BAB I
PENDAHULUAN
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa
yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah
beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum
muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau
wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar
berkumpul di balai kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa
yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena
masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak
menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang
tinggi, akhirnya, Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar
mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak
menerima dan membaiatnya.
Kemajuan suatu umat Muslim di Timur sana tidak lepas dari peran Khalifah
Rasyidah, Khilafah Bani Umayyah dan
Khilafah Bani Abbasiyah. Mereka tersebut yang berusaha membuat Umat islam ini
menjadi berkembang semakin pesat. Dengan tekat yang kuat mereka memperluas
kekuasaannya. Dalam makalah ini, akan
dijelaskan tentang masa kemajuan umat islam pada 650-100 Masehi yaitu pada
Khilafah Bani Rasyidah, Khilafah Bani Umayyah dan Khilafah Bani Abbasiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
MASA KEMAJUAN ISLAM (650-1000 M)
A. KHILAFAH RASYIDAH
Khilafah Rasyidah merupakan pemimpin umat Islam setelah Nabi
Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dimana sistem pemerintahan yang
diterapkan adalah pemerintahan yang demokratis.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah
Rasulillah (Pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut
khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi wafat untuk
menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala
pemerintahan. Abu Bakar menjadi khalifah
hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis
untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan
oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah
Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad
SAW, dengan sendirinya batal setelah Nabi wafat. Karena itu mereka menentang
Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat
membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini
dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn
Al-Walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu
Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain
menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun
demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat
besarnya bermusyawarah. Di zaman Umar
gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota
Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara
Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah
kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke
Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn
Abi Waqqash. Iskandaria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan
demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat
Hirah di Iraq, jatuh tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota
Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat
dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam
sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia,
dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera
mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah
berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan
wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan
Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Umar memerintah
selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan
kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah.
Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu
Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih
salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman,
Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn 'Auf. Setelah Umar
wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah,
melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.
Di masa pemerintahan Utsman (644-655 M), Armenia, Tunisia,
Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan
Tabaristall berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umumnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya pada tahun 35 H 1655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh karabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri.
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umumnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya pada tahun 35 H 1655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh karabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masanya tidak
ada kegiatan-kegjatan yang penting. Usman berjasa membangun bendungan untuk
menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia
juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas
masjid Nabi di Madinah. Setelah Utsman
wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah.
Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi
berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang
dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para
gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan
terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang
dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya
kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan diantara
orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi
pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau
menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman
yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari
perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau
berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut
ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal
dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang
unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika
hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga
mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang
didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan
dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan
Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara.
Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di
sini yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim
(arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan
menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar
dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat
Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah
(pengikut) Ali, dan al-Khawarij (oran-orang yang keluar dari barisan Ali).
Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok al-khawarij menyebabkan
tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal
20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya
Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara Mu'awiyah
semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat
mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah
Mu'awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan
Mu'awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun
persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama'ah ('am jama'ah)!
Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa'ur Rasyidin,
dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Ketika itu wilayah kekuasaan Islam sangat luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai pengalaman politik yang memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat antara lain adalah:
Ketika itu wilayah kekuasaan Islam sangat luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai pengalaman politik yang memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat antara lain adalah:
1. Islam, disamping merupakan ajaran
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal
pembentukan masyarakat.
2. Dalam dada para sahabat, tertanam
keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke
seluruh penjuru dunia. Disamping itu, suku-suku bangsa Arab gemar berperang.
Semangat dakwah dan kegemaran berperang tersebut membentuk satu kesatuan yang padu
dalam diri umat Islam.
3. Bizantium dan Persia, dua kekuatan
yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu, mulai memasuki masa kemunduran dan
kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya maupun karena
persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
4. Pertentangan aliran agama di wilayah
Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat. Rakyat
tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan aliran yang dianutnya. Mereka
juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan melawan
Persia.
5. Islam datang ke daerah-daerah yang
dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk
mengubah agamanya dan masuk Islam.
6. Bangsa Sami di Syria dan Palestina
dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka
daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
7. Mesir, Syria dan Irak adalah
daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa Islam untuk membiayai
ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali dinamakan
periode Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut al-Khulafa' al-Rasyidun,
(khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para khalifah
betul-betul menurut teladan Nabi. Mereka dipilih melalui proses musyawarah,
yang dalam istilah sekarang disebut demokratis. Setelah periode ini,
pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun
temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah Rasyidah, tidak pernah
bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan; Mereka selalu
bermusyawarah dengan pembesar-pembesar yang lain.
