BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
PERAN NU DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN
BERNEGARA
A.
PERAN
NU PADA MASA PENJAJAHAN
Pesantren sebagai front perlawanan terhadap penjajah
merupakan kenyataan sejarah yang terjadi disetiap tempat dan sembarang zaman.
Perlawanan digerakkan dari pesantren dan karenanya pesantren menjadi basis
perlindungan kaum pejuang kemerdekaan. Demikian halnya yang terjadi di
pesantren Demangan Bangkalan yang dipimpin Kiai Cholil yang sangat kharismatik.
Suatu ketika, ada beberapa pejuang dari Jawa yang bersembunyi dikompleks
Pesantren Demangan yang jauh dari keramaian kota itu.
Lama-kelamaan tentara penjajah mencium gelagat itu, maka
tidak ada pilihan lain kecuali harus mengerahkan tentara yang cukup besar untuk
mengobrak-abrik kompleks pesantren. Mereka begitu yakin para pejuang
bersembunyi di pesantren, tetapi mereka terkejut dan marah ketika dalam
setiap penggerebekan tak menemukan apa-apa. Tidak seorang pun yang dicurigai
sebagai pejuang kemerdekaan ditemukan, di antara sekian santri yanag sedang
mengaji. Karena jengkel, akhirnya mereka menahan Kiai Cholil sebagai sandera.
Mereka Berharap, dengan menyandera Kiai Cholil yang sudah sepuh itu, para
pejuang mau menyerahkan diri.
Ketika Kiai Cholil dimasukkan ke dalam tahanan, Belanda
direpotkan oleh berbagai kejadian yang aneh-aneh. Mula-mula, semua pintu
tahanan tak bisa ditutup, hal itu membuat semua aparat penjajah harus berjaga
siang dan malam, agar tahanan yang lain melarikan diri. Sementara itu para
pejuang ditunggu-tunggu tidak kunjung menyerahkan diri, walaupun pimpinan
mereka ditangkap.
Melihat kiainya ditahan, maka setiap hari ribuan orang dari
berbagai penjuru Pulau Madura, bahkan juga dari Jawa berdatangan untuk
menjenguk dan mengirim makanan kepada Kiai Cholil yang sangat mereka hormati.
Tentu saja hal itu juga memusingkan pihak penjajah, karena penjara menjadi
ramai seperti pasar. Akhirnya mereka mengeluarkan larangan mengunjungi Kiai
Cholil. Tapi ini juga tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat yang
berbondong-bondong itu berkerumun, berjejal di sekitar rumah tahanan, bahkan
ada yang minta ikut ditahan bersama Kiai Cholil. Melihat kenyataan itu akhirnya
Belanda membuat pertimbangan. Dari pada dipusingkan dengan hal-hal yang tak
bisa diatasi, maka akhirnya pihak penjajah membebaskan Kiai Cholil tanpa
syarat.
Penghormatan masyaraakat Jawa dan Madura pada kiai yang
satu ini sangat besar, selain menjadi guru hampir dari keseluruhan kiai Jawa,
sejak Kiai Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah, Kiai As’ad dan sebagainya, Kiai itu
juga dipercaya sebagai waliyullah yangs angat makrifat. Sang Kiai memang orang
yang alim dalam ilmu nahwu, fiqh dan tarekat. Ia tidak hanay menghafal
Al-qur’an, tetapidan menguasai segala ilmu Al-qur’an, termasuk qira’ah sab’ah
(tujuh macam seni baca Al-qur’an).
Sebagai seorang wali maka ia dimintai restu oleh berbagai
kalangan, termasuk salah satu ulama yang melegitimasi lahirnya NU adalah Kiai
Cholil, sebab sebelum mendapat isyarah dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim Asy’ari
masih menunda gagasan yang dilontarkan oleh Kiai Wahab Hasbullah untuk
mendirikan jam’iyah ulama itu. Baru setelah mendapat restu Kiai Cholil, melalui
Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Hasyim Asyari segera mendeklarasikan NU,
sebagai organisasi sosial, yang segera disambut oleh seluruh ulana Jawa, Maduran
bahkan luar Jawa dan dari luar naegeri. (Mun’im Dz dari berbagai sumber)
B.
