BAB I
PENDAHULUAN



NU adalah organisasi keislaman yang berakar pada akidah Ahlussunnah wal Jama‘ah-nya Imam Asy‘ari dan Maturidi. Teologi bercorak Asy‘arian dan Maturidian ini cenderung mengakomodir tradisi keagamaan yang berkembang di tengah masyarakat. Tradisi keagamaan yang antara lain upacara tahlilan, yasinan, kenduren, dan hadiyah doa, mendapat tempat tersendiri dalam teologi keduanya.
Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan dan membahas tentang kondisi umat islam di Indonesia sebelum NU datang, mengidentifikasi factor-faktor atau motif yang mendorong berdirinya Nahdlatul Ulama, menjelaskan posisi wilayah (walisongo) dalam tradisi social keagamaan NU dan menjelaskan dan mengidentifikasi dasar hukum keberadaan NU menurut (Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas).

BAB II
PEMBAHASAN
LATAR BELAKANG SEJARAH BERDIRINYA NU



A.    KONDISI UMAT ISLAM DI INDONESIA SEBELUM NU BERDIRI
Menurut catatan sejarah, kerajaan Perlak yang berdiri tahun 840 M adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Tentang fakta itu dapat dipastikan bahwa masuknya agama Islam terjadi jauh sebelum tahun berdirinya kerajaan itu, karena kerajaan itu didirikan ketika sebagian besar penduduknya telah cukup lama memeluk agama Islam. Pada abad IX Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad konon mengirimkan delegasi dakwah yang terdiri dari orang-orang Arab yang berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah, bermazhab Syafi’i dan bertashawuf mu’tabar ke wilayah Sumatera Utara. Pada tahun 1042, berdiri kerajaan Islam Samudra Pasai. Menurut Ibnu Bathutah, kerajaan ini, dengan raja pertamanya Al-Malikus Shaleh, menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan memilih mazhab Syafi’i.
Meski tidak ada catatan yang pasti, diperkirakan kalau Islam masuk ke Pulau Jawa pada akhir abad XIV atau awal abad XV. Ini antara lain dapat dibuktikan dengan tulisan di batu nisan Maulana Malik Ibrahim tentang tahun wafatnya, yakni tahun 1419 M, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, yang beragama Hindu. Di awal abad XV, dengan dukungan Walisongo, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak. Dalam penyebaran agama Islam, cara berdakwah para wali yang jumlahnya sembilan orang itu, dirasa sesuai dengan sifat dan pembawaan masyarakat Jawa, sehingga dalam waktu yang relatif singkat hampir seluruh masyarakat Jawa memeluk agama Islam. Setelah Demak, berdiri beberapa Kerajaan Islam di Ternate, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara pada abad XVI, sehingga agama Islam menjadi agama yang dianut mayoritas penduduk nusantara.
Ada beberapa faktor pendukung bagi cepatnya penyebaran Islam di bumi nusantara. Pertama, sebagai agama tauhid (tawhîd), Islam menampilkan manusia dalam kedudukan yang sama (musâwah) dan bebas dari penghambatan sesama makhluk (hurriyyah). Prinsip tauhid ini merupakan ajaran yang sama sekali baru yang menarik dan membebaskan manusia dari belenggu lama yang membagi manusia ke dalam kelas-kelas.
Kedua, watak Ahlussunnah wal Jama’ah yang moderat telah membentuk perilaku dan sikap para penyebar Islam. Seperti diketahui, para wali dan penyebar Islam di nusantara adalah penganut Ahlussunnah wal Jama’ah yang teguh. Dengan penuh kearifan, dakwah mereka lakukan secara tadrîj (evolusi) dan sejauh mungkin memperkecil beban yang bisa dirasakan masyarakat (taqlîl al-takâlif).
Ketiga, Islam dapat menjadi agama rakyat karena disampaikan dengan penuh kedamaian dan menghormati tradisi dan nilai secara arif berdasarkan prinsip-prinsip:
  1. Nilai lama yang secara diametral bertentangan dengan akidah disikapi dengan cara menolaknya secara argumentatif.
  2. Nilai lama yang tidak sesuai dengan syari’at diluruskan secara bertahap.
  3. Nilai lama yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dibiarkan terus keberadaannya dan diberikan nafas Islam.

