BAB I
PENDAHULUAN
Rukyat dan
Hisab adalah suatu metode yang digunakan oleh kita sebagai muslim dalam
menentukan berbagai pecahan waktu dan berkaitan erat dengan proses ibadah
seperti penentuan awal bulan ramadhan dan awal bulan syawal. Dalam kaitannya dengan
Ibadah tentu hal ini akan sangat mempengaruhi dalam kelancaran proses
pelaksanannya. Kesalahan dalam penetapan waktu maka akan berdampak buruk
bagi ummat.
Berangkat
dari hal ini maka saya akan coba menyajikan sedikit penjelasan sekaligus
berbagi pengetahuan mengenai Hisab dan Rukyat. Membahas beberapa poin penting
yang mempengaruhi dua hal tersebut, cara penetapan tanggal dan waktu yang benar
serta pembahasan mengenai pendapat dari berbagai tokoh dan lembaga mengenai
Hisab dan Rukyat. Tentunya dengan kaca global dan tidak menitik beratkan untuk
membela salah satu golongan ataupun menyalahkan salah satu pendapat, hanya
untuk menyajikan sebagai bahan pertimbanagan para pembaca sekalian. Hasil akhir
tentu kembali pada keyakinan masing – masing pribadi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DASAR
Hisab
adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi
bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.Rukyat
adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang
nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat
dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah matahari
terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding
dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat,
maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru
Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib
hari berikutnya.Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari
diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam.
Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan
(visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29
atau 30 hari.
B. PENGERTIAN LEBIH LANJUT
1.
Hisab
Hisab secara harfiah perhitungan. Dalam
dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk
memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi
penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu
salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai
penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting
terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal
(Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9
Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Dalam Al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 5
dikatakan bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat
menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat
5 disebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.Karena
ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit
(khususnya matahari dan bulan) maka sejak awal peradaban Islam menaruh
perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim ternama yang telah
mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al
Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.
Dewasa ini, metode hisab telah
menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai
perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali
digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan
kapan ijtimak terjadi, yaitu saat matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi
sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi
pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika
diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu
periode sinodik.
2. Rukyat
Salah satu contoh hasil pengamatan kedudukan hilal
Rukyat adalah aktivitas mengamati
visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak
setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau
dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Aktivitas rukyat dilakukan pada saat
menjelang terbenamnya matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini,
posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah
terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu
setempat telah memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya hilal
dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari
terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena
iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan “cahaya langit”
sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat
tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara
Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan
menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging.
namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut.
C. KRITERIA PENENTUAN AWAL BULAN KALENDER HIJRIYAH
Penentuan awal bulan menjadi sangat
signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam,
seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan
penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta
Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari
Raya Idul Adha).
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa
untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan
pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa
penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan
matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya
mengklaim memiliki dasar yang kuat.
Berikut adalah beberapa kriteria yang
digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di
Indonesia:
1.
Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan
awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara
langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat),
maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.Kriteria
ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:Berpuasalah kamu karena melihat
hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah
(istikmal)”.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh
Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para
sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab
tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu
masuknya awal bulan Hijriyah.
D. WUJUDUL HILAL
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan
awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak
(konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub),
dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset);
maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender)
Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat
Matahari terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh
Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha
untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah
tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode
Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan
hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan
dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk
atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur’an pada QS. Yunus: 5,
QS. Al Isra’: 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran
astronomis atas QS. Yasin: 36-40.
E. IMKANUR RUKYAT MABIMS
Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan
awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah
Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura
(MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada
Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:Awal bulan (kalender) Hijriyah
terjadi jika:
- Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
- Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah
mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat
dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3
kemungkinan kondisi.
1.
Ketinggian hilal kurang dari
0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk
bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
2.
Ketinggian hilal lebih dari
2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan
rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal
bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi
ini.
3.
Ketinggian hilal antara 0
sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyat.
Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal
berhasil dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode
rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil
melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga
malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab
mengambil kesimpulan yang berbeda.
Meski demikian ada juga yang berpikir
bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat.
Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini.Hal ini
terjadi pada penetapan 1 Syawal 1432 H / 2011 M.Di Indonesia, secara tradisi
pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada
bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR)
melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan
dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki
bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari.
Prinsip Imkanur-Rukyat digunakan antara lain oleh Persis.Di samping metode
Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan
besaran sudut/angka minimum yang berbeda.
F.
RUKYAT GLOBAL
Rukyat Global adalah kriteria penentuan
awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk
negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas
telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum
melihatnya.
- Perbedaan Kriteria
Metode penentuan kriteria penentuan awal
Bulan Kalender Hijriyah yang berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan
awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti
puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.Di Indonesia, perbedaan tersebut
pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya
Jumat (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat
NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat.
Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993
dan 1994.Pada tahun 2011 juga terjadi perbedaan yang menarik.
Dalam kalender resmi Indonesia sudah
tercetak bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011. Tetapi sidang isbat
memutuskan awal Syawal berubah menjadi 31 Agustus 2011. Sementara itu,
Muhammadiyah tetap pada pendirian semula awal Syawal jatuh pada 30 Agustus 2011.
Namun demikian, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut
hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan
masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.
Salah satu saat Muhammadiyah ‘naik’ di
media massa adalah ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya,
Muhammadiyah yang memakai metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah
yang memakai metode rukyat dalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Hal ini
menyebabkan ada kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal versi Muhammadiyah berbeda
dengan pemerintah. Dan halini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak
menerima kritik, mulai dari tidakpatuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah
Islamiyah, hingga tidak mengikutiRasullullah Saw yang jelas memakai rukyat
al-hilal. Bahkan dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada yang belum bisa
menerima penggunaan metode hisab ini.
Umumnya, mereka yang tidak dapat
menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits yaitu “Berpuasalah
kamu karenamelihat hilal dan bebukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika
bulanterhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan
Sya’bantigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut (dan
jugacontoh Rasulullah Saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal
itulahyang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah
yang tidak punya referensi pada Rasulullah Saw. Lalu, mengapa Muhammadiyah
bersikukuh memakai metode hisab? Berikut adalah alasan-alasan yang saya
ringkaskan dari makalah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang
disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu
UMY.
Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah
hisab wujud al hilal,yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan
bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah
terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam,
dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen
mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai
berikut.
Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada
dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5).
Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan
hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan
untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5
disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan
waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw
menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah
melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat
adalah karena ummat zaman Nabi SAW adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca
tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah
Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya kami adalah
umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan
itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan
kadang-kadang tiga puluh hari”..Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku
menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga
tidak ada yang dapat melakukan hisab,maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan
jika ilat tidak ada (sudah ada ahlihisab), maka perintah rukyat tidak berlaku
lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebutbahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya,
melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al
Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk
menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat
di mana tidak ada orangmengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat
tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui
pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam
hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000
tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender
yang terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat
tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat
memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan
ibadah. Hal ini karena rukyatpada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh
muka bumi. Pada hari yang samaada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka
bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara
60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal,
di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat
dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran
artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24 jam dan malam
pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke
arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat
di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat
fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena
keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila
terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat ituberlaku untuk seluruh muka bumi.
Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman
sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat
semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa
terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementaradi kawasan sebelah barat sudah,
atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga
bisa terjadi kawasan lain berbeda satu haridengan Makkah dalam memasuki awal
bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi
tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan
dengan hari Idul Adha di ujung baratitu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk
bulan Zulhijah demi menunggu Makkahpadahal hilal sudah terpampang di ufuk
mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan
bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan
komprehensif. Dan karena itutidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat
Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan
pengorganisasian sistemwaktu Islam di dunia internasional sekarang muncul
seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar
II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li
Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan
rekomendasi (at Taqrir alKhittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah
penggunaan hisab: parapeserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika
penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali
berdasarkan penerimaanterhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah,
seperti halnya penggunaanhisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.
