BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Untuk dapat membuat undang-undang yang sesuai benar dengan keindonesiaan, tentunya sangat memerlukan rentang masa yang panjang, sementara pemerintah Indonesia ketika itu masih disibukkan dengan berbagai usaha untuk mempertahankan kemerdekaan. Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yang sejak tahun 1974 kemudian dirubah menjadi "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).
Sesuai dengan bentuk ketatanegaraan Indonesia yang berlaku sampai akhir tahun 1958, LPHN secara langsung berada di bawah kekuasaan Perdana Menteri. Namun sejak kembali ke UUD-45 dan kemudian diperkuat oleh Keputusan Presiden RI No. 45/1974, kedudukan LPHN yang kemudian berubah menjadi BPHN itu menjadi setingkat dengan Direktorat Jenderal dalam Departemen Kehakiman.
Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN telah ikut aktif dalam pembuatan peta hukum nasional, yang sampai tahun 1987 tercatat telah berhasil menerbitkan 34 buah UU. Usaha untuk mewujudkan hukum baru nasional itu tetap berlangsung, walaupun berbagai kendala sejak semula juga terus menghadang, tidak hanya oleh penganut teori resepsi, yang masih banyak bercokol di tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yang berasal dari kalangan perguruan tinggi hukum positif yang tidak menginginkan dominasi hukum Islam dalam hukum nasional, tetapi juga oleh kalangan ulama Islam sendiri yang masih memahami hukum Islam secara sepotong-potong dan terjebak dalam kerangka fanatisme mazhab yang sempit, sehingga kemudian lebih tersibukkan dengan berbagai pertikaian antara sesamanya dengan melupakan peningkatan kesadaran untuk melaksanakan hukum Islam itu dalam realitas kehidupan umat.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini ada tiga, adapun ketiga rumusan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Mengapa kita harus menerapkan hukum islam di Indonesia?
2.      Mengapa Indonesia ini hanya tarik menarik hukum islam/syariat saja?
3.      Mengapa hanya di Aceh saja yang menggunakan hukum Islam?



BAB II
PEMBAHASAN
PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA


A.    PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Sebenarnya istilah syari’at Islam dapat mengandung dua makna, yaitu dalam makna luas dan makna yang sempit. Dalam makna yang luas syari’at Islam mencakup seluruh ajaran Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah termasuk aspek aqidah, ahlak, ibadah serta hukum-hukum mua’malah. Sedangkan dalam arti sempit Syari’ah Islam adalah hukum-hukum ibadah maupun mu’amalah (termasuk hukum pidana) yang biasa disebut fiqh. Istilah syari’at Islam dalam makalah ini adalah dalam pengertian yang sempit itu dan lebih khusus lagi adalah mengenai hukum pidana Islam.
Sebelum kedatangan penjajah Belanda hukum Islam ini sudah berlaku di kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini. Akan tetapi setelah kedatangan penjajah Belanda penerapan syari’at Islam di persempit dalam bidang keperdataan saja khsususnya bidang hukum keluarga (pernikaran). Adapun bidang hukum pidana dan bidang hukum yang lainnya hanya dapat diterima apabila telah diresepsi ke dalam hukum adat sehingga menjadi kewenangan pengadilan Bumi Putera pada saat itu yaitu Landraad. Karena itulah Belanda mendirikan berbagai peradilan agama di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda di berbagai daerah, antara lain : Kerapatan Qadi, Mahkamah Syariyah dan lain-lain.
Pemerintah jajahan Belanda pada saat itu menerapkan adatrechtpolitik (Lihat Daniel S. Lev, 1990) di Hindia Belanda yaitu membiarkan hukum adat tetap berlaku bagi golongan Indonesia asli sedangkan bagi golongan Eropa berlaku hukum Belanda berdasarkan asas konkordansi dari hukum yang berlaku di Negeri Belanda. Demikian juga bagi golongan Cina dan Timur Asing berlaku hukumnya masing-masing kecuali mereka menyatakan tunduk pada hukum golongan Eropa. Dengan berlakunya pluralisme hukum di Indonesia pada saat itu, pemerintah Belanda menerapakan suatu hukum untuk menjembataninya yaitu apa yang disebut dengan hukum antar golongan yang diterapkan manakala terjadi sengketa atau masalah antar orang yang tunduk pada hukum yang berbeda.
Setelah Indonesia merdeka, sumber pembentukan hukum nasional Indonesia adalah bersumber dari atau memperoleh pengaruh dari hukum Eropa warisan Belanda, hukum Islam serta hukum Adat ( baca Daniel S.Lev, 1990). Akan tetapi tetap membiarkan dan meneguhkan berlakunya hukum Islam bagi pemeluk Agama Islam pada bidang-bidang hukum keluarga (hukum perkawinan, hukum waris, waqaf, hibah dan wasiat) yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Usaha-usaha untuk menerapkan syariat Islam baik secara formal dengan melakukan transplantasi syari’ah ke dalam hukum nasional Indonesia maupun dengan proses resepsi nilai-nilai syari’ah Islam tetap dilakukan dan diperjuangkan oleh kalangan Islam.
Terdapat perkembangan yang semakin menarik setelah 50 tahun Indonesia merdeka. Saling pengaruh ketiga kelompok hukum ini mewarnai perdebatan politik hukum nasional Indonesia bahkan nampak terjadi gesekan-gesekan sosial dalam pembangunan hukum Indonesia, seperti dalam pembahasan mengenai undang-undang perkawinan, undang-undang pengadilan agama dan pada saat ini rancangan undang-undang hukum pidana. Walaupun harus diakui bahwa hingga saat sekarang ini pengaruh hukum Eropa bahkan hukum Anglo-Amerika mendapat kedudukan yang semakin kuat terutama dalam bidang hukum bisnis dan perdagangan, dan disusul oleh syari’at Islam terutama dalam bidang bisnis keuangan dan perbankan. Sementara hukum Adat jauh tertinggal dan hanya bertahan untuk sebahagiannya dalam hukum pertanahan.
Pada bidang ibadah pemberlakuan syariat Islam tidak mendapat halangan sedikitpun. Hal ini disebabkan oleh faham sekularisme yang memandang bahwa hal-hal yang terkait dengan ibadah adalah urusan prinadi setiap orang dan urusan internal agama masing-masing yang tidak bisa dicampuri oleh negara. Pada sisi lain, pemberlakuan hukum pidana atau hukum perdata Islam dalam negara mendapatkan tantangan perdebatan yang luas dari masyarakat karena akibat pandangan sekularisme juga, yang memandang bahwa hukum agama tidak bisa masuk dalam ranah negara atau publik.

