BAB I
PENDAHULUAN
Ide NU untuk mewujudkan
masyarakat ideal dan terbaik sebenarnya telah diupayakan sejak tahun 1935. Pada
saat itu para tokoh NU berpendapat bahwa proses pembentukan masyarakat yang
ideal dan terbaik dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai al-shiddieq,
al-wafa’ bi al-‘ahad (komitmen) dan al-ta’awun. Tiga prinsip dasar itu kemudian
disebut mabadi khaira ummah dan menjadi program kerja organisasi.
Al-Shidq juga mengandung
pemahaman transparansi, yaitu terbuka kepada orang lain kecuali dalam persoalan
krusial yang menuntut untuk dirahasiakan demi kebaikan bersama. Keterbukaan ini
dapat menjaga kohesivitas kelompok sekaligus menjamin berjalannya fungsi
kontrol. Di kalangan internal NU, ketegasan Al-Qur’an
dan Al-Hadits telah memberikan inspirasi besar sehingga menempatkan isu
ukhuwwah, persatuan dan kesatuan sehingga titik tekan pertama dan utama. Sikap
dan moralitas yang tinggi ini merupakan implementasi dari konsep persaudaraan
NU yang dikenal dengan ukhuwah Nahdliyyah.
BAB II
PEMBAHASAN
NU DAN SIKAP-SIKAP KEMASYARAKTAN
A.
NU DALAM HAL BERJAMA’AH DAN BERJAM’IYAH
Hampir satu
abad lamanya Nahdlatul Ulama eksis di bumi Indonesia. Faktor utama yang
memperkuat basis legitimasi NU di tengah masyarakat adalah komitmennya pada
nilai-nilai luhur, konsisten mengusung agenda perubahan dan berpihakannya
terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan agenda-agenda besar NU tentunya
menyentuh seluruh level masyarakat sehingga keberadaannya mampu mewakili
kepentingan sebagian besar masyarakat Islam Indonesia. Para ulama pesantren pendiri NU
mempunyai visi dan misi serta strategi gerakan kultural; menjaga, melestarikan
dan mengembangkan Islam ahlussunnah wal jama’ah di tengah-tengah kondisi dan
dinamika kehidupan. Prinsip dasar, kaidah, tradisi dan metode keilmuan Islam
Ahlussunnah wal jama’ah ini telah memperteguh kaum Nahdliyin dalam berpikir,
bersikap dan bertindak, baik dalam relasi manusia dengan Allah, manusia dengan
manusia maupun manusia dengan alam semesta.
Hubungan
tersebut dibangun dalam suatu sistem kehidupan yang menjamin tegaknya moralitas
keagamaan dan martabat kemanusiaan serta tegaknya jiwa dan semangat amar ma’ruf
nahi mungkar. NU
berpendirian bahwa Islam diturunkan sebagai rahmatalli’alamin, memiliki makna
dan fungsi universal, suci, fitri, hanif serta dapat diterima dan diamalkan
oleh seluruh umat manusia. Ragam, ras, budaya, agama, aliran dan lainnya
dipahami Islam sebagai sunnatullah. Pluralitas adalah rahmatullah bahkan amanah
ilahiyah dan kemanusiaan yang harus dimaknai dan disikapi dengan saling
mengenal, memahami, membuka diri, merangkul dan mendialogkan secara kreatif
untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama atas dasar saling menghormati. NU
berpendirian bahwa realitas kehidupan harus dilihat secara subtantif,
fungsional, terbuka dan bersahabat.
Sebagian
dari masyarakat Indonesia, NU telah bertekad untuk terikat dengan
kesepatakan-kesepakatan nasional yang mengatur kehidupan masyarakat, berrbangsa
dan bernegara, serta mewujudkannya dalam realitas. Meskipun demikian NU
berpandangan bahwa prinsip berbangsa dan bernegara harus tetap menghargai dan
menghormati keyakinan dan keberagaman masyarakat. Kiprah dan dinamika NU adalah
keislaman, keindonesisan, kemanusiaan dan rahmatan lil ‘alamin. Karena itu NU
meneguhkan kultur, struktur, sistem dan mekanisme lembaganya sebagai organisasi
agama dan sosial yang bercirikan ahlussunnah wal jama’ah.
