BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui bahwa dunia
Islam di masa lalu banyak menghasilkan tokoh dan pemikir-pemikir besar yang
nama dan karyanya sampai sekarang masih dipakai dan dijadikan rujukan dalam
menghadapi berbagai situasi dan persoalan yang terjadi dalam konteks kehidupan
umat Islam. Salah satunya ialah al-Mawardi. Ia adalah seorang ahli fiqh
khususnya berkaitan dengan fiqh siyasi
dan termasuk salah seorang tokoh yang berpengaruh besar terhadap pemikiran
politik Islam. Dalam kitabnya yang terkenal al-Ahkam
as-Sulthaniyah ia banyak memberikan teori-teori politik yang sampai saat
ini masih relevan dan dipakai oleh sebagian umat Islam dalam mengatur berbagai
masalah yang berkaitan dengan politik dan ketatanegaraan.
Al-Ahkam as-Sulthaniyyah demikian terkenalnya dan seringkali
dianggap sebagai penjabaran paling benar dari teori politik Islam khususnya
dari kalangan Sunni. Dalam sejarah Islam kitab ini merupakan risalah pertama
yang ditulis dalam bidang ilmu politik dan administrasi negara secara
terperinci.[1]
Namun jarang sekali dilakukan pengkajian yang mendalam tentang buku itu, kenapa
buku itu ditulis, sumber yang digunakan dalam menulis buku itu, serta
pengaruhnya terhadap masanya dan masa berikutnya, adalah hal yang jarang
dilihat dan dipermasalahkan.
PEMBAHASAN
POLITIK ISLAM DALAM
PANDANGAN ABU HASAN ALI IBN MUHAMMAD AL-MAWARDI
A.
RIWAYAT
HIDUP
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri
(364 H/975-450 H/1058 M). [2]Lahir
di Basrah pada tahun 364 H. Ia adalah seorang ahli fiqh, ahli hadis dan pemikir
politik. Ia dikenal sebagai tokoh terkemuka Mazhab Syafi’i pada abad ke-10,
pejabat tinggi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan hidup di masa
kemunduran Dinasti Abbasiyah.
Al-Mawardi
pada awalnya menuntut ilmu di Basrah. Ketika itu Basrah termasuk salah satu
pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan di wilayah Islam. Namun al-Mawardi masih
belum puas dengan ilmu yang dimilikinya, hingga akhirnya ia melanjutkan studinya
di Baghdad di Universitas al-Za’farani. Selanjutnya ia mengembara ke berbagai
daerah, tetapi pada akhirnya kota Baghdad dipilihnya sebagai tempat tinggal dan
mengajar di sana beberapa tahun. Di kota ini pula ia menghabiskan waktunya
untuk menulis sejumlah buku dalam berbagai bidang.
Selain
mendapat pendidikan di perguruan tinggi, ia masih belum merasa puas dengan ilmu
yang dimilikinya. Ia kemudian mempelajari berbagai disiplin keilmuan dari
beberapa ulama terkemuka di Baghdad khususnya berkaitan dengan ilmu-ilmu
keislaman. Di antara gurunya ialah al-Hasan ibn Ali al-Hambali, Ja’far ibn
Muhammad ibn al-Fadhl al-Baghdadi, dan Abu Hamid al-Isfirayini. Gurunya yang
disebut terakhir ini amat berpengaruh pada diri al-Mawardi dan padanya ia
mendalami mazhab Syafi’i dalam kuliah rutin yang diadakan di sebuah masjid yang
terkenal dengan nama Masjid Abdullah ibn al-Mubarak di Baghdad. Sedangkan
teologi yang dianut al-Mawardi adalah teologi Sunni. Karena gurunya kebanyakan
dari golongan Sunni, maka corak pemikirannya mengarah ke Sunni.
Al-Mawardi
belajar fiqh dari ulama terkemuka di Basrah yaitu Syekh ash-Shaimiri dan Syekh
Abu Hamid (keduanya ahli hukum Islam). Sejak kecil ia sangat senang mendalami
fiqh khususnya yang berkaitan dengan fiqh
siyasi (tata negara dan pemerintahan Islam), setelah dewasa ia menjadi Kadi
yang terkenal (karena sering berpindah-pindah) pada masa pemerintahan
Abbasiyah, al-Qadir (berkuasa 381 H/991 M-423 H/1031 M). Karir al-Mawardi
meningkat setelah ia menetap kembali di Baghdad, yaitu menjadi hakim agung (Qadi al-Qudat), penasehat raja atau
khalifah di bidang agama (hukum Islam) dan pemerintahan.[3]
Pada masa pemerintahan khalifah al-Qadir, ia diberi kehormatan dan diangkat
menjadi duta keliling yang diutus dalam berbagai misi diplomatik ke
negara-negara tetangga. Ia memiliki pengaruh besar dalam menjaga dan memelihara
wibawa khalifah al-Qadir di Baghdad yang merosot di tengah-tengah para raja
dari Bani Saljuk dan Bani Buwaihi yang ketika itu hampir sepenuhnya berdiri
sendiri.
