Materi Kuliah Ekonomi Makro
“STRATEGI DAN PRINSIP ISLAM DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI ISLAM”
OLEH:
MUHAMMAD FUAD HASIM

A.    PENDAHULUAN
Pandangan Islam seperti yang kita ketahui pasti membebani suatu kewajiban moral bagi setiap warga masyarakat muslim untuk berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan persaudaraan dan keadilan social ekonomi sedemikian rupa sehingga  realisasinya, dan bukan keabsenannya, menjadi karakteristik yang menonjol dalam masyarakat itu.[1]
Dalam lapangan ekonomi, hal ini merupakan pembangunan yang berkeadilan dan mewujudkan stabilitas untuk mencapai pemenuhan kebutuhan, kesempatan kerja penuh dan distribusi pendapatan serta kekayaan yang merata tanpa harus mengalami ketidak seimbangan yang berkepanjangan. Oleh karena itu, adanya keterbatasan sumber daya dan ketidak seimbangan yang tengah berlangsung, maka pencapaian pembangunan yang demikian tidak dapat dilaksanakan tanpa pengurangan yang cukup besar. Klaim-klaim terhadap sumber daya disertai dengan realokasi penggunaanya yang kurang efisien dan merata.[2]

B.     PEMBAHASAN
1.      Elemen-elemen Strategi yang Penting
a)      Penyaringan yang merata atas klaim yang berlebihan
Problem pertama yang dihadapi setiap masyarakat dalam mengaktualisasikan sasaran-sasaran egalitarianya adalah bagaimana menyaring klaim-klaim yang tidak terbatas terhadap sumber-sumber daya dalam suatu cara tidak terbatas dimana hanya klaim-klaim yang lolos tes efisiensi dan pemerataan saja yang boleh diakui. Telah disampaikan diatas, bahwa mekanisme harga memang bisa bertindak sebagai filter. Namun hal itu tidak beroperasi dalam pola yang merata. Oleh karena itu, islam melengkapinya dengan menambahkan satu filter lagi yang akan menjamin pemerataan.
Saringan moral ini akan menyerang langsung ke jantung permasalahannya kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas (yaitu) kesadaran individu yang paling dalam dengan mengubah skala prefrensi mereka (supaya) mengikuti prioritas-prioritas social dan membuat klaim-klaim mereka terhadap sumber-sumber daya sesuatu fungsi bagi kesejahteraan manusia. Hal itu menghilangkan atau paling tidak meminimalisir, klaim-klaim yang tidak esensial dan tidak adil di lihat dari sudut pandang pencapaian sasaran-sasaran social.
Filter itu, membuat sesuatu gaya hidup yang bersahaja, dan tidak mengizinkan gaya ekstravaganza atau penggunaan sumber-sumber daya untuk pamer diri atau konsumsi yang tidak ada manfaatnya, konsumsi-konsumsi yang sebenarnya tidak akan membedakan secara riil kesejahteraan manusia.  Filter ini juga mengreorganisasikan lembaga-lembaga keuangan sehingga mampu mempersiapkan diri secara komplementer terhadap filter harga dalam membantu menekan klaim terhadap filter harga dalam membantu menekan klaim terhadap sumber-sumber daya sehingga berada dalam batas kemanusiaan.
Dengan demikian, filter moral memoderatkan dan memanusiakan pengaruh yang diciptakan oleh kekayaan, kekuasaan, dan berbagai lembaga financial oleh kekayaan, dan distribusi sumber-sumber daya. Penerataan filter moral memberikan implikasi evaluative pada klaim-klaim atas sumber-sumber daya berdasarkan nilai moral yang secara sosialis telah di sepakati meskipun sebelum klaim-klaim tersebut diekspresikan di dalam pasar. Setelah semua klaim diatas sumber-sumber daya lolos melalui saringan moral, maka klaim-klaim yang tidak penting dan tidak adil dapat di eliminasikan atau diminimalkan, dan setelah itu filter harga dari system pasar akan beroperasi selanjutnya. Dengan demikian, filter harga akan dapat melakukan tugasnya secara efektif dalam mewujudkan alokasi sumber-sumber daya yang efisien dan adil.