B.
MABADI KHORA UMMAH
Sejak
berdiri pada tahun 1926, NU menempatkan kepentingan masyarakat Islam sebagai
orientasi besar gerakannya. Cita-cita tersebut secara sistematik
terformulasikan dalam mabadi khaira ummah. Secara etimologi, mabadi
khaira ummah terdiri dari tiga kata bahasa Arab. Pertama, mabadi yang
artinya landasan, dasar, dan prinsip. Kedua, khaira yang artinya terbaik,
Ideal. Ketiga, ummah yang artinya masyarakat, dan rakyat. Sedangkan secara
epistemologi, mabadi khaira ummah adalah prinsip-prinsip yang digunakan
untuk mengupayakan terbentuknya tatan kehiduupan masyarakat yang ideal dan
terbaik yaitu masyarakat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahi
munkar.
Ide NU
untuk mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik sebenarnya telah diupayakan sejak
tahun 1935. Pada saat itu para tokoh NU berpendapat bahwa proses pembentukan
masyarakat yang ideal dan terbaik dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai
al-shiddieq, al-wafa’ bi al-‘ahad (komitmen) dan al-ta’awun. Tiga
prinsip dasar itu kemudian disebut mabadi khaira ummah dan menjadi
program kerja organisasi.
Perkembangan
zaman yang cukup pesat memaksa para ulama untuk melakukan evaluasi kerja. Pada
Munas Alim Ulama di Bandar Lampung tanggal 21–25 Januari 1992, para ulama
menyepakati untuk melakukan penyempurnaan terhadap tiga butir mabadi khaira
ummah dengan menambah prinsip al-istiqamah dan al-‘adalah. NU bekeyakinan
bahwa lima prinsip tersebut merupakan langkah alternatif dan prospektif bagi
upaya mewujudkanm masyarakat ideal dan terbaik di Indonesia. Prinsip pertama
dari Mabadi’ khaira ummah adalah al-shidq artinya jujur. Prinsip
ini mengandung pengertian kejujuran/kebenaran, kesungguhan, dan keterbukaan.
Kejujuran/kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Sehingga
dalam diri manusia terdapat korelasi antara ide, konseptualisasi, dan
implementasi. Prinsip kejujuran secara otomatis akan mengikis sikap
inkonsistensi, oportunitas, distorsitas dan manipulasi. Setiap orang dituntut
untuk jujur kepada diri sendiri kepada sesama dan kepada Allah. Al-Shidq juga mengandung
pemahaman transparansi, yaitu terbuka kepada orang lain kecuali dalam persoalan
krusial yang menuntut untuk dirahasiakan demi kebaikan bersama. Keterbukaan ini
dapat menjaga kohesivitas kelompok sekaligus menjamin berjalannya fungsi
kontrol. Sedangkan al-shidq dalam arti kesungguhan mendorong manusia gar
serius, profesional dan bertanggung jawab dalam melaksanakan berbagai upaya dan
tugas.
Kedua, al-amanah
wa al-wafa bil ‘ahdi. Prinsip ini berasal dari dua kata, yaitu al-amanah
yang artinya beban yang harus dilaksanakan. Sedangkan al-wafa’ bi
al-ahdi berarti pemenuhan atas komitemen. Al-amanah mempunyai
kandungan arti lebih luas, karena menyangkut pemenuhan semua beban, baik tugas
yang terkait dengan perjanjian maupun tidak. Sedangkan al-wafa’ bi al-ahdi
hanya pemenuhan tugas yang terkait dengan perjanjan. Secara keseluruhan prinsip
ini mengandung pengertian dapat dipercaya, setia, dan pemenuhan komitmen. Maka
manusia dituntu untuk perupaya menjadi pribadi yang dapat dipercaya dengan cara
menepati semua komitmen. Maka manusia dituntut untuk menjadi pribadi yang
setia, patuh dan taat kepada Allah dan penguasa. Artinya, seorang harus
melakukan pemihakan terhadap Allah, Rasulullah dan penguasa yang baik dan adil.
