BAB I
PENDAHULUAN
NU
adalah organisasi keislaman yang berakar pada akidah Ahlussunnah wal
Jama‘ah-nya Imam Asy‘ari dan Maturidi. Teologi bercorak Asy‘arian dan
Maturidian ini cenderung mengakomodir tradisi keagamaan yang berkembang di
tengah masyarakat. Tradisi keagamaan yang antara lain upacara tahlilan,
yasinan, kenduren, dan hadiyah doa, mendapat tempat tersendiri dalam teologi
keduanya.
Dalam
makalah ini, penulis akan menjelaskan dan membahas tentang kondisi umat islam
di Indonesia sebelum NU datang, mengidentifikasi factor-faktor atau motif yang
mendorong berdirinya Nahdlatul Ulama, menjelaskan posisi wilayah (walisongo)
dalam tradisi social keagamaan NU dan menjelaskan dan mengidentifikasi dasar
hukum keberadaan NU menurut (Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas).
BAB II
PEMBAHASAN
LATAR BELAKANG SEJARAH BERDIRINYA NU
A. KONDISI UMAT ISLAM DI INDONESIA SEBELUM NU
BERDIRI
Menurut
catatan sejarah, kerajaan Perlak yang berdiri tahun 840 M adalah kerajaan Islam
pertama di Indonesia,
bahkan di Asia Tenggara. Tentang fakta itu dapat dipastikan bahwa masuknya
agama Islam terjadi jauh sebelum tahun berdirinya kerajaan itu, karena kerajaan
itu didirikan ketika sebagian besar penduduknya telah cukup lama memeluk agama
Islam. Pada abad IX Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad konon mengirimkan delegasi dakwah
yang terdiri dari orang-orang Arab yang berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah,
bermazhab Syafi’i dan bertashawuf mu’tabar ke wilayah Sumatera Utara. Pada
tahun 1042, berdiri kerajaan Islam Samudra Pasai. Menurut Ibnu Bathutah,
kerajaan ini, dengan raja pertamanya Al-Malikus Shaleh, menganut paham
Ahlussunnah wal Jama’ah dan memilih mazhab Syafi’i.
Meski
tidak ada catatan yang pasti, diperkirakan kalau Islam masuk ke Pulau Jawa pada
akhir abad XIV atau awal abad XV. Ini antara lain dapat dibuktikan dengan
tulisan di batu nisan Maulana Malik Ibrahim tentang tahun wafatnya, yakni tahun
1419 M, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, yang beragama Hindu. Di awal abad
XV, dengan dukungan Walisongo, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak.
Dalam penyebaran agama Islam, cara berdakwah para wali yang jumlahnya sembilan
orang itu, dirasa sesuai dengan sifat dan pembawaan masyarakat Jawa, sehingga
dalam waktu yang relatif singkat hampir seluruh masyarakat Jawa memeluk agama
Islam. Setelah Demak, berdiri beberapa Kerajaan Islam di Ternate, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara pada abad XVI, sehingga agama Islam
menjadi agama yang dianut mayoritas penduduk nusantara.
Ada beberapa faktor
pendukung bagi cepatnya penyebaran Islam di bumi nusantara. Pertama, sebagai agama tauhid (tawhîd),
Islam menampilkan manusia dalam kedudukan yang sama (musâwah) dan bebas dari
penghambatan sesama makhluk (hurriyyah).
Prinsip tauhid ini merupakan ajaran yang sama sekali baru yang menarik dan
membebaskan manusia dari belenggu lama yang membagi manusia ke dalam
kelas-kelas.
Kedua, watak Ahlussunnah wal Jama’ah yang
moderat telah membentuk perilaku dan sikap para penyebar Islam. Seperti
diketahui, para wali dan penyebar Islam di nusantara adalah penganut
Ahlussunnah wal Jama’ah yang teguh. Dengan penuh kearifan, dakwah mereka
lakukan secara tadrîj (evolusi) dan sejauh mungkin memperkecil beban yang bisa
dirasakan masyarakat (taqlîl al-takâlif).
Ketiga, Islam dapat menjadi agama rakyat karena
disampaikan dengan penuh kedamaian dan menghormati tradisi dan nilai secara
arif berdasarkan prinsip-prinsip:
- Nilai lama yang secara diametral bertentangan dengan akidah disikapi dengan cara menolaknya secara argumentatif.
- Nilai lama yang tidak sesuai dengan syari’at diluruskan secara bertahap.
- Nilai lama yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dibiarkan terus keberadaannya dan diberikan nafas Islam.
