BAB I
PENDAHULUAN
Berdirinya
NU tak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahlussunnah wal
jama’ah. Ajaran ini bersumber dari al-Qur’an, sunnah, Ijma’
(keputusan-keputusan para ulama sebelumnya), dan qiyas (kasus-kasus yang ada
dalam cerita al-Qur’an dan hadits). Secara rinci ajaran itu, seperti dikutip
oleh Marijan dari KH Mustafa Bisri, ada tiga substansi, yaitu (1) dalam bidang hukum-hukum
Islam, menganut salah satu ajaran dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I,
dan Hambali), yang dalam praktinya para kyai NU menganut kuat mazhab Syafi’I;
(2) dalam soal tauhid (ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari
dan Imam Abu Mansur al-Maturidi; dan (3) dalam bidang tasawuf, menganut
dasar-dasar ajarna Imam Abu Qasim Al-Junaidi.
Para
Ulama dinusantara penganut ajaran itu, agaknya merasa terdesak dengan adanya
gerakan-gerakan kaum progresif yang ditandai dengan berdirinya Muhammadiyah
tahun 1912 yang juga sekaligus berlangsung upaya-upaya pengabaian ajaran sunni
di timur tengah. Oleh karena itu, NU didirikan dengan suatu ikhtiar dalam
rangka mempertahankan dan mengembangkan ajaran-ajaran yang dianut.
BAB II
PEMBAHASAN
POLA KEPEMIMPINAN DALAM NU
A.
LATAR BELAKANG
BERDIRINYA NU
Latar belakang kelahiran NU dilihat secara spesifik dalam
konteks kekecewaan Islam tradisional yang tesingkir dari komite khilafat yang
akan mewakili umat Islam Indonesia pada kongres Islam dimekah tahun 1926.
Tetapi kongres Khilafat di Mesir di Tunda, karena perkalian umat Islam tertuju
pada karena perkalian umat Islam tertuju pada perkembangan di Hijaz di mana
Ibnu Saud berhasil mengusir Syarif Husein dri Mekah 1924.
Sebagai organisasi NU, berkembang pesat pada 15 tahun
pertama sejak pembentukannya, data statistik ini mengenai periode ini
menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat. Muhtamar NU pada tahun 1926 dihadiri
96 kiai, dan tahun berikutnya mengalami kemajuan yang begitu pesat. Pada tahun
1933 anggotanya diperkirakan mencapai 40.000 dan setahun kemudian sumber
Belanda menyatakan 400 kiai bergabung dengan NU.[1]
B.
PENDIRI NU
Sebagaimana telah diketahui, bahwa pilir utama pendiri NU
adalah K.H. Hasyim Asy’ari dan D.h. Wahab Hasbullah. Hasyim Asy’ari adalah
legimitasi dalam pendiri organisasi ini. Pada tanggal 31 Januari 1926 di
Surabaya bersepakat mendirikan Jamiyyah NU.
C. GERAKAN NU KULTURAL
NU sebagai
organisasi masa Islam, sampai sekarang masih menjadi bahasan yang menarik di
dunia akademik. Banyak peneliti asing yang tertarik dengan NU, di antaranya
Martin van Bruinessen, Greg Barton, Greg Fealy, Ben Anderson, Mitsuo Nakamura
dan lain sebagainya. Mereka tertarik kultur NU dengan ketradisionalannya yang
dianggap eksotik.
Berbeda dengan
aliran Islam lainnya, NU sangat menghargai tradisi dan kebudayaan setempat.
Para peneliti ini mengikuti penelitian Antropologis yang sebelumnya pernah
dilakukan. Mereka adalah Clifford Gertz, Andrew Beautty, Mark R. Woodward,
Robert Hefner dan antropolog lainya yang memfokuskan pada agama Jawa.
Karya-karya yang dihasilkan oleh para peneliti ini hingga sekarang cukup
populer dan selalu menjadi rujukan di dunia akademis baik di Indonesia maupun
di luar negeri.
Dalam konteks
seperti ini, NU menjadi obyek penelitian. Para peneliti inilah yang memiliki
otoritas untuk merepresentasikan NU, baik itu berupa sejarah, komunitas,
perilaku, dan masa depan NU. Sebagai obyek penelitian, tentunya NU sama sekali
tidak memiliki otoritas dalam merepresentasikan dirinya. Hasil-hasil penelitian
beberapa peneliti ini, bukan tidak berdampak pada perkembangan Islam di
Indonesia. Kita perlu menyadari bersama bahwa peneliti Barat bukan hanya
sekedar meneliti atas nama pengetahuan belaka. Mereka datang untuk meneliti
sekaligus membuat bangunan epistemologi gerakan Islam. Sehingga wajar jika
gerakan Islam di Indonesia semakin bias kepentingan.
D. SISTEM KORGANISASIAN NU
- Kepengurusan NU
Kepengurusan Nahdlatul Ulama’ (NU) terdiri atas Mustasyar, Syuri’ah, dan Tanfizdiah.
a.
