BAB I
                                                  PENDAHULUAN         



Belakangan ini bank syariah menjadi incaran bagi para pelaku bisnis perbankan. Hal ini terjadi, karena dari sisi ekonomi keberadaan bank syari’ah ini memberikan nilai lebih dibandingkan dengan bank konvensional. Oleh karena itu, apa yang dijadikan dasar falsafah dalam pengembangan dan pengoperasionalan bank syariah? Berangkat dari dua pertanyaan mendasar tersebut, maka dalam makalah ini  akan menguraikan jawaban diatas, pertanyaan yang muncul.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam makalah ini akan menguraikan topik-topik sebagai berikut: dasar falsafah bank syari’ah, perbedaan antara sistem bunga dengan sistem bagi hasil, dan dasar hukum bank syari’ah di Indonesia secara singkat dan jelas.


BAB II
PEMBAHASAN
DASAR FALSAFAH DAN HUKUM BANK SYARI’AH



A.    DASAR FALSAFAH BANK SYARI’AH
Islam memandang bahwa bumi dan segala isinya merupakan amanah dari Allah kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini, untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat manusia. Untuk mencapai tujuan yang suci ini, Allah tidak meninggalkan manusia sendirian tetapi diberikannya petunjuk melalui para rasulnya. Dalam petunjuk itu, Allah berkan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik aqidah, akhlak maupun syari’ah.[1] Dua komponen  yang pertama (aqidah dan akhlak) sifatnya konstan dan tidak mengalami perubahan dengan berbedanya waktu dan tempat. Adapun komponen syari’ah senantiasa diubah sesuai dengan kebutuhandan taraf peradaban umat, dimana seseorang Rasul diutus. Seperti disabdakan Rasulullah yang berbunyi: “Saya dan Rasul-rasul yang lain tidak ubahnya bagaikan saudara sepupu, syari’at mereka banyak tetapi agama (aqidah)Nya satu (yaitu mentauhidkan Allah).”
Melihat kenyataan ini syari’ah Islam sebagai suatu syari’at yang dibawa Rasul terakhir mempunyai keunikan tersendiri, ia bukan saja komprehensif tetapi juga universal. Sifat-sifat istimewa ini mutlak diperlukan sebab tidak akan ada syari’at lain yang datang untuk menyempurnakannya.[2]
Komprehensif berarti ia merangkum seluruh aspek kehidupanbaik ritual maupun sosial (ibadah maupun muamalah). Ibadah diperlukan dengan tujuan untuk menjaga ketaatan, dan harmonisnya hubungan manusia dengan khaliqnya, serta untuk mengingatkan secara kontinu tugas manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini. Ketentuan-ketentuan muamalah diturunkan menjadi rule of game  dalam keberadaan manusia sebagai makhluk sosial.[3] Sedangkan universal bermakna ia dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai hari akhir nanti. Keuniversalan ini akan tampak jelas sekali terutama dalam bidang muamalah, dimana ia bukan saja luas dan fleksibel bahkan tidak memberikan special treatment bagi muslim yang membedakannya dari non muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali, yang artinya: “Dalam bidang muamalah kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita”.[4]
Sifat eternal muamalah ini dimungkinkan karena adanya apa yang dinamakan prinsip dan variabel dalam Islam. Kalau kita amibl contoh sektor ekonomi sebagai suatu prinsip, dapat dicontohkan dengan ketentuan-ketentuan dasar ekonomi seperti:
1.      Larangan riba
2.      Addanya prinsip bagi hasil
3.      Prinsip pengambilan keuntungan
4.      Pengenaan zakat
5.      dll[5]

Variabel merupakan instrumen-instrumen untuk melaksanakan prinsip-prinsip tadi seperti:
1.      mudharabah
2.      murabahah
3.      bai’ bithaman ajil[6]

Disinilah letak tugas para cendekiawan muslim sepanjang zaman untuk mengembangkan tekhnik penerapan prinsip-prinsip tadi dalam variabel-variabel sesuai dengan situasi dan kondisi semasa. Setiap lembaga syari’ah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah untuk memperoleh kebijakan didunia dan akhirat.
1.      Menjauhkan diri dari unsur riba
a)      Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka secara pasti keberhasilan suatu usaha (Q.S Lukman: 34).
b)      Menghindari penggunaan sistem persentasi untuk pembedaan biaya terhadap hutang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung hutang atau melipatgandakan secara otomatis hutang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (Q.S. Ali Imron: 130).
c)      Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kualitas  maupun kuantitas.
d)     Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka tambahan atas hutang  yang bukan atas prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela.
2.      Menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan
Dengan mengacu pada Qur’an surat Al-Baqarahayat 275 dan An-Nisa ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas dasar bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan muamalah berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi.[7]

