BAB I
PENDAHULUAN



Manusia dengan akalnya telah dapat menunjukkan kelebihan anugrah Tuhan dengan kemampuannya menciptakan berbagai macam sarana yang dapat digunakan untuk menguasai, memanfaatkan dan mengembangkan lingkungannya untuk kemajuan dan kesejahteraan hidupnya.  Pada mulanya ada tiga hal yang menjadi dasar kebangkitan kemajuan kehidupan umat manusia yaitu diciptakannya bahasa tulis kira-kira lima atau enam ribu tahun yang lalu, disusul dengan kemampuan mengoperasikan hitungan sederhana kira-kira seribu tahun kemudian dan diciptakannya mesin cetak sekitar lima ratus tahun yang lalu.
Dengan bahasa tulis kita mampu merekam (mencatat) berbagai macam informasi secara permanen serta mampu mengirimkan pesan dengan menerobos keterbatasan ruang dan waktu. Dengan operasi hitung kita dapat mengolah data kuantitatif yang akurat. Dengan mesin cetak kita dapat menyalin dan memperbanyak bahan tulisan dengan cara cepat dan rapi serta menyebarluaskannya ke generasi berikutnya.  Perkembangan zaman berikutnya kemajuan teknologi semakin cepat seperti photografi, photocopy, cinemaphotografi, telegrafi, telephon, radio komunikasi, radar, dan berbagai macam digital computer elektronik. Teknologi ini berkembang ke berbagai bidang kehidupan seperti di took, di sekolah, perguruan tinggi, kantor bahkan ke rumah tangga.

BAB II
PEMBAHASAN
PENINGKATAN KUALITAS MUTU PENDIDIKAN



A. MASALAH KURIKULUM
Sejak kemerdekaan tahun 1945, kita telah mengenal 10 macam kurikulum, yaitu kurikulum –kurikulum tahun 1947, 1949, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan terakhir 2006. Pergantian kurikulum yang semakin cepat mempengaruhi perubahan politik sehingga dalam waktu 7 tahun setelah merdeka, kita telah menerapkan 3 kurikulum. Dari segi komponen , kurikulum paling tidak mengandung 5 komponen, yaitu tujuan, materi, metode atau kegiatan belajar, sumber belajar yang terdiri dari alat, bahan, serta komponen penilaian ( evaluasi ). Jika kita menilik dari berbagai jenis kurikulum yang telah diterapkan, maka secara garis besar bahwa ke lima komponen yang tersebut diatas pada dasarnya sudah ada disetiap kurikulum yang pernah diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Namum yang menjadi masalah adalah karena kurikulum tersebut yang bersifat fleksibel, maka pemberlakuan isi kurikulum tersebut memang disesuaikan dengan waktu dan situasi tertentu sesuai dengan tuntutan zaman. Perubahan isi kurikulum inilah yang menjadi masalah, mengingat pemberlakuannya cukup sulit untuk dapat diterapkan serentak secara nasional. Akibatnya hanya wilayah-wilayah tertentu saja yang dapat mengikuti perkembangan kurikulum tersebut, sementara wilayah lain boleh jadi tidak mengenal kurikulum yang sedang diberlakukan, dan tiba-tiba saja sudah ganti kurikulum yang baru.
Secara umum ada beberapa pendekatan perkembangan kurikulum yang pernah diterapkan dalam pengembangan kurikulum yang diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendekatan tersebut antara lain:
1.      Dari awal kemerdekaan sampai pertengahan tahun 1960-an pendekatan berbasis materi (content based approach).
2.      Akhir tahun 1960 –an sampai dengan pertengahan tahun1980-an pendekatan berbasis kompetensi (competence based approach) dan pendekatan belajar tuntas (mastery learning approach).
3.      Akhir tahun 1980-an sampai dengan awal 1990-an pendekatan berbasis out come (outcome based approach).
4.      Tengah tahun1990-an sampai dengan sekarang pendekatan berbasis standar (standard based approach).

Melihat beberapa pendekatan yang telah dilakukan dalam rangka pembenahan kurikulum tersebut dapat ditarik benang merah bahwa penerapan kurikulum hanyalah perubahan disain isi kurikulum tersebut. Dan inilah masalah yang timbul ketika kita akan menerapkan kurikulum yang disesuaikan dengan tuntutan jaman.