Kepercayaan
membutuhkan konsistensi tanggung jawab. Sedangkan tepat janji merupakan
komitemn atas kesepatakan dan kesungguhan melaksanakannya, baik komitemn yang
bersifat pribadi dan sosial maupun agama. Allah berfirman, “Sesungguhnya
Allah memerintahkan kamu sekalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya”. (Q.S. Al-Nisa’ : 58).
Ketiga, al-‘adalah
yang artinya keadilan. Prinsip keadilan mengandungpenertian
obyektif, proporsional dan taat asas. Prinsip keadilan ini mendorong setiap
manusia untuk berpergian kepada kebenaran obyekif dan bertindak proporsional.
Bersikap adil secara otomatis mencita-citakan kebaikan di muka bumi. Sebab
hanya dengan keadilan akan terwujud sebuah obyektifitas, proporsionalitas, dan
supremasi hukum. Prinsip al-‘adalah juga memberikan implikasi
terwujudnya komitmen terhadap penegakan supremasi hukum dan kebijakan yang
mengacu kepada rasionalitas karena itu prinsip keadilan dan kebaikan merupakan
dua sisi mata uang yang harus diperjuangkan bersama-sama. Allah berfirman :
* ¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs? ÇÒÉÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (Q.S. An – Nahl :
90).
Keempat, al-ta’awwun
yang artinya tolong menolong. Prinsip ini mengandung pengertian
tolong-menolong, setia kawan, dan gotong-royong dalam mewujudkan kebaikan dan
ketakwaan. Prinsip al-ta’awwun menjunjung tinggi sikap solidaritas
sesama manusia dan berinteraksi bahu-membahu dalam hal kebaikan, baik bersifat
material maupun spiritual. Sebaliknya al-ta’awwun bukanlah prinsip dasar
untuk menopang tindakan destruktif yang dapat memperburuk kondisi sosial budaya
masyarakat. Allah berfirman yang artinya : “Dan tolong-menolong kamu dalam
berbuat dosa dan pelanggaran”. (Q.S. Al-Maidah: 2). Maka al-ta’awwun
akan mampu mewujudkan sinergitas antarmanusia untuk berusaha bersikap kreatif
agar dapat memiliki sesuatu yang dapat disumbangkan kepada orang lain dan
kepada kepentingan bersama. Mengembangkan sikap al-ta’awwun secara
otomatiss juga mengupayakan konsolidasi.
Kelima al-Istiqamah
yang artinya kesinambungan, keberlanjutan, dan kontinuitas. Prinsip ini
mendorong manusia untuk kukuh dalam memegang ketentuan Allah, Rasul-Nya, para
salaf al-salih dan aturan yang telah disepakati bersama. Al-Istiqamah
mengandung sikap kontinuitas dan percaya atas adanya proses prinsip al-istiqamah
juga mengandung pengertian kesinambungan dan keterkaitan antara satu kegitan
dengan kegiatan yang lain dan antara periode satu dengan periode yang lain
sehingga semuanya merupakan satu kesatuan yang saling menopang dan terkait. D
isamping itu prinsip al-istiqamah mengandung spirit kontinuitas,
progresifitas dan anti kejumudan. Sehingga al-istiqamah dapat menjamin
kontinuitas sebuah proses sampai pada titik kemajuan peradaban manusia. Lima
prinsip mabadi khaira ummah di atas merupakan metodologi khas ulama
pesantren. Hal ini tentu bagian dari watak otentik NU yang selalu dipandang
mempunyai irama dan tempo perubahan sendiri.
Mabadi
khaira ummah merupakan
jalan panjang bagi terwujudnya obsesi warga Nahdliyyin untuk menjdi umat
terbaik yang dapat berperang positif di tengah-tengah masyatakanya. Sehingga dalam
kehidupan berbangsa dan berbegara, warga Nahdliyyin dapat mewarnai dan
menadi acuan seluruh masyarakat bagi terbentuknya tatan khaira ummah, atau
dalam konteks, kekinian dikenal dengan istilah masyarakat madani.