PERAN
NU PADA MASA KEMERDEKAAN
Nadhlatul Ulama
(NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan semangat kebangkitan nasional,
memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Warga NU
baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat pernah ikut memperjuangkan
kemerdekaan negara tercinta ini.Perjuangan mereka dilakukan sesaat setelah
peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, karena sebulan setelah Indonesia merdeka
(pertengahan September 1945) Inggris kembali datang ke Indonesia untuk menjajah
kembali. Berangkat dari peristiwa tersebut, warga NU tergerak hatinya ikut
dalam gerakan melawan para penjajah, terutama saat Inggris ingin mengusai Jawa
Timur setelah sebelumnya menguasai berbagai daerah di Indonesia. Pada bulan
Oktober pasukan Inggris yang tergabung dalam NICA (Netherland Indies Civil
Administration) telah menguasai Medan, Padang, Palembang, Bandung dan
semarang,sedangkan kota-kota besar di Indonesia Timur diduduki oleh
Australia.Pembesar NU dan anggotanya melakukan perlawanan kepada pasukan
Inggris.
Saat itu, pasukan
Inggris berjumlah sekitar 6.000 orang yang terdiri dari jajahan India. NU juga
mendeklarasikan perang suci, berjihad melawan penjajah bersama masyarakat
lainnya. ''Ribuan kiai dan santri NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di
Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945, dipimpin oleh Rois Akbar NU
Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Mereka mendeklarasikan resolusi dengan sebutan
'resolusi jihad' yang isinya antara lain mempertahankan Kemerdekaan RI, 17
Agustus 1945,'' tulis MC Ricklefs (1991).Menurut Rickleft, resolusi jihad itu
merupakan fatwa tentang kewajiban perang melawan para kaum imprealis.
Berdasarkan fatwa tersebut, seluruh masyarakat Islam membentuk laskar perang.
Para sejarahwan mengakui bahwa pengaruh resolusi jihad.
C.
PERAN
NU PADA MASA ORDE LAMA
NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi gadis molek
yang diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde Lama sampai dengan paska
Orde baru. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan entitas organisasi
masyarakat keislaman lain membentuk Masyumi, pada zaman demokrasi liberal paska
kemerdekaan. Akibat konflik internal dan merasa tidak diakomodir oleh faksi
Islam modernis dalam Masyumi, NU kemudian mendirikan partai politik tersendiri
dan ikut pemilu legislatif dan konstituante pada 1955 dengan menjadikan sebagai
kekuataan terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi. Pada zaman orde lama paska
kembalinya ke UUD 45 dan pembekuan partai PSI dan Masyumi, presiden Soekarno
membentuk Nasakom dengan pilar Nasionalis (PNI), Agama (NU), dan Komunis
(PKI).Soeharto memaksa NU berfusii dengan faksi Islam lain dengan membentuk PPP
paska pemilihan umum 1971 di mana NU meraih suara terbesar kedua setelah Golkar.
Pembentukan PPP ini mengulang kejadian pembentukan Masyumi di mana peran NU
termarjinalkan oleh faksi Islam modern. Puncaknya pada Muktamar NU Situbondo
pada 1984 dengan dimotori Gus Dur mencoba “menetralkan” NU dari politik praktis
dengan kembali ke khitah 1926.
Selama 14 tahun Gus Dur mencoba menjaga jarak dengan
kekuasaan dan bermain politik bebas aktif dengan bermain di dua kaki, ikut
gerakan pro demokrasi dengan salah satunya mendirikan Fordem tapi di sisi lain
berdampingan dengan lingkar kekuasaan. Masih ingat pernyataan Gus Dur tentang
Mbak Tutut sebagai calon pemimpin masa depan Indonesia dan menemani safari
politik Tutut ke kantong-kantong NU.
