BAB I
PENDAHULUAN


Kehadiran atau pendirian lembaga keuangan syari’ah, apakah berupa sebuah bank syari’ah, asuransi takaful, ataupun lembaga lain, hendaklah bertolak dari kondisi  objektif adanya keputusan umat atau tuntutan perekonomian. Kemudian agar bisa bertahan atau langgeng dan ingin berkembang atau maju, pengelolaan kelembagaanya haruslah kredibel dan pelaksanaan kegiatan usahanya haruslah profesional.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sesungguhnya bisa mendatangkan hikmah bagi umat Islam di negeri ini untuk bisa lebih serius menawarkan lembaga dan kelembagaan alternatif dalam kancah perekonomian termasuk lembaga keuangan syari’ah. Sebagaimana diketahui, sumber utama krisis ekonomi yang kita hadapi berasal dari ketidak beresan di sektor keuangan, khususnya industri perbankan yang porak poranda akibat kredit-kredit macetnya.
Bank-bank konvensional yang ada ketika itu sebetulnya sebagian besar cukup profesional mereka memadai dan cukup cekatan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya ditinjau dari segi teknis perbankan. Sayangnya, sebagian besar bank-bank itu tidak kredibel. Bertolak dari masalah diatas, Maka daripada itu, didalam makalah ini akan kami bahas mengenai kualifikasi sumber daya insani pada bank syari’ah itu sendiri dengan terperinci dan jelas.



BAB II
PEMBAHASAN
KUALIFIKASI SUMBERDAYA INSANI PADA BANK SYARI’AH



A.    BANK SYARI’AH DAN KEBUTUHAN SDI
Bank syari’ah muncul karena tuntutan objek yang berlandaskan prinsip efisiensi. Dalam kehidupan berekonomi, manusia senantiasa berupaya untuk selalu lebih efisien.  Berkenaan dengan konteks keuangan, tuntutan objek efisiensi tadi tampil berupa keinginan untuk serba dan lebih praktis dalam menyimpan serta meminjam uang, keinginan  untuk lebih memperoleh kepastian untuk mendapatkan pinjaman dan mendapatkan imbalan atas jasa penyimpanan atau meminjamkan uang, kecenderungan untuk mengurangi resiko serta usaha untuk menekan ongkos informasi dan ongkos transaksi.
Menurut Muhammad (2002), untuk menghadirkan dan memasyarakatkan lembaga keuangan syari’ah di Indonesia, ada beberapa masalah yang mendasar yang saat ini kita hadapi diantaranya adalah:
1.      Kekurangyakinan atau bahkan ketidak percayaan sebagian besar umat Islam sendiri akan “kelebihan” lembaga keuangan syari’ah untuk mendatangkan rahmatan lil alamin.
2.      Kelangkaan pengetahuan konseptual dan kekurangan informasi praktis mengenai lembaga-lembaga keuangan Islam.
3.      Kekurangan bukti empiris atau contoh nyata yang bisa dijadikan sarana keyakinan umat mengenai keberhasilan lembaga keuangan Islam serta manfaatnya bagi umat.[1]

Disamping masalah-masalah diatas, dalam implementasinya niscaya akan menghadapi pula beberapa masalah teknis. Itu berarti untuk menghadirkan dan memasyarakatkan lembaga-lembaga keuangan Islam diperlukan perhatian dan pemikiran secara serius, perencanaan matang, kerja keras dan penyempurnaan yang tiada henti.
Lembaga keuangan khususnya bank menjalankan peran sebagai perantara keuangan. Ia mengambil “posisi tengah” diantara orang-orang atau pihak yang berlebihan dana (penyimpan, penabung, deposan), dan orang-ornag atau pihak yang membutuhkan atau kekurangan dana (peminjam, debitor, investor), diantara kalangan pembeli dan kalangan penjual, diantara pihak pembayar dan pihak penerima. Instrumen-instrumen keuangan yang muncul (giro, bilyet, tabungan, kredit, cek, kartu kredit, saham penyertaan modal, bunga uang, dan sebagainya dalam segala bentuknya) adalah hasil-hasil penemuan karena tuntutan efisiensi.[2]