Dalam
tataran implementasi mabadi’ khaira ummah sangat berkaitan dengan konsep
amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana dimaklumi, istilah amar ma’ruf
nahi munkar pertama kali diperkenalkan al-Qur’an dalam surat Al-A’raf ayat
157. Memerintahkan mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari
yang munkar, menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan
atas mereka yang jelek-jelek. Artinya konsep amar ma’ruf nahi munkar
merupakan instrumen gerakan NU sekaligus barometer keberhasilan mabadi
khaira ummah sebagai sebuah karakter kaum Nahdliyin, sehingga terbentuknya
masyarakat madani sangat dipengaruh oleh sejauh mana kaum Nahdliyin
mampu mengimplementasikan amar ma’ruf nahi munkar. Maka komunitas yang
termasuk dalam klasifikasi khaira ummah adlaah kelompok yang mampu melakukan amar
ma’ruf nahi munkar di samping juga siat-sifat yang lain. Sebaliknya upaya amar
ma’ruf nahi munkar secara benar akan dapat mewujudkan masyarakat madani.
C.
UKHUWAH NAHDLIYYAH
Ukhuwah Islamiyah adalah upya menumbuhkembangkan persaudaraan dengan berlandaskan
kepada kesamaan akidah atau aagama. Karena itu bentuk persaudaraan initidak
dibantasi oleh wilayah, kebangsaan atau ras. Seluruh umat Islam di seluruh
dunia adalah saudara. Tata hubungan dalam ukhuwah seluruh dunia adalah
saudara. Tata hubungan dalam ukhuwah Islamiyah menyangkut seluruh aspek
kehidupan masyarakat puncak dari ukhuwah Islamiyah adalah tumbuhnya
persaudaraan hakiki yang stabil dan sepanjang masa.
Spesifikasi
kaum Nahdliyyin yang sangat menonjol adalah sikap kebersamaannya yang
tinggi dengan masyarakat di sekelilingnya. Kaum Nahdliyyin merasa bahwa dirinya
merupkan bagian dari masyarakat, mulai dari struktur yang tekecil hingga yang
terbesar. Kaum Nahdliyyin mampu menempatkan manusia pada kedudukan yang sama di
hadapan Allah, sebagaimana firman Allah:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.(Q.S. Al-Hujarah: 31).
Di kalangan internal NU, ketegasan
Al-Qur’an dan Al-Hadits telah memberikan inspirasi besar sehingga menempatkan
isu ukhuwwah, persatuan dan kesatuan sehingga titik tekan pertama dan
utama. Sikap dan moralitas yang tinggi ini merupakan implementasi dari konsep
persaudaraan NU yang dikenal dengan ukhuwah Nahdliyyah. Landasan lain
dari ukhuwwah nahdilyyah adalah pendapat K.H. Hasyim Asy’ari yang
menegaskan bahwa persatuan,. Ikatan batin, tolong-menolong dan kesetiaan
antarmanusia dapat melahirkan kebahagiaan serta factor penting bagi tumbuh
kembangnya persaudaraan dan kasih saying. Konsepsi ukhuwah Nahdliyah
juga merujuk kepada Mukaddimah AD/ART NU yang secara umum dinyatakan bahwa NU
perlu mengemangkan ukhuwah Islamiyah yang mengemban kepentingan nasional demi
terciptanya sikap saling pengertian, saling membutuhkan, dan perdaimana dalam
hubungan antarbangsa. Secara etimologi, ukhuwah Nahdliyyah berasal dari dua kata
bahasa Arab; ukhuwah yang artinya persaudaraandan nahdliyyah yang
artinya perspektif kelompok NU.