B. MASALAH METODE
Bagaimana guru dapat memotivasi seluruh siswa untuk belajar dan membantu saling belajar satu sama lain ? Bagaimana guru dapat menyusun kegiatan kelas sedemikian rupa sehingga siswa akan berdiskusi, berdebat, dan menggeluti ide-ide, konsep-konsep, dan ketrampilan-ketrampilan sehingga siswa benar-benar memahami ide, konsef, dan ketrampilan tersebut ? Bagaimana guru dapat memanfaatkan energi sosial seluruh rentang usia siswa yang begitu besar dalam kelas untuk kegiatan-kegiatan pembelajaran yang aktif ?
Bagaimana guru dapat mengorganisasi kelas sehingga siswa saling menjaga satu sama lain, saling mengambil tanggung jawab satu sama lain, dan belajar untuk menghargai satu sama lain terlepas dari suku, tingkat kinerja, atau ketidakmampuan karena cacat ? Dan masih banyak lagi masalah-masalah yang timbul dalam proses belajar mengajar. jawabannya adalah seorang guru harus memiliki berbagai macam metode mengajar yang inovatif dan konstruktif.
Berbicara masalah metode pengajaran ini, tentu saja akan banyak mendapatkan masalah, karena kebanyakan guru dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa hanya dengan metode yang klasik yaitu metode ceramah dan tanya jawab saja. Akibatnya proses pembelajaran yang terjadi lebih terpokus pada guru. Sementara siswa kurang aktif.

C. MASALAH SARANA FISIK
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.

D. MASALAH GURU
Permasalahan tenaga pendidikan dapat di dekati dengan pendekatan macrocosmics. Pendekatan makrokosmics berarti permasalahan guru di kaji dalam kaitannya factor-faktor laindi luar guru. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas guru antara lain :
1.      Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
2.      Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya .
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
3.      Status guru di masyarakat
Kualitas guru tidak bisa dilepaskan dari kompensasi yang mereka terima dan status guru di masyarakat. Namun, kompensasi atau gaji guru tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi suatu Negara. Artinya, perbandingan gaji guru antar negara akan tidak pas kalau ditimbang kemakmuran bangsa tersebut. Gaji guru di Malaysia lebih besardibandingkan dengan gaji guru di Indonesia, secara absolut. Namun, perbandingan akan berbeda manakala kedua gaji tersebut diperbandingkan akan berbeda manakala kedua gaji tersebut diperbandingkan dengan pendapatan perkapita negara masing-masing. Oleh karena itu , bukan hanya gaji yang penting melainkan bagaimana dukungan masyarakat dan pemerintah bagi kesejahteraan dan status guru.

E. MASALAH EVALUASI
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam komponen kurikulum diatas, bahwa salah satunya adalah terkait dengan masalah evaluasi. Secara umum evaluasi dapat diartikan proses sistematis meliputi pengumpulan informasi (angka, diskripsi verbal), analisis, interpretasi informasi untuk mengambil keputusan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk melakukan evaluasi terhadap proses kegiatan belajar mengajar antara lain :
1.      Unjuk Kerja (Performance)
2.      Penugasan (Proyek / Project)
3.      Hasil kerja (Produk / Product)
4.      Tes Tertulis (Paper & Pen)
5.      Portofolio (Portfolio)
6.      Penilaian Sikap
Adapun manfaat dari pelaksanaan evaluasi tersebut adalah sebagai berikut, seperti dibawah ini:
1.      Untuk mengadakan kegiatan remedial
2.      Untuk mengadakan kegiatan pengayaan
3.      Untuk mengadakan perbaikan program dan kegiatan selanjutnya

Sementara itu ada hal yang perlu diperhatikan ketika kita akan melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang sedang dan telah kita lakukan yaitu prinsip evaluasi, antara lain :
1.      Valid
2.      Obyektif
3.      Adil
4.      Terbuka
5.      Bermakna

Berbicara masalah prinsip – prinsip evaluasi ini kadang menimbulkan masalah. Masalah itu antara lain:
1.      Terkadang kita sebagai guru kurang memahami apakah instrumen yang kita gunakan untuk melakukan evaluasi tersebut sudah valid atau tidak. Akibatnya hasil evaluasi yang kita lakukan menimbulkan efek yang kurang baik terhadap keputusan yang akan kita ambil terkait dengan hasil evaluasi yang kita lakukan.
2.      Sifat objektifitas suatu evaluasi sering larut dengan pertimbangan kemanusiaan terhadap peserta didik. Akibatnya hasil evaluasi tidak menggambarkan prestasi siswa yang sebenarnya.
3.      Kurang adilnya guru dalam mengevaluasi peserta didik. Evaluasi yang kita lakukan kadang hanya mengambil aspek-aspek tertentu saja,misalnya hanya aspek knowledgenya saja, sementara aspek afektif dan psikomotoriknya kita abaikan.
4.      Seorang guru sering tertutup terhadap hasil evaluasi yang telah dilakukan. Ada sebagian guru kurang senang apabila hasil evaluasi yang dilakukan, siswa dapat menjawab dengan benar semua, sehingga guru tersebut enggan menyampaikan hasil evaluasinya kepada siswa.
5.      Seorang guru juga kadang tidak mengerti apa yang hendak ia capai dengan evaluasi yang dia lakukan. Dia hanya sekedar melakukan proses administrasi dalam kegiatan belajar mengajar. Dia tidak mengerti makna sebuah evaluasi itu dilakukan.


BAB III
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.


DAFTAR PUSTAKA



Baharuddin, Wahyuni. 2010. Teori belajar dan Pembelajaran. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Darsono, Max, dkk. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press.
Ibrahim.1988. Inovasi Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

0 komentar:

 
Top