadakan Dan Mentiadakan.
Hakikatnya
Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia
ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Qudrat.
·
Kaunuhu Muridan : Artinya
: Keadaan Allah Ta’ala Yang Menghendaki dan menentukan tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya
Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala , tiada ia maujud dan tiada ia
ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Iradat.
·
Kaunuhu ‘Aliman : Artinya
: Keadaan Allah Ta’ala Yang Mengetahui akan Tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya
Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia
ma’adum , Yaitu lain daripada sifat ‚Ilmu.
·
Kaunuhu Hayyun : Artinya :
Keadaan Allah Ta’ala Yang Hidup.
Hakikatnya
Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia
ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Hayat.
·
Kaunuhu Sami’an : Artinya
: Keadaan Allah Ta’ala Yang Mendengar akan tiap-tiap yang Maujud.
Hakikatnya
Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia
ma’adum, Yaitu lain daripada sifat Sama’.
·
Kaunuhu Bashiran : Artinya
: Keadaan Allah Ta’ala Yang Melihat akan tiap-tiap yang Maujudat ( Benda yang
ada ).
Hakikatnya
Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia
ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Bashar.
·
Kaunuhu Mutakalliman :
Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkata-kata.
Hakikatnya
Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia
ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Kalam.
C.
MELIHAT
ALLAH
Kaum mukminin mengimani akan melihat Allah dengan mata
kepala sendiri di akhirat, termasuk salah satu wujud iman kepada Allah,
kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Mereka akan melihatnya secara jelas,
bagaikan melihat matahari yang bersih, sedikitpun tiada terliputi awan. Juga
bagaikan melihat bulan pada malam purnama, tanpa berdesak-desakan. Demikian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah menjelaskannya dalam Al Aqidah Al Wasithiyah . Dan ini merupakan
kesepakatan Salafush Shalih Radhiyallahu 'anhum.[5]
Imam Ibnu Abi Al Izz Al Hanafi, pensyarah kitab Aqidah
Thahawiyah, menegaskan bahwa jelasnya kaum mukminin melihat Rabb-nya pada hari
akhirat nanti, telah dinyatakan oleh para sahabat, tabi’in, serta para imam
kaum muslimin yang telah dikenal keimaman mereka dalam agama. Begitu pula para
ahli hadits dan semua kelompok Ahli Kalam yang mengaku sebagai Ahli Sunnah Wal
Jama’ah.[6]
Mengapa demikian? Syaikh Shalih bin
Fauzan Al Fauzan, salah seorang ulama senior di Saudi Arabia, menjelaskan:
“Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberitakan hal tersebut dalam KitabNya
; Al Qur’an Al Karim. Begitu pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun
telah memberitakannya dalam Sunnahnya. Barangsiapa yang tidak mengimani
kejadian ini, berarti ia mendustakan Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya.
Sebab orang yang beriman kepada Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya, akan
beriman pula kepada segala yang diberitakannya”. Dalil-dalilnya, seperti yang
dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al Aqidah Al
Wasithiyah
DALIL DARI AL QUR’AN AL KARIM Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
DALIL DARI AL QUR’AN AL KARIM Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وُجُوهُُ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Artinya Wajah-wajah (orang-orang
mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka melihat.. [Al
Qiyamah : 22-23].
D.
KEDUDUKAN
AL-QUR’AN DAN AL-HADIS (NAQLI) DAN (A QLI)
Al-Qur’an
sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari
seluruh ajaran Islam,baik yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya
sendiri,hubungan manusia dengan Allah SWT,hubungan manusia dengan sesamanya,dan
hubungan manusia dengan alam.
Para ulama
Islam berpendapat bahwa hadis menempati kedudukan pada tingkat kedua sebagai
sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an.Mereka beralasan kepada dalil-dalil
Al-Qur’an surah Ali-’Imran,3:132,surah Al-Ahzab,33:36 dan Al-Hasyr,59:7,serta
hadis riwayat Turmuzi dan Abu Daud yang berisi dialog antara Rasulullah SAW
dengan sahabatnya Mu’az bin Jabal tentang sumber hukum Islam.