Perkembangan
Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah bertambah pesat ketika generasi
penerus Walisongo dan penyebar Islam lainnya mengembangkan strategi dan
pendekatan penyebaran Islam melalui lembaga pesantren. Pesantren tampil dan
berperan sebagai pusat penyebaran dan pendalaman agama Islam secara lebih
terarah. Dari pesantren lahir lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan
paham agama yang relatif utuh dan lurus.
Pada
tahap-tahap awal, lembaga pesantren memang lebih memfokuskan perhatiannya pada
upaya pemantapan tauhid dan pembinaan tashawuf. Pesantren kurang memperhatikan
pendalaman keilmuan Islam. Ini antara lain disebabkan literatur ke-Islaman,
karya ulama-ulama terkemuka masih sangat terbatas.
Pada
pertengahan abad XIX kontak langsung antara umat Islam di nusantara dan dunia
Islam lainnya, termasuk umat Islam di negara-negara Arab, mulai terbuka.
Sebelumnya karena kepentingan politik penjajah Belanda, hal itu sulit
dilakukan. Kontak dengan dunia Islam itu bukan saja melalui jama’ah haji ke
Tanah Suci, tapi juga melalui sejumlah pemuda nusantara yang belajar di
negara-negara Arab. Banyaknya literatur di pusat studi Islam di Timur Tengah,
telah memungkinkan para pelajar dari Indonesia mencapai tingkat
pengetahuan yang lebih luas dan pandangan yang lebih terbuka.
Di
antara para pelajar dari nusantara adalah KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab
Hasbullah dan KH. M. Bisri Sansuri. Ketiganya belajar di Makkah saat ide
Muhammad Abduh dan paham Wahabi sedang gencar-gencarnya diperbincangkan dan
disebarluaskan. Ide Muhammad ‘Abduh antara lain adalah ajakan terhadap umat
Islam agar segera bangkit dari dunianya yang beku dan melepaskan diri dari
keterikatannya dengan pemikiran mazhab yang mengakibatkan kebekuan itu. Kaum
Wahabi menilai praktek-praktek keagamaan umat Islam telah bercampur dengan
syirik, tercampur dengan keyakinan lama yang belum ternetralisasikan, sehingga
perlu dibersihkan.
Paham
dan gerakan Wahabi, yang dirintis oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, merumuskan
dan menyajikan paham keagamaan dalam bentuk yang sistematis. Ide dasarnya
berpangkal pada ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah, yang dalam banyak hal mengikuti
garis mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal. Saat ‘Abd al-‘Aziz ibn Sa’ud berhasil
merebut kekuasaan di Hijaz (sekarang Arab Saudi), paham Wahabi dinyatakan
sebagai paham negara yang resmi. Hal ini menjadikan paham dan gerakan Wahabi
cepat menyebar. Selain itu, penyebaran paham ini juga dibawa oleh para jama’ah
haji dari berbagai penjuru dunia, di samping oleh para pelajar yang memperdalam
ilmu agama di Makkah.
B. FAKTOR-FAKTOR/MOTIF YANG MENDORONG
BERDIRINYA NU
Ada
dua faktor utama yang menyebabkan para ulama bangkit dan menghimpun kekuatan
organisasi Nu pada ahun 1926. Pertama kemunculan Nu secara langsung atau tidak
berkait erat dengan politik penjajahan Belanda terhadap Islam. Pada mulanya
Belanda tidak merasa erlu bentrok langsung dengan Islam, tetapi munculnya
banyak pemberontakan selama abad XIX yang di sana sini diperkuat oleh motif keagamaan
mendorong Belanda berupaya membendung gerakan-gerakan Islam. Maka Belanda
membuat pembatasan ketat bagi orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji ke
Mekah; sebab dalam pandangan Belanda keberanian umat Islam menentang Belanda
didorong oleh kerajaan-kerajaan Islam di luar negeri. "Namun hasil
tindakan-tindakan pembatasan ini sama sekali negatif." Pembatasan yang
sangat terasa pengaruhnya di kota-kota, menyebabkan masyarakat di desa-desa
memperkuat diri di bawah bimbingan para ulama atau para kyai, Politik
Belanda terhadap Islam kemudian mengalami perubahan yang cukup mendasar setelah
kedatangan Snouck Hurgronje seorang yang patut disebut sebagai arsitek politik
Belanda terhadap Islam di abad XX. Salah satu hasil telaahnya ialah bahwa umat
Islam di Indonesia di samping taat kepada agama juga taat kepada adat. Karena
itu, di satu pihak ia mengendorkan pembatasan terhadap umat Islam, misalnya
orang yang akan menunaikan ibadah haji tak perlu dibatasi tetapi cukup diawasi
saja. Pada pihak lain ia mengaktifkan peranan lembaga-lembaga adat dan menarik
para bangsawan menjadi pendukung Belanda.