B.     TARIK MENARIK PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Indonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam adalah sebuah komunitas Muslim terbesar di dunia. Ironisnya, dengan jumlah yang besar tersebut tidaklah cukup menggambarkan bagaimana umat Islam di Indonesia  menjadi umat yang terhormat di bawah naungan syariat Islam yang mulia tersebut. Singkatnya, kalau kita ingin melhat kemiskinan, kebodohan, korupsi, kriminalitas tengoklah masyarakat Indonesia. Contoh di atas adalah sebuah kondisi yang amat kontradiktif dengan apa ajaran yang dianut oleh Muslim, idealnya, Indonesia sebagai negeri Muslim adalah negeri yang  dalam al-Qur’an dinyatakan sebagai baldatun warobbun ghofur karena islam sebagai agama yang  syumul wa mutakamil adalah seperangkat ajaran yang  jika diamalkan dengan baik-baik oleh umatnya maka akan menghantarkan manusia kea rah kejayaan di dunia dan juga diakhirat.
Hal ini bukanlah isapan jempol, sejarah telah mencatatnya dengan tinta emas, hal ini juga telah diakui ilmuan barat bahwa umat islam di bawah naungan syariat pernah memimpin paradaban baik peradaban ilmu, ekonomi, budaya, social, dan pertahanan keamanan. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena syariat islam diturunkan Allah SWT sebagai pembawa misi rahmatan lil ‘alamin. Secara umum, memiliki maksud dan tujuan untuk mendatangkan kemaslahatan dan sekaligus menolak kemudharatan dalam kehidupan umat manusia. Selanjutnya, konsep ini dikenal dengan  maqashid syariahh. Ada lima kebutuhan kehidupan primer manusia yang mesti ada, yang dilindungi oleh syariat yaitu:
1.      Agama
2.      Jiwa
3.      Akal
4.      Nasab
5.      Harta
Pelanggaran terhadap salah satu daripadanya dianggap sebagai suatu criminal (jarimah). Apabila diterapkan dan ditegaskan secara benar, maka akan berdampak positif terhadap kualitas kehidupan manusia.
Dalam system hukum Indonesia, dikenal berbagai sumber hukum nasional yang berasal dari hukum adat, hukum islam dan hukum barat. Ketiga sumber hukum tersebut selalu berlomba untuk menjadi hukum nasional sehingga berlakulah berbagai teori hukum. Sesungguhnya UUD 1945 sangat akomodatif terhadap kepentingan warga Negara dalam menjalankan ibadahnya. Dalam perspektif tata hukum Indonesia, fungsi Negara adalah melindungi setiap agama dan pemeluknya melalui peran menjamin pelaksanaan ibadah, memberikan dukungan fasilitas dan menjaga kerukunan antar umat beragama.  Secara normative, menjalankan syariat islam secara kaffah merupakan perintah Allah swt dan mengabaikannya adalah sebagai manusia kafir, zalim atau fasik.
Dalam beberapa kelompok islamis, hukum islam memiliki kesakralan yang tidak bisa diganggu gugat. Terutama menyangkut hukum yang diatur dengan ayat-ayat yang qath’i. Melawan atau memberikan tafsiran lain terhadap ayat-ayat tersebut bisa dianggap sebagai kekufuran. Meski demikian, masyarakat islam secara luas nampaknya kurang begitu bersemangat dengan isu penerapan hukum islam ini.
Perubahan setting politik pasca orde baru tanpa diduga memberikan ruang bagi berkembangnya wacana penegakan syariat islam di Indonesia. Pro dan kontra  tentu saja bermunculan. Tiap-tiap kelompok mengajukan argumentasinya untuk meneguhkan pendirian mereka. Sayangnya, argumentasi yang dibangun tidak lagi ditunjukan untuk berusaha meyakinkan pihak lain, tetapi malah melakukan stigmatisasi satu sama lain. Dimata kelompok pro pelaksanaan syariat, mereka yang menolak syariat  dianggap islamophobia. Sementara kelompok anti pelaksanaan syariat memandang sebagian kelompok pro pelaksanaan syariat sebagai orang-orang yang hendak melakukan politisasi agama. Tulisan ini mencoba mengamati wacana pro dan kontra penerapan syariat dari sudut pandang proses demokratisasi.
Dua model demokrasi. Penjelasan yang diberikan oleh Robert Pinkney (1994) tentang model demokrasi barangkali berguna untuk mengamati pro dan kontra  penerapan syariat di Indonesia. Setidaknya ada dua model demokrasi yang relevan untuk dikemukakan di sini, yaitu demokrasi berwawasan radikal (radical democracy) dan demokrasi berwawasan liberal (liberal democracy).
