BAB I
PENDAHULUAN
Latihan Dasar Pemantapan Paham Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja’)
merupakan suatu bentuk kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh Ikatan Mahasiswa
Nahdliyyin (IMAN) sebagai sebuah organisasi warga Nahdliyyin. Kegiatan ini
dimaksudkan untuk memberikan landasan yang kokoh dan kuat atas amalan ibadah
maupun mu’amalah yang telah berkembang dan berurat akar dalam tradisi Indonesia
khususnya kaum tradisionalis berdasarkan Al Quran, Al Hadits dan pendapat para
ulama’. Selain itu, kegiatan ini juga dimaksudkan sebagai jawaban komunitas
Islam tradisional terhadap tuduhan kaum modernis, yang memandang kaum
tradisonalis menyimpang jauh dari tuntunan dan ajaran Islam.
Kegiatan Latihan Dasar Pemantapan Paham Ahlussunnah wal Jamaah diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut:
Kegiatan Latihan Dasar Pemantapan Paham Ahlussunnah wal Jamaah diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut:
Memberikan dasar yang mantap berdasarkan Al Qur’an, Al Hadits dan
pendapat para Ulama’ kepada para anggota IMAN khususnya dan umat Muslim pada
umumnya dalam menjalankan amal ibadah dan mu’amalah yang telah dilakukannya
setiap hari selama ini terutama atas masalah-masalah khilafiyah yang selalu
dipertentangkan oleh sebagian umat Islam dimana masalah tersebut sebenarnya
tidak perlu dipertentangkan karena masing-masing juga telah memiliki dalilnya.
BAB II
PEMBAHASAN
DASAR-DASAR AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
A. PENGERTIAN ASWAJA
Penjelasan mengenai Aswaja, Aswaja merupakan singkatan dari istilah
Ahl al-Sunah wa al- ajma ah. Ada tiga kata yang membentuk tiga kata tersebut: berarti
keluarga, golongan atau pengikut. Al-sunnah, yaitu sesuatu yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW Al-Jama’ah, yakni apa yang disepakati oleh sahabat Rasul SAW
pada masa al-Khulafa al-Rasyidun (Khalifah Abu Bhakar RA, Umar bin Khatab RA,
Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA).[1]
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
dalam kitabnya, al-Gunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, “Yang dimaksud dengan
al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasul SAW (meliputi ucapan dan
ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-jamaah adalah segala sesuatu yang telah
menjadi kesepakatan para sahabat Rasulallah SAW pada masa al-Khulafah
al-Rasyidun yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah SWT
memberikan rahmat kepada mereka semua)”. (Al–Gunyah li Thalibi Thariq al-Haqq,
juz, I hal 80).
Selanjutnya, Syeikh Abi al-Fadhl bin Abdussyakur menyebutkan dalam
kitab al-Khawakib al-Lamma’ah, “Yang disebut Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah adalah
orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi SAW dan jalan para
sahabatnya dalam masalah ini akidah keagamaan, amal-amal lahiriah, serta akhlak
hati”. (Al-Khawakib al-Lamma’ah, hal 8-90).
Jadi, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti
semua yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebagai pembeda
dengan yang lain, ada tiga ciri khas kelompok ini, yakni tiga sifat yang selalu
diajarkan Nabi SAW dan para sahabatnya. Ketiga prinsip itu adalah sebagai
berikut: prinsip al-Tawasuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim
kiri atau kanan), prinsip al-Tawazun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam
penggunaan dalil Aqli dan dalil Naqli), dan prinsip al-I’tidal (tegak lurus).