Kedua, kemunculan NU sering dikatakan sebagai reaksi terhadap
gerakan pembaharuan yang berhembus dari Timur Tengah yang hanya menekankan
wibawa Qur'an dan Hadis saja untuk memberlakukan dan menilai Islam. Di
Indonesia gerakan pembaharuan muncul dalam dua wadah yaitu Serikat Islam dan
Muhammadiyah. Yang pertama adalah awal gerakan modern Islam dalam bidang
politik dan yang kedua dalam bidang pendidikan dan sosial. Namun hal itu bukan
berarti bahwa para ulama pendiri NU tidak mengenal gerakan pembaharuan. Ketika
kontak langsung antara umat Islam di Indonesia dengan Timur Tengah terbuka,
tercatat tiga orang tokoh yang kemudian dikenal sebagai pendiri NU, Hasyim
Asyari, Abdul Wahab Hasbullah dan Bishri Sansuri, pernah belajar di Mekah. Para ulama bangkit membela perikehidupan keagamaan yang
berlandaskan tradisi (sunnah) dan mazhab (aliran). Bagi para ulama
memahami agama tidak mungkin langsung kepada sumber utama Qur'an dan Hadis,
tetapi harus melalui tradisi dan yang mengetahui tradisi itu adalah para ulama.
NU adalah organisasi para ulama (bentuk jamak dari alim yang
berarti orang berilmu) adalah orang-orang yang mengetahui secara
mendalam segala hal yang bersangkut paut dengan agama. Dalam tradisi Islam ulama dijuluki sebagai pewaris nabit. "Tanpa mereka kontinuitas ajaran dan tradisi Islam itu tidak akan berhasil. Ulama mempunyai wibawa yang kuat di mata umat. Dengan mengutip Abdullah Fadjar, Sirait merumuskan faktor-faktor yang membentuk wibawa ulama itu, Kesetiaan terhadap tradisi dan status mereka sebagai pemimpin keagamaan, membuat penampilan NU di panggung sejarah berbeda dari kelompok Islam lainnya. Yang diutamakan oleh NU adalah pelaksanaan hukum agama di dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan tradisi ketimbang menjalankan konsep politik yang berlandaskan ideologi keagamaan. Itulah sebabnya para ulama tetap menjalankan kegiatannya membina umat kendai pun pemerintah membatasi gerakan politik Islam.
mendalam segala hal yang bersangkut paut dengan agama. Dalam tradisi Islam ulama dijuluki sebagai pewaris nabit. "Tanpa mereka kontinuitas ajaran dan tradisi Islam itu tidak akan berhasil. Ulama mempunyai wibawa yang kuat di mata umat. Dengan mengutip Abdullah Fadjar, Sirait merumuskan faktor-faktor yang membentuk wibawa ulama itu, Kesetiaan terhadap tradisi dan status mereka sebagai pemimpin keagamaan, membuat penampilan NU di panggung sejarah berbeda dari kelompok Islam lainnya. Yang diutamakan oleh NU adalah pelaksanaan hukum agama di dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan tradisi ketimbang menjalankan konsep politik yang berlandaskan ideologi keagamaan. Itulah sebabnya para ulama tetap menjalankan kegiatannya membina umat kendai pun pemerintah membatasi gerakan politik Islam.
C. POSISI WALIYALLAH (WALI SONGO) DALAM
TRADISI SOCIAL KEAGAMAAN
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri,
Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta
Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun
satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga
dalam hubungan guru-murid. Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak
Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang
berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak
Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang.
Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung
Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih
dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga
pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di
Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.
Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan,
bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga
pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi
pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke
seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya
ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan
Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang.
Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha
dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh
lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali”
ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam
penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri
sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para
kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya
kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni
nuansa Hindu dan Budha.
Dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Walisongo adalah
perintis awal dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dipelopori
Syeikh Maulana Malik Ibrahim. Walisongo adalah pelopor dan pemimpin dakwah
Islam yang berhasil merekrut murid-murid untuk menjalankan dakwah Islam ke
seluruh Nusantara sejak abad ke-15. Walisongo terdiri dari sembilan wali;
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus,
Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga.
Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau
Waliya yang berarti qaraba yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi
kenabian. Dalam Al-Qur’an istilah ini dipakai dengan pengertian kerabat, teman
atau pelindung. Al-Qur’an menjelaskan: “Allah pelindung (waliyu) orang-orang
yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya
(iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung (auliya) mereka ialah
syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran).
mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. al-Baqarah:
257).
