BAB I
PENDAHULUAN


Perbankan syari’ah dalam peristilahan internasional dikenal sebagai Islamic Banking atau juga disebut dengan interest-free banking. Peristilahan dengan menggunakan kata Islamic tidak dapat dilepasksan dari asal-usul system perbankan syari’ah itu sendiri. Bank Syari’ah pada awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok ekonom dan praktisi perbankan. Muslim yang berupaya mengakomodasi  desakan dari berbagai pihak yang menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuangan yang dilaksanakan sejalan dengan nilai moral dan prinsip-prinsip syari’ah Islam. Utamanya adalah berkaitan dengan pelarangan praktik riba, kegiatan maisir (spekulasi), dan gharar (ketidak jelasan).
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam makalah ini, akan dikembangkan dengan maksud mampu memberikan penjelasan mengenai pengertian bank syari’ah, peranan bank syari’ah dan perkembangan bank syari’ah di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN, PERANAN DAN PERKEMBANGAN
BANK SYARI’AH DI INDONESIA


A.    PENGERTIAN BANK SYARI’AH
Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank Syari’ah, adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan Bank Tanpa Bunga, adalah lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Atau dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang mengoperasianya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.
Antonio dan Perwataatmadja membedakan menjadi dua pengertian, yaitu bank islam dan bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam[1]. Bank Islam  adalah:
1.      Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam
2.      Bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadis.
Sementara bank yang beroperasi sesuai prinsip syari’ah Islam adalah bank yang dalam beroperasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syari’ah Islam. Khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam. Bank adalah lembaga perantara keuangan atau biasa disebut financial intermediary. Artinya, lembaga bank adalah lembaga yang dalam aktivitasnya berkaitan dengan masalah uang. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan alat pelancar terjadinya perdagangan yang utama. Kegiatan dan usaha bank akan selalu terkait dengan komoditas, antara lain:
1.      Memindahkan uang
2.      Menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening Koran
3.      Mendiskonto surat wesel, surat order maupun surat berharga lainnya
4.      Membeli dan menjual surat-surat berharga
5.      Membeli dan menjual cek, surat wesel, kertas dagang
6.      Memberi jaminan bank[2]
[
Untuk menghindari pengoperasian bank dengan system bunga, Islam memperkenalkan prinsip-prinsip muamalah Islam. Dengan kata lain, Bank Syari’ah lahir sebagai salash satu solusi alternative terhadap persoalan pertentangan antara bunga bank dengan riba. Dengan demikian, kerinduan umat Islam Indonesia yang ingin melepaskan diri dari persoalan riba telah mendapat jawaban dengan lahirnya bank Islam. Bank Islam lahir di Indonesia, yang gencarnya pada sekitar tahun 90-an atau tepatnya setelah undang-undang No. 7 tahun 1992, yang direvisi dengan Undang-undang Perbankan No. 10 tahun 1998, dalam bentuk sebuah bank beroperasinya dengan system bagi hasil atau bank Syari’ah[3].
Kaitan antara bank dengan uang dalam suatu unit bisnis adalah penting, namun di dalam pelaksanaanya harus menghilangkan adanya ketidak adilan, ketidak jujuran dan “penghisapan”[4] dari satu pihak ke pihak lain (bank dengan nasabahnya)[5]. Kedudukan bank Islam dengan hubungan dengan kliennya adalah sebagai mitra investor dan pedagang, sedangkan dalam hal bank pada umumnya, hubungannya adalah sebagai kreditur atau debitur. Sehubungan dengan jalinan investor dan pedagang tersebut, maka dalam menjalankan pekerjaanya, bank Islam menggunakan berbagai teknik dan metode investasi seperti kontrak Mudharabah[6]. Disamping itu, bank Islam juga terlibat dalam kontrak Murabahah. Mekanisme perbankan Islam yang berdasarkan prinsip mitra usaha, adalah bebas bunga. Oleh karena itu, soal membayarkan bunga kepada para depositor atau pembebanan suatu bunga dari para klien tidak timbul.