Perkembangan Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah bertambah pesat ketika generasi penerus Walisongo dan penyebar Islam lainnya mengembangkan strategi dan pendekatan penyebaran Islam melalui lembaga pesantren. Pesantren tampil dan berperan sebagai pusat penyebaran dan pendalaman agama Islam secara lebih terarah. Dari pesantren lahir lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan paham agama yang relatif utuh dan lurus.
Pada tahap-tahap awal, lembaga pesantren memang lebih memfokuskan perhatiannya pada upaya pemantapan tauhid dan pembinaan tashawuf. Pesantren kurang memperhatikan pendalaman keilmuan Islam. Ini antara lain disebabkan literatur ke-Islaman, karya ulama-ulama terkemuka masih sangat terbatas.
Pada pertengahan abad XIX kontak langsung antara umat Islam di nusantara dan dunia Islam lainnya, termasuk umat Islam di negara-negara Arab, mulai terbuka. Sebelumnya karena kepentingan politik penjajah Belanda, hal itu sulit dilakukan. Kontak dengan dunia Islam itu bukan saja melalui jama’ah haji ke Tanah Suci, tapi juga melalui sejumlah pemuda nusantara yang belajar di negara-negara Arab. Banyaknya literatur di pusat studi Islam di Timur Tengah, telah memungkinkan para pelajar dari Indonesia mencapai tingkat pengetahuan yang lebih luas dan pandangan yang lebih terbuka.
Di antara para pelajar dari nusantara adalah KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab Hasbullah dan KH. M. Bisri Sansuri. Ketiganya belajar di Makkah saat ide Muhammad Abduh dan paham Wahabi sedang gencar-gencarnya diperbincangkan dan disebarluaskan. Ide Muhammad ‘Abduh antara lain adalah ajakan terhadap umat Islam agar segera bangkit dari dunianya yang beku dan melepaskan diri dari keterikatannya dengan pemikiran mazhab yang mengakibatkan kebekuan itu. Kaum Wahabi menilai praktek-praktek keagamaan umat Islam telah bercampur dengan syirik, tercampur dengan keyakinan lama yang belum ternetralisasikan, sehingga perlu dibersihkan.
Paham dan gerakan Wahabi, yang dirintis oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, merumuskan dan menyajikan paham keagamaan dalam bentuk yang sistematis. Ide dasarnya berpangkal pada ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah, yang dalam banyak hal mengikuti garis mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal. Saat ‘Abd al-‘Aziz ibn Sa’ud berhasil merebut kekuasaan di Hijaz (sekarang Arab Saudi), paham Wahabi dinyatakan sebagai paham negara yang resmi. Hal ini menjadikan paham dan gerakan Wahabi cepat menyebar. Selain itu, penyebaran paham ini juga dibawa oleh para jama’ah haji dari berbagai penjuru dunia, di samping oleh para pelajar yang memperdalam ilmu agama di Makkah.