Secara epistermologi, ukhuwwah
nahdliyyah adlah formulasi sikap ersaudaraan, kerukunan, persatuan, dan
solidaritas yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain atau satu kelompok
pada kelompok lain dalam interaksi soisal yangmenunjung tinggi nilai agma,
tradisi dan sejarah bangsa yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip Ahlussunnah
wal jama’ah. Kesejatian ukhuwah Nahdliyyah akan semakin meneguhkan
dan meningkatkan kualitas kaum Nahdliyin serta makin meningkatkan kontribusi
terbaiknya dlam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam redaksi
lain tri ukhuwah yang dikenal di laangan nahdliyin berakar pada konsep
pertama yaitu Ukhuwah Islamiyah, artinya persaudaraan, kerukunan,
berdasarkan ajaran agama Islam. Ketiga konsep persaudaraan dalam perspektif
kaum Nahdliyin tersebut adalah:
Pertama, ukhuwah Islamiyah, yaitu
persaudaraan antar pemeluk agama Iswlam. Menurut K.H. MUchit Muzadi, NU berpandangan
bahwa kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh ikatan kesamaan agama,
bangsa/Negara dan kejadian manusia. Sehingga Islam pun mengatur hubungan antar
sesama pemeluk Islam agar terwujud persaudaraandan kerukunan yang berdasarkan
saling pengertian dan menghormati di internal umat Islam.
Kedua, Ukhuwah Wathaniyah, yaitu
persaudaaan antar sesama bangsa. Pada diri manusia perlu ditumbuhkan
persaudaraan yang berdasarkan ats kesadaran berbangsa dan bernegara. Seluruh
bangsa Indonesia adalah saudara se-tanah air. Tata hubungan ukhuwah
wathaniyah menyangkut hal-hal yang bersifat social budaya. Ukhuwah
Wathaniyah merupakan spirit bagi kesejahteraan kehidupan bersama serta
instrument penting bagi proses kesadaran sebuah bangsa dalam mewujudkan
kesamaan derajat dan tanggung jawab.
Ketiga, Ukhuwah Insaniyah, yaitu
persaudaraan sesama umat manusia. Manusia mempunyai motivasi dalam menciptakan
iklim persaudaraan hakiki yang tumbuh dan berkembang atas dasar rasa
kemanusiaan yang bersifat universal. Seluruh manusia di dunia adlaah saudara.
Tata hubunan dalam ukhuwah insaniyah menyangkut hal-hal yang berkaitan
dengan martabat kemanusiaan untuk mencpai kehidupan yang sejahtera, adil dan
damai. Ukhuwah Insaniyah bersifat solidaritas kemanusiaan.
Karena itu bagi kaum Nahdliyyin,
secara teoritik maupun doctrinal, prinsip ukhuwah telahdiyakini sebagai
keniscayaan hidup. Jika nilai ukhuwah tidak tampak di permukaan berarti ada
factor luar yang menghambat dan hal itu dapat terjadi pada kelompok manapun,
seperti kedatangan atas Islam, pola piker sempit, fanatisme buta, sectarian,
rendahnya intensitas silaturahmi dan dialog terbuka, degradasi moral dan
minimnya keteladanan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas
maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Para ulama pesantren pendiri NU
mempunyai visi dan misi serta strategi gerakan kultural; menjaga, melestarikan
dan mengembangkan Islam ahlussunnah wal jama’ah di tengah-tengah kondisi dan
dinamika kehidupan.
Prinsip dasar, kaidah, tradisi
dan metode keilmuan Islam Ahlussunnah wal jama’ah ini telah memperteguh kaum Nahdliyin
dalam berpikir, bersikap dan bertindak, baik dalam relasi manusia dengan Allah,
manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam semesta. Hubungan tersebut
dibangun dalam suatu sistem kehidupan yang menjamin tegaknya moralitas
keagamaan dan martabat kemanusiaan serta tegaknya jiwa dan semangat amar ma’ruf
nahi mungkar.
DAFTAR PUSTAKA
Aceng Abdul Aziz Dy, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah
di Indonesia, Pustaka Ma’arif NU : Jakarta : 2006.
Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah,
Khalista : Surabaya 2006.
0 komentar:
Post a Comment