Mustasyar adalah
penasehat yang secara kolektif bertugas memberikan nasiaht kepada pengurus NU
menurut tingkatannya dalam rangka menjaga kemurnian khittah Nahdliyah Ulama dan
menyelesaikan persengketaan.
b.
Syuriah adalah jabatan
tertinggi organisasi NU yang berfungsi sebagai pembina, pengendali, pengawas,
dan penentu kebijakan dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi.
c.
Tanfidiyah adalah
pelaksana harian organisasi NU yang bertugas.
1)
Memimpin jalannya
organisasi sesuai dengan kebijakan di tetapkan pengurus Syuriah.
2)
Melaksanakan program
NU
3)
Mengawasi kegiatan
semua berangkat
4)
Melaporkan secara
periodik kepada Syuri’ah.
- Tingkat kepengurusan/ Kepemimpinan NU
Tingkat kepengurusan dalam Organisasi
NU terdiri atas pengurus besar (PB) untuk tingkat pusat, pengurus Wilayah (PW),
untuk Propinsi, Pengurus Cabang (PC), tingkat Kabupaten/Kota, pengurus majelis
wakil cabang (MWC), tingkat kecamatan dan pengurus ranting (PR).
a. Pengurus Besar
Adalah
kepengurusan organiasi NU ditingkat pusat dan berkedudukan di Ibu kota RI.
Kebijaksanaan dalam pengendalian organisasi dan pelaksanaan keputusan Muhtamar.
b. Pengurus Wilayah
Adalah
kepengurusan organiasi NU ditingkat Propinsi yang disamakan dengannya dan
berkedudukan di ibu Kota propinsi.
c. Pengurus Cabang
Adalah kepengurusan organiasi NU ditingkat kabupaten /
kota dan berkedudukan di Ibu Kota-nya, sedang pengurus cabang istimewa di luar
negeri, kedudukannya ditetapkan oleh pengurus Besar.
d. Pengurus Majelis Wakil Cabang
Adalah
kepengurusan organiasi NU ditingkat kecamatan pengurus ini mengkoordinir
rangting-ranting di daerahnya dan melaksanakan kebijakan pengurus cabang dan
MWC untuk daerahnya serta keputusan-keputusan rapat anggota.
E.
SISTEM
PERMUSYAWARATAN KEPEMIMPINAN NU
NU mempunyai
7 macam sistem permusyawaratan kepemimpinan organiasi NU, yaitu :
- Mukhtamar
Di
selenggarakan 5 tahun sekali, dihadiri oleh, pengurus Besar, Pengurus Wilayah,
Cabang dan dihadiri juga oleh alim Ulama, serta undangan dari tenaga ahli yang
berkompeten.
- Musyawarah Nasional alim Ulama’
Diselenggarakan para alim Ulama’ yang diselenggarakan leh
pengurus besar Syuri’ah, membahas masalah-masalah keagamaan, Munas alim Ulama’
tidak dapat mengubah AD/ART, keputusan-keputusan Muhtamar dan tidak dapat
mengadakan pemilihan pengurus Baru.
- Konferensi Besar
Diadakan
oleh pengurus besar atau atas permintaan separuh dari jumlah pengurus wilayah
yang sah merupakan instansi permusyawaratan tertinggi setelah mukhtamar.
- Konferensi Wilayah
Diselenggarakan oleh pengurus wilayah 5 tahun sekali,
dihadiri oleh pengurus wilayah dan utusan-utusan cabang untuk menyusun rencana
kerja lima tahun, membahas keagamaan, serta memilih pengurus baru.
- Konferensi cabang
Diselenggarakan
oleh cabang setiap 5 tahun sekali yang yang dihadiri Pengurus Cabang dan utusan
MWC dan ranting daerahnya untuk membahas pertanggung jawaban pengurus Cabang,
dan lain-lain.
F. QONUN ASASI
Qanun Asasi
li Jami'ati Nahdlatil Ulama dirumuskan
oleh KH. Hasyim Asy’ari . Qanun Asasi berisi dua bagian
pokok,yaitu:
Pertama, risalah Ahlussunnah wal Jamaah, yang memuat tentang
kategorisasi sunnah dan bid’ah dan penyebarannya di pulau Jawa. Kedua,
keharusan mengikuti mazhab empat.[2]
Namun, dalam Qanun Asasi, KH. Hasyim Asy'ari tidak secara eksplisit
mengemukakan definisi Aswaja. KH. Hasyim Asy'ari hanya mengemukakan keharusan
bagi warga Ahlussunah Wal Jamaah untuk berpegang kepada madzhab fikih empat
(Syafii,Maliki,Hanafi,Hambali) karena hidup bermadzhab lebih dapat menyatukan
kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan
lebih mudah dijangkau.