B.     FAKTOR-FAKTOR/MOTIF YANG MENDORONG BERDIRINYA NU
Ada dua faktor utama yang menyebabkan para ulama bangkit dan menghimpun kekuatan organisasi Nu pada ahun 1926. Pertama kemunculan Nu secara langsung atau tidak berkait erat dengan politik penjajahan Belanda terhadap Islam. Pada mulanya Belanda tidak merasa erlu bentrok langsung dengan Islam, tetapi munculnya banyak pemberontakan selama abad XIX yang di sana sini diperkuat oleh motif keagamaan mendorong Belanda berupaya membendung gerakan-gerakan Islam. Maka Belanda membuat pembatasan ketat bagi orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji ke Mekah; sebab dalam pandangan Belanda keberanian umat Islam menentang Belanda didorong oleh kerajaan-kerajaan Islam di luar negeri. "Namun hasil tindakan-tindakan pembatasan ini sama sekali negatif." Pembatasan yang sangat terasa pengaruhnya di kota-kota, menyebabkan masyarakat di desa-desa memperkuat diri di bawah bimbingan para ulama atau para kyai, Politik Belanda terhadap Islam kemudian mengalami perubahan yang cukup mendasar setelah kedatangan Snouck Hurgronje seorang yang patut disebut sebagai arsitek politik Belanda terhadap Islam di abad XX. Salah satu hasil telaahnya ialah bahwa umat Islam di Indonesia di samping taat kepada agama juga taat kepada adat. Karena itu, di satu pihak ia mengendorkan pembatasan terhadap umat Islam, misalnya orang yang akan menunaikan ibadah haji tak perlu dibatasi tetapi cukup diawasi saja. Pada pihak lain ia mengaktifkan peranan lembaga-lembaga adat dan menarik para bangsawan menjadi pendukung Belanda. 
Kedua, kemunculan NU sering dikatakan sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang berhembus dari Timur Tengah yang hanya menekankan wibawa Qur'an dan Hadis saja untuk memberlakukan dan menilai Islam. Di Indonesia gerakan pembaharuan muncul dalam dua wadah yaitu Serikat Islam dan Muhammadiyah. Yang pertama adalah awal gerakan modern Islam dalam bidang politik dan yang kedua dalam bidang pendidikan dan sosial. Namun hal itu bukan berarti bahwa para ulama pendiri NU tidak mengenal gerakan pembaharuan. Ketika kontak langsung antara umat Islam di Indonesia dengan Timur Tengah terbuka, tercatat tiga orang tokoh yang kemudian dikenal sebagai pendiri NU, Hasyim Asyari, Abdul Wahab Hasbullah dan Bishri Sansuri, pernah belajar di Mekah. Para ulama bangkit membela perikehidupan keagamaan yang berlandaskan tradisi (sunnah) dan mazhab (aliran). Bagi para ulama memahami agama tidak mungkin langsung kepada sumber utama Qur'an dan Hadis, tetapi harus melalui tradisi dan yang mengetahui tradisi itu adalah para ulama. 
NU adalah organisasi para ulama (bentuk jamak dari alim yang berarti orang berilmu) adalah orang-orang yang mengetahui secara 
mendalam segala hal yang bersangkut paut dengan agama. Dalam tradisi Islam ulama dijuluki sebagai pewaris nabit. "Tanpa mereka kontinuitas ajaran dan tradisi Islam itu tidak akan berhasil. Ulama mempunyai wibawa yang kuat di mata umat. Dengan mengutip Abdullah Fadjar, Sirait merumuskan faktor-faktor yang membentuk wibawa ulama itu, Kesetiaan terhadap tradisi dan status mereka sebagai pemimpin keagamaan, membuat penampilan NU di panggung sejarah berbeda dari kelompok Islam lainnya. Yang diutamakan oleh NU adalah pelaksanaan hukum agama di dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan tradisi ketimbang menjalankan konsep politik yang berlandaskan ideologi keagamaan. Itulah sebabnya para ulama tetap menjalankan kegiatannya membina umat kendai pun pemerintah membatasi gerakan politik Islam. 