Fungsi atau
peranan hadis (sunah) di samping Al-Qur’anul Karim adalah:1) Mempertegas atau
memperkuat hukum-hukum yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an (bayan at-taqriri
atau at-ta’kid).2) Menjelaskan,menafsirkan,dan merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang
masih umum dan samar (
• bayan at-tafsir).3) Mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an (bayan at-tasyri;namun pada prinsipnya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
• bayan at-tafsir).3) Mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an (bayan at-tasyri;namun pada prinsipnya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
E.
AL-QUR’AN
SEBAGAI KALAMULLAH
Syaikh Abu
Utsman Isma’il Ash-Shabuni berkata: “Ashhabul Hadits bersaksi dan berkeyakinan
bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (ucapan Allah), Kitab-Nya dan wahyu yang
diturunkan, bukan makhluk. Siapa yang menyatakan dan berkeyakinan bahwa ia
makhluk maka kafir menurut pandangan mereka. Al-Qur’an merupakan wahyu dan
kalamullah yang diturunkan melalui Jibril kepada Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam dengan bahasa Arab untuk orang-orang yang berilmu sebagai peringatan
dan kabar gembira, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ – نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ – عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ – بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ
Artinya: “Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb
semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (Asy-Syu’ara: 192-195)
Al-Qur’an yang
dihafal dalam hati, dibaca oleh lisan, dan ditulis dalam mushaf-mushaf,
bagaimanapun caranya Al-qur’an dibaca oleh qari’, dilafadzkan oleh seseorang,
dihafal oleh hafidz, atau dibaca dimanapun ia dibaca, atau ditulis dalam
mushaf-mushaf dan papan catatan anak-anak dan yang lainnya adalah
kalamullah-bukan makhluk. Siapa yang beranggapan bahwa ia makhluk, maka telah
kufur kepada Allah Yang Maha Agung.
Al-Imam Abu
Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata: “Al-Qur’an adalah
kalamullah-bukan makhluk. Siapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka
dia telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung, tidak diterima persaksiannya,
tidak dijenguk jika sakit, tidak dishalati jika mati, dan tidak boleh
dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Ia diminta taubat, kalau tidak mau maka
dipenggal lehernya. Abu Ishaq bin Ibrahim pernah ditanya tentang lafadz
Al-Qur’an, maka Beliau berkata: “Tidak pantas untuk diperdebatkan. ‘Al-Qur’an
kalamullah-bukan makhluk “. Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Orang yang
menganggap makhluk lafadz Al-Qur’an adalah Jahmiyah, Allah berfirman:
فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللّهِ
Artinya: “maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalamullah’
(At-Taubah:6).
F.
KASAB/USAHA,
QADHA DAN QADAR
Pengertian Qadha dan Qadar Menurut bahasa Qadha memiliki
beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan,pemerintah, kehendak,
pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha
adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang
segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar arti qadar
menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam qadar
perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar
dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya. Firman Allah: Artinya: yang
kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan
tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala
sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS
.Al-Furqan ayat 2).
Untuk memperjelas pengertian qadha dan qadar, berikut ini
dikemkakan contoh. Saat ini Abdurofi melanjutkan pelajarannya di SMK. Sebelum
Abdurofi lahir, bahkan sejak zaman azali Allah telah menetapkan, bahwa seorang
anak bernama Abdurofi akan melanjutkan pelajarannya di SMK. Ketetapan Allah di
Zaman Azali disebut Qadha. Kenyataan bahwa saat terjadinya disebut qadar atau
takdir. Dengan kata lain bahwa qadar adalah perwujudan dari qadha.
Hubungan antara Qadha dan Qadar
Pada uraian tentang pengertian qadha dan qadar dijelaskan
bahwa antara qadha dan qadar selalu berhubungan erat . Qadha adalah ketentuan,
hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah kenyataan dari
ketentuan atau hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat rencana dan
perbuatan. Perbuatan Allah berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan-Nya.
Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah berfirman, yang artinya sebagai berikut: Artinya ”
Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak
menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”
Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar
dengan satu istilah, yaitu Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah,
lalu orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
Kewajiban beriman kepada dan qadar
Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh
seorang laki-laki yang berpakaian serba putih , rambutnya sangat hitam. Lelaki
itu bertanya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan Rasulullah menjawab
yang artinya: Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaekat-malaekat-Nya,
kitab-kitab-Nya,rasul-rasulnya, hari akhir dan beriman pula kepada
qadar(takdir) yang baik ataupun yang buruk. Lelaki tersebut berkata” Tuan
benar”. (H.R. Muslim).