B.     CIRI-CIRIBANK KHUSUSNYA YANG KREDIBEL DAN PROFESIONAL
Kredibilitas ialah suatu nilai idiil berwujud rasa percaya orang/pihak lain terhadap seseorang atau sebuah lembaga. Kredibilitas  sebuah lembaga keuangan berarti kepercayaan masyarakat kepada lembaga itu berkenaan dengan dana titipan yang mereka amanatkan dan dana pinjaman yang mereka manfaatkan. Kredibilitas lembaga keuangan meliputi tujuh kriteria, antara lain unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Kejujuran dalam bertransaksi dengan nasabah
2.      Kesediaan untuk berposisi “sama-menang” (win-win) dengan nasabah
3.      Ketaatan dalam mematuhi atau memenuhi aspek-aspek legal yang berlaku
4.      Keterbukaan dalam menginformasikan kedudukan/perkembangan lembaga
5.      Kearifan dalam menangani atau menyelesaikan masalah-masalah khusus
6.      Kesehatan struktur permodalan lembaga tersebut
7.      Perkembangan kinerja bisnis atau usahanya.[3]
Kendati merupakan nilai idiil, kredibilitas bukanlah sesuatu yang sekedar bersifat fenomenal, yakni cukup tercermin meliputi nama-nama besar para tokoh yang menaungi dan memiliki serta menjalankan sebuah lembaga keuangan. Jika bukan sesuatu yang hanya bersifat konseptual, yakni tersirat dari “dokumen-dokumen diatas kertas” (visi-misi, tujuan, program, serta AD/ART) lembaga dimaksud. Kredibilitas sebuah lembaga keuangan tercipta dan terangkat lebih disebabkan oleh bukti nyata perjalanan dan perkembangan lembaga tersebut.
Profesionalitas ialah sesuatu nilai praktis berujut keandalan dalam mengelola sebuah organisasi dan kecekatan dalam menjalankan kegiatan. Lembaga keuangan yang profesional berarti organisasi kelembagaanya terkelola dengan baik pula. Profesionalitas lembaga keuangan meliputi antara lain unsur-unsur:
1.      Kerapian pengelolaan organisasi dan lembaga yang bersangkutan
2.      Kesepadanan struktur organisasi dalam kegiatan yang dijalankan
3.      Kepekaan dalam mengenai kegiatan usaha yang dijalankan
4.      Ketersediaan sistem dalam mekanisme kerja lembaga
5.      Kesigapan dalam menangani dan menanggapi nasabah
6.      Ketersediaan sumber daya manusia yang memadai
a.       Kepekaran jajaran pemimpin dan pengelola lembaga
b.      Keterampilan para tenaga pelaksana  operasional (karyawan)
7.      Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung kegiatannya.[4]

C.    KEBUTUHAN HUMANWARE, HARDWARE, DAN SOFTWARE
Kredibilitas dan profesionalitas sebuah lembaga keaungan akan terbentuk apabila  ia memiliki tiga perangkat berikut secara memadai ,yaitu:
1.      Perangkat insani (humanware)
2.      Perangkat keras (hardware)
3.      Perangkat lunak (software).[5]

Perangkat insani maksudnya ialah orang-orang kalangan dalam lembaga, sejak dari pemilik  (owners), pemimpin (director), pengelola (manajers) hingga pekerja (works) lapis terbawah. Perangkat insani sebuah lembaga keuangan haruslah memadai dalam hal jumlah (quantity) dan serasi dalam hal mutu (quality) serta terpuji dalam kepribadian  (personality). Perangkat keras ialah alat produksi dan perlengkapan fisik yang menjadi wahana dan sarana serta prasarana pelaksanaan kerja atau kegiatan lembaga.
Sedangkan perangkat-perangkat lunak meliputi hal-hal non-fisik atau (maya, virtual) seperti pembagian bidang kerja, prosedur pengambilan keputusan, wewenang dan tanggung jawab pejabat/pekerja, proses pelayanan nasabah, sistem yang menata dan menjalin mekanisme kerja antar bagian, termasuk perangkat lunak dalam hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan komputerial.