C.    POSISI WALIYALLAH (WALI SONGO) DALAM TRADISI SOCIAL KEAGAMAAN
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.
Dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Walisongo adalah perintis awal dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dipelopori Syeikh Maulana Malik Ibrahim. Walisongo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam yang berhasil merekrut murid-murid untuk menjalankan dakwah Islam ke seluruh Nusantara sejak abad ke-15. Walisongo terdiri dari sembilan wali; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga.
Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau Waliya yang berarti qaraba yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian. Dalam Al-Qur’an istilah ini dipakai dengan pengertian kerabat, teman atau pelindung. Al-Qur’an menjelaskan: “Allah pelindung (waliyu) orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung (auliya) mereka ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. al-Baqarah: 257).
Selanjutnya kata songo menunjukkan angka hitungan Jawa yang berarti sembilan, angka bilangan magis Jawa yang diambil dari kata Ja yang memiliki nilai tiga dan wa yang bernilai enam. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kata songo berasal dari kata sana yang diambil dari bahasa Arab, tsana (mulia) sepadan dengan mahmud (terpuji). Pendapat ini didukung oleh sebuah kitab yang meriwayatkan kehidupan dan hal ihwal para wali di jawa yang dikarang oleh Sunan Giri II.
Meskipun tidak membawa bendera tertentu kecuali Islam dan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah, metode dakwah yang digunakan Walisongo adalah penerapan metode yang dikembangkan para sufi Sunni dalam menanamkan ajaran Islam melalui keteladanan yang baik. Aliran teologinya menggunakan teologi Asy’ariyah, sedangkan aliran sufistiknya mengarah pada Al-Ghazali. Jejak yang ditinggalkan Walisongo itu terlihat dalam kumpulan nasihat agama yang termuat dalam tulisan-tulisan para murid dalam bahasa Jawa yang dikenal dengan primbon, yang menggambarkan hakikat aliran tasawuf yang mereka anut dan kembangkan. Hal ini juga didasarkan pada manuskrip yang ditemukan Drewes yang diperkirakan ditulis pada masa transisi dari Hinduisme kepada Islam, yakni pada masa Walisongo hidup. Dalam manuskrip yang menguraikan tasawuf itu terdapat beberapa paragraf cuplikan dari kitab al-Bidayah wa al-Nahayah karya al-Ghazali.
Kendati demikian, metode dakwah yang dilakukan para wali berbeda-beda. Metode yang dilakukan Sunan Kudus tampak unik dengan mengumpulkan masyarakat untuk melihat lembu yang dihias sedemikian rupa sehingga tampil bagai pengantin itu kemudian diikat di halaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu yang diperlakukan secara istimewa dan aneh itu. Sesudah mereka datang dan berkumpul di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Cara ini praktis dan strategis untuk menarik minat masyarakat yang masih banyak menganut agama Hindu. Seperti diketahui, lembu merupakan binatang keramat Hindu.
Terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang keras dan gigih menentang dakwah Islamiyah, para wali menerapkan metode al-mujadalah billati hiya ahsan (berbantah-bantah dengan jalan yang sebaik-baiknya). Mereka diperlakukan secara personal, dan dihubungi secara istimewa, langsung, bertemu pribadi sambil diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan (tadzkir) tentang Islam. Cara ini dilakukan oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel ketika berdakwah kepada Adipati Aria Damar dari Palembang. Berkat keramahan dan kebijaksanaan Raden Rahmat, Aria Damar masuk Islam bersama istri dan seluruh penduduk negeri yang dipimpinnya. Metode itu dipergunakan pula oleh Sunan Kalijaga ketika berdakwah mengajak Adipati Pandanarang di Semarang. Mulanya terjadi perdebatan seru, tetapi perdebatan itu kemudian berakhir dengan rasa tunduk Sang Adipati untuk masuk Islam. Kejadian mengharukan ketika Adipati rela melepaskan jabatan dan rela meninggalkan harta dan keluarga untuk bergabung dalam dakwah Sunan Kalijaga.
Beberapa wali bahkan telah membuktikan diri sebagai kepala daerah seperti misalnya Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kudus yang berkuasa di daerah-daerah di sekitar kediaman mereka. Kekuatan diplomasi dan kemampuan dalam berhujjah atas kekuatan pemerintahan Majapahit yang sedang berkuasa ditunjukkan oleh Sunan Ampel, Sunan Gresik dan Sunan Majagung. Alhasil, Prabu Brawijaya I (Raja yang sedang berkuasa di Majapahit saat itu) memberi izin kepada mereka untuk memilih daerah-daerah yang disukai sebagai tempat tinggal. Di kawasan baru tersebut mereka diberi kebebasan mengembangkan agama, menjadi imam dan bahkan kepala daerah masyarakat setempat.
Dari penjalasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, metode yang digunakan oleh Walisongo dalam berdakwah ada tiga macam, yaitu:
1)      Al-Hikmah (kebijaksanaan) : Al-Hikmah merupakan kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u (objek dakwah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Gudus.
2)      Al-Mau’izha Al-Hasanah (nasihat yang baik) : memberi nasihat dengan kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluh hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman. Inilah yang dilakukan oleh para wali.
3)      Al-Mujadalah Billati Hiya Ahsan (berbantah-bantah dengan jalan sebaik-baiknya) : tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut. sebagaimana dakwah Sunan Ampel kepada Adipati Aria Damar dan Sunan Kalijaga kepada Adipati Pandanarang.
Tradisi keagamaan semacam yasinan, tahlilan, kenduren, itulah ciri khas NU. Tradisi yang berkembang di masyarakat adalah karakter Islam Nusantara. Karakter dan praktik yang dilakukan umat Islam di Nusantara itulah ciri khas keagamaan NU.
Budaya NU adalah tradisi yang berkembang di tengah masyarakat, warisan para waliyullah (wali songo) yang sampai sekarang masih di amalkan oleh masyarakat NU di seluruh Indonesia.Masyarakat misalnya tiap Kamis, mengadakan tradisi yasinan. Tradisi yasinan ini dihadiri oleh siapa saja. Mereka yang bisa membaca tulisan Arab atau tidak, tetap menghadiri upacara yasinan.