B.     PERBEDAAN ANTARA SISTEM BUNGA DENGAN SISTEM BAGI HASIL
Hal mendasar yang membedakan antara lembaga keuangan non syari’ah dan syari’ah adalah terletak pada pengambilan dan pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan dan/atau yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah. Oleh karena itu, munculah istilah bunga dan bagi hasil. Persoalan bunga yang disebut sebagai riba telah menjadi bahan perdebatan dikalangan pemikir dan fikih Islam. Tampaknya kondisi ini tidak akan pernahberhenti sampai disini, namun akan terus diperbincangkan dari masa kemasa. Untuk mengatasi persoalan tersebut, sekarang umat Islam telah mencoba mengembangkan paradigma perekonomian dalam rangka perbaikan ekonomi umat dan peningkatan kesejahteraan umat. Realisasinya adalah berupa beroperasinya bank-bank syari’ah dipelosok Indonsia, yang beroperasi tidak mendasarkan pada bunga, namun dengan sistem bagi hasil.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa perbedaan antara sistem bunga dengan sistem bagi hasil yang diterapkan dalam sistem perbankan syari’ah. Secara mendasar persoalan tersebut dapat dikaji dari berbagai sisi, sebagaimana terletak dalam tabel berikut ini.[8]


Tabel 1.1
Perbedaan Sistem Bunga Dengan Sistem Bagi Hasil

HAL
SISTEM BUNGA
SISTEM BAGI HASIL
Penentuan besarnya hasil
Sebelumnya
Sesudah berusaha, sesudah untungnya.
Yang ditentukan sebelumnya
Bunga, besarnya nilai rupiah
Menyepakati proporsi pembagian untung untuk masing-masing pihak, misalnya 50:50, 40:60, 35: 65, dst.
Jika terjadi kerugian
Ditanggung oleh nasabah saja
Ditanggung kedua pihak, nasabah dan lembaga
Dihitung dari mana?
Dari dana yang dipinjamkan, fixed, tetap
Dari untung yang bakal diperoleh, belum tentu besarnya
Titik perhatian  proyek/usaha
Besarnya bunga yang harus dibayar nasabah/pasti diterima bank
Keberhasilan proyek/usaha jadi perhatian bersama (nasabah dan lembaga)
Berapa besarnya?
Pasti. (%) kali jumlah pinjaman yang telah pasti diketahui
Proporsi (%) kali jumlah untung yang belum diketahui = belum diketahui
Status hukum
Berlawan dengan Q.S. Luqman: 34
Melaksanakan Q.S. Luqman: 34


C.    DASAR HUKUM BANK SYARI’AH DI INDONESIA
Bank syari’ah di Indonesia mendapatkan pijakan yang kokoh setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Hal ini karena sejak saat itu diberikan keleluasaan penentuan tingkat suku bunga, termasuk nol persen (atau peniadaan bunga sekaligus). Sungguhpun demikian kesempatan ini belum termanfaatkan karena tidak diperkenankannya pembukaan kantor bank baru. Hal ini belangsung sampai dengan tahun 1988 dimana pemerintah mengeluakan Pakto 1988 yang memperkenankan berdirinya bank-bank baru. Kemudian posisi perbankan syari’ah semakin pasti setelah disahkan UU Perbankan No. 7 tahun 1992 dimana bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun keuntungan-keuntungan bagi hasil.
Dengan terbitnya PP No. 72 1992 tentang bank bagi hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa “bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (bunga) sebaliknya pula bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil (pasal 6), maka jalan bagi operasional Perbankan Syari’ah semakin luas.  Kini titik kulminasi telah tercapai dengan disahkannya UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan mendirikan bank syari’ah maupun yang ingin mengkonversi dari sistem konvensional menjadi sistem syari’ah.
UU No. 10 tahun 1998 ini sekaligus menghapus pasal 6 pada PP No. 72/1992 yang melarang dual sistem. Dengan tegas pasal 6 UU No. 10 tahun 1998 membolehkan bank umum yang melakukan kegiatan secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha dengan berdasarkan prinsip syariah melalui:
1.      Pendirian kantor cabang atau dibawah kantor cabang baru
2.      Pengubahan kantor cabang atau dibawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah.[10]

Sungguhpun demikian bank syari’ah yang berbeda ditanah air tetap harus tunduk kepada peraturan-peraturan dan persyaratan perbankan yang berlaku pada umumnya antara lain:[11]
1.      Ketentuan perizinan dalam pengembangan usaha, seperti pembukaan cabang dan kegiatan devisa.
2.      Kewajiban pelaporan ke Bank Indonesia.
3.      Pengawasan Internal.
4.      Pengawasan atas prestasi, permodalan, manajemen, rentabilitas, likuiditas dan faktor yang lainya.
5.      Pengenaan sanksi atas pelanggaran.