Menurut Pinkney, demokrasi radikal ditandai dengan kuatnya pandangan bahwa hak-hak  setiap warga Negara dilindungi dengan prinsip persamaan di depan hukum, tetapi perhatian yang diberikan tidaklah sama besar dengan perlindungan hak individu di bawah demokrasi liberal berhadapan dengan Negara. Hal itu karena kehendak mayoritas dalam demokrasi radikal adalah yang terpenting, sedangkan Negara tidak lebih dalam posisi melaksanakan kehendak mayoritas itu. Wawasan demokrasi semacam ini, bagi Douglas M. Brown (11988), terlihat cenderung lebih menekankan makna formal demokrasi (The Radicalization of Formal Democracy).
Adapun demokrasi liberal lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warganegara, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Dan karenanya lebih bertujuan menjaga tingkat representasi warganegara dan melindunginya dari tindakan kelompok lain ataupun dari Negara. Negara dalam hal ini tidak berposisi sebagai operator kehendak mayoritas, karena mungkin saja akan bertabrakan dengan kepentingan minoritas. Negara lebih berfungsi sebagai wasit untuk menjamin terpeliharanya tingkat representasi dan perlindungan bagi segenap warga negaranya.
Kelompok yang berwawasan demokrasi radikal adalah mereka yang  pro syariat. Dengan argument utama bahwa karena mayoritas warga Negara beragama islam maka sudah sewajarnya pula jika hukum yang diimplementasikan bersumber dari syariat. Namun karena menyadari bahwa implementasi syariat hanya bisa dilakukan melalui mekanisme konstitusional, maka mereka percaya bahwa usaha tersebut baru dapat tercapai jika mereka mampu mendominasi panggung  politik. Titik tolak upaya kelompok ini adalah Negara. Karena Negara dengan otoritas yang dimilikinya dipercayai akan mampu mengimplementasikan syariat secara efektif di kalangan umat Islam. kata kunci demokrasi bagi kelompok  ini jelas sekali, yaitu kehendak mayoritas yang diimplementasikan oleh Negara. Demokrasi semacam ini, dimata Judith Miller (1993), tampaknya merupakan tren umum di hampir semua kalangan islam politik di dunia muslim.
Sedangkan kelompok demokrasi liberal kurang berminat mendukung perjuangan penerapan hukum islam. hal itu karena mereka melihat perjuangan semacam itu akan melanggar prinsip kesetaraan semua warganegara di depan hukum sebagai slaah satu pilar demokratisasi. Karena itu, Negara tidak boleh mengabulkan tuntutan penegakan syariat dalam sebuah Negara yang multi varian seperti Indonesia ini. Sebab jika tidak, pemberlakukan syariat akan berakibat uniformasi dan hal itu akan melanggar kebebasan beragama sebagai bagian dari hak-hak harus didistribusikan secara setara dan universal atas basis keanggotaan territorial politik dan bukan atas dasar keanggotaan dalam suatu komunitas keagamaan.
Lahirnya beberapa undang-undang yang bernuansa Islam, atau mengakomodasi kepentingan umat Islam seperti undang-undang zakat, haji, perbankan syariah, anti pornografi, dan lain-lain. Juga perda-perda di banyak  daerah yang bernuansa syariah adalah seperti perda  miras dan larangan prostitusi. Lebih hebatnya pemberian hak-hak khusus kepada provinsi aceh untuk menerapkan syariat Islam disana melalui undang-undang qonun, sesungguhnya memberikan angin sejuk untuk umat islam memperjuangkan penerapan syariat islam di negeri ini. Upaya positifisasi syariat islam (penerapan syariat menjadi hukum public) yang berhubungan dengan pidana islam (jinayah/uqubat) sampai saat ini masih dalam bentuk wacana atau masih menjadi hukum yang dicita-citakan. Pemikiran kearah itu banyak disampaikan oleh berbagai kalangan, seperti para ulama’, praktisi dan ahli hukum, cendekiawan muslim dan masyarakat lain yang concern terhadap hukum pidana islam.
Syariat islam selama ini masih dipahami oleh sebagian orang sebagai hukum normative yang tidak mempunyai sanksi yuridis atau kekuatan mengikat bagi masyarakat. Hukum yang bersifat normative hanya dianggap sebagai patokan perilaku bagi seseorang dengan sanksi moral dari masyarakat. Oleh karena itu, keberlakuan syariat islam sebagai hukum islam diserahkan kepada tingkat akidah seseorang. Hal itu menjadi kontra produktif ketika bangsa ini hendak memberikan syariat islam secara kaffah. Kesalah pahaman tersebut membuat syariat islam hanya menjadi kekuatan moral ketimbang daya ikat hukum yang harus ditegakan atau diberlakukan sebagai tuntutan akidah.

