BAB I
PENDAHULUAN

Latihan Dasar Pemantapan Paham Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja’) merupakan suatu bentuk kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh Ikatan Mahasiswa Nahdliyyin (IMAN) sebagai sebuah organisasi warga Nahdliyyin. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan landasan yang kokoh dan kuat atas amalan ibadah maupun mu’amalah yang telah berkembang dan berurat akar dalam tradisi Indonesia khususnya kaum tradisionalis berdasarkan Al Quran, Al Hadits dan pendapat para ulama’. Selain itu, kegiatan ini juga dimaksudkan sebagai jawaban komunitas Islam tradisional terhadap tuduhan kaum modernis, yang memandang kaum tradisonalis menyimpang jauh dari tuntunan dan ajaran Islam.
Kegiatan Latihan Dasar Pemantapan Paham Ahlussunnah wal Jamaah diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut:
Memberikan dasar yang mantap berdasarkan Al Qur’an, Al Hadits dan pendapat para Ulama’ kepada para anggota IMAN khususnya dan umat Muslim pada umumnya dalam menjalankan amal ibadah dan mu’amalah yang telah dilakukannya setiap hari selama ini terutama atas masalah-masalah khilafiyah yang selalu dipertentangkan oleh sebagian umat Islam dimana masalah tersebut sebenarnya tidak perlu dipertentangkan karena masing-masing juga telah memiliki dalilnya.

BAB II
PEMBAHASAN
DASAR-DASAR AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH


A.    PENGERTIAN ASWAJA
Penjelasan mengenai Aswaja, Aswaja merupakan singkatan dari istilah Ahl al-Sunah wa al- ajma ah. Ada tiga kata yang membentuk tiga kata tersebut: berarti keluarga, golongan atau pengikut. Al-sunnah, yaitu sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW Al-Jama’ah, yakni apa yang disepakati oleh sahabat Rasul SAW pada masa al-Khulafa al-Rasyidun (Khalifah Abu Bhakar RA, Umar bin Khatab RA, Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA).[1]
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam kitabnya, al-Gunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, “Yang dimaksud dengan al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasul SAW (meliputi ucapan dan ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-jamaah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Rasulallah SAW pada masa al-Khulafah al-Rasyidun yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah SWT memberikan rahmat kepada mereka semua)”. (Al–Gunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz, I hal 80).
Selanjutnya, Syeikh Abi al-Fadhl bin Abdussyakur menyebutkan dalam kitab al-Khawakib al-Lamma’ah, “Yang disebut Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi SAW dan jalan para sahabatnya dalam masalah ini akidah keagamaan, amal-amal lahiriah, serta akhlak hati”. (Al-Khawakib al-Lamma’ah, hal 8-90).
Jadi, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri khas kelompok ini, yakni tiga sifat yang selalu diajarkan Nabi SAW dan para sahabatnya. Ketiga prinsip itu adalah sebagai berikut: prinsip al-Tawasuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri atau kanan), prinsip al-Tawazun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan dalil Aqli dan dalil Naqli), dan prinsip al-I’tidal (tegak lurus).
Berdasarkan hadits Nabi Muhammmad SAW yang menjelaskan tiga hal yang menjadi prinsip utama dalam agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw., disebutkan bahwa, ”Dari Umar bin Khatthab RA, ”Pada suatu hari kami berkumpul bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam. Tidak kelihatan tanda-tanda kalau dia melakukan perjalanan jauh, dan tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi SAW sambil menempelkan kedua lututnya kepada lutut Nabi SAW.  Ketika melakukan pemisahan tersebut, para ulama berusaha merumuskan batasan dari ketiga hal itu. Izzuddin bin Abdissalam mencoba menguraikannya, sebagaimana yang dikutip oleh DR. Bakr Isma’il dalam kitab al-Fiqh al-Wadhih, ”Izzuddin bin ’Abdisalam menjelaskan dalam kitabnya yang indah, ,”Zubdah Khulashah al-Tashawwuf” bahwa Islam (dalam arti yang sempit. pen) adalah pelaksanaan beberapa hukum oleh anggota badan, Iman adalah pengakuan hati dengan tegas kepatuhan terhadap Allah SWT, dan Ihsan adalah kesadaran jiwa untuk selalu melihat kebesaran Tuhan Yang maha Kuasa dan Maha Mengetahui”. (al-Fiqh al-Wadhih min al-Kitab wa al-Sunnah, juz I, hal 13)
Uraian yang lebih terperinci diungkapkan oleh Syaikh Abdul Hayyi al Umrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad, ”Rasulullah SAW memberi nama Iman, Islam dan Ihsan sebagai Agama. Sebagaimana nama seseorang hamba (manusia) dituntut untuk percaya kepada Allah SWT, kepada semua rasul dan semua yang datang dari Allah SWT, yang kemudian disebut “Iman”, demikian pula seorang hamba diperintahkan untuk melaksanakan berbagai macam ibadah, baik ibadah qawliyyah (ucapan) dan badaniyah (gerakan badan/fisik) atau gabungan dari keduanya, seperti shalat, atau ibadah badaniah dan maaliyyah (harta) atau penggabungan dari keduanya, seperti haji dan jihad, yang selanjutnya disebut dengan “Islam”, maka seorang hamba juga diharuskan untuk mempraktikkan adab (etika dan sopan santun) yang sesuai dengan sikap penghambaannya di hadapan Tuhannya. Etika itu merupakan akhlak yang dipraktikkan Rasulullah SAW kepada Allah SWT dan kepada sesama mahluk. Aspek ini disebut dengan ”Ihsan””.(al-Tahdzir mi al-Ightirar, 145).
Penjelasan yang sama dapat kita temukan dalam kitab al-Tahdzir min al-Ightirar halaman 145, ”Ilmu yang membidangi persoalan akidah disebut ilmu ushuluddin (ilmu tauhid atau ilmu kalam). Sedangkan ilmu yang memfokuskan pada pembahasan amaliah sehari-hari dinamakan ilmu fiqh. Dan ilmu yang membahas tentang adab (tatakrama) diberi nama ilmu tashawwuf. (al-Tahzir min
Berdasarkan beberapa pertimbangan ini, sudah selayaknya kalau kita meyakini bahwa hadits tersebut memang shahih adanya, sehingga dapat dijadikan pedoman. Memperbincangkan sumber hukum Islam, kita mulai dari firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah SWT, dan patuhlah kamu kepada Rasul dan Ulu al Amri di antara kamu sekalian. Kemudian jika kamu berselisih faham tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS al-Nisa, 59) Berdasarkan ayat ini, ada empat dalil yang dapat dijadikan pijakan dalam menentukan hukum, yaitu
    1. Al-Qur’an,
    2. Al-Hadits
    3. Ijma,
    4. Qiyas.
Sebagaimana penjelasan Abdul Wahhab Khallaf dalam Ilm Ushul al-Fiqh, ”Perintah (yang terdapat dalam kitab QS al-Nisa, 59) untuk menaati Allah SWT dan Rasulnya, merupakan perintah untuk mengikuti al-Qur’an dan al-Hadits. Sedangkan perintah untuk mengikuti Ulu al-Amr, merupakan anjuran untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid, sebab merekalah yang menjadi Ulu al-Amri dalam masalah hukum agama bagi kaum muslimin.
Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasulnya berarti perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada dalil nash (al-Qur’an dan Hadits) dan ijma’”. (Ilm Usul al-Fiqh,21)

