BAB
I
PENDAHULUAN
Nahdaltul ulama adalah organisasi soial
keagamaan yang berhaulan Ahlussunnah wal
jama’ah. organisasi ini didirikan pada tanggal 31 januari 1926, oleh ulama’
yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah
sebagai wadah untuk mempersatukan diri dan langkah dan di dalam tugas
memelihara, melestarikan, agama Islam. Nahdlatul Ulama didirikan dengan tujuan
untuk berlakunya ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah
Wal Jama’ah dan menganut salah satu empat mazhab di dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dari penjelasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa NU itu ikut
berpartisipasi dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia ini dan
melawan penjajah dari muka bumi ini. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang amal bakti
NU terhadap bangsa dan Negara Republik Indonesia secara ringkas.
BAB II
PEMBAHASAN
AMAL
BAKTI NU TERHADAP BANGSA DAN NEGARA
A.
AMAL BAKTI NU TERHADAP BANGSA DAN NEGARA
Keterlibatan
NU dalam pergerakan untuk mewujudkan Indonesia merdeka keberadaanya
tidak bias dipungkiri. Secara doktriner, NU mengangap bahwa kewajiban berbangsa
dan bernegara adalah merupakan sesuatu yang final. Abdurrrahman Wahid
menggambarkan bahwa eksistensi Negara mengharuskan adanya ketaatan terhadap
pemerintah sebagai mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku
pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan
pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dari system
pemerintahan. Konsekuensi pandangan ini adalah begitu ia berdiri dan mampu bertahan,
dan penolakan system alternative sebagai pemecahan masalah-masalah utama suatu
bangsa yang telah berbentuk suatu Negara. Dengan demikian cara-cara yang
digunakan dalam melakukan perubahan senantiasa bercorak gradual.
Gagasan
yang dikedepankan pertama kali ketika NU dibentuk, bukanlah dari wawasan
politik, melainkan dari wawasan social keagamaan. Walaupun demikian, tidak
berarti wawasan tersebut lantas menjadikan NU mengabaikan persoalan politik.
Anggaran Dasar NU yang ditetapkan pada muktamar ke-3 tahun 1928 tidak
menyebutkan secara eksplisi mengenai perhatiannya terhadap persoalan politik.
Yang disebut di dalam Anggaran Dasar tersebut adalah tujuan-tujuan social
keagamaan. Di situ disebutkan bahwa yang ingin dipertahankan NU adalah ajaran
Islam yang terikat pada mazhab dan mengerjakan apa saja yang menjadikan
kemaslahatan bagi agama islam.
Strategi
yang digunakan dalam gerakan cultural NU ini adalah, pertama, strategi dakwah
dalam arti melakukan kegiatan dakwah dengan pengabdian yang ikhlas, serta mengembangkan
berbagai kegiatan keswadayaan lainnya terhadap para santri dan masyarakat desa
pada umumnya. Pesantren dan Pedesaan menjadi basis massa NU. Kedua, strategi kooperasi terbatas
dengan kaum penjajah, dalam arti meskipun bersikap menentang penjajah tetapi
tetap memperhatikan keselamatan organisasi dan jama’ah dibawah tekanan
kekuasaan penjajah.
Penjelasan
lain menyebutkan bahwa anggaran Dasar NU mencerminkan sikap NU yang tidak
sepaham dengan ide-ide dan gerakan kelompok pembaharu. Sedang sikap NU terhadap
penjajah tidak tercantum secara jelas.
Sikap
dan pandangan terhadap penjajah Belanda terbaca dari perjalannya yang kemudian
disebut sebagai sikap koperatif terbatas atau akomodatif, yaitu bersdia bekerja
sama dengan penjajah Belanda ketika berkaitan dengan keselamatan umat Islam dan
menentangnya ketika berkaitan dengan kebijakan-kebijakan Belanda yang merugikan
atau bahkan mengancam umat Islam.