C.    FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG USAHA PENERAPAN SYARIAT ISLAM
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan dalam usaha menuju penerapan syariat islam, yaitu:
1.      Jumlah umat islam cukup signifikan
2.      Maraknya gerakan-gerakan islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya syariat islam
3.      Gagalnya beberapa system hukum dan bernegara yang bukan islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan alternative-alternatif yang lain, diantara alternative tersebut adalah agama islam
4.      Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan islam dan partai-partai politik islam di beberapa negeri Muslim
5.      Sejarah umat islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan syariat islam. sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat islam atas kembalinya masa kejayaan mereka.






D.    KENDALA-KENDALA DALAM USAHA PENERAPAN SYARIAT ISLAM
Secara umum, hambatan-hambatan atau kendala-kendala yang ada dalam penerapan syariat islam adalah sebagai berikut:
1.      Hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antisipasi terhadap islam dan syariat islam. mereka adalah para pengusung agama dawn ideology tertentu diluar islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. mereka senantiasa menyebar luaskan imej yang negative tentang Islam dan syariat islam, misalnya dengan menjelek-jelekan islam dengan slogan “Harem dan Pedang” (sebagai symbol bagi pengungkapan kaum wanita dan kekerasan”.
2.      Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat islam karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa islam disebut sebagai ahlul ma’ashiy.
3.      Hambatan dari pihak-pihak yang menolak islam karena belum memahami syariat islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa islam disebut sebagai ahlul jahl.
4.      Disamping itu, usaha-usaha untuk menuju penerapan syariat islam juga berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syariat islam dan penerapanya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-beda.

BAB III
KESIMPULAN


Berdasarkan pemikiran-pemikiran diatas, maka kami dapat mengatakan bahwa syariat islam bukan hanya simbolisme ajaran moral yang dilaksanakan secara ritual saja. Tetapi merupakan pragmatism ajaran yang mesti diaplikasikan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Oleh karena itu, bila syariat islam tidak dapats dilaksanakan secara kolektif melalui formalisasi atau otoritas Negara, maka ia harus dilaksanakan secara individual sebagai tuntutan akidah. Pelaksanaan syariat  islam secara individual memang hanya bisa pada tataran normative yang berkaitan dengan ubudiah dan muamalah, sedangkan penegakan hukum islam yang  berhubungan dengan hukum public, memang tetap mesti ada campur tangan Negara, tentunya dengan mempertimbangkan segala aspek-aspek sosiologis sehingga dapat mendukung proses implementasinya.
Perjuangan penerapan syariat islam adalah sebuah jalan yang panjang yang harus dilakukan oleh seluruh elemen umat. Edukasi dan dakwah, tekanan politik, penyebarlausan wacana dan juga perumusan lebih jauh hukum islam dalam bentuk hukum positif haruslah terus dilaksanakan. Insya Allah penerapan syariat islam adalah sebuah keniscayaan yang tinggal menunggu waktu saja hal itu akan diterapkan.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Gani Abdullah, Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Islam di Kesultanan Bima (1947-1957), Yayasan Lengge, Mataram, 2004.

Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta, 1990.

Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999.



0 komentar:

 
Top