BAB I
PENDAHULUAN
Bank syari’ah merupakan lembaga keuangan
syari’ah, yang berorientasi pada laba (profit).
Laba bukan hanya untuk kepentingan
pemilik atau pendiri, tetapi juga sangat penting untuk mengembangkan usaha bank
syari’ah. Laba bank syari’ah terutama diperoleh dari selisih antara pendapatan
atas penanaman dana dan biaya-biaya yang dikeluarkan selama periode tertentu. Untuk dapat
memperoleh hasil yang optimal, bank syari’ah dituntut untuk melakukan
pengelolaan dananya secara efisien dan efektif, baik atas dana-dana yang
dikumpulkan dari masyarakat (Dana Pihak Ketiga), serta dana modal
pemilik/pendiri bank syari’ah maupun atas pemanfaatan atau penanaman dana
tersebut.
Dalam makalah ini akan diuraikan pola
dalam manajemen dana bank syari’ah. Ada beberapa perbedaan pola manajemen dana
antara bank konvensional dengan bank syari’ah. Perbedaan tersebut dapat ditemukan
dalam uraian-uraian topic makalah ini. Dalam makalah ini ditulis dengan harapan
mampu memberikan rambu-rambu dalam manajemen dana bank syari’ah secara baik.
Minimal dapat memenuhi tingkat likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas yang
baik.
BAB II
PEMBAHASAN
MANAJEMEN
PERMODALAN BANK SYARI’AH
A.
MANAJEMEN PERMODALAN BANK SYARI’AH
Sebagaimana diketahui bersama, bank adalah lembaga kepercayaan. Sehubungan dengan
persoalan kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut, maka manajemen bank
harus menggunakan semua perangkat
operasionalnya untuk mampu menjaga kepercayaan masyarakat itu.[1]
Salah satu perangkat yang sangat strategis dalam menopang kepercayaan itu
adalah permodalan yang cukup memadai. Modal merupakan factor yang amat penting
bagi perkembangan dan kemajuan bank sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat. Oleh
karena itu, modal juga harus dpaat digunakan untuk menjaga kemungkinan
terjadinya risiko kerugian atas investasi pada aktiva, terutama yang berasal
dari mana-mana pihak ketiga atau masyarakat. Peningkatan peran aktiva sebagai
penghasil keuntungan harus secara simultan dibarengi dengan pertimbangan risiko
yang mungkin timbul guna melindungi kepentingan para pemilik modal.
Menurut Zainul Arifin secara tradisional, modal
didefinisikan sebagai sesuatu yang mewakili kepentingan pemilik dalam suatu
perusahaan.[2] Berdasarkan nilai buku,
modal didefinisikan sebagai kekayaan bersih yaitu selisih antara nilai buku
dari aktiva dikurangi dengan nilai buku dari kewajiban.[3]
Sumber modal dari pemegang saham tersebut juga berpengaruh pada posisinya
didalam neraca. Didalam neraca, sumber modal pada sisi pasiva bank, yaitu
rekening modal dan cadangan.
Rekening modal berasal dari setoran para pemegang
saham, sedangkan rekening cadangan adalah berasal dari bagian keuntungan yang
tidak dibagiakn kepada pemegang saham, yang digunakan untuk keperluan tertentu,
misalnya untuk keperluan usaha dan untuk menjaga likuiditas karena adanya
kredit-kredit yang diragukan atau menjurus kepada macet.
B.
FUNGSI MODAL BANK
Bank sebagai unit bisnis membutuhkan darah bisnis,
yaitu berbentuk modal. Dengan kata lain,
modal bank adalah aspek penting bagi suatu unit bisnis bank. Sebab beroperasi tidaknya atau dipercaya
tidaknya suatu bank, salah satunya sangat dipengarui oleh kondisi kecukupan
modalnya. Menurut Johnson and Johnson, modal bank mempunyai tiga fungsi.[4]
Lebih lanjut mereka menjelaskan sebagai berikut:
1.
Sebagai
penyangga untuk menyerap kerugian operasional dan kerugian lainya. Dalam fungsi
ini modal memberikan perlindungan terhadap kegagalan atau kerugian bank dan
perlindungan terhadap kepentingan para deposan.
2.
Sebagai dasar
untuk menetapkan batas maksimum pemberian kredit. Hal ini adalah merupakan
pertimbangan operasional bagi bank sentral, sebagai regulator, untuk membatasi
jumlah pemberian kredit kepada setiap individu nasabah bank.