B.     PERANAN BANK SYARI’AH
Sistem lembaga keuangan, atau yang lebih khusus lagi disebut sebagai aturan yang menyangkut aspek keuangan dalam system mekanisme keuangan suatu Negara, telah menjadi instrument penting dalam memperlancar jalannya pembangunan bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tentu saja menuntut adanya system baku yang mengatur dalam kegiatan kehidupannya. Termasuk diantaranya kegiatan keuangan yang dijalankan oleh setiap umat. Hal ini berarti bahwa system baku termasuk dalam bidang ekonomi. Namun, di dalam perjalanan hidup umat manusia, kini telah terbelenggu dalam system perekonomian yang bersifat sekuler.
Keberadaan perbankan Islam di tanah air telah mendapatkan pijakan kokoh setelah lahirnya Undang-undang Perbankan No 7 tahun 1992 yang direvisi melalui Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, yang dengan tegas mengakui keberadaan dan berfungsinya bank bagi hasil atau bank Islam. Dengan demikian, bank ini adalah yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil. Bagi hasil adalah prinsip muamalah berdasarkan syari’ah dalam melakukan kegiatan usaha bank.[7]
Berbicara tentang peranan sesuatu, tidak dapat dipisahkan dengan fungsi dan kedudukan sesuatu itu. Diantara peranan bank islam adalah sebagai berikut:
1.      Memurnikan operasional perbankan syari’ah sehingga dapat lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat
2.      Meningkatkan kesadaran syari’ah umat Islam sehingga dapat memperluas segmen dan  pangsa pasar perbankan syari’ah
3.      Menjalin kerja sama dengan para ulama karena bagaimanapun peran ulama, khususnya di Indonesia, sangat dominan bagi kehidupan umat Islam.[8]
Adanya bank Islam diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan-pembiayaan yang dikeluarkan oleh bank islam. Melalui pembiayaan ini bank islam dapat menjadi mitra dengan nasabah, sehingga hubungan bank Islam dengan nasabah tidak lagi sebagai kreditur dan debitur saja tetapi menjadi hubungan kemitraan.
Secara khusus, peranan bank syari’ah secara nyata dapat terwujud dalam aspek-aspek berikut:
1.      Menjadi perekat nasionalisme baru, artinya bank syari’ah dapat menjadi fasilitator aktif bagi terbentuknya jaringan usaha ekonomi kerakyatan. Disamping itu, bank syari’ah perlu mencontoh keberhasilan Sarekat Dagang Islam, kemudian ditarik keberhasilannya untuk masa kini (Nasionalis, demokratis, religious, dan ekonomis).
2.      Memberdayakan ekonomi umat dan beroperasi secara transparan. Artinya, pengelolaan bank syari’ah harus di dasarkan pada visi ekonomi kerakyatan, dan upaya ini terwujud jika ada mekanisme operasi yang transparan.
3.      Memberikan return yang lebih  baik. Artinya investasi di bank syari’ah tidak memberikan janji yang pasti mengenai return (keuntungan) yang diberikan kepada investor. Oleh karena itu, bank syari’ah harus mampu memberikan return yang lebih baik dibandingkan dengan bank konvensional.
4.      Mendorong penurunan spekulasi di pasar keuangan. Artinya, bank syari’ah mendorong terjadinya transaksi produktif dari dana masyarakat. Dengan demikian, spekulasi dapat ditekan.
5.      Mendorong pemerataan pendapatan. Artinya, bank syari’ah bukan hanya mengumpulkan dana pihak ketiga, namun dapat mengumpulkan dana Zakat, Infaq,  dan Shadaqah (ZIS). Dana ZIS dapat disalurkan melalui pembiayaan Qordul Hasan sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya terjadi pemerataan ekonomi.
6.      Peningkatan efisiensi mobilisasi dana. Artinya, adanya produk al-mudharabah al-muqayyadah, berarti terjadi kebebasan bank untuk melakukan investasi atas dana yang diserahkan oleh investor, maka bank syari’ah sebagai financial arranger, bank memperoleh komisi atau bagi hasil, bukan karena spread bunga.
7.      Uswah hasanah implementasi moral dalam penyelenggaraan usaha bank.