B.     CIRI-CIRI AKIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH
Perumus Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah dalam Bidang Akidah
Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW.
Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Karena itu, ketika ada yang menyebut Ahl al- Sunah wa al-Jama’ah, pasti yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti rumusan kedua iman tersebut.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami dalam Tathhir al-Janan wa al-Lisan, “Jika Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Asy’ari (golongan Asya’riah) dan Imam Maturidi (golongan Maturidiyyah)”. (Tathhir al-Janan wa al-Lisan, 7)
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thasy Kubri Zadah, sebagaimana yang dikutip oleh DR Fathullahi Khulayf dalam pengantar kitab al-Tauhid karangan Imam Maturidi, “Thasy Kubri Zaddah berkata, ”Ketahuilah bahwa polopor gerakan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab Hanafi, sedang yang lain dari golongan Syafi’I.
Seorang yang bermadzhab Hanafi itu adalah Abu Mansyur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan yang dari golongan Syafi’i adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin masyarakat, imam para mutakallimin, pembela sunnah Nabi SAW dan agama Islam, pejuang dalam menjaga kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu al-Hasan al-Asy’ari al-Bashri”.
Dua orang inilah yang menjadi polopor gerakan kembali pada ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Intisari dari kedua rumusan beliau tersebut tersimpul pada kitab-kitab yang telah diajarkan di pesantren seperti Aqidah al-Awam, Kifayah al-Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah. Jawharah al-Tauhid serta kitab lain yang sudah tidak asing bagi orang-orang yang belajar di pesantren.
Nama lengkap Imam Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H /874 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. Beliau adalah salah satu keturunan sahabat Nabi SAW yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu beliau menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama al-Jubba’i. Karena menjadi anak tiri al-Juba’i, Imam Asy’ari sangat tekun mempelajari aliran Mu’tazilah, sehingga beliau sangat memahami aliran ini. Tidak jarang beliau menggantikan ayahnya menyampaikan ajaran Mu’tazillah. Berkat kemahirannya ini, dan juga posisinya sebagai anak tiri dari salah seorang tokoh utama Mu’tazilah, banyak orang memperkirakan bahwa suatu saat beliau akan menggantikan kedudukan ayah tirinya sebagai salah seorang tokoh Mu’tazilah.