Berdasarkan hadits Nabi Muhammmad SAW yang menjelaskan tiga hal yang
menjadi prinsip utama dalam agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw., disebutkan
bahwa, ”Dari Umar bin Khatthab RA, ”Pada suatu hari kami berkumpul bersama
Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang bajunya sangat putih,
rambutnya sangat hitam. Tidak
kelihatan tanda-tanda kalau dia melakukan perjalanan jauh, dan tidak seorangpun
dari kami yang mengenalnya. Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi SAW
sambil menempelkan kedua lututnya kepada lutut Nabi SAW. Ketika melakukan pemisahan tersebut, para
ulama berusaha merumuskan batasan dari ketiga hal itu. Izzuddin bin Abdissalam
mencoba menguraikannya, sebagaimana yang dikutip oleh DR. Bakr Isma’il dalam
kitab al-Fiqh al-Wadhih, ”Izzuddin bin ’Abdisalam menjelaskan dalam kitabnya
yang indah, ,”Zubdah Khulashah al-Tashawwuf” bahwa Islam (dalam arti yang
sempit. pen) adalah pelaksanaan beberapa hukum oleh anggota badan, Iman adalah
pengakuan hati dengan tegas kepatuhan terhadap Allah SWT, dan Ihsan adalah
kesadaran jiwa untuk selalu melihat kebesaran Tuhan Yang maha Kuasa dan Maha
Mengetahui”. (al-Fiqh al-Wadhih min
al-Kitab wa al-Sunnah, juz I, hal 13)
Uraian yang lebih terperinci diungkapkan
oleh Syaikh Abdul Hayyi al Umrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad, ”Rasulullah SAW
memberi nama Iman, Islam dan Ihsan sebagai Agama. Sebagaimana nama seseorang
hamba (manusia) dituntut untuk percaya kepada Allah SWT, kepada semua rasul dan
semua yang datang dari Allah SWT, yang kemudian disebut “Iman”, demikian pula
seorang hamba diperintahkan untuk melaksanakan berbagai macam ibadah, baik
ibadah qawliyyah (ucapan) dan badaniyah (gerakan badan/fisik) atau gabungan
dari keduanya, seperti shalat, atau ibadah badaniah dan maaliyyah (harta) atau
penggabungan dari keduanya, seperti haji dan jihad, yang selanjutnya disebut
dengan “Islam”, maka seorang hamba juga diharuskan untuk mempraktikkan adab
(etika dan sopan santun) yang sesuai dengan sikap penghambaannya di hadapan
Tuhannya. Etika itu merupakan akhlak yang dipraktikkan Rasulullah SAW kepada
Allah SWT dan kepada sesama mahluk. Aspek ini disebut dengan
”Ihsan””.(al-Tahdzir mi al-Ightirar, 145).
Penjelasan yang sama dapat kita temukan
dalam kitab al-Tahdzir min al-Ightirar halaman 145, ”Ilmu yang membidangi
persoalan akidah disebut ilmu ushuluddin (ilmu tauhid atau ilmu kalam).
Sedangkan ilmu yang memfokuskan pada pembahasan amaliah sehari-hari dinamakan
ilmu fiqh. Dan ilmu yang membahas tentang adab (tatakrama) diberi nama ilmu
tashawwuf. (al-Tahzir min
Berdasarkan beberapa pertimbangan ini,
sudah selayaknya kalau kita meyakini bahwa hadits tersebut memang shahih
adanya, sehingga dapat dijadikan pedoman. Memperbincangkan sumber
hukum Islam, kita mulai dari firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman,
patuhlah kamu kepada Allah SWT, dan patuhlah kamu kepada Rasul dan Ulu al Amri
di antara kamu sekalian. Kemudian jika kamu berselisih faham tentang sesuatu, maka
kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS al-Nisa, 59) Berdasarkan ayat ini, ada empat dalil yang
dapat dijadikan pijakan dalam menentukan hukum, yaitu
- Al-Qur’an,
- Al-Hadits
- Ijma,
- Qiyas.
Sebagaimana penjelasan Abdul Wahhab
Khallaf dalam Ilm Ushul al-Fiqh, ”Perintah (yang terdapat dalam kitab QS
al-Nisa, 59) untuk menaati Allah SWT dan Rasulnya, merupakan perintah untuk
mengikuti al-Qur’an dan al-Hadits. Sedangkan perintah untuk mengikuti Ulu al-Amr, merupakan anjuran untuk
mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid, sebab
merekalah yang menjadi Ulu al-Amri dalam masalah hukum agama bagi kaum
muslimin.
Dan perintah untuk mengembalikan semua
perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasulnya berarti perintah
untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada dalil nash (al-Qur’an dan Hadits) dan
ijma’”. (Ilm Usul al-Fiqh,21)
B.
CIRI-CIRI AKIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH
Perumus Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah dalam
Bidang Akidah
Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW. Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Karena itu, ketika ada yang menyebut Ahl al- Sunah wa al-Jama’ah, pasti yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti rumusan kedua iman tersebut.
Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW. Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Karena itu, ketika ada yang menyebut Ahl al- Sunah wa al-Jama’ah, pasti yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti rumusan kedua iman tersebut.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Imam
Ahmad bin Hajar al-Haitami dalam Tathhir al-Janan wa al-Lisan, “Jika Ahl
al-Sunah wa al-Jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah orang-orang yang
mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Asy’ari (golongan Asya’riah) dan Imam
Maturidi (golongan Maturidiyyah)”. (Tathhir al-Janan wa al-Lisan, 7)
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thasy Kubri Zadah, sebagaimana yang dikutip oleh DR Fathullahi Khulayf dalam pengantar kitab al-Tauhid karangan Imam Maturidi, “Thasy Kubri Zaddah berkata, ”Ketahuilah bahwa polopor gerakan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab Hanafi, sedang yang lain dari golongan Syafi’I.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thasy Kubri Zadah, sebagaimana yang dikutip oleh DR Fathullahi Khulayf dalam pengantar kitab al-Tauhid karangan Imam Maturidi, “Thasy Kubri Zaddah berkata, ”Ketahuilah bahwa polopor gerakan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab Hanafi, sedang yang lain dari golongan Syafi’I.
Seorang yang bermadzhab Hanafi itu adalah
Abu Mansyur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan yang dari
golongan Syafi’i adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin masyarakat, imam para
mutakallimin, pembela sunnah Nabi SAW dan agama Islam, pejuang dalam menjaga
kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu al-Hasan al-Asy’ari al-Bashri”.
Dua orang inilah yang menjadi polopor
gerakan kembali pada ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Intisari dari kedua
rumusan beliau tersebut tersimpul pada kitab-kitab yang telah diajarkan di
pesantren seperti Aqidah al-Awam, Kifayah al-Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah.
Jawharah al-Tauhid serta kitab lain yang sudah tidak asing bagi orang-orang
yang belajar di pesantren.
Nama lengkap Imam Asy’ari adalah Abu
al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H /874 M
dan wafat pada tahun 324 H/936 M. Beliau adalah salah satu keturunan sahabat
Nabi SAW yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu
beliau menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama al-Jubba’i.
Karena menjadi anak tiri al-Juba’i, Imam Asy’ari sangat tekun mempelajari
aliran Mu’tazilah, sehingga beliau sangat memahami aliran ini. Tidak jarang
beliau menggantikan ayahnya menyampaikan ajaran Mu’tazillah. Berkat
kemahirannya ini, dan juga posisinya sebagai anak tiri dari salah seorang tokoh
utama Mu’tazilah, banyak orang memperkirakan bahwa suatu saat beliau akan
menggantikan kedudukan ayah tirinya sebagai salah seorang tokoh Mu’tazilah.
C.
CIRI-CIRI SYARIAT ASWAJA
Secara bahasa madzhab berarti jalan.
”Madzhab berarti jalan” (Al- Qamus al-Muhith 86). Sedangkan pengertian madzhab
secara istilah sebagaimana dijelaskan oleh KH. Zainal Abidin Dimyathi dalam
kitabnya al-Idza’ah al-Muhimmah adalah ”Madzhab adalah hukum-hukum dalam
berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid.”
Madzhab tidak akan terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath’i) dan
disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib zina haram dan
semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan
yang masih terjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat itu disebarluaskan serta
diamalkan oleh para pengikutnya.
Jadi, madzhab itu merupakan hasil
elaborasi (penelitian secara mendalam) para ulama untuk mengetahui hukum tuhan
yang terdapat dalam al-Qur’an, al-Hadits serta dalil yang lainnya. Dan
sebenarnya, madzhab yang boleh diikuti tidak terbatas pada empat saja.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyid ’Alawi bin Ahmad al-Seggaf dalam
Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, ”(Sebenarnya) yang boleh diikuti itu tidak hanya
terbatas pada empat madzhab saja. Bahkan masih banyak madzhab ulama yang boleh
diikuti, seperti madzhab dua Sufyan (Sufyan al-Tsauri dan Sufyan bin Uyainah),
Ishaq bin Rahawaih, Imam Dawud al-Zhahiri, dan al-Awza’i.” (Majmu’ah Sab’ah
Kutub Mufidah. 59)
Namun mengapa yang diakui serta diamalkan
oleh ulama golongan Ahl al Sunnah wa al Jama’ah hanya empat madzhab saja? Sebenarnya, yang
menjadi salah satu faktor adalah tidak lepas dari murid-murid mereka yang
kreatif, yang membukukan pendapat-pendapat imam mereka sehingga pendapat imam
tersebut dapat terkodifikasikan dengan baik. Akhirnya, validitas (kebenaran
sumber dan salurannya) dari pendapat-pendapat tersebut tidak diragukan lagi. Di
samping itu, madzhab mereka telah teruji ke-shahihan-nya, sebab memiliki metode
istinbath (penggalian hukum) yang jelas dan telah tersistematisasi dengan baik,
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sebagaimana yang diuraikan
oleh Sayyid Alwi bin Ahmad al-Seggaf, ”Sesungguhnya ulama dari kalangan madzhab
Syafi’i RA menjelaskan bahwa tidak boleh bertaqlid kepada selain madzhab yang
empat, karena selain yang empat itu jalur periwayatannya tidak valid, sebab
tidak ada sanad yang bisa mencegah dari kemungkinan adanya penyisipan dan
perubahan. Berbeda dengan madzhab yang empat.