8.      Salah satu sebab terjadinya krisis adalah adanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)[9].
Bank syari’ah karena sifatnya sebagai bank berdasarkan prinsip syari’ah wajib memposisikan  uswah hasanah[10] dalam implementasi moral dan etika bisnis yang benar atau melaksanakan etika dan moral agama dalam aktivitas ekonomi.
C.    PENGEMBANGAN BANK SYARI’AH DI TANAH AIR
Didalam Islam, uang dipandang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Diterimanya peranan uang ini secara meluas dengan maksud melenyapkan ketidak adilan, ketidak jujuran, dan penghisapan dalam ekonomi tukar-menukar. Sebagai alat tukar-menukar, peranan uang sangat dibenarkan, namnun apabila dikaitkan dengan persoalan ketidak adilaln, di dalam ekonomi tukar menukar uang digolongkan sebagai riba al-fadl[11]. Oleh karena itu dalam islam, uang sendiri tidak menghasilkan suatu apapun. Dengan demikian, bunga (riba) pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan dilarang (apabila memberatkan atau eksploitasi).
Menurut Mudrajad dan Suharjono (2002) mengatakan bahwa deregulasi financial yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini agaknya sejalan dengan deregulasi financial yang juga terjadi di Negara-negara Asia. Persamaanya terlihat pada tiga dimensi deregulasi yang terpisah, namun berkaitan erat, yaitu deregulasi harga (terutama deregulasi suku bunga), deregulasi produk (ragam jasa yang ditarwarkan), dan deregulasi spasial (kelonggaran pembukaan cabang atau hambatan memasuki pasar).[12]
Diakui apa tidak bahwa deregulasi financial di Indonesia telah memberikan iklim bagi tumbuh dan kembangnya bank syari’ah di Indonesia. Pada tahun 1991 telah berdiri dua bank syari’ah yaitu BPR Syari’ah Dana Mardhotillah, BPR Syari’ah Berkah Amal Sejahtera, keduanya berada di Bandung.
Pada tahun 1992, diundangkannya UU Perbankan Nomor 7 tahun 1992, yang isinya tentang bank bagi hasil. Saat itu pula berdiri Bank Muamalat Indonesia. Kemudian diikuti oleh BPR Syari’ah Bangun Drajad Warga dan BPR Syari’ah Margi Rizki Bahagia, keduanya berada di Yogyakarta.[13] Reaksi berikutnya  juga muncul, untuk melakukan revisi UU Nomor 7 tahun 1992 menjadi UU No. 10 tahun 1998. Dengan demikian, diterbitkannya UU No. 10 tahun 1998 memiliki kegiatan usaha perbankan dengan berdasarkan pada prinsip  syari’ah. Setelah UU No. 10 tahun 1998 di Indonesia telah berdiri: satu Bank Umum Syari’ah (Bank Muamalat Indonesia) ditambah dengan 80 BPR Syari’ah.
Kalau dilihat secara makro ekonomi, pengembangan bank syariah di Indonesia memiliki peluang besar karena peluang pasarnya yang luas sejurus dengan mayoritas penduduk Indonesia. UU No. 10 tidak menutup kemungkinan bagi pemilik bank Negara, swasta nasional bahkan pihak asing seklipun untuk membuka cabang syari’ahnya di Indonesia. Dengan terbentuknya kesempatan ini jelas akan memperbesar peluang transaksi keuangan di dunia perbankan kita, terutama bila terjalin hubungan kerja sama diantara bank-bank syari’ah. Hal ini guna menampung aspirasi dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mendirikan bank berdasarkan prinsip bank syariah ini, termasuk juga kesempatan konversi dari bank umum yang kegiatan usahanya berdasarkan pada pola konvensional menjadi pola syari’ah. Selain itu dibolehkan pula bagi pengelola bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang atau mengganti kantor cabang yang sudah ada menjadi kantor cabang khusus syari’ah dengan persyaratan yang tentunya melarang pada percampuran modal kerja dan akuntansinya.
Adanya UU Nomor 10 tahun 1998 ini dapat membawa kesegaran baru bagi dunia perbankan kita. Terutama bagi dunia perbankan syari’ah di tanah air, berdirinya bank-bank baru yang bekerja berdasarkan prinsip syari’ah akan menambah semarak lembaga keuangan syari’ah yang telah ada disini seperti:
1.      Bank umum syari’ah
2.      BPR Syari’ah
3.      Baitul Mal Wa Tamwil (BMT).