D.    DASAR HUKUM KEBERADAAN NU (QUR’AN, HADITS, IJMA’ DAN QIYAS)
1.      Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah dasar hukum yang pertama dan utama dalam Islam. Karena itu setiap muslim harus menerima bahwa asas yang pertama dan terkuat untuk menentukan hukum Islam adalah Al-Qur’an.
  1. Al-Hadits atau As-Sunnah
Al-hadits atau As-Sunnah meliputi sunnah Qauliyan, Fi’liyah, dan sunnah Taqririyah. Dalam agama Islam al-Hadits atau as-Sunnah mempunyai peran yang sangat penting dan merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
  1. Ijma’
Yaitu kesepakatan para ulama’ mujtahid mengenai suatu hukum ijma’ baru dapat dipergunakan sebagai dalil terhadap suatu perkara sesudah ternyata tidak ditemkan nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Ijma’, ada beberapa macam diantaranya ijma’ sharih, ijma’ sukuni, ijma’ sababy, ijma’ khalifah empat, dan lain-lainnya.
  1. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan suatu masalah yang belum diketahui hukumnya, karena diantaranya terdapat kesamaan (illat) yang menjadi dasar penentu hukum.










BAB III
KESIMPULAN



Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Ada beberapa faktor pendukung bagi cepatnya penyebaran Islam di bumi nusantara. Pertama, sebagai agama tauhid (tawhîd), Islam menampilkan manusia dalam kedudukan yang sama (musâwah) dan bebas dari penghambatan sesama makhluk (hurriyyah). Kedua, watak Ahlussunnah wal Jama’ah yang moderat telah membentuk perilaku dan sikap para penyebar Islam. Seperti diketahui, para wali dan penyebar Islam di nusantara adalah penganut Ahlussunnah wal Jama’ah yang teguh. Ketiga, Islam dapat menjadi agama rakyat karena disampaikan dengan penuh kedamaian dan menghormati tradisi dan nilai secara arif berdasarkan prinsip-prinsip:
  1. Nilai lama yang secara diametral bertentangan dengan akidah disikapi dengan cara menolaknya secara argumentatif.
  2. Nilai lama yang tidak sesuai dengan syari’at diluruskan secara bertahap.
  3. Nilai lama yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dibiarkan terus keberadaannya dan diberikan nafas Islam.
Ada dua faktor utama yang menyebabkan para ulama bangkit dan menghimpun kekuatan organisasi NU pada ahun 1926. Pertama kemunculan Nu secara langsung atau tidak berkait erat dengan politik penjajahan Belanda terhadap Islam.
Kedua, kemunculan NU sering dikatakan sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang berhembus dari Timur Tengah yang hanya menekankan wibawa Qur'an dan Hadis saja untuk memberlakukan dan menilai Islam. Di Indonesia gerakan pembaharuan muncul dalam dua wadah yaitu Serikat Islam dan Muhammadiyah.


DAFTAR PUSTAKA


Aceng Abdul Aziz Dy, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia, Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2006.

Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, Surabaya: Khalista, 2006.



0 komentar:

 
Top