Para tokohnya telah mencurahkan
kemampuannya untuk meneliti setiap pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu
yang memang pernah diucapkan oleh mujtahidnya atau yang tidak pernah dikatakan,
sehingga para pengikutnya merasa aman (tidak merasa ragu atau khawatir) akan
terjadinya perubahan, distorsi pemahaman, serta mereka juga mengetahui pendapat
yang shahih dan yang dha’if”. (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, 59)
Pada perkembangan selanjutnya para ulama pesantren terus-menerus berusaha untuk membangkitkan sistem bermadzhab ini.
Pada perkembangan selanjutnya para ulama pesantren terus-menerus berusaha untuk membangkitkan sistem bermadzhab ini.
Karena zaman bergulir begitu cepatnya,
waktu melesat tak dapat dicegat, dan perubahan tidak dapat dielakkan, sementara
fiqh Islam harus hadir memberikan solusi untuk menjawab berbagai persoalan
kemasyarakatan, maka umat Islam di tuntut untuk dapat berkreasi dalam memecah
berbagai persoalan tersebut. Sehingga diperlukan pendekatan ’baru’ guna
membuktikan slogan shaliha likulli makaa na wazamaani. Salah satu bentuknya
adalah dengan mengembangkan pola bermadzhab secara tekstual (madzhab qawli)
menuju pola bermadzhab metodologis (madhzhab manhaji) dalam fiqh Islam,
sebagaimana yang digagas oleh DR. KH. Sahal Mahfudh.
Mengutip hasil halaqoh P3M, ada beberapa
ciri yang menonjol dalam fiqh sosial. Ciri-ciri tersebut diantaranya adalah
melakukan interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual, perubahan pola
bermadzhab, dari madzhab kontekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab
secara metodologis (madzhab manhaji), verifikasi ajaran secara mendasar, dengan
membedakan ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’), dan pengenalan
metodologi filosofi, terutama dalam masalah budaya dan sosial. (KH.Sahal
Mahfudh, dalam Duta Masyarakat, 18 Juni 2003).
Namun demikian, usaha ini hanya bisa
dilakukan dalam persoalan sosial kemasyarakatan (hablun min-al nas), tetapi
tidak bisa masuk kepada khaliqnya (hablum minallah). Artinya, dalam hubungan
dengan sesama manusia, kaum muslimin harus membuat berbagai terobosan baru
untuk menjawab dinamika sosial yang terus bergulir dengan cepat. Namun itu tidak berlaku dalam hubungan
vertikal hamba dengan Sang Khalik. Sebab yang dibutuhkan dalam ibadah adalah
kepatuhan seorang hamba yang tunduk dan pasrah menyembah kepada-Nya.
Sebagaimana kaidah yang diungkapkan oleh al-Syathibi al-Muwafaqat-nya
“Yang asal dalam masalah ibadah adalah ta’abbud (dogmatis) tanpa perlu melihat
maknanya. Sedangkan asal dalam mu’amalah (interaksi antara sesama manusia)
adalah memperhatikan maknanya (esensinya).” (Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam,
juz II, hal 300)
Umat Islam perlu mengembangkan pola
bermadzhab yang dapat menjamin kemaslahatan masyarakat, khususnya dalam masalah
sosial kemasyarakatan. Dalam hal perbedaan ini, sangat dilarang adanya
fanatisme bermadzhab yang dapat menimbulkan sikap menyalahkan atau bahkan
mengkafirkan madzhab lain, mengingat Imam Syafi’i sendiri begitu menghormati
Imam Malik, gurunya, begitu juga sebaliknya, Imam Hanbali yang menghormati
gurunya, Imam Syafii, dan begitu pula sebaliknya. Bahkan terhadap salah satu
Imam madzhab empat yang diikuti, para Imam Mujtahid setelah mereka memiliki
perbedaan pendapat pada beberapa hal. Sebagai contoh, diantaranya pendapat yang
dipegang Imam Nawawi dengan Imam madzhab yang beliau ikuti, Imam Syafi’i, yang
berbeda dalam hal kenajisan babi yang mana Imam Syafii memfatwakan Najis babi
termasuk Najis Mughaladhoh dan tidak dengan Imam Nawawi yang justru meringankan
Najis babi dengan satu siraman saja.
