BAB I
PENDAHULUAN
Istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks
pendidikan baru muncul pada akhir abad 18. Terminologi ini biasanya mengacu
pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal
dengan teori pendidikan normatif. Yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai
transenden yang dipercaya sebagai motor pepnggerak sejarah, baik bagi individu
maupun bagi sebuah perubahan sosial.
Namun, bagian inti sejarah pendidikan itu sendiri,
misalnya kita temukan dalam cita-cita Paidele
Yunani, Humanitas Romawi dan
Pedagogi kristiani. Pendekatan idealis dalam masyarakat modern memuncak dalam
ide tentang kesadaran roh Hegelian. Perkembangan ini pada gilirannya
mengukuhkan dialektika sebagai sebuah bagian integral dari pendekatan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN KARAKTER
A.
FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ANAK
Elizabeth Hurlock (1993),
menjelaskan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh sekurang-kurangnya enam
kondisi lingkungannya.Diantara keenam kondisi lingkungan tersebut adalah:
1.
Hubungan antar pribadi yang menyenangkan
2.
Keadaan emosi
3.
Metode pengasuhan anak
4.
Peran dini yang diberikan kepada anak
5.
Struktur keluarga dimasa kanak-kanak
6.
Rangsangan terhadap lingkungan sekitarnya.
Enam faktor inilah yang menurut Ratna Megawati menjadi titik pijak pembentukan
karakter yang baik. Akar kata “karakter”, dapat dilacak dari kata Latin “Kharakter”, “Kharassein”, dan “Kharax”, yang mempunyai makna “Tools for marking”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini mulai banyak
digunakan (kembali) dalam bahasa Prancis “Caractere”
pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi “Character”, sebelum akhirnya menjadi
bahasa Indonesia “karakter”.
Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain.
Dengan pengertian diatas, maka dapat dikatakan bahwa membangun karakter adalah
proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga berbentuk unik,
menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah
huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lainnya.
Demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang
lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau “berkarakter”
tercela).
B.
PENDIDIKAN KARAKTER
Pencetus pendidikan karakter
yagn menekankan dimensi etis spriritual dalam proses pembentukan pribadi ialah
pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi
atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis
Deweyan.
Tujuan pendidikan karakter
adalah untuk membentuk karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek
dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter
merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi
identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan
karakter inilah, kualitas seseorang pribadi dapat diukur.
C.
EMPAT KARAKTER
Menurut Foerster ada empat ciri
dasar dalam pendidikan karakter. Diantara keempat ciri tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur
berdasarkan hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
2.
Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang
teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut
risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain.
Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
3.
Otonomi. Disitu seseorang menginternalisasikan aturan
dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat
penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan serta tekanan
dari pihak lain.
4.
Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan
seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan
dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati
tahap individualitas menuju personalitas. “Orang-orang modern sering mencampur
adukan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani,
antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang dapat
menentukan forma seseorang pribadi dalam segala bentuk tindakannya.
D.
PEMBENTUKAN
INDIVIDU BARU MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER
Kegagalan pendekatan moral reasoning dan valuesclarification yang mulai dirasakan akibatnya pada
demoralisasi masyarakat di era tahun 90-antelah membuat titik balik dalam
pendidikan moral di Amerika Serikat. Berdasarkan kenyataan itulah maka pada tahun
1992 para ahli pendidikan, pemimpin
remaja, dan sarjana etik yang menaruh perhatian pada kondisi ini melakukan pertemuan
di Aspen, Colorado dan menghasilkan deklarasi Aspen yang berisi antara lain
keyakinan bahwa generasi berikutnya adalah penentu bagi kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara sehingga masyarakat memerlukan warga negara yagn baik dengan
karakter moral yang baik pula. Mereka juga yakin bahwa seseorang tidak secara
otomatis memiliki karakter moral yang baik sehingga perlu dipikirkan upaya
untuk mendidik karakter secara efektif.
Untuk itulah kemudian disusun
suatu model baru dalam pendidikan moral yang berujung pada pendidikan karakter
agar penyakit yang berada didalam masyarakat Amerika maupun dinegara manapun
dibelahan bumi ini dapat diobati. Brooks dan Goble menyarankan dalam bukunya The Case for Character Educationagar sistem
pendidikan moral tidak lagi memikirkan tentang nilai-nilai siapa yang akan diajarkan
pada siswa disekolah, akan tetapi perlu dipikirkan nilai-nilai apa yang akan diajarkan
pada siswa. Dia juga menekankan bahwa agama-agama bensar di Amerika telah
memiliki kesamaan dalam hal pendidikan karakter dan mempunyai nilai-nilai luhur
yang dapat ditemukan dalam masing-masing ajaran agamanya.
Menurut William Bennett (1991)
sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak,
terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter dirumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak Amerika
menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori
anak-anak disekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa. Di
Indonesia, dimana agama diajarkan di sekolah-sekolah negeri, kelihatannya
pendidikan moral masih belum berhasil dari parameter kejahatan dan demoralisasi
masyarakat yang tampak meningkat pada
periode ini.