Sikap-sikap
NU yang bekerjasama dengan penjajah belanda dapat dilihat pada keikutsertaannya
dalam siding Kantoor voor inlansche Zaken di Jakarta pada tahun 1929 yang
membicarakan soal perkawinan umat Islam dan perbaikan organisasi penghulu. Atas
prakarsa C. Gobee, adviseur pada kantor tersebut, pemerintah Hindia Belanda
ingin memperbaiki peraturan tentang perkawinan umat Islam. Peraturan yang
direncanakan pada pokoknya mengatur tentang nikah, talak, rukun dan harus
dilakukan menurut prosedur administrasi dan aturan hokum formal, dilaksanakan
di depan penghulu, menyerahkan surat
keterangan dari desa, cukup umur dan membayar biaya tertentu.
Pada
muktamar di Banjarmasin tahun 1939, NU
mengeluarkan keputusan yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan dar al-islam.
Keputusan ini bertolak belakang dengan kenyataan, Indonesia yang berada dalam
genggaman jajahan Belanda yang bukan Islam.
Alasan
peserta muktamar adalah bahwa mayoritas masyarakat Indonesia
adalah beragama Islam dan umat diberi keleluasaan untuk menjalan syari’at
agamanya, dan juga karena Indonesia
pernah diperintah oleh kerajaan Islam seperti Demak yang mengambil alih dari
kerajaan Majapahit. Lagipula, pada tahun 1929 telah dibentuk lembaga
kepenghuluan, sehingga memungkinkan umat Islam untuk menjalankan syari’at
agama, walau terbatas, tahun secara penuh.
Sikap-sikap
yang menunjukkan keengganan bekerjasama dengan pemerintah Kolonial Belanda di
antaranya; pada tahun 1930-an, NU menolak peraturan pemerintah mengenai
guru-guru sekolah yang memberlakukan Administrasi yang lebih ketat terhadap
sekolah-sekolah, termasuk pesantren. Pemerintah colonial mengancam kehidupan
sekolah yang pengelolaannya kurang teratur. Pada tahun 1931, NU juga memprotes
penarikan masalah-masalah waris dari wewenang peradilan agama.
NU
menolak peniruan terhadap pakaian ala Belanda semisal dasi, celana, jas oleh
umat Islam. Penolakan ini tidak karena pertimbangan agama, karena agama tidak
pernah mengharamkan pakaian selama pakaian tersebut baik dan menurut aurat.
Namun penolakan ini, seperti dipaparkan oleh Laode Ida adalah sebagai siasat
yang sifatnya politis, yaitu, dimaksudkan sebagai basis pertahanan terakhir
kaum muslim terhadap bahaya serangan dan kepungan kaum penjajah atau merupakan
basis penumbuhan nasionalisme di kalangan santri yang secara tidak langsung
membangun kaum santri untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
B.
MENDIRIKAN NKRI (NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA)
Keterlibatan
NU untuk memperjuangkan berdirinya Republik terus berlanjut ketika Jepang
dating menggantikan penjajah Belanda pada tahun 1942. penguasa Jepang sejak
awal lebih condong bekerjasama dengan para pemimpin Islam, ketimbang pemimpin
tradisional atau pemimpin nasionalis. Kecondongan ini terjadi karena Jepang
menganggap para kyai yang memimpin pesantren merupakan pendidikan masyarakat
pedesaan, sehingga dapat dijadikan alat propaganda yang efektif. Sebagai imbalannya
para pemimpin Islam diberi kemudahan dalam urusan keagamaan. Kecondongan Jepang
yang seperti itu tidak diabaikan oleh NU. Alsannya bukan karena mau dijadikan
sebagai propagandis melainkan untuk memanfaatkan kesempatan untuk
mensosialisasikan keinginan untuk merdeka. Ketika jepang membentuk kantor
urusan agama yang membentuk jaringan langsung para kyai pedesaan dan memberi
pelatihan terhadap para kyai dengan mengajarkan sejarah, kewarganegaraan,
olahraga senam dan bahasa Jepang, bukan malah membawa kyai tunduk pada Jepan
tetapi sebaliknya, terjadi politisi di kalangan kyai.
Siasat
yang dibuat NU tersebut tercium oleh Jepang KH. Hasyim Asy’ari ditangkap dengan
alas an yang tidak jelas. Terjadi kegoncangan di tubuh organisasi NU.