Inilah keistimewaan dari pendiri madzhab
Syafi’i RA. Apa yang beliau rintis kemudian diteruskan oleh para pengikutnya,
seperti Yusuf bin Yahya al-Buwaithi, Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya al-Muzani,
dan lainnya. Termasuk pengikut madzhab Syafi’i adalah Imam Bukhari. Syaikh
Waliyullah al-Dahlawi menyebutkan dalam Al-Inshaf fi Bayani Asbab al-Ikhtilaf
“Termasuk kelompok ini (pengikut madzhab Syafi’i) adalah Muhammad bin Isma’il
al-Bukhari. Sesungguhnya beliau termasuk salah satu kelompok pengikut Imam
Syafi’i.
Di antara ulama yang mengatakan bahwa Imam
Bukhari termasuk kelompok Syafi’iyyah adalah Syaikh Tajuddin al-Subki. Beliau
mangatakan, ”Imam Bukhari itu belajar agama kepada Imam Syafi’i. Beliau juga
berdalil tentang masuknya Imam Bukhari dalam kelompok Syafi’iyyah, sebab Imam
Bukhari telah disebut dalam kitab Thabaqat Syafi’iyyah.” (Al-Inshaf fi Bayani
Asbab l-Ikhtilaf, 76) Keterangan yang sama diungkapkan oleh
Syaikh Musthafa Muhammad Imarah “Dan Imam Bukhari itu belajar (mengikuti)
madzhab Syafi’I RA.” (Jawahir al-Bhukhari, 10)
D.
CIRI-CIRI TASAWUF ASWAJA
Seorang hamba diharuskan pula untuk
mempraktikkan adab (etika dan sopan santun) yang sesuai dengan sikap
penghambaannya di hadapan Tuhannya. Etika itu merupakan akhlak yang dipraktikkan Rasulullah SAW kepada Allah
SWT dan kepada sesama mahluk. Aspek ini disebut dengan Ihsan. Penelitian
terhadap dimensi Ihsan inilah yang akhirnya melahirkan ilmu tashawwuf atau ilmu
akhlaq.
Tasawuf atau sufisme ini menjunjung
nilai-nilai kerohanian dan adab sebagai ruh dalam ibadah. Orang yang mempelajari
tasawuf disebut sebagai sufí. Dalam hal tasawuf, Paham
Ahlussunnah WalJamaah mengikuti tasawuf yang diajarkan oleh Imam Junaid, Imam
Ghazali, dan Imam Qusyairi, terutama Imam Ghazali. Pada intinya, konsep tasawuf
yang dihadirkan para sufí sunni ini berusaha menyampaikan bahwa ilmu tidak akan
dinamakan tasawuf apabila ia tidak dibingkai dalam ajaran syariat islam.
Tasawuf ini seringkali diartikan sebagai
ilmu mengenai tahapan-tahapan menuju puncak pengenalan diri terhadap Allah SWT.
Tahapan-tahapan itu terbagi dalam bagian Thariqoh, Hakikat, dan Ma’rifat.