Al-Mawardi
di kemudian hari terkenal dengan karena pemikiran politik melalui bukunya yang
berjudul al-Ahkam as-Sulthaniyyah
yang dianggap sebagai buku pertama yang disusun khusus tentang pemikiran
politik Islam. Karya ini antara lain telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dan Perancis. Selain dari al-Ahkam
as-Sulthaniyyah, terdapat beberapa karyanya tentang politik Islam, antara
lain: Qawanin al-Wizarah
(Ketentuan-Ketentuan Kewaziran/Kementerian), Siyasah al-Mulk (Strategi Kepemimpinan Raja), Adab ad-Dunya wa ad-Din (Tata Krama Kehidupan Politik/Duniawi dan
Agamawi), Kitab al-Hawi (Yang
Terhimpun), dan al-Iqna’ (Keikhlasan)
Berkaitan dengan sumber dan keterbatasan dalam menemukan buku-buku politik
al-Mawardi lainnya, maka dalam makalah ini hanya akan mengungkapkan
pemikiran-pemikiran politik al-Mawardi yang terdapat dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah.
B.
KONDISI
POLITIK
Al-Mawardi
hidup ketika kondisi sosial politik Dinasti Abbasiyah sedang mengalami berbagai
gejolak dan disintegrasi. Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu,
khalifah-khalifah Abbasiyah benar-benar dalam keadaan lemah dan tidak berdaya.
Kekuasaannya hanya merupakan formalitas, sedangkan kekuasaan riil berada di
tangan Bani Buwaihi dan orang-orang Turki. Awal kemunduran dari politik Bani
Abbas adalah ketika al-Mutawakkil berkuasa. Al-Mutawakkil adalah khalifah yang
lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaannya
dengan cepat. Setelah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan
mengangkat khalifah. Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani
Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan khalifah.[4]
Situasi
politik di dunia Islam pada masa Mawardi, yakni menjelang akhir abad X sampai
pertengahan abad XI M, tidak lebih baik dari masa al-Farabi,[5]dan
bahkan lebih parah. Kedudukan khalifah mulai melemah dan dia harus membagi
kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan Turki dan Persia.
Mulai tampak pula bahwa tidak mungkin lagi imperium Islam yang demikian luas
wilayahnya harus tunduk kepada seorang kepala negara tunggal. Pada waktu itu
khalifah di Baghdad hanya merupakan kepala negara yang resmi dengan kekuasaan
formal saja, sedangkan yang mempunyai kekuasaan sebenarnya dan pelaksana
pemerintahan adalah pejabat-pejabat tinggi dan panglima-panglima berkebangsaan
Turki atau Persia, serta penguasa-penguasa wilayah. Meskipun makin lama
kekuasaan para pejabat tinggi dan panglima non-Arab itu makin meningkat, sampai
waktu itu belum tampak adanya usaha di pihak mereka untuk mengganti khalifah
Arab itu dengan Khalifah yang berkebangsaan Turki atau Persia.
Namun
demikian mulai terdengar tuntutan dari sementara golongan agar jabatan itu
dapat diisi oleh orang non-Arab dan tidak suku Quraisy. Tuntutan itu
sebagaimana dapat diperkirakan menimbulkan reaksi dari golongan lain, khususnya
dari golongan Arab, yang ingin mempertahankan syarat keturunan Quraisy untuk
mengisi jabatan kepala negara, serta syarat kebangsaan Arab dan beragama Islam
untuk menjabat wazir atau tawfidh atau penasehat dan pembantu
utama khalifah dalam menyusun kebijaksanaan. Mawardi adalah salah satu tokoh
utama dari golongan terakhir ini.