B.
KHILAFAH BANI UMAYYAH (MASA KEMAJUAN
ISLAM)
Khilafah Bani Umayyah berumur 90 tahun yaitu dimulai pada
masa kekuasaan Muawiyah, dimana pemerintahan yang bersifat demokratis berubah
menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), yang diperoleh
melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun
dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia
terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan
Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan
interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia
menyebutnya "khalifah Allah" dalam pengertian "penguasa"
yang diangkat oleh Allah.
Khalifah besar Bani Umayyah ini adalah Muawiyah ibn Abi
Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685- 705 M), al-Walid ibn Abdul
Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717- 720 M) dan Hasyim ibn Abd
al-Malik (724- 743 M). Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah
Utsman dan Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tunisia
dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan
sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya
melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke
timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik.
Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan
Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke
India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman
al-Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketenteraman,
kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa
pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu
ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa,
yaitu pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Marokko dapat ditundukan, Tariq
bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang
memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang
sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat
dikalahkan.
Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi
selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepatnya dapat dikuasai.
Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Sevi'e, Elvira dan Toledo yang
dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan Islam
memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat
setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar ibn
Abd al-Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan
ini dipimpin oleh Aburrahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang
Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam
peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya
mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas,
pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam pada zaman
Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di
timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul
sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria,
Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah
yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa
politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi
perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan
bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada
pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera
mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang
mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah
tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada
gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia
kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali
dan Abdulah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi'ah (pengikut Ali) melakukan
konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadab Bani Umayyah
dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Makkah ke Kufah
atas permintaan golongan Syi'ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini
tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai khalifah. Dalam pertempuran
yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein
kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke
Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
Perlawanan orang-orang Syi'ah tidak padam dengan terbunuhnya
Husein. Gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar
luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi'ah terjadi. Yang termashur
diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Mukhtar
mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali. yaitu umat Islam bukan
Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain yang pada masa Bani Umayyah
dianggap sebagai warga negara kelas dua. Mukhtar terbunuh dalam peperangan
melawan gerakan oposisi lainnya, gerakan Abdullah ibn Zubair. Namun, ibn Zubair
juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi'ah.
Sepeninggal Umar ibn Abd al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah
berada di bawah khalifah Yazid ibn Abd al-Malik (720- 724 M). Penguasa yang
satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan
rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada
zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis
politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd
al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah
berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M).
Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang
menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal
dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan
ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini,
mampu menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan dinasti baru,
Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Maiik adalah seorang khalifah yang
kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah
tidak berdaya mematahkannya.
Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani
Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin
memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulat Umayyah
digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan
bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir,
ditangkap dan dibunuh di sana.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah
lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:
- Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
- Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
- Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
C.
KHILAFAH BANI ABBAS (MASA KEMAJUAN
ISLAM)
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah
Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi
Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn
al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dam budaya. Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana
disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah
Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan
al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656
H (1258 M).
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan
biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
- Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
- Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama.
- Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
- Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
- Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada periode pertama pemerintahan
Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul
tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di
sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai
menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus
berkembang.
Khalifah al-Manshur berusaha
menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari
pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Diantara
usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia,
wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya
melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia
berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M,
Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan
pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain
Oksus dan India.
Popularitas daulat Abbasiyah
mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya
al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk
keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi
didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter.
Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan
berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan
dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma'mun, pengganti
al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa
pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan.
Al-Mu'tashim, khalifah berikutnya
(833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam
pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak
seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem
ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti.
Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan
demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun
demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern
Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindik di Persia,
gerakan Syi'ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan.
Semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah
pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam
daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani
Umayyah. Disamping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak
terdapat di zaman Bani Umayyah.
- Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
- Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Ummayah.
- Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan
kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan
tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas
sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam.
Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah
mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
- Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
- Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian
berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan
dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena
di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan
berdiskusi.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka
dapat kami simpulkan bahwa perkembangan agama islam pada zaman dahulu sangat pesat
berkembangnya. Mulai dari khilafah Rasydah, Khilafah Bani Umayyah dan Khilafah
Bani Abbas. Ketiga Kholifah tersebut yang membuat agama Islam ini berkembang
semakin maju dengan cepat. Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang
siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah
beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum
muslimin sendiri untuk menentukannya.
Karena itulah, tidak lama setelah
beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan
Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan
siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot
karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa
berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah
yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu
Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing
pihak menerima dan membaiatnya.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Post a Comment