BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu tasawwuf merupakan ilmu menyucikan jiwa, asal mulanya ialah dari perbuatan-perbuatan salafussholihin, dari sahabat-sahabat Nabi, Tabi’in, Tabi’tabi’in dan orang-orang sesudahnya. Disini kami membahas tentang Doktrin-doktrin Aswaja bidang Tasawuf, supaya kita tidak ragu, bahwa tasawwuf Aswaja itu bukanlah hal yang di ada-adakan.  Karena Tasawwuf Aswaja memiliki Sanad sampai pada Nabi Muhammad SAW.
Tasawuf Ahlussunnah Waljama’ah yang berdasar dua tokoh sufi yaitu Syekh Imam Ghozali dan Syekh Imam Abu Qosim al-Junaidi. Dan tasawuf Aswaja juga tidak setuju dengan tasawufnya al-Hallaj (hulul) atau tasawufnya Ibnu ‘Arabi (ittihad). Tasawuf Syekh Imam Ghozali dan Syekh Imam Abu Qosim al-Junaidi adalah tasawuf yang tidak meninggalkan syari’ah dan aqidah yang benar (tetap berdasar Qur’an dan Hadits).

BAB II
PEMBAHASAN
DOKTRIN-DOKTRIN ASWAJA BIDANG TASAWUF


A.    DEFINISI DAN HISTORIS KEMUNCULAN ASWAJA
Istilah Ahlussunnah wal Jama'ah (ASWAJA), merupakan gabungan dari tiga kata, yakni Ahl, Assunnah, dan Aljamâ'ah.Secara etimologis, kata ahl (أهل) berarti golongan, kelompok atau komunitas. Etimologi kata assunah (السنّة) memiliki arti yang cukup variatif, yakni: wajah bagian atas, kening, karakter, hukum, perjalanan, jalan yang ditempuh, dll. Sedangkan kata aljamâ'ah (الجماعة) berarti perkumpulan sesuatu tiga ke atas.
Adapun terminologi Ahlussunnah wal Jama'ah, bukan merujuk kepada pengertian bahasa (lughawi) ataupun agama (syar'i), melainkan merujuk pada pengertian yang berlaku dalam kelompok tertentu (urfi). Yaitu, ASWAJA adalah kelompok yang konsisten menjalankan sunnah Nabi saw. dan mentauladani para sahabat Nabi dalam akidah (tauhîd), amaliah badâniyah (syarîah) dan akhlaq qalbiyah (tasawuf).
Dengan pengertian terminologis demikian, ASWAJA secara riil di tengah-tengah umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, Ahl Alhadits dengan sumber kajian utamanya adalah dalil sam’iyah, yakni Alqur’an, Assunnah Ijma dan Qiyas. Kedua, para ahl alkalâm atau ahl annadhar (teologi) yang mengintegrasikan intelegensi (asshinâ’ah alfikriyyah).Mereka adalah Asyâ'irah dengan pimpinan Abu Hasan Al'asy’ari dan Hanafiyah dipimpin oleh Abu Manshur Almaturidi.Sumber penalaran mereka adalah akal dengan tetap meletakkan dalil sam’iyyah dalam porsinya. Ketiga, Ahl Alwijdân wa Alkasyf (kaum shufiyah). Sumber inspirasi mereka adalah penalaran Ahl Alhadits dan Ahl Annadhar sebagai media penghantar yang kemudian dilanjutkan melalui pola kasyf dan ilham. Ketiga kelompok inilah yang paling layak disebut ASWAJA secara hakiki.