Apabila
diperhatikan pendahuluan buku al-Ahkam
as-Sulthaniyyah karangan al-Mawardi, terlihat bahwa karya itu ditulis atas
permintaan seorang yang berkuasa. Besar kemungkinan orang yang memintanya itu
adalah khalifah Abbasiyah yang berkuasa saat itu. Motifnya barangkali adalah
untuk mengembalikan kekuasaan riil kepada khalifah yang berada di tangan
golongan Sunni, yaitu kekuasaan Bani Abbas. Maka tidak mengherankan bila
al-Mawardi tidak dapat menerima adanya dua orang kepala pemerintahan yang
berkuasa dalam satu waktu di dunia Islam. Motif penolakan ini secara implisit
untuk menentang pemerintahan bani Fathimiyah yang pada saat itu berkuasa di Mesir.
Ia menilainya sebagai kekuatan politik yang berbahaya terhadap kekuasaan bani
Abbasiyah di Baghdad.
Sebagai
reaksi terhadap situasi politik pada zamannya maka al-Mawardi mendasarkan teori
politiknya atas kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan
saran-saran perbaikan atau reformasi misalnya dengan mempertahankan status quo.
Dia menekankan bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy,
bahwa wazir tafwidh (pembantu utama
khalifah dalam penyusunan kebijaksanaan) harus berbangsa Arab, dan perlu
ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan kepala negara serta
jabatan-jabatan pembantunya yang penting. Alasan utamanya tak lain adalah
mengembalikan kekuasaan riil kepada khalifah Abbasiyah.
C. TEORI POLITIK AL-MAWARDI
a. Imamah
( Kepemimpinan)
Pada bagian awal dari kitabnya al-Mawardi menyebutkan bahwa
imamah/ kekhilafahan dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam mengurus
urusan agama dan mengatur kehidupan dunia. Yang di maksudkan oleh
al-Mawardi dengan Imam adalah khalifah, raja, sulthan atau kepala negara. Dalam
hal ini Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara di
samping baju politik. Menurutnya Allah mengangkat untuk umatnya seorang
pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan negara, disertai
dengan mandat politik. Dengan demikian seorang imam di satu pihak adalah
pemimpin agama, dan di lain pihak pemimpin politik. Dalam teorinya al-Mawardi
tidak mendikotomikan antara pemimpin politik dan pemimpin agama. Sejarah juga
telah menunjukkan bahwa Rasulullah saw ketika memimpin negara Madinah selain
sebagai pembawa ajaran Tuhan, juga sebagai pemimpin negara.
b. Tentang Wazir
Al-Mawardi membagi wazir menjadi dua
bentuk, pertama wazir tafwidh, yaitu
wazir yang memiliki kekuasaan luas memutuskan berbagai kebijaksanaan
kenegaraan. Ia juga merupakan koordinator kepala-kepala departeman. Wazir ini
dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri. Karena besarnya kekuasaan wazir tawfidh ini, maka orang yang
menduduki jabatan ini merupakan orang-orang kepercayaan khalifah. Kedua, wazir tanfidz, yaitu wazir yang hanya
bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan yang digariskan oleh wazir tawfidh. Ia tidak berwenang
menentukan kebijaksanaan sendiri.
Pada masa pemerintahan al-Mu’tashim,
ketika khalifah tidak begitu berkuasa lagi, wazir-wazir berubah fungsi menjadi
tentara pengawal yang terdiri dari orang-orang Turki. Begitu kuatnya kekuasaan
mereka di pusat pemerintahan (Baghdad), sehingga khalifah hanya menjadi boneka.
Mereka dapat mengangkat dan menjatuhkan khalifah sekehendak hatinya. Panglima
tentara pengawal yang bergelar Amir
al-Umara’ atau Sulthan inilah
pada dasarnya yang berkuasa di ibukota pemerintahan. Khalifah-khalifah tunduk
pada kemauan mereka dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Namun yang menarik, panglima
tersebut tidak berani mengadakan kudeta merebut kursi kekhalifahan dari
keluarga Abbasiyyah, meskipun khalifah sudah lemah dan tidak berdaya. Padahal
kesempatan dan kemampuan untuk itu mereka miliki. Barangkali pandangan Sunni
tentang al-Aimmah min Quraisy (kepemimpinan
umat dipegang oleh suku Quraisy) tetap mereka pegang teguh. Mereka merasa tidak
syar’i kalau menjadi khalifah karena
bukan termasuk keturunan Quraisy. Kalau mereka melakukan kudeta merebut
kekuasaan, tentu akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Oleh karena itu,
mereka merasa lebih aman berperan di belakang layar mengendalikan khalifah.
d. Teori Kontrak Sosial
Suatu
hal yang menarik dari gagasan ketatanegaraan Mawardi adalah hubungan antara Ahl
al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl al-Ikhtiyar dan imam atau kepala negara itu
merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial atau perjanjian atas
dasar sukarela, satu kontrak atau persetujuan yang melahirkan kewajiban dan hak
bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Oleh karenanya maka imam,
selain berhak untuk ditaati oleh rakyat dan untuk menuntut loyalitas penuh dari
mereka, ia sebaliknya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi
terhadap rakyatnya, seperti memberikan perlindungan kepada mereka dan mengelola
kepentingan mereka dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Al-Mawardi
mengemukakan teori kontraknya itu pada abad XI, sedangkan di Eropa teori
kontrak sosial baru muncul untuk pertama kalinya pada abad XVI.