G.
KEDUDUKAN
MUKMIN YANG BERDOSA BESAR
Kedudukan
manusia terhadap dosa ada dua kedudukan diantaranya yaitu sebagai berikut:
1. Kedudukan
orang mukmin yang berdosa
2. Kedudukan
orang fajir yang berdosa
Orang mukmin
yang melakukan ketaatan-ketaatan dan dia dalam keadaan takut, Allah berfirman:
tûïÏ%©!$#ur tbqè?÷sã !$tB (#qs?#uä öNåkæ5qè=è%¨r î's#Å_ur öNåk¨Xr& 4n<Î) öNÍkÍh5u tbqãèÅ_ºu ÇÏÉÈ
Artinya : Dan orang-orang yang memberikan apa yang Telah mereka
berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka
akan kembali kepada Tuhan mereka (QS.Al-Mu’minun:60).
Apakah
maknanya?, yaitu orang-orang yang sholat, bersedekan,berzakat, dan berpuasa
kemudian mereka takut tidak diterima oleh Allah dari mereka (amalan-amalan
mereka tersebut)[7], ini adalah (keadaan seorang mukmin) dalam ketaatan, maka
bagaimana jika ia melakukan dosa?, bagaimanakah kondisinya?, berkata Ibnu
Mas’ud, ((Sesungguhnya seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia
sedang duduk di bawah gunung dan ia takut gunung tersebut jatuh menimpanya)).
Dan inilah yang semestinya, yaitu hendaknya kita merasa besar (tidak
meremehkan) terhadap dosa yang kita lakukan yang berkaitan dengan hak Allah,
kita berdosa karena kurang dalam menunaikan perkara-perkara yang wajib, kurang
dalam menunaikan sholat, ibadah haji, mengeluarkan zakat, dalam menunaikan hak-hak
manusia, dalam bermu’amalah, dalam bekerja, berbuat curang, tidak amanah, dalam
bermualah dengan istri, dengan kedua orang tua, tidak durhaka, dan dalam
melaksanakan kebaikan-kebaikan. Jika bertambah ilmumu maka engkau akan melihat
bahwasanya pada setiap detik yang engkau jalani maka ada perintah Allah dan
larangan Allah atasmu.
Detik-detik
yang kau jalani kalau tidak dalam amalan badan maka pada amalan lisan atau
amalan hati, maka pada setiap detik dalam hidupmu ada perintah Allah dan
larangan Allah yang berkaitan denganmu, bahkan jika engkau duduk dian maka
hatimu kalau tidak bergerak dalam kemaksiatan yaitu kemaksiatan hati seperti
kesombongan dan berburuk sangka, atau memikirkan (sesuatu yang diharamkan)
misalnya atau hati melakukan amalan-amalan yang mengkibatkan perkara-perkara
yang tidak diperbolehkan, misalnya ia berfikir bagaimana cara mengambil sesuatu
yang bukan haknya atau..atau…dan seterusnya. Ini semua adalah dosa jika
diamalkan oleh hati setelah hanya sekedar lintasan pikiran. Diantaranya juga
dosa-dosa yang berkaitan dengan hati meskipun ia tidak melakukan sesuatu,
misalnya meninggalkan tawakal, seperti meninggalkan kesabaran, seperti ujub,
riya, dan seterusnya. Maka setiap detik gerakan-gerakanmu dan juga detik-detik
diammu Allah memiliki perintah dan larangan yang berkaitan denganmu, dan pasti
engkau akan tertimpa kelalaian, kelalaian, dan kelalaian.