3.
Modal juga
menjadi dasar perhitungan bagi para partisipan pasar untuk mengevaluasi tingkat
kemampuan bank secara relative untuk menghasilkan keuntungan.
C.
SUMBER-SUMBER PERMODALAN BANK
Sebagaimana disinggung diatas, untuk mendapatkan
modal bank dapat diperoleh dari berbagai
sumber. Modal bank menurut George H Hempel, dkk. Dibagi dalam tiga bentuk utama
yaitu:
1.
Pinjaman
subordinasi
2.
Saham preferen
3.
Saham biasa.[5]
Beberapa jenis pinjaman
subordinasi dan saham preferen dapat dikonversikan menjadi saham biasa, dan
saham biasa dapat dikembangkan, baik secara eksternal maupun internal. Menurut
Hempel sumber-sumber tersebut dijelaskan sebagai berikut: Pinjaman subordinasiPinjaman
ini terdiri dari semua bentuk kewajiban berbunga yang dibayar kembali dalam
jumlah yang pasti (fixed) dalam
jangka waktu tertentu. Bentuk pinjaman subordinasi bervariasi dari Capital Netes sampai Debenture dengan jangka waktu yang lebih panjang.
D.
SUMBER PERMODALAN BANK SYARI’AH
Sumber-sumber modal yang diuraikan diatas, adalah
konsep teori permodalan pada bank
konvensional. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah sumber-sumber permodalan
untuk bank syari’ah yang sekarang menjadi kajian buku ini sama perlakuannya
atau pengkategoriannya? Untuk menjawab permasalahan ini, Antonio menejelaskan
sebagai berikut dalam pandangan syari’ah, modal pinjaman itu termasuk dalam kategori Qard, yaitu pinjaman harta yang dapat
diminta kembali. Dalam literature fiqih Salaf
Ash Shalih, Qard dikategorikan dalam Aqad
tathawwu’ atau akat saling membantu dan bukan transaksi komersial.[6]
Sumber utama modal bank syari’ah adalah modal inti (core capital) dan kuasi ekuitas. Modal
inti adalah modal yang berasal dari para pemilik bank, yang terdiri dari modal
yang disetor oleh para pemegang saham, cadangan dan laba ditahan. Sedangkan
kuasi ekuitas adalah dana-dana yang tercatat dalam rekening-rekening bagi hasil
(mudharabah). Modal inti inilah yang
berfungsi sebagai penyangga dan penyerap kegagalan atau kerugian bank dan
melindungi kepentingan para pemegang rekening titipan (wadiah) atau pinjaman (qard),
terutama atas aktiva yang didanai oleh modal sendiri dan dana-dana wadi’ah atau qard. Dana-dana rekening bagi hasil (mudharabah), sebenarnya juga dapat dikategorikan sebagai modal,
inilah yang biasanya disebut dengan kuasi ekuitas. Namun demikian rekening ini
hanya dapat menanggung risiko atas aktiva yang dibiayai oleh dana dari rekening
bagi hasil itu sendiri. Selain itu, pemilik rekening bagi hasil dapat menolak
untuk menanggung risiko atas aktiva yang dibiayainya, apabila terbukti bahwa
risiko tersebut timbul akibat salah urus, kelalaian atau kecurigaan yang
dilakukan oleh manjemen bank selalu mudharib.
Modal merupakan bagian dari dana yang dapat
digunakan bank dalam aktivitas kesehariannya. Hal penting berkaitan dengan
masalah dana adalah bagaimana melakukan aktivitas manajemen dana. Manajemen
dana adalah proses pengelolaan, penghimpunan dan pengalokasian dana masyarakat
serta dana modal untuk mendapatkan tujuan bank syari’ah secara efektif dan
efisien.
E.
KECUKUPAN MODAL BANK SYARI’AH
Sebab kecukupan modal bank menunjukan keadaanya yang
dinyatakan dengan suatu rasio tertentu yang disebut ratio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR). Tingkat
kecukupan modal ini dapat diukur dengan cara:[7]
1.
Membandingkan
modal dengan dana-dana pihak ketiga
Dilihat
dari sudut perlindungan kepentingan para deposan, perbandingan antara modal
dengan pos-pos pasiva merupakan petunjuk tentang tingkat keamanan simpanan
masyarakat pada bank. Perhitungannya merupakan rasio modal dikaitkan dengan
simpanan pihak ketiga (giro, deposito dan tabungan) sebagai berikut:
|
Modal
dan cadangan
Giro +
Deposito +Tabungan
2.