D.    KUALIFIKASI SUMBER DAYA INSANI BANK SYARI’AH
Lembaga keuangan syari’ah khususnya bank syari’ah adalah lembaga yang cukup unik, sebab di dalamnya melibatkan orang-orang yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang bukan saja ahli dalam bidang ekonomi, keuangan dan perbankan, namun mereka harus memiliki kualifikasi dan kompetensi syari’ah. Dua sisi kualifikasi dan kompetensi ini dipadukan secara integral. Oleh karena itu, seorang sumber daya insani bank syari’ah harus selalu mengembangkan hal tersebut.
Keahlian seseorang dalam bidang keuangan syari’ah akan terbangun secara baik yang memenuhi kriteria jika ditemukan satu diantaranya tiga tipa SDM berikut:
1.      Spesialis ilmu syari’ah yang memahami ilmu ekonomi (termasuk ahli tipe A)
2.      Spesialis ilmu ekonomi yang mengenal syari’ah (termasuk tipe B)
3.      Mereka yang memiliki keahlian dalam syari’ah maupun ilmu ekonomi (termasuk akhli tipe C).[6]

Ahli tipe A diharapkan memberikan kontribusi terhadap aspek normatif dalam area Sistem Ekonomi Islam (Lembaga Keuangan Syari’ah), dengan menentukan prinsip Islam dibidang Ekonomi, serta menjawab persoalan-persoalan  modern dalam sistem ekonomi (lembaga keuangan).
Tipe B lebih diharapkan bisa melakukan analisis ekonomi positif terhadap operasionalisasi sistem ekonomi islam (lembaga keuangan syari’ah). Tipe C inilah yang sebenarnya diharapkan, tetapi beberapa banyak manusia yang memiliki keahlian ganda? Barangkali jika ada adalah satu dalam seribu.
Ketiga ahli tersebut inilah yang diharapkan selalu mempelajari statement-statement dan presumsi-presumsi  positif dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Disamping itu juga, melakukan kegiatan penelitian yang mengungkap statement  ekonomi (keuangan syari’ah ) yang dilakukan oleh para pemikir muslim sepanjang masa. Ini berarti bahwa pemikir Muslim masa lalu telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bersifat normatif dan positif.
Dengan ini dapat dikatakan, bahwa secara ideal lembaga keuangan syari’ah ke depan akan sangat membutuhkan sumber daya manusia yang ihsan, yaitu:
1.      Bagi pemegang saham/investor
Diperlukan sikap dan perilaku yang fokus dalam memahami dan menetapkan pilihan pada lembaga keuangan syari’ah, termasuk jenis banknya, mengerti akan waktu yang tepat untuk menginvestasikan dan/atau menambah modal dilembaga keuangan syari’ah serta profesional dalam memahami batas-batas baik wewenang dan kewajiban atau tanggung jawabnya sebagai pemilik modal.
2.      Bagi pengelola lembaga keuangan syari’ah
Adalah fokus dalam menyesuaikan perkembangan lingkungan dan pasar yang mempengaruhi roda usaha lembaga keuangan syari’ah, menghargai waktu sebagai unsur pelayanan  jasa lembaga keuangan syari’ah serta mempunyai kemampuan teknis ke lembaga keuangan syari’ah yang tinggi dan komitmen moral etis dalam menjaga kepentingan stake-holders.
      