Di Indonesia, Nahdlatul Ulama merumuskan ASWAJA dengan dua pengertian. Pertama, ASWAJA sudah ada sejak zaman Nabi, sahabat nabi, tâbi'în dan tâbi'înattâbi'în yang umumnya disebut dengan assalaf ashshalih. Pendapat ini didasarkan pada pengertian bahwa ASWAJA berarti golongan yang setia pada Assunah dan Aljamâ'ah, yaitu Islam yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya pada zaman Nabi masih hidup dan apa yang dipraktekkan para sahabat sepeninggal beliau, terutama Khulafa Arrasyidin. Dari pengertian ini, ASWAJA dirumuskan sebagai: kelompok yang senantiasa konsisten dan setia mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah atau jalan para sahabatnya dalam akidah, fiqh dan tasawuf. Kelompok ini terdiri dari para teolog (mutakallimîn), ahli fiqh (fuqahâ’), ahli hadits (muhaditsîn), dan ulama tasawuf (mutashawwifîn).
Kedua, ASWAJA adalah paham keagamaan yang muncul (dimurnikan) setelah Imam Abu Alhasan Al'asy'ari dan Imam Abu Manshur Almaturidi memformulasikan akidah Islam yang sesuai dengan Alqur'an dan Assunnah. Itu sebabnya, kelompok ASWAJA juga disebut sebagai penganut paham Asy'ariyah dan Maturidiyah.  Dari terminologi ASWAJA seperti di atas, dapat dimengerti bahwa Ahlussunah wal Jamaah merupakan istilah yang terbangun melalui nalar ‘urfi, untuk mencirikan umat Muslim sebagai representasi dari sawâd al'a’dham (kelompok mayoritas) ketika kondisi perpecahan paham merajalela dan dirasa perlu merapatkan barisan dan menyepakati sebuah identititas, sebagai upaya membedakan antara yang haq dan bathil, antara mereka yang teguh mengikuti sunnah dan yang menyimpang dengan berbagai macam bid’ah.
Sejarah kemunculan istilah ASWAJA sebagai sebuah nama firqah (sekte) Islam, sebenarnya dipengaruhi dari perpecahan dalam Islam. Sejak peristiwa pembunuhan khalifah Islam ketiga, Utsman bin Affan, sejak saat itulah episode perpecahan dalam tubuh Islam dimulai. Dari peristiwa ini muncul serangkaian perang antara para sahabat. Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah saat itu harus berhadapan perang melawan Sayyidah Aisyah, mertuanya sendiri, yang menuntut qishas darah Utsman bin Affan. Dalam perang yang dikenal sebagai perang Jamal ini, puluhan sahabat besar dan hapal Alqur’an gugur terbunuh oleh sesama Muslim akibat provokasi da konspirasi kaum munafiq Yahudi (Abdulah ibn Saba’ dkk.).Berikutnya, pecah perang Shiffin antara pasukan Ali berhadapan dengan pasukan Muawaiyah yang kemudian memunculkan peristiwa Tahkîm (arbitrase).Ide Tahkîm dari kubu Muawiyah menjelang kekalahan pasukannya yang disetujui Ali ini, kemudian menyulut perpecahan di antara pasukan Ali, yang dari sini selanjutnya melahirkan sekte Islam Syi’ah yang mendukung kebijakan Ali dan sekte Khawarij yang menolak kebijakannya.
Dengan demikian, ASWAJA adalah aliran pemahaman keagamaan yang bercita-cita mengamalkan syari’at Islam secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh Allah.ASWAJA meyakini wahyu bersifat 'gaib' dan disampaikan dalam kegaiban. Untuk itu tidak ada yang patut mengaku sebagai pengamal syari’at Islam secara mutlak benar kecuali Rasulullah saw., karena beliaulah yang menerima dan dituntun wahyu sesuai kehendak Allah.