Selanjutnya kata songo menunjukkan angka hitungan Jawa yang
berarti sembilan, angka bilangan magis Jawa yang diambil dari kata Ja yang
memiliki nilai tiga dan wa yang bernilai enam. Namun demikian, ada juga yang
berpendapat bahwa kata songo berasal dari kata sana yang diambil dari bahasa Arab, tsana
(mulia) sepadan dengan mahmud (terpuji). Pendapat ini didukung oleh sebuah
kitab yang meriwayatkan kehidupan dan hal ihwal para wali di jawa yang dikarang
oleh Sunan Giri II.
Meskipun tidak membawa bendera tertentu kecuali Islam dan Ahl
al-Sunnah Wa al-Jama’ah, metode dakwah yang digunakan Walisongo adalah
penerapan metode yang dikembangkan para sufi Sunni dalam menanamkan ajaran
Islam melalui keteladanan yang baik. Aliran teologinya menggunakan teologi
Asy’ariyah, sedangkan aliran sufistiknya mengarah pada Al-Ghazali. Jejak yang
ditinggalkan Walisongo itu terlihat dalam kumpulan nasihat agama yang termuat
dalam tulisan-tulisan para murid dalam bahasa Jawa yang dikenal dengan primbon,
yang menggambarkan hakikat aliran tasawuf yang mereka anut dan kembangkan. Hal
ini juga didasarkan pada manuskrip yang ditemukan Drewes yang diperkirakan
ditulis pada masa transisi dari Hinduisme kepada Islam, yakni pada masa
Walisongo hidup. Dalam manuskrip yang menguraikan tasawuf itu terdapat beberapa
paragraf cuplikan dari kitab al-Bidayah wa al-Nahayah karya al-Ghazali.
Kendati demikian, metode dakwah yang dilakukan para wali
berbeda-beda. Metode yang dilakukan Sunan Kudus tampak unik dengan mengumpulkan
masyarakat untuk melihat lembu yang dihias sedemikian rupa sehingga tampil
bagai pengantin itu kemudian diikat di halaman masjid, sehingga masyarakat yang
ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu
yang diperlakukan secara istimewa dan aneh itu. Sesudah mereka datang dan
berkumpul di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Cara ini
praktis dan strategis untuk menarik minat masyarakat yang masih banyak menganut
agama Hindu. Seperti diketahui, lembu merupakan binatang keramat Hindu.
Terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang keras dan gigih menentang
dakwah Islamiyah, para wali menerapkan metode al-mujadalah billati hiya ahsan
(berbantah-bantah dengan jalan yang sebaik-baiknya). Mereka diperlakukan secara
personal, dan dihubungi secara istimewa, langsung, bertemu pribadi sambil
diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan (tadzkir) tentang Islam. Cara
ini dilakukan oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel ketika berdakwah kepada
Adipati Aria Damar dari Palembang.
Berkat keramahan dan kebijaksanaan Raden Rahmat, Aria Damar masuk Islam bersama
istri dan seluruh penduduk negeri yang dipimpinnya. Metode itu dipergunakan
pula oleh Sunan Kalijaga ketika berdakwah mengajak Adipati Pandanarang di
Semarang. Mulanya terjadi perdebatan seru, tetapi perdebatan itu kemudian
berakhir dengan rasa tunduk Sang Adipati untuk masuk Islam. Kejadian
mengharukan ketika Adipati rela melepaskan jabatan dan rela meninggalkan harta
dan keluarga untuk bergabung dalam dakwah Sunan Kalijaga.
Beberapa wali bahkan telah membuktikan diri sebagai kepala
daerah seperti misalnya Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kudus yang
berkuasa di daerah-daerah di sekitar kediaman mereka. Kekuatan diplomasi dan
kemampuan dalam berhujjah atas kekuatan pemerintahan Majapahit yang sedang
berkuasa ditunjukkan oleh Sunan Ampel, Sunan Gresik dan Sunan Majagung.
Alhasil, Prabu Brawijaya I (Raja yang sedang berkuasa di Majapahit saat itu)
memberi izin kepada mereka untuk memilih daerah-daerah yang disukai sebagai
tempat tinggal. Di kawasan baru tersebut mereka diberi kebebasan mengembangkan
agama, menjadi imam dan bahkan kepala daerah masyarakat setempat.
Dari penjalasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa,
metode yang digunakan oleh Walisongo dalam berdakwah ada tiga macam, yaitu:
1)
Al-Hikmah (kebijaksanaan) : Al-Hikmah merupakan
kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik
dakwah dengan kondisi objektif mad’u (objek dakwah). Sebagaimana yang dilakukan
oleh Sunan Gudus.