Aktivitas Gus Dur membuat gerah Soeharto sehingga pada
Muktamar di Cipasung Tasik Malaya 1994, mencoba didongkel dengan pencalonan Abu
Hasan namun ternyata gagal. Tumbangnya Soeharto, menjadi masa bulan Madu NU
dengan politik, 1999-2004, dengan kendaraan PKB, NU mampu mengoptimalkan basis
masa sarungan dengan mendapatkan suara 10 persen. Sejak 2004, polarisasi
politik baik di NU dan PKB makin mengental, faksi Ketua Umum Hasyim Muzadi yang
mencalonkan diri wapres dengan masuk ke kubu Mega, sebaliknya Faksi Gus Dur
yang mencalonkan Gus Soleh bersama Wiranto. Paska pemilu 2004, faksi Gus Dur
pecah dengan terbentuknya kepemimpinan ganda antara faksi Gus Dur dengan Faksi
Muhaimin yang akhirnya dimenangkan Muhaimin. Perpecahan PKB ini menggerus suara
PKB yang turun drastis hanya mendapat setengah dari perolehan 1999 dan 2004.
Diawali dengan Pilkada Jatim 2008, dengan dimenangkannnya
Sukarwo-Gus Ipul, menjadi pertarungan pemanasan menuju Pilpres 2009. Pilkada
Jatim menunjukkan “pemenangnya” adalah NU, karena 4 kandidat memiliki
perwakilan NU. Setahun kemudian pertarungan tiga faksi terbesar di NU, yaitu
faksi Gus Dur yang akan cenderung Golput atau cenderung masuk ke Faksi
Mega-Prabowo, kemudian Kiai NU struktrural di KH Hasyim Muzadi yang lima tahun
lampau bertautan dengan Mega akan beralih peran dengan masuk ke kandang JK
Wiranto terkait, kemudian faksi adalah pendukung SBY-Budiono dengan motor
Muhaimin Iskandar, Gus Ipul dengan GP Anshornya didukung oleh kiai-kiai yang
berada di belakang Muhaimin saat konflik PKB.
Jawa Timur sebagai kandang NU terbesar di Indonesia akan
menjadi pertarungan 3 koalisi Capres dan Wapres, JK sudah tidak bisa berharap
dengan daerah Mataraman yang akan menjadi basis Politik SBY-Budi dan Mega
Prabowo, sekarang medan tempur sesungguhnya akan terjadi di daerah tapal kuda
dan madura yang menjadi ceruk perebutan ketiganya. Pertarungan sesungguhnya
akan terjadi antara Kubu JK Win yang “didukung” oleh Hasyim Muzadi dan Kubu SBY
Budiono yang didukung oleh Gus Ipul, Muhaimin dan kiai-kiai desa pendukungnya.
40 juta massa NU yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi lahan pertarungan
ketiga kubu. NU dengan struktur organisasi yang cair dan berbentuk federasi
ulama-ulama dibandingkan ikatan organisasi yang dikuasai satu patron pemimpin.
Setiap faksi tidak mampu mengikat massa NU secara keseluruhan. NU sejak 1950an
masih tetap sama, menjadi arena pertarungan politik untuk meraih massa
sarungan.
Di era tahun 1990-an semakin banyak anak-anak muda NU yang
belajar di Timur Tengah. Pasca pendidikan di pesantren-pesantren, mereka
melanjutkan pendidikannya di negara asal agama Islam. Berkat hubungan baik antara
pesantren dan lembaga pendidikan di Timur Tengah, selain semakin meningkatnya
kesejahteraan dan kesadaran pendidikan formal di kalangan orang NU, maka banyak
anak muda NU yang dikirim belajar ke sana.
Dalam dekade akhir, sudah banyak di antara mereka yang
menempati posisi strategis di dalam tubuh NU di hampir seluruh Indonesia.
Sebagai alumni Pendidikan Timur Tengah, terutama Arab Saudi, maka corak
pemikiran keagamaannya cenderung ke arah Islam formal, artinya Islam harus
menjadi simbol dalam segala hal, tak terkecuali simbol negara. Makanya, banyak
di antara mereka yang cenderung berpikir bahwa NKRI dengan Pancasila dan UUD
1945 bisa saja berubah asalkan sesuai dengan tataran realitas politik
masyarakat.
Ajaran Islam sudah memberikan pedoman dalam segala hal.