Dilihat dari esensinya seperti
yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan
pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan
belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikanpun tampaknya
terjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan dikonsentrasikan atau terpusat pada otak kiri/kognitif, yaitu
hanya mewajibkan siswa didik untuk mengetahui
dan menghafal konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi dan
nuraninya. Selain itu, tidak dilakukan praktik perilaku dan penerapan nilai kebaikan
dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan
metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia.
Karena itu tidaklah aneh jika
dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan disekolah dan
apa yang diterapkan anak di laur sekolah. Dengan demikian, peran orang tua
dalam pendidikan agama untuk membentuk
karakter anak menjadi amat mutlak, karena melalui orang tua pulalah anak memperoleh
kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui disekolah.
Tanpa keterlibatan orang tua
dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan disekolah akan
menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (atau akhlak dalam Islam) harus
mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus
dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
E.
KARAKTER DAN
KEBERHASILAN AKADEMIK ANAK
Dalam budaya yagn membahas
tentang kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence, Daniel Goleman (1995)
mengungkapkan pentingnya kemampuan untuk menguasai emosi (kecerdasan emosi)
sebagai penentu keberhasilan akademik anak, melebihi kemampuan intelektual yang
selama ini diakui berhubungan nyata dengan prestasi akademik siswa. Bahkan
Goleman menyatakan bahwa 90 persen kesuksesan seseorang ditentukan oleh
kecerdasan emosinya, sementara 20 persen ditentukan oleh IQ-nya.
Menurut Dorothy Rich (1997)
terdapat nilai (values), kemampuan (abilities) dan mesin dalam tubuh (inner engines) yang dapat dipelajari oleh
anak dan berperan amat penting untuk mencapai kesuksesan disekolah dan dimasa
yang akan datang. Hal ini ia percaya dapat dipelajari dan diajarkan oleh orang
tua maupun sekolah yang dinamakannyaMega
Skills, meliputi:
1.
Percaya diri (confidence)
2.
Motivasi (motivation)
3.
Usaha (effort)
4.
Tanggungjawab (responsibility)
5.
Inisiatif (initiative)
6.
Kemauan kuat (perseverence)
7.
Kasih sayang (caring)
8.
Kerjasama (team
work)
9.
Berpikir logis (Common
sense)
10.
Kemampuan pemecahan masalah (problem solving )
11.
Berkonsentrasi pada tujuan (focus).
F.
PENDIDIKAN NILAI
DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Dalam pendidikan karakter
Lickona (1992) menekankan pada tingginya tiga komponen karakter yang baik yaitu
moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang
moral dan moral action atau perbuatan
bermoral. Hal ini diperlakukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan
mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.
1.
Moral knowling
Terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moralknowling diantaranya adalah sebagai
berikut:
a)
Moral awereness
b)
Knowing moral
values
c)
Perspective taking
d)
Moral reasoning
e)
Decision making
f)
Self knowledge
2.
Moral feeling
Terdapat enam hal yang merupakan aspek dari emosi yang
harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter. Adapun
keenam hal yang merupakan aspek dari emosi tersebut adalah sebagai berikut:
a)
Conscience
b)
Self esteem
c)
Empathy
d)
Loving the good
e)
Self control
f)
humility
3.
Moral action
Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil dari dua
komponen karakter lainnya. Untuk
memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik maka harus
dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu:
a)
Kompetensi
b)
Keinginan
c)
Kebiasaan
G.
ELEMEN DAN
PENDEKATAN PENDIDIKAN KARAKTER
Menurut Brooks dan Gooble dalam
menjalankan pendidikan karakter terdapat tiga elemen yang penting untuk
diperhatikan yaitu prinsip, proses dan praktiknya dalam pengajaran. Dalam
menjelaskan prinsip itu maka nilai-nilai yang diajarkan harus termanifestasikan
dalam kurikulum sehingga semua siswa dalam sekolah faham benar tentang
nilai-nilai tersebut dan mampu menerjemahkannya dalam perilaku nyata. Untuk
itu, maka diperlukan pendekatan optimal untuk mengajarkan karakter secara
efektif yagn menurut Books dan Goble harus diterapkan diseluruh sekolah (school wide approach). Pendekatan yang
sebaiknya dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1.
Sekolah harus dipandang sebagai suatu lingkungan yang
diibarakan seperti pulau dengan bahasa dan budayanya sendiri. Namun sekolah
juga harus memperluas pendidikan karakter bukan saja kepada guru, staf dan
siswa didik, tetapi juga kepada keluarga srumah dan masyarakat.
2.
Dalam menjelaskan kurikulum karakter maka sebaiknya:
a)
Pengajaran tentang nilai-nilai berhubungan dengan sistem
sekolah secara keseluruhan
b)
Diajarkan sebagai subjek yang berdiri sendiri
c)
Seluruh staf menyadari dan mendukung tema nilai yang diajarkan.
3.
Penekanan ditempatkan untuk merangsang bagaimana siswa
menterjemahkan prinsip nilai kedalam bentuk perilaku pro-sosial.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan
bahwa Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
daripada yang lain. Dengan pengertian diatas, maka dapat dikatakan bahwa
membangun karakter adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa,
sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang
lain.
Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk
karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan
sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang
mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi
pengalaman kontingen yang selalu berubah.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Post a Comment