C.    CIRI-CIRI SYARIAT ASWAJA
Secara bahasa madzhab berarti jalan. ”Madzhab berarti jalan” (Al- Qamus al-Muhith 86). Sedangkan pengertian madzhab secara istilah sebagaimana dijelaskan oleh KH. Zainal Abidin Dimyathi dalam kitabnya al-Idza’ah al-Muhimmah adalah ”Madzhab adalah hukum-hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid.” Madzhab tidak akan terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath’i) dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib zina haram dan semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan yang masih terjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
Jadi, madzhab itu merupakan hasil elaborasi (penelitian secara mendalam) para ulama untuk mengetahui hukum tuhan yang terdapat dalam al-Qur’an, al-Hadits serta dalil yang lainnya. Dan sebenarnya, madzhab yang boleh diikuti tidak terbatas pada empat saja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyid ’Alawi bin Ahmad al-Seggaf dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, ”(Sebenarnya) yang boleh diikuti itu tidak hanya terbatas pada empat madzhab saja. Bahkan masih banyak madzhab ulama yang boleh diikuti, seperti madzhab dua Sufyan (Sufyan al-Tsauri dan Sufyan bin Uyainah), Ishaq bin Rahawaih, Imam Dawud al-Zhahiri, dan al-Awza’i.” (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah. 59)
Namun mengapa yang diakui serta diamalkan oleh ulama golongan Ahl al Sunnah wa al Jama’ah hanya empat madzhab saja? Sebenarnya, yang menjadi salah satu faktor adalah tidak lepas dari murid-murid mereka yang kreatif, yang membukukan pendapat-pendapat imam mereka sehingga pendapat imam tersebut dapat terkodifikasikan dengan baik. Akhirnya, validitas (kebenaran sumber dan salurannya) dari pendapat-pendapat tersebut tidak diragukan lagi. Di samping itu, madzhab mereka telah teruji ke-shahihan-nya, sebab memiliki metode istinbath (penggalian hukum) yang jelas dan telah tersistematisasi dengan baik, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sebagaimana yang diuraikan oleh Sayyid Alwi bin Ahmad al-Seggaf, ”Sesungguhnya ulama dari kalangan madzhab Syafi’i RA menjelaskan bahwa tidak boleh bertaqlid kepada selain madzhab yang empat, karena selain yang empat itu jalur periwayatannya tidak valid, sebab tidak ada sanad yang bisa mencegah dari kemungkinan adanya penyisipan dan perubahan. Berbeda dengan madzhab yang empat.
Para tokohnya telah mencurahkan kemampuannya untuk meneliti setiap pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu yang memang pernah diucapkan oleh mujtahidnya atau yang tidak pernah dikatakan, sehingga para pengikutnya merasa aman (tidak merasa ragu atau khawatir) akan terjadinya perubahan, distorsi pemahaman, serta mereka juga mengetahui pendapat yang shahih dan yang dha’if”. (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, 59)
Pada perkembangan selanjutnya para ulama pesantren terus-menerus berusaha untuk membangkitkan sistem bermadzhab ini.
Karena zaman bergulir begitu cepatnya, waktu melesat tak dapat dicegat, dan perubahan tidak dapat dielakkan, sementara fiqh Islam harus hadir memberikan solusi untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan, maka umat Islam di tuntut untuk dapat berkreasi dalam memecah berbagai persoalan tersebut. Sehingga diperlukan pendekatan ’baru’ guna membuktikan slogan shaliha likulli makaa na wazamaani. Salah satu bentuknya adalah dengan mengembangkan pola bermadzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab metodologis (madhzhab manhaji) dalam fiqh Islam, sebagaimana yang digagas oleh DR. KH. Sahal Mahfudh.