Islam mengandung ajaran syumuliyah (komprehensif) dan universal. Hubungan
antara politik dan negara lebih cenderung integrated. Mereka kurang sepakat
dengan adagium minyak onta cap babi, apalagi minyak babi cap onta. Sebab
seharusnya adalah minyak onta cap onta. Antara substansi dan simbol harus sama.
Di dalam studinya, Ali Maskan (2007) menyatakan bahwa elite NU juga ada yang
dikategorikan sebagai Elite NU Fundamentalis, selain yang Moderat dan
Fragmatis. Mereka yang beranggapan bahwa Islam mengandung ajaran yang
syumuliyah, Pan Islamisme, Universalisme dan formalisasi syariat ditipologikan
sebagai Elite NU Fundamentalis.
Mereka juga sangat antusias dalam mengapresiasi berbagai
macam konsepsi yang dikembangkan oleh MUI terkait dengan pelarangan terhadap
aliran sesat, liberalisme dan pluralisme. Kelompok ini dianggapnya akan dapat
menggerogoti terhadap keaslian Islam. Islam yang suci murni harus dijauhkan
dari doktrin yang bertentangan dengannya. Islam harus tetap genuine sebagaimana
sumber aslinya.
NU memang dikenal sebagai organisasi keagamaan yang
mengusung moderatisme yang rahmatan lil alamin. KH Hasyim Muzadi di dalam
berbagai forum mendengungkan tentang Islam dalam coraknya seperti ini. Dan NU
memang diapresiasi oleh banyak kalangan juga berkat konsep tawazunisme,
i’tidalisme, dan tawasutisme, namun dinamis dan kontekstual. Islam tidak hanya
ramah terhadap sesama umat Islam tetapi juga terhadap lainnya, bahkan terhadap
seluruh lingkungan. Islam sebagai mayoritas dapat menjadi pelindung bagi kaum
minoritas. Makanya harus terdapat formulasi yang tepat untuk semuanya itu. Di
dalam sistem kenegaraan, maka pilihannya adalah NKRI dengan asas Pancasila dan
UUD 1945.
D.
PERAN
NU PADA MASA ORDE BARU
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul
tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967),
kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris
MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967)
sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan
Pemuda Ansor. Luapan
kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan
yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan
Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme
di bumi Indonesia.
Bukan berarti tak ada kekecewaan,
justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan
politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor
Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara
partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP
Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa
suasana Kongres VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan
kekecewaan yang cukup mendalam.
Kongres VII GP
Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres tersebut
sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia.
Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat
Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE
(Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan
KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI).
Kongres kali ini
merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di
kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan
menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan
gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan.
Dalam kongres ini
juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb: (1) Menengaskan Orde Baru dengan
beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b)
menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam
manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d)
mempertahankan eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD
1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan
penganut-penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas
aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan
politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi
politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi
perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan kongres. Perkara
politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut. Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP
Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang
bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif Politis. Ansor
menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang bermotif terror,
GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya. Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya
dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan
operasi Trisula. Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan
selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut. Ansor
ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis
dan strategis.
Sesungguhnya
kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul.
Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya
pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan
hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar
ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak
mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata
Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan
di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism. Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh
pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan.
Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih
kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan
otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa Pesantren sebagai front perlawanan
terhadap penjajah merupakan kenyataan sejarah yang terjadi disetiap tempat dan
sembarang zaman. Perlawanan digerakkan dari pesantren dan karenanya pesantren
menjadi basis perlindungan kaum pejuang kemerdekaan. Nadhlatul
Ulama (NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan semangat kebangkitan
nasional, memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Warga NU baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat
pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta ini. NU
dalam setiap penyelenggaraan
pemilu menjadi gadis molek yang diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde
Lama sampai dengan paska Orde baru. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan
entitas organisasi masyarakat keislaman lain membentuk Masyumi, pada zaman
demokrasi liberal paska kemerdekaan Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor
di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan
atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya
komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Aceng Abdul Aziz Dy, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah
di Indonesia, Pustaka Ma’arif NU : Jakarta : 2006.
Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah,
Khalista : Surabaya 2006.
0 komentar:
Post a Comment