B.     GARIS-GARIS BESAR DOKTRIN ASWAJA
Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama (addîn) yang membentuk tiga dimensi keagamaan meliputi syarî'ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai jembatan menuju haqîqah yang merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Tiga dimensi agama ini (islam, iman dan ihsan), masing-masing saling melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa mengintegrasikan keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan umat.
  1. Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran (tashdîq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang dibawanya dari Allah. Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tauhid (teologi/kalam) ini, ASWAJA berpedoman pada akidah islamiyah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al'asy'ari (260 H./874 M. – 324 H./936 M.) dan Abu Manshur Almaturidi (w. 333 H.).
  1. Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang fiqh yang meliputi hukum-hukum legal-formal (ubudiyah, mu'amalah, munakahah, jinayah, siyasah dan lain-lain), ASWAJA berpedoman pada salah satu dari empat madzhab fiqh: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah.
  1. Doktrin Keihsanan (Tasawuf)
Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan perilakunya.
Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau akhlaq ini, ASWAJA berpedoman pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali, yang dirumuskan oleh Imam Aljunaid Albaghdadi dan Alghazali. Limitasi (pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini, tidak berarti manafikan tokoh-tokoh tasawuf falsafi dari kelompok ASWAJA, seperti Ibn Al'arabi, Alhallaj dan tokoh-tokoh sufi 'kontroversial' lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori ASWAJA meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fiqh (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan bahkan ahli hadits (muhadditsîn).Dari kelompok-kelompok ini masing-masing memiliki konsep metodologis dan tema kajian sendiri-sendiri yang tidak bisa diuraikan di makalah ringkas ini.


C.    BIDANG TASAWUF
Tasawuf atau yang biasa dikenal dengan akhlak, merupakan dimensi penting islam. Sebab misi diutusnya Rasulullah SAW. ke muka bumi tak lain adalah untuk menyempurnakan moralitas manusia. Rasulullah SAW. Bersabda Yang artinya: Sesungguhnya, aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur. (HR. Baihaqi).
Rasulullah SAW telah mengajarkan metodologi membentuk moralitas yang mulia, baik secara vertikal maupun horizontal, terkait akhlak manusia kepada Allah SWT, kepada diri sendiri maupun kepada sesama makhluk. beliau tak hanya memerintahkan secara teori belaka, namun juga realitas konkrit dalam bentuk suri teladan kepada umat. semua akhlak yang diajarkan rasulullah SAW. Tak lain adalah moralitas yang bermuara pada Alqur'an. Maka, tidak heran jika saat sayyidah Aisyah ditanya mengenai pribadi dan karakter Rasulullah SAW, beliau menjawab dengan mantap bahwa akhlak Rasulullah adalah Alqur'an. Beliau digambarkan layaknya Al Qur'an berjalan. Diteropong dari aspek akhlak, komunitas Aswaja berpedoman pada konsep ajaran dua tokoh ulama klasik, yakni Imam Al Junaid dan Imam AL Ghazali yang luar biasa memformulasikan konsep tasawuf. Sehingga validitas ajarannya sudah teruji. Sama sekali tidak ditemukan dari ajaran mereka konsep yang kontradiksi dengan metodologi Al Qur'an ataupun As sunnah. Banyak ulama mengklaim bahwa mazhab tasawuf yang dirintis dua tokoh religius ini merupakan mazhab bersih yang dilandasi dalil-dalil kokoh. kekaguman pada dua tokoh ini salah satu pernah diungkapkan oleh Syaikh Ibnu As subkhi dalam kitab Jamu' Al Jawami', Syaikh Jalal Ad din AL mahalli dalam kitab syarh Al Mahalli, dan lain-lain.
Pernyataan kekaguman tersebut cukup variatif sebagai tendensi akurat bahwa ajaran tasawuf yang diformulasikan Imam Al Junaid dan Imam Al Ghazali merupakan ajaran yang benar-benar sesuai dengan kandungan implisit dalam Alqur'an dan As sunnah. Maka tidak heran jika mazhab tasawuf yang mereka rintis ini kemudian banyak diikuti dan dijadikan pedoman pokok oleh komunitas Aswaja.