G. LEGALISASI METODOLOGI RUKYAH DAN HISAB
Membicarakan metodologi rukyah (dalam
konteks Indonesia) tentunya tidak lepas dari organisasi besar Nahdlatul Ulama
(NU). Setiap menjelang bulan puasa dan hari raya, organisasi ini secara
konsisten menggunakan metode rukyah sebagai skala prioritasnya, daripada metode
hisab. Legalitas metodologi rukyah yang digunakan bertendensi pada al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 185 dan banyak Hadis yang secara eksplisit menggunakan
redaksi “rukyah” dalam menentukan awal bulan awal puasa dan
hari raya. Oleh karena itu –menurut mereka, dengan mengacu pada pendapat
mayoritas ulama– hadis mengenai rukyah tersebut mempunyai kapasitas sebagai
interpretasi al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 tersebut di atas. Jika bentuk
perintah pada redaksi Hadis sekaligus praktek yang dilakukan pada periode nabi
telah jelas menggunakan rukyah, mengapa harus menggunakan metode hisab.
Pada kesempatan yang sama, organisasi
keagamaan semisal Muhammadiyah bersikeras menggunakan metodologi hisab dan
meyakini bahwa metode ini sebagai metode paling relevan yang harus digunakan
umat Islam dewasa ini. Argumen ini mengemuka salah satunya mengacu pada aspek
akurasi metodologis-nya. Menurut mereka, polusi, pemanasan global dan
keterbatasan kemampuan penglihatan manusia juga menyebabkan metode rukyah
semakin jauh relevansinya untuk dijadikan acuan penentuan awal bulan.
Semangat al-Qur’an adalah menggunakan
hisab, sebagaimana terdapat pada surat al-Rahman ayat 5. Di sana menegaskan
bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu
dapat dihitung dan diteliti. Kapasitas ayat ini bukan hanya bersifat
informatif, namun lebih dari itu, ia sebagai motifasi umat Islam untuk
melakukan perhitungan gerak matahari dan bulan.
Mengenai redaksi “syahida” dalam
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 itu bukanlah “melihat” sebagai
interpretasinya, namun ia bermakna “bersaksi”, meskipun dalam tataran praktis
pesaksi samasekali tidak melihat visibilitas hilal (penampakan bulan).Memang,
banyak hadis secara eksplisit memerintahkan untuk melakukan rukyah, ketika
hendak memasuki bulan Ramadan maupun Syawal. Namun redaksi itu muncul
disebabkan kondisi disiplin ilmu astronomi periode nabi berbeda dengan periode
sekarang, dimana kajian astronomi sekarang jauh lebih sistematis sekaligus
akurasinya lebih dapat dipertanggungjawabkan. Nabi sendiri dalam sebuah
hadisnya menyatakan bahwa: “innâ ummatun ummiyyatun, lâ naktubu wa lâ
nahsubu. Al-Syahru hâkadzâ wa hâkadzâ wa asyâra biyadihi”, Artinya: “Kita
adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan berhitung. Bulan itu seperti ini
dan seperti ini, (nabi berisyarat dengan menggunakan tangannya)”.Jadi,
memprioritaskan metode hisab merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan
pada periode nabi.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Rukyat dan
Hisab adalah suatu metode yang digunakan oleh kita sebagai muslim dalam
menentukan berbagai pecahan waktu dan berkaitan erat dengan proses ibadah
seperti penentuan awal bulan ramadhan dan awal bulan syawal. Dalam kaitannya
dengan Ibadah tentu hal ini akan sangat mempengaruhi dalam kelancaran proses
pelaksanannya. Kesalahan dalam penetapan waktu maka akan berdampak buruk
bagi ummat.
Hisab
adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi
bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.Rukyat
adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang
nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat
dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah matahari
terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding
dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat,
maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru
Hijriyah.
DAFTAR
PUSTAKA
0 komentar:
Post a Comment