Mengutip hasil halaqoh P3M, ada beberapa ciri yang menonjol dalam fiqh sosial. Ciri-ciri tersebut diantaranya adalah melakukan interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual, perubahan pola bermadzhab, dari madzhab kontekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji), verifikasi ajaran secara mendasar, dengan membedakan ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’), dan pengenalan metodologi filosofi, terutama dalam masalah budaya dan sosial. (KH.Sahal Mahfudh, dalam Duta Masyarakat, 18 Juni 2003).
Namun demikian, usaha ini hanya bisa dilakukan dalam persoalan sosial kemasyarakatan (hablun min-al nas), tetapi tidak bisa masuk kepada khaliqnya (hablum minallah). Artinya, dalam hubungan dengan sesama manusia, kaum muslimin harus membuat berbagai terobosan baru untuk menjawab dinamika sosial yang terus bergulir dengan cepat. Namun itu tidak berlaku dalam hubungan vertikal hamba dengan Sang Khalik. Sebab yang dibutuhkan dalam ibadah adalah kepatuhan seorang hamba yang tunduk dan pasrah menyembah kepada-Nya. Sebagaimana kaidah yang diungkapkan oleh al-Syathibi al-Muwafaqat-nya “Yang asal dalam masalah ibadah adalah ta’abbud (dogmatis) tanpa perlu melihat maknanya. Sedangkan asal dalam mu’amalah (interaksi antara sesama manusia) adalah memperhatikan maknanya (esensinya).” (Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, juz II, hal 300)
Umat Islam perlu mengembangkan pola bermadzhab yang dapat menjamin kemaslahatan masyarakat, khususnya dalam masalah sosial kemasyarakatan. Dalam hal perbedaan ini, sangat dilarang adanya fanatisme bermadzhab yang dapat menimbulkan sikap menyalahkan atau bahkan mengkafirkan madzhab lain, mengingat Imam Syafi’i sendiri begitu menghormati Imam Malik, gurunya, begitu juga sebaliknya, Imam Hanbali yang menghormati gurunya, Imam Syafii, dan begitu pula sebaliknya. Bahkan terhadap salah satu Imam madzhab empat yang diikuti, para Imam Mujtahid setelah mereka memiliki perbedaan pendapat pada beberapa hal. Sebagai contoh, diantaranya pendapat yang dipegang Imam Nawawi dengan Imam madzhab yang beliau ikuti, Imam Syafi’i, yang berbeda dalam hal kenajisan babi yang mana Imam Syafii memfatwakan Najis babi termasuk Najis Mughaladhoh dan tidak dengan Imam Nawawi yang justru meringankan Najis babi dengan satu siraman saja.
Inilah keistimewaan dari pendiri madzhab Syafi’i RA. Apa yang beliau rintis kemudian diteruskan oleh para pengikutnya, seperti Yusuf bin Yahya al-Buwaithi, Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya al-Muzani, dan lainnya. Termasuk pengikut madzhab Syafi’i adalah Imam Bukhari. Syaikh Waliyullah al-Dahlawi menyebutkan dalam Al-Inshaf fi Bayani Asbab al-Ikhtilaf “Termasuk kelompok ini (pengikut madzhab Syafi’i) adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari. Sesungguhnya beliau termasuk salah satu kelompok pengikut Imam Syafi’i.
Di antara ulama yang mengatakan bahwa Imam Bukhari termasuk kelompok Syafi’iyyah adalah Syaikh Tajuddin al-Subki. Beliau mangatakan, ”Imam Bukhari itu belajar agama kepada Imam Syafi’i. Beliau juga berdalil tentang masuknya Imam Bukhari dalam kelompok Syafi’iyyah, sebab Imam Bukhari telah disebut dalam kitab Thabaqat Syafi’iyyah.” (Al-Inshaf fi Bayani Asbab l-Ikhtilaf, 76) Keterangan yang sama diungkapkan oleh Syaikh Musthafa Muhammad Imarah “Dan Imam Bukhari itu belajar (mengikuti) madzhab Syafi’I RA.” (Jawahir al-Bhukhari, 10)