Dalam
hal ini al-Mawardi mengatakan bahwa apabila imam atau kepala negara telah
melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada umat, berarti ia telah menunaikan hak
Allah berkenaan dengan hak dan tanggung jawab ummat. Dan saat yang demikian
imam mempunyai dua macam hak terhadap ummat, yaitu hak untuk ditaati dan hak
dibela selama imam tidak menyimpang dari dari garis yang telah ditetapkan.
Sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara kepala
negara dengan rakyatnya (kontrak sosial). Dari perjanjian itu lahirlah hak dan
kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, rakyat
yang telah memberikan kekuasaan dan sebagian haknya kepada kepala negara berhak
menurunkan kepala negara, bila ia dipandang tidak mampu lagi menjalankan pemerintahan
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.
Sesuai
dengan teorinya ini, Mawardi tidak menganggap kekuasaan kepala negara sebagai
sesuatu yang suci. Namun demikian, Mawardi juga menekankan kepatuhan terhadap
kepala negara yang telah dipilih. Kepatuhan ini tidak hanya terhadap kepala
negara yang adil, tetapi juga yang jahat (fajir).
Untuk mendukung pernyataan ini, mawardi mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan
dari Abu Hurairah: Akan ada kelak
pemimpin-pemimpin kamu sesudahku. Di antara mereka ada yang baik dan memimpinmu
dengan kebaikan. Tapi ada juga yang jahat dan memimpinmu dengan kejahatannya.
Dengarkanlah dan patuhilah mereka sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat
baik, maka kebaikannya untuk kamu dan untuk mereka. Tetapi kalau mereka berbuat
jahat, maka (akibat baiknya) untuk kamu dan kejahatannya kembali kepada mereka.
BAB III
KESIMPULAN
Demikian sekilas pandangan dan
konsep politik Islam al-Mawardi. Konsepnya tentang perlunya pendirian negara
tidak hanya didasarkan pada dalil akal tetapi juga didasarkan pada hukum syara’
menimbulkan sebuah pemahaman yang baru dan berharga. Konsep-konsepnya tentang
tata negara, bagaimana seorang pemimpin harus dipilih, persyaratan-persyaratan
untuk menjadi pemimpin, perjanjian dan kesepakatan antara orang yang dipilih
dengan yang memilih, merupakan bagian dari pemikirannya yang brilian.
Namun sebagai sebuah pemikiran
tentunya akan terdapat beberapa kelemahan atau kekurangan yang harus dipecahkan
bersama dan dicari solusinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardi,
Al-Ahkam as-Sulthaniyah wa al-Wilayah
ad-Diniyyah, Kairo, tp, 1973
Azyumardi
Azra, Pergolakan Politik Islam, Dari
Fundamentalis, Modernisme Hingga Post Modernisme, Paramadina,Jakarta, 1996
Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2000
Bernard
Lewis, Bahasa Politik Islam, alih
bahasa: Ihsan Ali-Fauzi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Ehsan
Ehsanullah, Siyasa Shar’iyya,
Thinker’s Library, Selangor Malaysia , 1994
Ensiklopedi
Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, cetakan keenam, Jakarta 2003
Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, cetakan kedua, Jakarta, 2003
Hamidullah,
Abul A’la al-Maududi, Abdul Karim Zaidan, Politik
Islam, Konsepsi dan Dokumentasi, alih bahasa: Jamaluddin Kafie, Bina Ilmu,
Surabaya, 1987
Muhammad
Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001
[1]Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah wa al-Wilayah ad-Diniyyah, Kairo, tp, 1973
[2]Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Dari Fundamentalis, Modernisme Hingga Post
Modernisme, Paramadina,Jakarta,
1996
[3]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000
[4]Ehsan Ehsanullah, Siyasa Shar’iyya, Thinker’s Library,
Selangor Malaysia , 1994
[5]Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar
Baru Van Hoeve, cetakan keenam, Jakarta 2003
0 komentar:
Post a Comment