Tasawuf sendiri merupakan ajaran akhlaq yang didasarkan pada akhlaqnya Nabi
Muhammad SAW. Diantara sikap batin yang menonjol dibahas dalam tasawuf
diantaranya mengenai sikap ikhlas, istiqomah, zuhud dan Wara’. Thariqoh sebagai
jalan awal menuju Ma’rifatu Allah yang merupakan bagian dari ilmu tasawuf telah
diajarkan Nabi Muhammad SAW melalui sahabatnya seperti Sayyidina Ali bin Abi
Thalib kw. dan Sayyidina Abu Bakar Ash-shiddiq. Diantara thoriqoh mu’tabaroh
(sah) dan musalsal (bersilsilah ilmu hingga ke Nabi Muhammad) diantaranya
Thoriqoh Qadiriyah yang didirikan Syekh Abdul Qodir Al-Jailaniy, Thoriqoh
Syadziliyah yang didirikan Syekh Abul Hasan Ali Assadzili, thoriqoh
Naqsabandiyah yang didirikan Syekh Muhammad Bahaudin An-Naqsabandiy, dan
thoriqoh Tijaniyah yang didirikan Syekh At-Tijaniy. Menurut Habib Luthfi bin
Yahya, Mursyid Thariqoh di Indonesia, Thoriqoh yang mu’tabaroh di Indonesia
tercatat sekitar 48 macam.
Mengenai hakikat, telah dijelaskan oleh
Imam Al-Qusyairi bahwa hakikat ialah penyaksian atas rahasia ke-Tuhan-an, semua
bentuk ibadah atau syariat tidak akan mengena jika tidak mengenal intinya
(hakikat). Syariat untuk mengetahui kewajiban suatu perintah dan larangan
bermaksiat sementara hakikat untuk mengetahui makna inti, keputusan Allah, dan
rahasia yang ada di dalamnya. Kondisi saat
berkembangnya Ilmu Tasawuf yang mulai dituliskan dan dimulai sekitar abad ke-3
H yang memperkenalkan konsep Ittihad (penyatuan), Hulul (leburnya substansi
manusia ke dalam substansi Ilahi), dan Wahdatul Wujud (penyatuan wujud), serta
Wahdatul Muthalaqah (penyatuan mutlak), dalam pengertian ma’rifat itu ditolak
oleh Imam Abul Hasan Al-Asy’ari karena dianggap tidak sesuai.
Sikap Imam Asy’ari itu didukung dan
berusaha diluruskan oleh para tokoh tasawuf sunni, diantaranya Imam Ghazali, dan
Imam Qusyairi. Menurut mereka, tasawuf merupakan upaya sungguh-sungguh dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin, melalui sikap zuhud
(sikap menjauhi cinta dunia), ketekunan ibadah (al-Nusuk) dan latihan rohani
(al-riyadhoh al-nafs), meskipun harus diakui bahwa ada dua alam yakni alam
dhohir yang dicapai melalui panca indera dan alam batin yang dicapai dengan
sarana emanasi (pancaran rohani) dan ilham, tetapi hal itu bukanlah melalui
proses ittihad, hulul, atau wahdatul wujud, melainkan melalui proses mukasyafah
dan musyahadah (terbukanya tirai- hijab ghoib dan terbukanya kemampuan untuk
melihat keagungan Ilahiyah) yakni suatu jenis pengetahuan perasaan tertentu
yang dimiliki orang-orang yang sudah mampu melepaskan dirinya dari pengaruh duniawi
atau godaan materi dan mampu berperilaku yang mencitrakan sifat-sifat terpuji.
(Ma’rifat Dzauqiyah).
Meskipun konsep pemikiran para sufí
falsafi seperti Dzun Nun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami, Muhyiddin Ibnu
‘Arabi, dan Ibnu Sab’in bahkan salah satu Sufi paling kontroversial, Husain bin
Mansur Al-Hallaj (yang memperkenalkan istilah Ittihad, Wahdatul wujud, dsb)
ditolak oleh kaum ASWAJA, namun pada bagian tertentu, seperti ilmu riyadhoh,
hikmah, dan amaliyah yang diajarkan dan dilakukan oleh para sufí falsafi
tersebut tetap dipelajari dan dilakukan oleh kaum ASWAJA dalam rangka menambah
nilai-nilai tasawuf dalam bingkai nilai-nilai syariat Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Jadi, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
merupakan ajaran yang mengikuti semua yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan
para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri khas kelompok
ini, yakni tiga sifat yang selalu diajarkan Nabi SAW dan para sahabatnya.
Ketiga prinsip itu adalah sebagai berikut: prinsip al-Tawasuth (sikap tengah-tengah,
sedang-sedang, tidak ekstrim kiri atau kanan), prinsip al-Tawazun (seimbang
dalam segala hal termasuk dalam penggunaan dalil Aqli dan dalil Naqli), dan
prinsip al-I’tidal (tegak lurus).
Perumus Ahl al- Sunah wa-al-Jama’ah dalam Bidang Akidah
Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW. Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi.
Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW. Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Post a Comment