b)      Motivasi
Masalah kedua yang dihadapi oleh setiap masyarakat adalah bagaimana memotivasi individu untuk melayani kepentingan social seiring dengan filter moral meskipun ketika berbuat demikian merugikan kepentingan diri sendiri. Ini disebabkan oleh semua individu selalu ingin melayani kepentingannya sendiri, dan bila mereka tidak berbuat demikian, perilaku mereka tidak kondusif bagi realisasi efisiensi yang optimal dalam penggunaan sumber-sumber daya.
Setiap  upaya dalam mencegah individu melayani kepentingan sendiri, seperti yang telah di coba oleh sosialisme, akan memenuhi kegagalan. Apa yang telah di lakukan Adam Smith dalam rangka menghadapi konflik antara dua kepentingan adalah mencoba menunjukan bahwa melayani kepentingan diri sendiri oleh setiap individu pada hakekatnya adalah melayani kepentingan social.
Pada hakekatnya adalah melayani kepentingan diri sendiri adalah pendekatan islam. Islam tidak melarang memberikan kepentingan diri sendiri (self interest) dimensi spiritual dan berjangka panjang yang menembus wilayah kehidupan ini, apabila hal itu diterima, yaitu bahwa maslahat individu dapat dipenuhi dengan nafsu keakuanya sekalipun, maka maslahatnya di akhirat tidak akan dapat di penuhi kecuali dengan berperilaku yang tidak  merugikan kepentingan orang lain, karena sama-sama berkedudukan sebagai khalifah Allah.
Disatu pihak, Islam mengakui kontribusi yang diberikan oleh kepentingan pribadi dan keinginan untuk memperoleh keuntungan terhadap pribadi dan keinginan untuk memperoleh keuntungan terhadap inisiatif individu, dorongan, efisiensi dan kewirausahaan.
c)      Restrukturiasi social ekonomi
Meskipun demikian, boleh jadi nilai-nilai tersebut dilanggar oleh gagasan mengenai pertanggung jawaban didepan Allah SWT. Dalam banyak kasus, terlalu lemah pengaruhnya pada perilaku manusia, bahkan dalam suatu masyarakat yang bermuatan moral sekalipun, individu mungkin cenderung untuk tidak mengindahkan masalah-masalah kelangkaan dan prioritas-prioritas social dalam alokasi sumber-sumber daya, bila keadaan social ekonomi tidak kondusif.
Mereka mungkin tak menyadari kebutuhan-kebutuhan orang lain yang lebih urgen dan belum dapat di penuhi. Dan kalaupun mereka berbuat, mungkin secara tidak disadari  telah mengikuti kecenderungan social yang tidak sehat dan memalingkan sumber-sumber daya yang terbatas dari upaya untuk memenuhi kebutuhan orang, dalam rangka memasukan keinginan-keinginan mereka yang secara relative kurang penting.
Oleh karena itu, sangat perlu memperkuat nilai-nilai moral dengan melakukan rekstrukturisasi social ekonomi dalam suatu cara yang memungkinkan individu memenuhi keinginan diri mereka hanya dalam batas-batas kesejahteraan social dan stabilitas ekonomi, restrukturisasi itu harus bertujuan:
1)      Mentransformasi factor manusia dalam pembangunan untuk menjadikannya mampu berperan aktif dan konstruktif dalam alokasi sumber daya yang efisien dan merata.
2)      Mereduksi konsentrasi kepemilikan sarana produksi
3)      Mengeliminasi atau meminimalkan segala bentuk konsumsi berlebihan
4)      Melakukan reformasi system keuangan sedemikian mungkin.

2.      Lima Tindakan Kebijakan
Yang harus dilakukan oleh Negara-negara muslim adalah menjauhi pendekatan ekonomi pembangunan yang sekuler dan tidak konsisten serta mengformulasikan kembali  kebijakan-kebijakan dalam kerangka pendekatan islam yang terintegrasi kendatipun syariat-syariat islam telah memberikan elemen-elemen pokok mengenai strategi dasar, namun ia membolehkan fleksibelitas dalam ruang dan waktu yang tidak menyebutkan tindakan-tindakan kebijakan yang terlebih detail. Ini semua harus di kembangkan boleh juga meniru pengalaman-pengalaman Negara lain dalam menerapkan beberapa kebijakan yang spesifik.
Adapun kelima kebijakan tersebut adalah sebagai berikut ini dan akan dijelaskan juga sebagai berikut:
a)      Memberikan kenyamanan kepada factor manusia
b)      Mereduksi konsentrasi kekayaan
c)      Melakukan restrukturisasi ekonomi
d)     Melakukan restrukturisasi keuangan
e)      Rencana kebijakan strategis