Dengan
bermadzhab kita akan lebih mudah menemukan jalan yang benar dalam beribadah
kepada Allah dan tidak mudah tersesat pada pendapat-pendapat atau ijtihad yang
tidak jelas kesahihannya.Inilah yang dilakukan oleh salafunasshalih. Karena dewasa ini banyak kita temukan
masyarakat yang dengan mudahnya mengikuti pendapat orang lain tanpa tahu dasar
hukumnya.
Namun demikian,
ada rumusan baku
yang disajikan KH. Hasyim Asy’ari tentang "sunnah dan bid'ah". Kata
sunnah sebagaimana ia kutip dari Abu al-Baqa' dalam bukunya al-Kulliyat, secara
bahasa berarti jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut
syara', sunnah adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama
sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah SAW atau tokoh agama lainnya,
seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab Uddah
al-Murid, menurut syara', bid'ah adalah munculnya perkara baru dalam agama yang
kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun
hakekatnya.
Yang menarik
dalam Qanun Asasi, KH. Hasyim Asy'ari melakukan serangan keras kepada
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn Abdil Wahhab, Ibnu Taymiyah, dan dua
muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang
telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam
Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syekh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'I
dalam risalahnya Tathir al-Fu'ad min Danas al-'Itiqad, KH Hasyim Asy'ari
menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf
maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin
yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana.
G. ANGGARAN DASAR (AD) DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA
(ART) NU
Bahwa agama Islam merupakan rahmatan lil
‘alamin (rahmat bagi semesta alam) dengan ajaran yang mendorong terwujudnya
kemaslahatan hidup bagi segenap umat manusia di dunia dan akhirat.
Bahwa para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah
Indonesia terpanggil untuk melanjutkan dakwah Islamiyah dan melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar dengan mengorganisasikan kegiatan-kegiatannya dalam suatu
wadah yang bernama Nahdlatul Ulama, yang bertujuan untuk mengamalkan ajaran
Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahwa kemaslahatan dan kesejahteraan warga
Nahdlatul Ulama menuju Khaira Ummah adalah bagian mutlak dari kemaslahatan dan
kesejahteraan masyarakat Indonesia yang berkeadilan dan berkemakmuran di bawah
naungan ridlo Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
Nahdlatul Ulama berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
Pancasila bagi umat Islam adalah keyakinan tauhid bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahwa cita-cita bangsa Indonesia hanya dapat
diwujudkan secara utuh apabila seluruh potensi nasional difungsikan secara
baik, dan Nahdlatul Ulama berkeyakinan bahwa keterlibatannya secara penuh dalam
proses perjuangan dan pembangunan nasional merupakan suatu keharusan.
Bahwa untuk mewujudkan hubungan antar
bangsa yang adil, damai dan beradab menuntut saling pengertian dan saling
memerlukan, maka Nahdlatul Ulama bertekad untuk mengembangkan ukhuwah
Islamiyah, ukhuwah Wathoniyah dan ukhuwah Insaniyah yang mengemban kepentingan
nasional dan internasional dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip
al-tasamuh (toleransi), al-tawassuth (moderasi), al-tawazun (keseimbangan),
al-‘adalah (keadilan), al-ikhlash (ketulusan) dan al-tasyawur (demokrasi).
Bahwa Perkumpulan/Jam’iyyah Nahdlatul
Ulama tetap menjunjung tinggi semangat yang melatarbelakangi berdirinya dan
prinsip-prinsip yang ada dalam Qanun Asasi. Segala sesuatu yang belum cukup diatur
dalam Anggaran Rumah Tangga ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Organisasi,
Peraturan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Surat Keputusan Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama. Anggaran Rumah
Tangga ini hanya dapat diubah dalam Muktamar.
BAB
II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa : Latar belakang kelahiran NU dilihat secara spesifik dalam konteks
kekecewaan Islam tradisional yang tesingkir dari komite khilafat yang akan
mewakili umat Islam Indonesia
pada kongres Islam dimekah tahun 1926. Tetapi kongres Khilafat di Mesir di
Tunda, karena perkalian umat Islam tertuju pada karena perkalian umat Islam
tertuju pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Saud berhasil mengusir Syarif
Husein dri Mekah 1924. Kepengurusan NU terdiri atas Mustasyar, Syuri’ah, dan Tanfizdiah.
Qanun Asasi
li Jami'ati Nahdlatil Ulama dirumuskan
oleh KH. Hasyim Asy’ari . Qanun Asasi berisi dua bagian
pokok,yaitu: Pertama, risalah Ahlussunnah wal Jamaah, yang memuat
tentang kategorisasi sunnah dan bid’ah dan penyebarannya di pulau Jawa. Kedua,
keharusan mengikuti mazhab empat.
DAFTAR PUSTAKA
Aceng Abul Aziz, Dy. Islam Ahlussunnah
wal jama’ah di Indonesia, Jakata: Pustaka Ma’arif NU, 2007.
Ibn
Al-Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh,
Jilid III, Dar al-Shadir, Bairut, 1965
Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, Surabaya: Khalista, 2006.
0 komentar:
Post a Comment