Kegoncangan bertambah hebat ketika KH. Mahfudz Shiddiq ikut ditangkap dengan
tuduhan melakukan gerakan anti Jepang. Penangkapan it uterus terjadi pada
ulama-ulama lain di Jawa Tengah dan jawa Barat dengan tuduhan yang sama yakni
gerakan anti Jepang. KH. Wahab Hasbullah mengeliminir kegoncangan yang terjadi
dalam NU dengan melakukan lobi ke beberapa pejabat Jepang. Seperti Saiko Siki Kan, Gunseikan, dan
Shuutyokan.
Untuk
memperkuat kekuatan militernya, Jepang membentuk kekuatan sukarela Indoensia
yakni PETA, PETA diikuti banyak orang Indonesia dari berbagai kalangan
tak terkecuali umat Islam para kyai. Kenapa orang Indonesia mau menjadi PETA, padahal
mereka tahu pembentukan PETA dimaksudkan untuk membantu tentara Jepang
menghadapi sekutu yang akan dating ke Jawa ? masuknya orang Indonesia ke
PETA lebih karena untuk mengetahui seluk-beluk kemiliteran dan mengangankan
mendapat peranan politik yang lebih besar di masa yang akan dating, bukan
karena ingin membantu Jepang.
Selain
itu, pemeritnah Jepang akan membuarkan organisasi social-politik-keagamaan yang
tidak mau diajak bekerjasama, sebaliknya yang masih mau diajak kerjasama akan
dikooptasi. MIAI dibubarkan oleh Jepang pada tahun 1943 dan diganti dengan
Masyumi yang menyatakan siap membantuk kepentingan Jepang. Hanya NU dan Muhammadiyah
yang diperbolehkan secara sah oleh Jepang untuk menjadi anggota Masyumi. Pada
tahun 1944, NU pertama kalinya masuk ke dalam struktur pemerintahan dengan
diangkatnya KH. Hasyim Asy’ari sebagai ketua Shumubu (Kantor Urusan Agama).
Pada tahun itu juga KH. Wahid Hasyim berhasil melobi Jepang untuk memberikan
pelatihan militer khusus kepada para santri dan mengizinkan mereka membentuk
barisan pertahanan rakyat tersendiri yakni Hisbullah dan Sabilillah.
Pada
tanggal 7 september 1944, Perdana Menteri Jepang Kuaki Kaiso menjanjikan
kemerdekaan kepada Indonesia.
Janji itu dilontarkan karena di beberapa medan
pertempuran, Jepang mengalami kekalahan terhadap Sekutu. Janji itu kemudian di
respons secara posisi oleh Pimpinan Kongres Umat Islam sedunia, Syekh Muhammad
al-Husaini dari Palestina dengan cara mengirimkan surat
kepada pemerintahan Jepang melalui Duta Besar berkuasa penuh pemerintah Jepang
melalui Duta Besar berkuasa penuh pemerintah Jepang untuk Jerman surat itu juga
ditembuskan kepada KH. Hasyim Asy’ari. Dengan cepat KH Hasyim menyelenggarakan
rapat khusus Masyumi pada tanggal 12 Oktover 1944 yang menghasilkan resolusi
ditujukan kepada pemerintah Jepang.
Resolusi
tersebut berisi; pertama, mempersiapkan umat Islam Indoensia agar mampu dan
siap menerima kemerdekaan Indonesia
dan agama islam. Kedua, mengaktifkan kekuatan umat Islam Indonesia untuk memastikan
terlaksanya kemenangan final dan mengatasi setiap rintangan dan serangan musuh
yang mungkin berusaha menghalangi kemajuan kemerdekaan Indoensia dan agama
Islam. Ketiga, bertempur dengan sekuat tenaga bersama Jepang Raya di jalan
Allah untuk mengalahkan musuh, menyebarkan resolusi ini kepada seluruh tentara
Jepang dan kepada segenap bangsa Indoensia. Berbagai fasilitas dan kemudahan
yang diberikan oleh Jepang dimanfaatkan umat Islam untuk menyadarkan masyarakat
akan hak-hak politiknya di masa depan.
Untuk
mematangkan persiapan Indonesia menyambut kemerdekaanya, pada tanggal 29 April
1945 dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang anggotanya berjulah 62 orang diketahui oleh Soekarno dan Muhammad
Hatta sebagai wakilnya juga di dalamnya KH. Wahid Hasyim sebagai anggota.