Maka seorang
mukmin hendaknya takut, melihat dosa-dosanya seakan-akan ia duduk dibawah
gunung kawatir gunung tersebut (sewaktu-waktu) jatuh menimpanya. Oleh karena
itu manusia diperingatkan dari dosa-dosa mereka dan agar mereka tidak lalai
dengan dosa-dosa tersebut. Dan juga seseorang diingatkan agar jangan sampai ia
wafat di atas dosa-dosanya sebelum ia beristighfar, diingatkan jangan sampai ia
termasuk orang-orang yang selalu berwas-was sebelum ia sempat untuk bertaubat
dan beristigfar. Oleh karena itu seorang mukmin dengan perkataan Ibnu Mas’ud
ini selalu benar-benar berwaspada dan ia menyertakan kewaspadaannya itu dengan
memperbanyak istigfar. Oleh karena itu Nabi r beristigfar dalam sehari semalam
lebih dari seratus kali, dan dalam satu majelis tujuh puluh kali atau seratus
kali, dan demikianlah keadaan para sahabat, dan inilah keadaan seorang mukmin
selalu takut, ia takut dari dosa-dosanya dan mengharapkan rahmat Allah.
Adapun orang mukmin maka Allah merahmatinya dengan
menjadikan sholat ke sholat yang lain merupakan penghapus dosa-dosa diantara
keduanya, Romadhon ke Romadhon merupakan penghapus dosa-dosa diantara keduanya,
umroh ke umroh merupakan penghapus dosa-dosa yang ada diantara keduanya dengan
syarat meninggalkan dosa-dosa besar sebagaimana firman Allah
bÎ) (#qç6Ï^tFøgrB tͬ!$t62 $tB tböqpk÷]è? çm÷Ytã öÏeÿs3çR öNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy Nà6ù=ÅzôçRur WxyzôB $VJÌx. ÇÌÊÈ
bÎ) (#qç6Ï^tFøgrB tͬ!$t62 $tB tböqpk÷]è? çm÷Ytã öÏeÿs3çR öNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy Nà6ù=ÅzôçRur WxyzôB $VJÌx. ÇÌÊÈ
Artinya: “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang
dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu
(dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (Q.S.
An-Nisaa’: 31).
Maka syarat untuk
dihapuskannya dosa-dosa yaitu dijauhinya dosa-dosa besar. Sholat yang satu ke
sholat yang lain merupakan penghapus dosa, namun apakah semua sholat?, tidaklah
demikian, bahkan ada sholat yang dilakukan oleh seorang hamba namun tidak
menghapus dosa-dosanya demikan juga puasa yang dilakukan oleh seorang hamba
–yaitu puasa Romadhon- namun tidak menghapus dosa-dosanya dan umroh ada yang
tidak menghapuskan dosa. Maka setiap ibadah dari ibadah-ibadah ini ada
syaratnya agar bisa menghapus dosa-dosa. Misalnya sholat
H.
SURGA DAN
NERAKA
Jika Allah sudah selesai memperhitungkan amal
hamba-hambaNya, para penghuni surga akan dimasukan ke dalam surga dan para
penghuni neraka dicampakkan ke dalam neraka. Keimanan pada kebenaran ini adalah
bagian dari keimanan pada Allah. Tidaklah benar iman seseorang yang beriman
kepada Allah, tetapi ia mengingkari surga dan neraka. Surga dan neraka adalah
salah satu alam gaib Allah, sebagaimana halnya malaikat, hari akhir, dan cara
perhitungan amal. Selanjutnya, keimanan pada Allah berarti beriman pada yang
gaib, sebagaiman telah dibahas sebelumnya.
Ketika menggambarkan neraka, Allah berfirman:
Yang
artinya: “Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah
merekapun lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Allah mempertakuti
hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku
“.( Az Zumar : 16 ).
Ketika menggambarkan surga, Allah berfirman:
Artinya:
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik,
bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka
mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi
buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang
suci dan mereka kekal di dalamnya.” ( Al Baqarah :25)
Ketika Allah berfirman bahwa ada
neraka yang membakar kulit, lalu Dia menggantikan kulitnya dengan kulit yang
lain agar terus-menerus dibakar, di sini kita memahami bahwa tubuh manusia
tidaklah sama seperti ketika di dunia ini. Ada sesuatu yang tidak diketahui
terjadi pada tubuh manusia dan membuatnya tidak mati. Dari realitas kehidupan di muka bumi, kita
tahu bahwa jika api membakar kulit seseorang seluruhnya, ia akan mati seketika.