2)
Al-Mau’izha Al-Hasanah (nasihat yang baik) : memberi
nasihat dengan kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang
dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau
membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasehati
seringkali dapat meluluh hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia
lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman. Inilah yang
dilakukan oleh para wali.
3)
Al-Mujadalah Billati Hiya Ahsan (berbantah-bantah
dengan jalan sebaik-baiknya) : tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak
secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan
menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang
kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat
keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas
menerima hukuman kebenaran tersebut. sebagaimana dakwah Sunan Ampel kepada
Adipati Aria Damar dan Sunan Kalijaga kepada Adipati Pandanarang.
Tradisi
keagamaan semacam yasinan, tahlilan, kenduren, itulah ciri khas NU. Tradisi
yang berkembang di masyarakat adalah karakter Islam Nusantara. Karakter dan
praktik yang dilakukan umat Islam di Nusantara itulah ciri khas keagamaan NU.
Budaya
NU adalah tradisi yang berkembang di tengah masyarakat, warisan para waliyullah
(wali songo) yang sampai sekarang masih di amalkan oleh masyarakat NU di
seluruh Indonesia.Masyarakat misalnya tiap Kamis, mengadakan tradisi yasinan.
Tradisi yasinan ini dihadiri oleh siapa saja. Mereka yang bisa membaca tulisan
Arab atau tidak, tetap menghadiri upacara yasinan.
D. DASAR HUKUM KEBERADAAN NU (QUR’AN, HADITS,
IJMA’ DAN QIYAS)
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah dasar hukum
yang pertama dan utama dalam Islam. Karena itu setiap muslim harus menerima
bahwa asas yang pertama dan terkuat untuk menentukan hukum Islam adalah
Al-Qur’an.
- Al-Hadits atau As-Sunnah
Al-hadits atau As-Sunnah meliputi sunnah
Qauliyan, Fi’liyah, dan sunnah Taqririyah. Dalam agama Islam al-Hadits atau
as-Sunnah mempunyai peran yang sangat penting dan merupakan sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an.
- Ijma’
Yaitu kesepakatan para ulama’ mujtahid
mengenai suatu hukum ijma’ baru dapat dipergunakan sebagai dalil terhadap suatu
perkara sesudah ternyata tidak ditemkan nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Ijma’,
ada beberapa macam diantaranya ijma’ sharih, ijma’ sukuni, ijma’ sababy, ijma’
khalifah empat, dan lain-lainnya.
- Qiyas
Qiyas adalah menyamakan suatu masalah yang
belum diketahui hukumnya, karena diantaranya terdapat kesamaan (illat) yang
menjadi dasar penentu hukum.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Ada beberapa faktor
pendukung bagi cepatnya penyebaran Islam di bumi nusantara. Pertama, sebagai agama tauhid (tawhîd),
Islam menampilkan manusia dalam kedudukan yang sama (musâwah) dan bebas dari
penghambatan sesama makhluk (hurriyyah).
Kedua, watak
Ahlussunnah wal Jama’ah yang moderat telah membentuk perilaku dan sikap para
penyebar Islam. Seperti diketahui, para wali dan penyebar Islam di nusantara
adalah penganut Ahlussunnah wal Jama’ah yang teguh. Ketiga, Islam dapat menjadi agama rakyat
karena disampaikan dengan penuh kedamaian dan menghormati tradisi dan nilai
secara arif berdasarkan prinsip-prinsip:
- Nilai lama yang secara diametral bertentangan dengan akidah disikapi dengan cara menolaknya secara argumentatif.
- Nilai lama yang tidak sesuai dengan syari’at diluruskan secara bertahap.
- Nilai lama yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dibiarkan terus keberadaannya dan diberikan nafas Islam.
Ada dua faktor utama yang
menyebabkan para ulama bangkit dan menghimpun kekuatan organisasi NU pada ahun
1926. Pertama kemunculan Nu secara
langsung atau tidak berkait erat dengan politik penjajahan Belanda terhadap
Islam.
Kedua, kemunculan NU sering dikatakan
sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang berhembus dari Timur Tengah
yang hanya menekankan wibawa Qur'an dan Hadis saja untuk memberlakukan dan
menilai Islam. Di Indonesia gerakan pembaharuan muncul dalam dua wadah yaitu
Serikat Islam dan Muhammadiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Aceng Abdul Aziz Dy, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia,
Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2006.
Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, Surabaya: Khalista, 2006.
0 komentar:
Post a Comment