Membandingkan
modal dengan aktiva berisiko
Ukuran
kedua inilah yang dewasa ini menjadi kesepakatan BIS (Bank For International Settlements) yaitu organisasi bank sentral
dari Negara-negara maju yang disponsori oleh Amerika Serikat, Kanada,
Negara-negara Eropa Barat dan Jepang. Kesepakatan ini dilatar belakangi oleh hasil pengamatan para ahli perbankan
Negara-negara maju, termasuk para pakar IMF dan World Bank, tentang adanya
ketimpangan struktur dan system perbankan internasional.
F.
PENERAPAN CAR UNTUK PERBANKAN INDONESIA[8]
Baik bank nasional maupun internasional harus
memenuhi rasio kecukupan modalnya. Sebagaimana disinggung sebelumnya, CAR
merupakan aspek terpenting bagi dunia
perbankan. Sehubungan dengan hal itu, maka sub makalah ini akan membicarakan
aspek-aspek penting bagi perbankan Indonesia, yaitu:
1.
Pengertian modal
Sebagaimana
disinggung sebelumnya, modal bank dibagi kedalam modal inti dan modal
pelengkap, modal inti (tier I) terdiri
dari:
a)
Modal setor,
yaitu modal yang disetor secara efektif oleh pemilik. Bagi bank milik koperasi
modal setor terdiri dari simpanan pokok dan simpanan wajib para anggotanya.
b)
Agio saham,
yaitu selisih lebih dari harga saham dengan nilai nominal saham.
c)
Modal sumbangan,
yaitu modal yang diperoleh kembali dari sumbangan saham, termasuk selisih nilai
yang tercatat dengan harga (apabila saham tersebut dijual).
d)
Cadangan umum,
yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yagn ditahan dengan
persetujuan RUPS.
e)
Cadangan tujuan,
yaitu bagian laba setelah pajak yang diselisihkan untuk tujuan tertentu atas
persetujuan RUPS.
f)
Laba ditahan,
yaitu saldo laba bersih setelah pajak yang oleh RUPS diputuskan untuk tidak
dibagikan.
g)
Laba tahun lalu,
yaitu laba bersih tahun lalu setelah pajak, yang belum ditetapkan penggunaanya
oleh RUPS.
h)
Laba tahun
berjalan, yaitu laba sebelum pajak yang diperoleh dalam tahun berjalan.
1)
Laba ini
diperhitungkan hanya 50% sebagai modal inti.
2)
Bila tahun
berjalan rugi, harus dikurangkan terhadap modal inti.
i)
Bagian kekayaan
bersih anak perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan, yaitu modal
inti anak perusahaan setelah dikompensasikan dengan pertanyaan bank pada
perusahaan tersebut.[9]
Modal pelengkap (tier
2)
Modal pelengkap terdiri atas cadangan-cadangan yang
dibentuk bukan dari laba setelah pajak serta pinjaman sifatnya dipersamakan
dengan modal. Secara terinci modal pelengkap dapat berupa:
a.
Cadangan
revaluasi aktiva tetap
b.
Cadangan
penghapusan aktiva yang diklasifikasikan
c.
Modal pinjaman
yang mempunyai ciri-ciri:
1.
Tidak dijamin
oleh bank yang bersangkutan dan dipersamakan dengan modal dan telah dibayar
penuh.
2.
Tidak dapat
dilunasi atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan BI.
3.
Mempunyai
kedudukan yang sama dengan modal dalam hal memikul kerugian bank.
4.
Pembayaran bunga
dapat ditangguhkan bila bank dalam keadaan rugi.
2.
Tatacara
perhitungan kebutuhan modal minimum
Perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada aktiva
tertimbang menurut risiko (ATMR). Yang dimaksud dengan aktiva dalam perhitungan
ini mencakup baik aktiva yang tercantum
dalam neraca maupun aktiva yang bersifat administrasi sebagaimana tercermin
dalam kewajiban yang masih bersifat kontingen dan atau komitmen yang disediakan bagi pihak
ketiga.
Terhadap masing-masing jenis aktiva tersebut
ditetapkan bobot risiko yang besarnya didasarkan pada kadar risiko yang
terkandung dalam aktiva itu sendiri atau yang didasarkan atas penggolongan
nasabah, penjamin atau sifat barang jaminan.
G.
KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF (KAP)
Bank syari’ah adalah lembaga keuangan yang cukup
unik. Sebab dalammekanisme produknya dapat dilakukan dengan cara jual beli atau
memberikan dana untuk investasi. Hal ini dapat dijalani oleh bank selain bank
syari’ah. Dengan demikian, beragamnya model transaksi tersebut menunjukan
peluang besarnya aktiva yang dapat diproduktifkan. Sehubungan dengan kondisi
aktiva produktif bank syari’ah dapat dibedakan menjadi beberapa macam
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Piutang
penjualan (murabahah) dan sewa (ijarah)
2.
Investasi pada:
a)
Musyarakah
b)
Mudharabah
c)
Salam
d)
Istishna’
e)
Persediaan
f)
Aktiva yang disewakan.[10]
Kualitas piutang
penjualan (murabahah)dan sewa (ijarah)didasarkan pada kemampuan
membayar, kondisi keuangan dan prospek usaha. Demikian juga kualitas investasi
pada musyarakahdan mudharabah dapat didasarkan atas tingkat
kesesuaian antara realisasi bagi hasil dengan proyeknya, kondisi keuangan dan
prospek usaha. Dalam pembiayaan mudharabah,
bank dapat menolak untuk menanggung risiko, bila ternyata diakibatkan oleh
kesengajaan, kelalaian atau pelanggaran oleh nasabah sebagai mudharib. Berdasarkan hal tersebut, maka
factor jaminan dalam pembiayaan mudharabah
dapat diperhitungkan untuk menutup risiko tersebut.
Salam dan
istishna’ adalah cara untuk
memperoleh barang dengan membayar dimuka sedangkan barangnya akan diterima
kemudian hari, dan bukan aktiva produktif. Oleh karena itu tidak dieprlukan perhitungan
KAPnya. Sedangkan untuk masalah pencadangannya diatur dalam standar akuntansi
sebagaimana unsur aktiva lain (seperti aktiva dalam proses). Demikian pula
halnya dengan persediaan dan aktiva yang disewakan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka
dapat kami simpulkan bahwa Laba bukan hanya untuk kepentingan pemilik atau
pendiri, tetapi juga sangat penting untuk mengembangkan usaha bank syari’ah.
Laba bank syari’ah terutama diperoleh dari selisih antara pendapatan atas
penanaman dana dan biaya-biaya yang dikeluarkan
selama periode tertentu.
Untuk dapat
memperoleh hasil yang optimal, bank syari’ah dituntut untuk melakukan
pengelolaan dananya secara efisien dan efektif, baik atas dana-dana yang
dikumpulkan dari masyarakat (Dana Pihak Ketiga), serta dana modal
pemilik/pendiri bank syari’ah maupun atas pemanfaatan atau penanaman dana
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia, Surat Edaran Bank
Indonesia No. 26/I/BPPP tanggal 29 Mei 1993.
Frank P. Johnson dan Richard D. Johnson,
Commercial Bank Management, New York:
The Dryden Pres, 1985.
George H. Hempel, Alan B. Coleman dan
Donal G. Simonson, Bank Management, Text
and Case, New York: John Wiley & Sons, 1986.
Muhammad, Manajemen Perbankan Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005.
Muhammad Syafe’I Antonio, Bank Syari’ah, Wacana Ulama dan Cendekiawan,
Jakarta: Diterbitkan Atas Kerjasama BI dan Tazkia Institute,1999.
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta: Alfabeta, 2002.
[1]Muhammad, Manajemen Perbankan Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005, hal, 244.
[2]Zainal Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta: Alfabeta, 2002, hal. 157.
[3]Ibid
[4]Frank P. Johnson dan Richard D.
Johnson, Commerscial Bank Manajement, New
York: The Dryden Press, 1985, hal. 331-332.
[5]George H. Hempel, Alan B. Coleman
dan Donal G. Simonson, Bank Manajemen,
Text and Case, New York: JohnWiley & Sons, 1986, hal. 168-169.
[6]Muhammad Syafe’I Antonio, Bank Syari’ah, Wacana Umum dan Cendekiawan, Jakarta:
Diterbitkan atas kerja sama BI dan Tazkia Institute, 1999, hal. 223.
[7]Zainul Arifin, Op Cit, hal. 248
[8]Muchdaryah Sinungan, Strategi Manajemen Bank, Menghadapi Tahun
2000, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal. 131-132.
[9]Muhammad, op cit, hal. 249-250.
[10]Muhammad, log cit, hal. 257.
0 komentar:
Post a Comment