Disamping ketentuan-ketentuan diatas, Bank Syari’ah di Indonesia juga dibatasi oleh pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas Syai’ah (DPS). Hal yang terakhir ini memberikan implikasi bahwa setiap produk bank syari’ah mendapatkan persetujuan dari Dewan Pengawas Syari’ah terlebih dahulu sebelum perkenalan kepada masyarakat. Beberapa revisi pasal yang dianggap penting, dan merupakan aturan hukum yang secara leluasabank dapat menggunakan istilah syari’ah adalah:[12]
1.      Pasal 1 ayat 12 menyatakan “Pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.
2.      Pasal 1 ayat 13 berbunyi “Prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil(Mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal(Musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan(Murabahah), atau pembiayaan  barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan(Ijarah), atau dengan  adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain(Ijarah wa iqtina).
3.      Ketentuan pasal 6 huruf m diubah, sehingga pasal 6 huruf m menjadi berbunyi sebagai berikut: “Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syari’ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.”
4.      Ketentuan pasal 13 huruf c diubah, sehingga pasal 13 huruf c menjadi bunyi sebagai berikut “Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip syari’ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.

Dasar-dasar hukum positif inilah yang dijadikan pijakan bagi bank Islam Indonesia  dalam mengembangkan produk-produk dan operasionalnya. Berdasarkan hukum positif tersebut, bank Islam di Indonesia sebenarnya memiliki keleluasan dalam mengembangkan produk dan aktivitas operasionalnya.[13]
Operasional produk bank syari’ah di Indonesia dijadikan berdasarkan Undang-undang Peraturan Bank Indonesia dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia, sebagai berikut:


Undang-undang mengenai bank syari’ah sebagai berikut:
1.      Undang-undang No. 10 tahun 1998, tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, berikut penjelasannya.
2.      Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, berikut penjelasannya.

Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan bank syari’ah di Indonesia, meliputi:
1.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank  Umum yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah, berikut penjelasannya.
2.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang antar bank Berdasarkan  Prinsip Syari’ah, berikut penjelasannya.
3.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, berikut penjelasannya.
4.      Peraturan Bank Indonesia No. 4/1/PBI/2002 tentang perubahan kegiatan usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan Syari’ah dan Pembukaan Kantor Bank  BerdasarkanPrinsip Bank Syari’aholeh Bank Umum Konvensional, berikut penjelasannya.
5.      Peraturan Bank Indonesia No. 5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syari’ah, berikut penjelasannya.
6.      Peraturan Bank Indonesia No. 5/7/PBI/2003 tentang Kualitas Aktiva Produktif Bagi Bank Indonesia, berikut penjelasannya.
7.      Peraturan Bank Indonesia No. 5/9/PBI/2003 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva bagi Bank Syari’ah, berikut penjelasannya.


BAB III
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Dengan mengacu pada Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 dan An-Nisa ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas dasar bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan muamalah berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi.
     Disamping ketentuan-ketentuan diatas, Bank Syari’ah di Indonesia juga dibatasi oleh pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas Syai’ah (DPS). Hal yang terakhir ini memberikan implikasi bahwa setiap produk bank syari’ah mendapatkan persetujuan dari Dewan Pengawas Syari’ah terlebih dahulu sebelum perkenalan kepada masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA


Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah,Yogyakarta:  UPP AMP YKPN, 2005.

Muhammad Syafe’i Antonio, Bank Islam: Teori dan Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Muhammad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2000.

Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.



[1]Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah,Yogyakarta:  UPP AMP YKPN, 2005, hal.73.
[2]Muhammad Syafe’i Antonio, Bank Islam: Teori dan Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hal. 5
[3]Ibid
[4]Ibid
[5]Muhammad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2000
[6]Ibid
[7]Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Op Cit,hal. 75.
[8]Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah,Op Cit,hal. 75-76.
[9]Muhammad Syafe’i Antonio, Bank Islam Teori dan Praktik, Jakarta: Tazkia Institute bekerja sama dengan Gema Insani Press, 2001.
[10]Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.
[11]Ibid,lihat juga Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah Op Cit, hal. 77
[12]Ibid, Muhammad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Op Cit
[13]Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah,Log Cit, hal. 80.

0 komentar:

 
Top