D.    CIRI-CIRI TASAWUF ASWAJA
Seorang hamba diharuskan pula untuk mempraktikkan adab (etika dan sopan santun) yang sesuai dengan sikap penghambaannya di hadapan Tuhannya. Etika itu merupakan akhlak yang dipraktikkan Rasulullah SAW kepada Allah SWT dan kepada sesama mahluk. Aspek ini disebut dengan Ihsan. Penelitian terhadap dimensi Ihsan inilah yang akhirnya melahirkan ilmu tashawwuf atau ilmu akhlaq.
Tasawuf atau sufisme ini menjunjung nilai-nilai kerohanian dan adab sebagai ruh dalam ibadah. Orang yang mempelajari tasawuf disebut sebagai sufí. Dalam hal tasawuf, Paham Ahlussunnah WalJamaah mengikuti tasawuf yang diajarkan oleh Imam Junaid, Imam Ghazali, dan Imam Qusyairi, terutama Imam Ghazali. Pada intinya, konsep tasawuf yang dihadirkan para sufí sunni ini berusaha menyampaikan bahwa ilmu tidak akan dinamakan tasawuf apabila ia tidak dibingkai dalam ajaran syariat islam.
Tasawuf ini seringkali diartikan sebagai ilmu mengenai tahapan-tahapan menuju puncak pengenalan diri terhadap Allah SWT. Tahapan-tahapan itu terbagi dalam bagian Thariqoh, Hakikat, dan Ma’rifat. Tasawuf sendiri merupakan ajaran akhlaq yang didasarkan pada akhlaqnya Nabi Muhammad SAW. Diantara sikap batin yang menonjol dibahas dalam tasawuf diantaranya mengenai sikap ikhlas, istiqomah, zuhud dan Wara’. Thariqoh sebagai jalan awal menuju Ma’rifatu Allah yang merupakan bagian dari ilmu tasawuf telah diajarkan Nabi Muhammad SAW melalui sahabatnya seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. dan Sayyidina Abu Bakar Ash-shiddiq. Diantara thoriqoh mu’tabaroh (sah) dan musalsal (bersilsilah ilmu hingga ke Nabi Muhammad) diantaranya Thoriqoh Qadiriyah yang didirikan Syekh Abdul Qodir Al-Jailaniy, Thoriqoh Syadziliyah yang didirikan Syekh Abul Hasan Ali Assadzili, thoriqoh Naqsabandiyah yang didirikan Syekh Muhammad Bahaudin An-Naqsabandiy, dan thoriqoh Tijaniyah yang didirikan Syekh At-Tijaniy. Menurut Habib Luthfi bin Yahya, Mursyid Thariqoh di Indonesia, Thoriqoh yang mu’tabaroh di Indonesia tercatat sekitar 48 macam.
Mengenai hakikat, telah dijelaskan oleh Imam Al-Qusyairi bahwa hakikat ialah penyaksian atas rahasia ke-Tuhan-an, semua bentuk ibadah atau syariat tidak akan mengena jika tidak mengenal intinya (hakikat). Syariat untuk mengetahui kewajiban suatu perintah dan larangan bermaksiat sementara hakikat untuk mengetahui makna inti, keputusan Allah, dan rahasia yang ada di dalamnya. Kondisi saat berkembangnya Ilmu Tasawuf yang mulai dituliskan dan dimulai sekitar abad ke-3 H yang memperkenalkan konsep Ittihad (penyatuan), Hulul (leburnya substansi manusia ke dalam substansi Ilahi), dan Wahdatul Wujud (penyatuan wujud), serta Wahdatul Muthalaqah (penyatuan mutlak), dalam pengertian ma’rifat itu ditolak oleh Imam Abul Hasan Al-Asy’ari karena dianggap tidak sesuai.
Sikap Imam Asy’ari itu didukung dan berusaha diluruskan oleh para tokoh tasawuf sunni, diantaranya Imam Ghazali, dan Imam Qusyairi. Menurut mereka, tasawuf merupakan upaya sungguh-sungguh dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin, melalui sikap zuhud (sikap menjauhi cinta dunia), ketekunan ibadah (al-Nusuk) dan latihan rohani (al-riyadhoh al-nafs), meskipun harus diakui bahwa ada dua alam yakni alam dhohir yang dicapai melalui panca indera dan alam batin yang dicapai dengan sarana emanasi (pancaran rohani) dan ilham, tetapi hal itu bukanlah melalui proses ittihad, hulul, atau wahdatul wujud, melainkan melalui proses mukasyafah dan musyahadah (terbukanya tirai- hijab ghoib dan terbukanya kemampuan untuk melihat keagungan Ilahiyah) yakni suatu jenis pengetahuan perasaan tertentu yang dimiliki orang-orang yang sudah mampu melepaskan dirinya dari pengaruh duniawi atau godaan materi dan mampu berperilaku yang mencitrakan sifat-sifat terpuji. (Ma’rifat Dzauqiyah).
Meskipun konsep pemikiran para sufí falsafi seperti Dzun Nun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami, Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, dan Ibnu Sab’in bahkan salah satu Sufi paling kontroversial, Husain bin Mansur Al-Hallaj (yang memperkenalkan istilah Ittihad, Wahdatul wujud, dsb) ditolak oleh kaum ASWAJA, namun pada bagian tertentu, seperti ilmu riyadhoh, hikmah, dan amaliyah yang diajarkan dan dilakukan oleh para sufí falsafi tersebut tetap dipelajari dan dilakukan oleh kaum ASWAJA dalam rangka menambah nilai-nilai tasawuf dalam bingkai nilai-nilai syariat Islam.

BAB III
KESIMPULAN


Jadi, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri khas kelompok ini, yakni tiga sifat yang selalu diajarkan Nabi SAW dan para sahabatnya. Ketiga prinsip itu adalah sebagai berikut: prinsip al-Tawasuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri atau kanan), prinsip al-Tawazun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan dalil Aqli dan dalil Naqli), dan prinsip al-I’tidal (tegak lurus).
Perumus Ahl al- Sunah wa-al-Jama’ah dalam Bidang Akidah
Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW. Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan
Imam Maturidi.

DAFTAR PUSTAKA


                [1] Ibn Al-Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh, Jilid III, Dar al-Shadir, Bairut, 1965, hlm, 221

0 komentar:

 
Top