D.    CIRI-CIRI  TASAWUF ASWAJA
Seorang hamba diharuskan pula untuk mempraktikkan adab (etika dan sopan santun) yang sesuai dengan sikap penghambaannya di hadapan Tuhannya. Etika itu merupakan akhlak yang dipraktikkan Rasulullah SAW kepada Allah SWT dan kepada sesama mahluk. Aspek ini disebut dengan Ihsan. Penelitian terhadap dimensi Ihsan inilah yang akhirnya melahirkan ilmu tashawwuf atau ilmu akhlaq.
Tasawuf atau sufisme ini menjunjung nilai-nilai kerohanian dan adab sebagai ruh dalam ibadah. Orang yang mempelajari tasawuf disebut sebagai sufí. Dalam hal tasawuf, Paham Ahlussunnah WalJamaah mengikuti tasawuf yang diajarkan oleh Imam Junaid, Imam Ghazali, dan Imam Qusyairi, terutama Imam Ghazali. Pada intinya, konsep tasawuf yang dihadirkan para sufí sunni ini berusaha menyampaikan bahwa ilmu tidak akan dinamakan tasawuf apabila ia tidak dibingkai dalam ajaran syariat islam.
Tasawuf ini seringkali diartikan sebagai ilmu mengenai tahapan-tahapan menuju puncak pengenalan diri terhadap Allah SWT. Tahapan-tahapan itu terbagi dalam bagian Thariqoh, Hakikat, dan Ma’rifat. Tasawuf sendiri merupakan ajaran akhlaq yang didasarkan pada akhlaqnya Nabi Muhammad SAW. Diantara sikap batin yang menonjol dibahas dalam tasawuf diantaranya mengenai sikap ikhlas, istiqomah, zuhud dan Wara’.
Thariqoh sebagai jalan awal menuju Ma’rifatu Allah yang merupakan bagian dari ilmu tasawuf telah diajarkan Nabi Muhammad SAW melalui sahabatnya seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. dan Sayyidina Abu Bakar Ash-shiddiq. Diantara thoriqoh mu’tabaroh (sah) dan musalsal (bersilsilah ilmu hingga ke Nabi Muhammad) diantaranya Thoriqoh Qadiriyah yang didirikan Syekh Abdul Qodir Al-Jailaniy, Thoriqoh Syadziliyah yang didirikan Syekh Abul Hasan Ali Assadzili, thoriqoh Naqsabandiyah yang didirikan Syekh Muhammad Bahaudin An-Naqsabandiy, dan thoriqoh Tijaniyah yang didirikan Syekh At-Tijaniy. Menurut Habib Luthfi bin Yahya, Mursyid Thariqoh di Indonesia, Thoriqoh yang mu’tabaroh di Indonesia tercatat sekitar 48 macam.
Mengenai hakikat, telah dijelaskan oleh Imam Al-Qusyairi bahwa hakikat ialah penyaksian atas rahasia ke-Tuhan-an, semua bentuk ibadah atau syariat tidak akan mengena jika tidak mengenal intinya (hakikat).

BAB III
KESIMPULAN


Dalam penjelasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan  Bahwa arti kata dan pengertian Tasawwuf mempunyai beberapa pendapat. Namun pada dasarnya tasawwuf adalah ilmu menyucikan jiwa. Ilmu tasawwuf tumbuh dengan sendirinya lantaran pengaruh membaca ayat-ayat suci Al-qur’an dan Memahami isinya, membaca hadist nabi dan mencontoh kehidupan nabi juga sahabat-sahabat nabi.  
Tasawwuf yang dipegangi oleh Aswaja an-Nahdliyin adalah berdasarkan Al-Qur’an dan hadist. Oleh sebab itu, kita sebagai kaum ASWAJA an-nahdliyah jangan ragu dengan ilmu tasawwuf, apalagi memusuhi dunia tasawuf, dengan cara pandang taqlid buta, tanpa melacak hakikat dan prinsip-prinsip tasawwuf. Karena sudah dipaparkan dengan gamblang tentang tasawwuf berikut dalail-dalilnya.

DAFTAR PUSTAKA

Kh. Shirojuddin Abbas. 2010 “Iqtiqod Ahlusunnah Wal Jamaah” Jakarta: Pustaka Tarbiyah.
DR. Abdul Rozak, M.Ag  DR. Rosihon Anwar, M.Ag. 2007  Ilmu Kalam” Bandung: Cv Pustaka Setia
Drs. Hj. Muhammad Ahmad, 1997 “Tauhid  Ilmu Kalam” Bandung: Cv Pustaka Setia
 
Top