BPUPKI selain menyusun Undang-Undang Dasar (UUD) bakal republic, didalamnya
juga muncul pembicaraan mengenai bentuk Negara. Polarisasi pendapat didalam
BPUPKI Mengenai bentuk Negara ada; satu pihak menginginkan Indoensia menjadi
Negara Islam, pihak lainnya menginginkan Indonesia menjadi ngara kesatuan
nasional yang memisahkan Negara dan agama. Di BPUPKI inilah Soekarno meletakkan
dasar-dasar bakal Negara Indonesia.
Sebagian
umat Islam menginginkan dibentuknya Negara Islam sehingga memungkinkan
dilaksanakannya syari’at Islam secara penuh. Menurut Soekarno ada dua pilihan
tentang bentuk Negara Indonesia
yakni persatuan staat-agama tetapi sonder demokrasi atau demokrasi tetapi staat
dipisahkan dari agama. Soekarno condong memilih pilihan yang kedua. Menurutnya,
Negara demokrasi dengan memisahkan agama dari Negara tidak mengabaikan
(nilai-nilai) agama. (nilai-nilai) agama bias dimasukkan ke dalam hokum yang
berlaku dengan usaha mengontrol parlemen, sehingga undang-undang yang
dihasilkan parlemen sesuai dengan Islam. Kalau mayoritas anggota parlemen bukan
umat Islam. Pemikran Soekarno yang seperti ini, menurut istilah sekarang
subtansialistik, yaitu menginginkan dilaksanannya ajaran Islam, tetapi tidak
setuju terhadap formalisasi ajaran Islam.
Dalam
pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan agar ngara Indonesia
didasarkan pada Pancasila atau lima dasar, yakni; 1) Kebangsaan, 2)
Internasionalisme, perikemanusiaan; 3) permusyawaratan, mufakat; 4)
Kesejahteraan; 5) Ketuhanan.
Polarisasi
di BPUPKI tidak berhenti begitu saja, perdebatan sengit untuk tentang sila
Ketuhan yang Maha Esa dengan ewajiban melaksanakan syari’at agama Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Tujuan kata terkahir mendapat tentangan keras dari kelompok
nasionalis-sekuler-kristen. Perdebatan ini menurun ketika para pemimpin
nasionalis-muslim seperti Wakhid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Bagus Hadikusumo
dalam pretemuannya dengan hatta menjelang siding PPKI pada tanggal 18 Agustus
1945, sepakat untuk mencabut tujuh kalimat dalam piagam Jakarta yang menjadi
titik sengketa dengan kelompok nasionalis-sekuler-kristen. Piagam Jakarta
adalah hasil rumusan dari tim sembilan anggota PPKI yang bertugas merumuskan
tentang dasar Negara. Sikap ketiga pemimpin nasionalais muslim tersebut
merupakan kelanutan dari diskusi antara KH Wahid Hasyim, KH. Masykur dan Kahar
Muzakir (PII) dengan Soekarno pada akhir Mei 1945.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa: Keterlibatan
NU dalam pergerakan untuk mewujudkan Indonesia merdeka keberadaanya
tidak bias dipungkiri. Secara doktriner, NU mengangap bahwa kewajiban berbangsa
dan bernegara adalah merupakan sesuatu yang final. Abdurrrahman Wahid
menggambarkan bahwa eksistensi Negara mengharuskan adanya ketaatan terhadap
pemerintah sebagai mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku
pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan
pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dari system
pemerintahan. Konsekuensi pandangan ini adalah begitu ia berdiri dan mampu
bertahan, dan penolakan system alternative sebagai pemecahan masalah-masalah
utama suatu bangsa yang telah berbentuk suatu Negara.
NU
menolak peniruan terhadap pakaian ala Belanda semisal dasi, celana, jas oleh
umat Islam. Penolakan ini tidak karena pertimbangan agama, karena agama tidak
pernah mengharamkan pakaian selama pakaian tersebut baik dan menurut aurat.
DAFTAR
PUSTAKA
Aceng
Abdul Aziz Dy, dkk. Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Pustaka Ma’arif NU. Jakarta. 2007.
0 komentar:
Post a Comment