Upaya membangun SDM lembaga keuangan syari’ah yang ihsan, atau SDM Tipe C dimasa yang akan datang adalah tugas yang snagat berat. Tugas ini seharusnya dilakukan bersama, baik oleh pemerintah maupun oleh kalangan profesi para pelaku bisnis lembaga keuangan syari’ah, serta dunia pendidikan. Dengan demikian, dunia pendidikan harus ikut berperan aktif dan proaktif dalam membentuk dan menyediakan SDM yang berkualifikasi ihsan atau tipe C tersebut.
Dengan memahami  simpul-simpul permasalahan lembaga keuangan syari’ah yang terjadi dewasa ini dan kebijakan-kebijakan yang telah diambil pemerintah serta perkiraan konfigurasi lembaga keuangan syari’ah masa datang, upaya pengelolaan SDM yang dipergunakan untuk memenuhi kualifiaksi yang ihsan, paling tidak perlu difokuskan pada empat hal yaitu:
1.      Masalah peningkatakan pemahaman tentang sistem lembaga keuangan syari’ah, meliputi:
a)      Aspek mikro
Yaitu lembaga keuangan syari’ah sebagai individu/lembaga usaha bisnis. Ini meliputi masalah-masalah teknis manajemen dan produksi jasa lembaga keuangan syari’ah.
b)      Aspek makro
Yaitu perbankan sebagai suatu sistem yang sangat strategis menentukan stabilitas ketahanan ekonomi negara, yang cakupannya meliputi Moneter, Pengawasan, Hukum Bank Syari’ah, Bank Syari’ah Nasional dan Internasional.
2.      Peningkatan pemahaman dan penerapan konsep-konsep syari’ah dalam pengembangan produk, landasan moral agamis, dan etika bisnis Islami.
3.      Peningkatan pemahaman stakeholders, bagi usaha lembaga keuangan syari’ah sehingga dicapai integritas dan komitmen yang tinggi.
4.      Peningkatan pendidikan teknis individual entrepreneurship, leadership, dan managerialship.[7]

Jika keempat hal tersebut ada celah yang dapat ditangkap oleh Perguruan Tinggi yaitu bagaimana Perguruan Tinggi mampu menyediakan “konsumsi” pendidikan yang dapat mengisi kebutuhan-kebutuhan tuntutan  kualifikasi tersebut diatas. Oleh karena itu, konstruksi  kurikulum perlu menjadi kajian yang serius. Sehingga mampu melahirkan sosok lulusan yang dapat memenuhi kriteria-kriteria tersebut.



BAB III
KESIMPULAN



Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa  permasalahan lembaga keuangan syari’ah kedepan masih terus perlu pengupayaan yang maksimal, agar mampu bersaing dengan lembaga keuangan yang lainya. Disisi lain lembaga keuangan syari’ah harus memberikan sesuatu yang lain yagn tidak diberikan oleh lembaga keuangan lainnya.
Permasalahan di bidang sumber daya manusia lembaga keuangan syari’ah ditenagarai lebih banyak terjadi pada level manajerial dengan berbagai indikasinya, yang semuanya itu mengarah pada lemahnya profesionalisme dalam memahami hakekat lembaga keuangan syari’ah sebagai lembaga kepercayaan yang bekerja atas dasar dana masyarakat yang dititipkan serta kurangnya pemahaman moral dan etika bisnis Islami.



DAFTAR PUSTAKA


Adiwarman A. Karim, Mikro Ekonomi  Islam, Jakarta: IIIT, 2002.

Dumairy, “Lembaga Keuangan Islam: Problem, Tantangan dan Peluang di Era Reformasi”, Makalah Seminar Problem dan Tantangan Lembaga Keuangan Syari’ah, FE UMY, 1997.

Muhammad, Bank Syari’ah: Analisis Kekuatan, Kelemahan,  Peluang dan Ancaman, Yogyakarta: Ekonomi FE UII, 2002.

, Metodologi Penelitian Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Ekonomi FE UII, 2003.

, Manajemen Perbankan Syari’ah, Yogyakarta:  UPP AMP YKPN, 2005.



[1]Muhammad, Bank Syari’ah: Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman, Yogyakarta: Ekonisia FC UII, 2002.
[2]Muhammad, Manajemen Perbankan Syari’ah, Yogyakarta:  UPP AMP YKPN, 2005, hal.166.
[3]Dumairy, “Lembaga Keuangan Islam: Problem, Tantangan, dan Peluang di Era Reformasi”, Makalah Seminar Problem dan Tantangan Lembaga Keuangan  Syari’ah, FE UMY, 1997.
[4]Muhammad, Op Cit, hal. 168
[5]Muhammad, Op Cit.
[6]Muhammad, Op Cit, hal.169.
[7]Muhamamd, Log Cit, hal. 172.

0 komentar:

 
Top