Materi Kuliah Ekonomi Makro
“KEBIJAKAN FISKAL DALAM PEREKONOMIAN ISLAM”
OLEH:
DIDIN MAHFUD AHSANI
 

A.    PENDAHULUAN
Dalam setiap penyelenggaraan Negara, pemerintah menetapkan suatu keputusan atau kebijakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas suatu perekonomian, politik, social budaya dan pertahanan yang didalamnya tersirat supaya terwujud kesejahteraan seluruh masyarakat. Semua orang telah mengetahuinya bahwa dalam melaksanakan keputusan ini tidaklah selalu mudah, karena adanya berbagai kelemahan dan kendala yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Secara umum, stabilitas dalam ekonomi dapat dikelompokan menjadi tiga bagian yaitu stabilitas pasar barang dan jasa, stabilitas pasar uang, dan stabilitas pasar luar negeri. Kebijakan fiscal ditentukan oleh pemrintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan cara mengubah besarnya penetapan pajak kepada para wajib pajak yang pelaksanaanya dilakukan oleh seluruh wajib pajak dan pemungutan pengawasannya dilakukan oleh aparat pemerintah.

B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertiannya
Prinsip Islam, kebijakan fiscal dan anggaran belanja bertujuan untuk mengembangkan suatu Masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama. Sepanjang pengetahuan Profesor R.W. Lindson, “Dalam membuat pengeluaran Pemerintah, dan dalam memproses pemasukan Pemerintah, penentuan jenis,  waktu dan prosedurlah  yang harus diikuti.” Kebijakan fiscal dianggap sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi perilaku manusia yang dapat dipengaruhi melalui insentif atau meniadakan insentif yang disediakan dengan meningkatkan pemasukan pemerintah (melalui perpajakan, pinjaman atau jaminan terhadap pengeluaran pemerintah). Dalam teori, tentunya system perpajakan digunakan oleh Negara-negara secular modern mengusulkan agar berdasarkan teori sosio politik dan keuntungan social maksimum dengan tujuan ke sejahteraan umum rakyat.
Sejauh tujuan yang dikehendaki tercapai, tujuan itu sepenuhnya  sesuai dengan  prinsip Islam. Tapi  J.S. Mill dalam bukunya yang berjudul “Representative Governments” secara tepat mengemukakan bahwa,  dalam prkateknya badan  perundang-undangan merupakan perwakilan minoritas kecil yang biasanya merebut kekuasaan Negara dengan kekayaan mereka atau dengan kapasitas organisasi mereka. Dalam keadaan yang demikian itu, bagaimana kita dapat mengharapkan bahwa kebijakan fiscal akan dipahami dan dilakukan demi kepentingan rakyat.
Negara Islam bukan suatu teokrasi dalam arti kependetaan, tapi adalah suatu Negara ideology yang berperan sebagai suatu mekanisme untuk melakukan hukum-hukum Al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu, maka  kebijakan fiscal dalam suatu Negara Islam sepenuhnya sesuai dengan  prinsip hukum dan nilai-nilai Islam. kesejahteraan umat manusia ini, dapat dicapai apabila seluruh system hukum dan ekonomi tidak membicarakan kebijakan fiscal saja, dan hal ini konsisten dengan sifat-sifat ilahi yang pokok, yaitu sebagai berikut:
a)      Maha pemberi rizki
b)      Maha pemurah
c)      Maha pengasih
Demikianlah kegiantan-kegiatan yang menambah pengeluaran  dan yang menarik penghasilan Negara harus digunakan untuk mencapai tujuan ekonomi dan social tertentu dalam kerangka Hukum Islam seperti ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Menurut Gilbraith “Suatu Sistem Terbaik” adalah system yang memasok sebagian besar apa yang di inginkan oleh orang”. Dalam kerangka Islam dengan kebutuhannya.
Teori ekonomi, baik neoklasik maupun Keynesian memberikan kesan bahwa suatu kombinasi dari kebijakan fiscal dan moneter akan mampu menghasilkan harga yang  relative stabil di sekitar titik kesempatan kerja penuh angkatan kerja. Akan tetapi, suatu kombinasi kebijakan fiscal dan moneter umumnya tidak dilakukan dalam praktiknya.