Lalu, bagaimana api di akhirat membakar kulit manusia dan Allah menggantikannya
dengan kulit lain agar pembakaran terus berlangsung? Apakah kematian akan mati
di Hari kiamat kelak? Atau, apakah kita akan menjadi mahluk lain yang memperoleh
berbagai siksaan di neraka Jahim atau memperoleh segala macam kenikmatan di
surga?
Alquran menunjukkan adanya perbedaan
wujud manusia di dunia dengan penciptaan yang baru di akhirat, di Hari Kiamat
kelak:
Artinya: Kami telah menentukan kematian di antara kalian.
Kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan…
Al quran tidak memberitahukan wujud
lain manusia di akhirat kelak. Meskipun demikian, ia menyebutkan dengan jelas
bahwa penciptaan bentuk lain ini berada dari penciptaan wujud pertama di dunia.
Mungkin inilah benang pertama menakutkan yang mengantarkan kita menuju apa yang
dijanjikan Allah. Kekuatan manusia untuk menanggung beban di muka bumi ini
dibatasi oleh kehidupan dan tubuhnya. Sementara itu, kekuatan manusia untuk
menanggung beban sesudah kebangkitannya dari kematian di akhirat kelak tidak
dibatasi oleh apa pun. Dengan kata lain, kenikmatan dan siksaan di akhirat
berlangsung terus-menerus dan bersifat kekal. Inilah hakikat pertama yang cukup
untuk menyulut ketakutan dalam hati manusia. Usia relatif manusia di muka bumi
ini berkisar antara enam puluh sampai seratus tahun, meskipun ada yang lebih
dari itu. Namun, kelebihan itu tidaklah banyak. Dari segi ruang dan waktu,
apakah bertahun-tahun ini sama dengan siksaan yang tidak pernah berhenti?
Alquran memberitahukan kepada kita bahwa keras dan pedihnya azab Allah
menyebabkan orang-orang kafir ingin mati dan berteriak. Mereka berseru: “Hai
Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.” Dia menjawab: “Kamu akan tetap
tinggal (di neraka ini).” (Az Zukhruf : 77). Malik adalah nama salah satu
malaikat penjaga neraka yang sangat kasar. Para penghuni abadi neraka mencari
perantara lewat Malik untuk mengantarkan mereka kepada Tuhannya, agar Dia
mematikan mereka dan mengambil putusan atas mereka. Dengan singkat, jelas,
pasti dan penuh ketenangan, Malik menjawab, “Kamu akan tetap tinggal di sini.”
Jadi, tidak ada angan-angan untuk dapat keluar dari neraka dan tidak juga
angan-angan untuk mati. Tidak ada jalan menuju peristirahatan.
BAB
II
KESIMPULAN
Kesimpulan
dari makalah ini yaitu Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang
yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila
seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak
diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga
unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Jalaluddin As-suyuthy, 1997. Argumentasi
As-Sunnah kontra atas penyimpangan sumber hukum orisinal; terj. Saifullah,
Surabaya, risalah Gusti.
M. Shiddiq Al-Jawi, 2005. Al-Insan
(Jurnal Kajian Islam) Hadits Nabi Otentisitas dan Upaya Destruksinya,
Depok, Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan.
Muhibbin, 1996. Hadis-hadis
Politik, Yogyakrta, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Lesiska’
Zainal Abidin Ahmad, 1975. Imam Bukhari pemuncak ilmu
hadits, Jakarta, Bulan Bintang.
[1]
Lihat Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah, Syaikh Shalih Al
Fauzan, hlm. 140, terbitan Maktabah Al Ma’arif Li An Nasyr Wat Tauzi’- Riyadh,
Cet. VI-1413 H/1993 M.
[2]
Lihat Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah, tahqiq: Jama’ah minal
Ulama dengan takhrij dari Syaikh Al Albani rahimahullah, hlm. 189, Al Maktab Al
Islami, Cet. IX 1408 H/1988 M
[3] Ibid hal. 52
[4] Syarah
Al Aqidah Al Wasithiyah, hlm. 98
[5] Ibid hal. 82
[6]
Ash-Shalah wa Hukmu Tarikhiha, Tahqiq: Bassam ‘Abdul Wahhab
al-Jabi, Dar Ibni Hazm, Cetakan I Tahun 1416 H, halaman 78.
0 komentar:
Post a Comment