BAB III
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa perkambangan bank syari’ah di Indonesia ini sangat pesat yang dulu hanya ada Bank Muamalat Indonesia Saja tetapi sekarang sudah ada bank-bank konvensional yang membuka cabang dengan atas nama Syari’ah. Untuk menghindari pengoperasian bank dengan system bunga, Islam memperkenalkan prinsip-prinsip muamalah Islam.
Dengan kata lain, Bank Syari’ah lahir sebagai salash satu solusi alternative terhadap persoalan pertentangan antara bunga bank dengan riba. Dengan demikian, kerinduan umat Islam Indonesia yang ingin melepaskan diri dari persoalan riba telah mendapat jawaban dengan lahirnya bank Islam. Bank Islam lahir di Indonesia, yang gencarnya pada sekitar tahun 90-an atau tepatnya setelah undang-undang No. 7 tahun 1992, yang direvisi dengan Undang-undang Perbankan No. 10 tahun 1998, dalam bentuk sebuah bank beroperasinya dengan system bagi hasil atau bank Syari’ah







DAFTAR PUSTAKA


Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafe’I Antonio, 1997. Apa dan Bagaimana Bank Syari’ah, Yogyakarta: Dana Bakhti Wakaf.
Karnaen Perwataatmadja, 1997, “Istiqomah dalam menjalankan Operasional Bank Syari’ah”, Kertas Kerja Seminar Bank Syari’ah, pada tanggal 24 September 1997.
M. Syafe’I Antonio, 2000. Bank Islam: Teori dan Praktik, Jakarta: Gema Insani Press.
Mudrajad Kuncoro dan Suharjono, 2002, Manajemen Perbankan: Teori dan Aplikasi, Edisi Pertama, Yogyakarta: BPFE.
Muhammad, 2000, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press.
                    , 2005, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
                   , 2000, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syari’ah, Yogyakarta: UII Press.
                   



[1] Karmaen Perwataatmadja dan M. Syafe’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997, hal. 1
[2] Ibid
[3] Muhammad, “Manajemen  Bank  Syariah”,  Yogyakarta:  UPP AMP YKPN, 2005, hal.14
[4] Penghisapan= pada umumnya bank konvensional melakukan transaksi yang bersifat tidak boleh tidak, pasti, selalu untung dan tidak pernah rugi, atau sebaliknya nasabah melakukan hal yang sama.
[5] Muhammad,  Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2000, hal. 63
[6] Istilah Mudharabah dan atau Murabahah ini akan diperjelas dalam bagian yang membahas mengenai produk-produk bank syari’ah.
[7] Muhammad, “Manajemen Bank Syari’ah”, op cit, hal. 15
[8] Karmaen Perwataatmadja, “Istiwomah dalam menjalankan Operasional Bank Syari’ah”, Kertas Kerja Seminar Bank Syari’ah, pada tanggal 24 September 1997.
[9] Muhammad, “Manajemen Bank Syari’ah”, op cit, hal. 17
[10] Artinya dapat dicontoh oleh bank-bank lain yang baik
[11] Muhammad,  Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2000, HAL. 143
[12] Mudrajad Kuncoro dan Suharjono, Manajemen Perbankan: Teori dan Aplikasi, Edisi Pertama, Yogyakarta: BPFE, 2002, hal. 19
[13] M. Syafe’I Antonio, Bank Islam: Teori dan Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

0 komentar:

 
Top