2.      Kebijakan Pengeluaran
Kegiatan yang menambah pengeluaran Negara mempunyai dampat tertentu pada kehidupan sosio ekonomi masyarakat. Berdasarkan dengan kitab agama lain, Kitab Suci Al-Qur’an telah menetapkan perintah-perintah yang sangat tepat mengenai kebijakan Negara tentang pengeluaran  pendapatan Negara.  Jelaslah kegiatan ini, tidak diserahkan pada kekuasaan Kepala Negara, juga tidak  kepada apa yang disebut dengan kehendak  perundang-undangan modern.
Zakat (yaitu pajak yang diberikan kaum Musilmin) dimaksudkan untuk kaum miskin. Muslimin golongan miskin dikalangan orang asing yang menetap untuk merebut hati mereka,  membebaskan budak dan tawanan perang, membantu mereka yang terjerat utang, mereka yang dijlan Allah, dan untuk para musafir. Ini merupakan kewajiban yang ditentukan Allah dan Allah Maha Mengetahui.
Hal yang sangat penting hendak dikemukakan dalam hal ini adalah bahwa zakat juga boleh digunakan untuk kebijakan kalangan  non-Muslim. Istilah “Jalan Allah” juga adalah istilah yang luas pengertiannya. Mengeluarkan uang untuk meringankan penderitaan kalangan non-Muslim bisa saja di masukan sebagai suatu pengeluaran di jalan Allah.
Terlepas dari perintah yang  tepat mengenai pengeluaran pendapatan Negara, Al-Qur’an juga telah menetapkan suatu kebijakan pengeluaran yang luas untuk distribusi kekayaan berimbang di antara berbagai  lapisan masyarakat. Demikianlah, bukannya mengakumulasi kekayaan, namun Islam menganjurkan untuk lebih banyak melakukan pengeluaran.
3.      Kebijakan Pemasukan
Tidak diragukan bahwa terdapat elastisitas yang besar dalam system keuangan  Negara dan perpajakan Pemerintah. Hal ini, dapat disebabkan karena Al-Qur’an tidak menyebutkan tentang biaya yang dikenakan pada berbagai kaum Muslimin dan juga karena sejarah dini administrasi keuangan Islam itu sendiri. Sebelum Hijrah kita tidak memiliki catatan untuk membuktikan bahwa ada kadar zakat tertentu.
Tiada upaya yang dilakukan untuk mengumpulkan dan membayarkan penerimaan Zakat oleh kekuatan pusat. Tapi keadaan berubah secara mendasar ketika Nabi Muhammad saw. Dan kaum Muslimin yang dikejar-kejar meninggalkan Mekkah dan bermukim di Madinah. Dalam beberapa tahun, ditetapkanlah ketentuan terinci penerimaan Zakat. Sesungguhnya zakat dan sedekah merupakan saluran seluruh pendapatan Negara pada masa Nabi Muhammad SAW.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, Zakat dan sedekah tidak hanya meliputi pajak pada uang tunai, tapi juga penerimaan tanah dan pajak pada binatang piaraan (biri-biri, kambing, unta dan lembu) termasuk pajak pada  pertambangan (terutama emas dan perak), pada harta  terpendam yang ditemukan, dan sebagainya.

4.      Fungsi dan Kebijakan Fiskal
Cara kebijakan fiscal diharapkan melaksanakan fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi dalam suatu Negara Islam mempunyai kekhususan sendiri yang  timbul dari nilai orientasi, dimensi etik dan social dalam pendapatan dan pengeluaran Negara. Kebijakan fiscal dalam Islam tidak lagi netral, dan diharapkan menjelaskan keadaan tidak hanya sebagaimana adanya tapi sebagaimana harusnya.
Fungsi fiscal dengan cara yang relative mudah. Karena dalam dunia yang sesungguhnya, perencanaan  anggaran tidak sering memungkinkan evaluasi berbagai tujuan akan jasa-jasanya sendiri, hingga menghasilkan konflik ganda antara  alokasi dan distribusi, pertumbuhan dan stabilisasi, distribusi alokasi dan sebagainya. Sifat mementingkan kesejahteraan manusia dalam keuangan Negara yang Islam ini, demikian juga dalam bidang ekonomi lainnya diperoleh dari gagasan Zakat. Tetapi dengan  zakat kaum Muslimin juga melaksanakan kewajiban keagamaannya. 
Jadi, penguatan zakat mempunyai sanksi ganda, rohani dan duniawi, bukan sifat ganda, religious, dan secular. Dapat ditunjukan bahwa system pajak  Negara Islam dini itu bersifat elastic dan dinamis. Misalnya, golongan harta benda yang terkena Zakat tidak di pertahankan secara kaku. Hadrat Umar sendiri pun melakukan sejumlah perubahan dalam system Zakat, karena zakat merupakan cara untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri.

C.    KESIMPULAN
Kebijakan fiscal berbeda dengan  kitab agama yang lain, kitab suci Al-Qur’an barangkali adalah satu-satunya kitab yang memuat firman tentang kebijakan Negara mengenai pengeluaran  pendapatan Negara secara cermat. Al-Qur’an merinci untuk apa digunakannya zakatl. Penerimaan zakat yang dipungut dari kaum Muslimin dapat juga dipergunakan untuk kesejahtaraan kalangan non-Muslim.
Bukanya mendorong penumpukan kekayaan dalam tangan segelintir orang tetapi Islam menganjurkan lebih banyak pengeluaran. Namun Islam tidak saja menolak bahkan mengutuk pemborosan.  Dinilai dengan prinsip kebijakan dan pemeliharaan pada mereka yang tidak punya, maka cara modern untuk menarik penghasilan melalui perpajakan tidak langsung mendapat serangan gencar, karena beban pajak yang erat ini terutama jatuh pada bahu si miskin. Diperlukan rasionalisasi tentang ketentuan zakat, dan sesungguhnya  Hadrat Umar diriwayatkan telah membuat perubahan tertentu  dalam perincian zakat.



DAFTAR PUSTAKA



Akkas Ali, “Fiscal Policy in an Islamic State”, dalam Thoughts on Islamic Economic, Islamic Research Bureau, Dhaka Bangladesh, 1980.

I Wayan Sudirman, Kebijakan Fiskal dan Moneter (Teori & Empirikal), Denpasar: Kencana, 2011.

Muhammad Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

0 komentar:

 
Top