3.      Prinsip Ekonomi Islam
Menurut Chapra (2002: 307), salah satu masalah utama dalam kehidupan social  masyarakat adalah mengenai cara melakukan pengalokasian dan pendistribusian sumber daya yang langka tanpa harus bertentangan dengan tujuan ekonominya.[3]
a)      Tujuan ekonomi Islam
Menurut Nik Mustofa (1992: 23-24), islam berorientasi pada tujuan (goal oriental). Prinsip-prinsip yang mengarah pengorganisasian kegiatan-kegiatan ekonomi pada tingkat individu dan kolektif bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan menyeluruh dalam tatanan islam.
b)      Pemenuhan kebutuhan
Menurut Mannan (1997:44), konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penawaran. Kebutuhan konsumen, yang kini dan yang kini dan yang telah diperhitungkan sebelumnya merupakan insentif pokok bagi  kegiatan-kegiatan ekonominya sendiri.
c)      Pertumbuhan optimum dan full employment
Menurut IMF dalam laporannya dalam word economic outlook,saving a growing world economic (dalam Chapra, 2002: 311) menyebutkan berpendapat bahwa bahan dasar utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkeseimbangan adalah adanya tingkat tabungan, investasi, kerja keras dan kesungguhan kemajuan teknologi dan menajemen kreatif, bersama dengan perilaku social serta kebijakan pemerintah yang mendukung.
d)     Distribusi yang merata
Sejak dahulu hingga sekarang masih berlangsung kontroversi luas dan sengit tentang pokok persoalan distribusi nasional antara berbagai golongan rakyat disetiap Negara di dunia. Namun menyebutkan bahwa teori ekonomi modern mengenai distribusi merupakan suatu teori yang menetapkan harga jasa produksi.

4.      Cakupan Islam
Agama islam memiliki tiga aspek utama yaitu aspek akidah, aspek syariah dan aspek akhlak. Adapun ketiga aspek tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a)      Aspek aqidah
Aqidah berarti ikatan, menurut ahli bahasa aqidah adalah sesuatu yang dengannya di ikatkan dengan hati dan perasaan halus manusia atau yang dijadikan agama oleh manusia dan dijadikannya pegangan.[4]

b)      Aspek syariah
Ajaran islam tidaklah berhenti pada kepercayaan saja. Syariah adalah kata bahasa arab yang secara harfiyah berarti jalan yang di tempuh atau garis yang mestinya di lalui.

c)      Aspek akhlak
Akhlak (etika)  sering juga disebut sebagai  ihsan yang berarti baik, definisi ihsan dinyatakan sendiri oleh Nabi dalam hadis.[5]

C.    KESIMPULAN
Dari pembahasan materi diatas, maka dapat saya simpulkan bahwa Dalam lapangan ekonomi, hal ini merupakan pembangunan yang berkeadilan dan mewujudkan stabilitas untuk mencapai pemenuhan kebutuhan, kesempatan kerja penuh dan distribusi pendapatan serta kekayaan yang merata tanpa harus mengalami ketidak seimbangan yang berkepanjangan.
 Oleh karena itu, adanya keterbatasan sumber daya dan ketidak seimbangan yang tengah berlangsung, maka pencapaian pembangunan yang demikian tidak dapat dilaksanakan tanpa pengurangan yang cukup besar. Klaim-klaim terhadap sumber daya disertai dengan realokasi penggunaanya yang kurang efisien dan merata.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A. Karim, Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.

Eko Supriyanto, Ekonomi Islam, 2004

Umar Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Tazkia Institute.



[1] M. Umar Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Tazkia Institute, hal. 79.
[2] Ibid,hal. 80.
[3] Eko Supriyatno, Ekonomi Islam,2004, hal. 17
[4] Adiwarman A. Karim, Bank Islam (Analisis Fiqih dan keuangan), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. Hal. 2
[5] Hamka, Studi Islam,(1985), hal. 73

0 komentar:

 
Top